Sungguh menggembirakan sekali. Kini dimana-mana diberbagai
daerah sedang marak diadakan gerakan pengurangan risiko bencana yang digaungkan
oleh BNPB/BPBD dengan berbagai model pendekatan. Ada Desa Tangguh Bencana, ada
Sekolah Sungai, Sekolah Laut, dan Sekolah Gunung. Konon, masing-masing
mempunyai karakteristik sendiri.
Upaya pelibatan seluruh komponen bangsa
dalam kampanye
gerakan ini diterjemahkan dalam tindakan kolektif dalam bentuk kegiatan tradisional yang
ada di masyarakat, seperti kerjasama dan gotong-royong. Gerakan
ini jika dikondisikan
terus akan menjadi sebuah kesadaran kolektif sebagai upaya pengurangan risiko
bencana di Indonesia.
Gerakan ini lekat dengan gerakan literasi, karena di dalamnya
mengandung pesan tertulis yang harus dikomunikasikan agar bisa dipahami. Literasi
merupakan kemampuan melek aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca
dan menulis. Tujuannya agar peserta memiliki budaya membaca dan menulis untuk
memahami pesan-pesan pengurangan risiko bencana.
Menurut National Institute for Literacy, Literasi sebagai
"Kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan
masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan
masyarakat." Namun lebih dari itu, Literasi adalah kemampuan
individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam
hidupnya
Melalui kecakapan
literasi, maka pesan-pesan BNPB/BPBD terkait dengan masalah kebencanaan akan
mudah dimengerti sehingga dapat meningkatkan upaya
pengurangan
risiko bencana dalam rangka menurunkan indeks risiko bencana.
Kecakapan literasi pun bisa disemaikan melalui
kegiatan ngobrol bareng, cangkruk’an bersama untuk saling tukar
informasi dan berbagi pengalaman tentang apa saja, khususnya yang berkaitan
dengan kegiatan kerelawanan yang bermanfaat kepada sesama, juga kepada upaya
pelestarian lingkungan. Baik yang terjadwal maupun yang insidental. Ya, ngobrol
bareng sambil ngopi biasanya lebih mengena, karena disitu tidak ada jarak dan
perbedaan yang mencolok.
Sungguh, obrolan yang “pating pecothot” tanpa format tertentu itu sangat indah jika
ditulis menjadi sebuah buku sederhana yang kaya akan pengalaman yang indah
untuk dikenang menjadi sebuah pembelajaran bagi sesama pekerja kemanusiaan.
Kemampuan literasi yang dikaitkan dengan pengurangan risiko
bencana, dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, karena dapat
memutus mata rantai kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Ya, acara ngobrol bareng secara nonformal itu jika
rutin dilakukan bisa menjadi wadah saling belajar sesuai konsep sepanjang hayat
Artinya, melalui
gerakan literasi dalam bentuk obrolan
ngalur ngidul tak terformat ini, tanpa disadari bisa meningkatkan kesadaran
akan pentingnya semangat kebersamaan, kesetiakawanan
sosial, gotong-royong yang baik sehingga menjadi nilai budaya di masyarakat
dalam pengelolaan risiko bencana
menuju Indonesia tangguh menghadapi bencana.[eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar