Sabtu, 18 November 2017

GERAKAN LITERASI KEBENCANAAN



Hamdi Alfansuri dalam selasar.com mengatakan bahwa, National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual dan berkaitan dengan keterampilan hidup. (Hamdi,2017).

Dengan demikian, literasi tidak hanya dipahami sebagai sebuah kesadaran berkemampuan membaca, menulis, dan berhitung saja. Literasi hendaknya dipahami sebagai upaya menambah wawasan, pengetahuan, keterampilan dan sikap. Untuk kemudian berani berbuat nyata guna menampakkan keberadaannya.

Di bidang kebencanaan pun, kiranya juga begitu. Indonesia yang kini semakin sering di datangi bencana, diantaranya, banjir, longsor, erupsi gunung berapi, dan gempa, sudah waktunya menyuarakan pentingnya literasi kebencanaan sebagai upaya ‘menyadarkan’ masyarakat akan adanya potensi bencana yang mengancam kehidupannya.

Terkait dengan literasi kebencaaan ini, menurut Ririn Handayani dalam tulisannya di kompasiana, mengatakan bahwa, negara dan masyarakat dengan tingkat literasi yang tinggi umumnya juga memiliki ketangguhan dan kesiagaan yang tinggi terhadap bencana.(Ririn,2015).

Contoh yang dikemukakannya adalah negara Jepang, yang menjadikan literasi sebagai salah satu ujung tombak untuk membangun masyarakat siaga dan tangguh terhadap bencana. Hal ini mengingat bahwa Jepang adalah Negara langganan gempa dan tsunami.

Bagaimana dengan Indonesia?. Kini mulai tumbuh kesadaran akan pentingnya literasi menjadi sebuah gerakan yang berusaha memampukan masyarakat dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pemerintah, melalui BNPB telah mencanangkan gerakan pengurangan risiko bencana dalam bentuk program sekolah laut, sekolah sungai, dan sekolah gunung serta program desa tangguh bencana, sebagai upaya menumbuhkan budaya sadar bencana, sesuai konsep ‘Living Harmony With Risk.’.

Untuk itulah tidak ada salahnya jika para ‘pekerja kemanusiaan’ yang tergabung dalam berbagai komunitas, melakukan kolaborasi, saling berinteraksi dan bersinergi, ikut melakukan gerakan literasi, mengedukasi masyarakat, khususnya yang berdomisili di kawasan rawan bencana.

Salah satunya adalah Komunitas Masyarakat Tangguh Indonesia, yang muncul seiring ditemukannya sesar kendeng di seputaran Surabaya yang berpotensi menimbulkan gempa darat. Kepedulian mereka diwujudkan dengan membuat kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, juga kepada birokrat.

Walau masih baru lahir, suara yang didengungkan dari kampus ITS Surabaya ini sudah mulai didengar khalayak ramai. Bahkan pemerintah Kota Surabaya telah mengetahui. Tinggal bagaimana mendorong mereka untuk lebih memfasilitasi gerakan literasi yang diusung Komunitas Masyarakat Tangguh Indonesia.

Sukur-sukur jika mereka juga berkenan terlibat langsung dalam rangka memperluas jejaring kemitraan untuk meningkatkan kapasitas ‘pekerja kemanusiaan’ yang mumpuni dalam melakukan gerakan literasi kebencanaan. Yang bagaimana itu?. Marilah berjejaring, berkumpul dan berdiskusi, untuk menemukan bentuknya. Wallahu a’lam bisshowab.[eBas]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar