Gunung Agung di Pulau Bali, sudah memasuki status awas. Relawan
dan aparat pemerintah setempat pun telah sibuk dengan perannya. Evakuasi
penduduk terdampak pun mulai tampak disana sini. Beberapa titik pengungsian
juga sudah didirikan, termasuk pendirian
dapur umum dan posko kesehatan. Tidak lupa mobilisasi kendaraan penduduk
untuk membantu proses evakuasi dan distribusi logistik pun juga sudah berjalan.
Semua sibuk menyambut Gunung Agung ‘sedang mual ingin muntah’. Biasanya, kepanikan mewarnai petugas,
tidak tahu harus berbuat apa dengan tupoksinya, sehingga memunculkan kesan
penanganan lambat, kurang merata dan sulit terpantau. Termasuk kurangnya
koordinasi antar instansi yang terkait dalam penanggulangan bencana sehingga menyebabkan
kesimpangsiuran informasi.
Begitu juga dengan relawan. Dengan semangat menggebu ingin
langsung terlibat dalam proses evakuasi serta pendistribusian logistik dan
kebutuhan pengungsi, mengingat tenaga dari aparat terbatas.
Memang, sering terdengar relawan kurang koordinasi dengan Posko
Induk. Itu mungkin terjadi karena petugas posko kurang paham tentang sistem komando
tanggap darurat bencana (SKTDB), atau relawannya sendiri yang tidak tahu jika
kedatangannya harus lapor posko.
Padahal, dalam masa tanggap
darurat, Relawan itu masuk dalam SKTDB, agar semua aktivitasnya dapat
terpantau, terkoordinir, terkendali dan efektif menjalankan perannya dalam satu
komando. Dengan kata lain, relawan tidak bisa bergerak sendiri dengan alasan
apapun, dan harus tetap berkoordinasi dengan posko induk (itu idealnya).
Untuk itulah dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat ditangani
sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Menurut BNPB, tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Sementara, SKTDB adalah suatu
standar penanganan darurat bencana yang mensinergikan dan mengintegrasikan
pengerahan fasilitas, peralatan, personil, prosedur dan komunikasi dalam suatu
struktur organisasi.
Dalam masa tanggap darurat ini, dilakukan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut (1) Pengkajian secara cepat dan tepat
terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya, (2) Penentuan status keadaan
darurat bencana, (3) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana,
(4) Pemenuhan kebutuhan dasar, (5) Perlindungan terhadap kelompok rentan, dan
(6) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Sementara itu Tugas posko, diantaranya melaksanakan
pengelolaan data dan informasi tentang penanganan darurat bencana, Menyusun
rencana operasi penanganan darurat, Mengkoordinir dan mengendalikan pelaksanaan
penanganan darurat, Melakukan pemantauan dan evaluasi penanganan darurat, serta
Melaksanakan komando dan pengendalian untuk
pengerahan SDM, peralatan, logistik dan penyelamatan serta berwenang
memerintahkan instansi terkait dalam penanganan darurat.
Jika menyimak apa yang terpapar di atas, sungguh betapa penting
peran SKTDB dalam mengelola proses penanggulangan bencana. Tinggal bagaimana
petugas yang ditunjuk ‘menjaga’ posko.
Merekalah yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan penanggulangan bencana.
Sampai saat ini semua sudah siap menyambut ulah Gunung Agung.
Relawan pun demikian, dari berbagai daerah sudah menyiapkan diri 'bergerak' ke Bali, menunggu perintah, bahkan siap berangkat secara sendiri. Setiap hari, tidak henti-hentinya mengabarkan perkembangan
Gunung Agung kepada khalayak ramai melalui media sosial, dengan segala bumbu
cerita yang menarik untuk dinikmati bagi relawan lain yang tidak berkesempatan
mendharma bhaktikan diri di Pulau dewata. Salam tangguh, salam kemanusiaan.
[eBas/berbagai sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar