Hamdi
Alfansuri dalam selasar.com mengatakan bahwa, National Institute for Literacy,
mendefinisikan Literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca,
menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian
yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Definisi ini memaknai
Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual dan berkaitan dengan
keterampilan hidup. (Hamdi,2017).
Dengan demikian,
literasi tidak hanya dipahami sebagai sebuah kesadaran berkemampuan membaca,
menulis, dan berhitung saja. Literasi hendaknya dipahami sebagai upaya menambah
wawasan, pengetahuan, keterampilan dan sikap. Untuk kemudian berani berbuat
nyata guna menampakkan keberadaannya.
Di bidang
kebencanaan pun, kiranya juga begitu. Indonesia yang kini semakin sering di
datangi bencana, diantaranya, banjir, longsor, erupsi gunung berapi, dan gempa,
sudah waktunya menyuarakan pentingnya literasi kebencanaan sebagai upaya ‘menyadarkan’
masyarakat akan adanya potensi bencana yang mengancam kehidupannya.
Terkait dengan
literasi kebencaaan ini, menurut Ririn Handayani dalam tulisannya di
kompasiana, mengatakan bahwa, negara dan masyarakat dengan tingkat literasi
yang tinggi umumnya juga memiliki ketangguhan dan kesiagaan yang tinggi
terhadap bencana.(Ririn,2015).
Contoh yang
dikemukakannya adalah negara Jepang, yang menjadikan literasi sebagai salah
satu ujung tombak untuk membangun masyarakat siaga dan tangguh terhadap
bencana. Hal ini mengingat bahwa Jepang adalah Negara langganan gempa dan
tsunami.
Bagaimana
dengan Indonesia?. Kini mulai tumbuh kesadaran akan pentingnya literasi menjadi
sebuah gerakan yang berusaha memampukan masyarakat dalam hal kesiapsiagaan
menghadapi bencana. Pemerintah, melalui BNPB telah mencanangkan gerakan
pengurangan risiko bencana dalam bentuk program sekolah laut, sekolah sungai,
dan sekolah gunung serta program desa tangguh bencana, sebagai upaya
menumbuhkan budaya sadar bencana, sesuai konsep ‘Living Harmony With Risk.’.
Untuk itulah
tidak ada salahnya jika para ‘pekerja kemanusiaan’ yang tergabung dalam
berbagai komunitas, melakukan kolaborasi, saling berinteraksi dan bersinergi, ikut
melakukan gerakan literasi, mengedukasi masyarakat, khususnya yang berdomisili di
kawasan rawan bencana.
Salah satunya
adalah Komunitas Masyarakat Tangguh Indonesia, yang muncul seiring ditemukannya
sesar kendeng di seputaran Surabaya yang berpotensi menimbulkan gempa darat. Kepedulian
mereka diwujudkan dengan membuat kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, juga
kepada birokrat.
Walau masih
baru lahir, suara yang didengungkan dari kampus ITS Surabaya ini sudah mulai didengar khalayak ramai. Bahkan pemerintah Kota Surabaya
telah mengetahui. Tinggal bagaimana mendorong mereka untuk lebih memfasilitasi
gerakan literasi yang diusung Komunitas Masyarakat Tangguh Indonesia.
Sukur-sukur
jika mereka juga berkenan terlibat langsung dalam rangka memperluas jejaring
kemitraan untuk meningkatkan kapasitas ‘pekerja kemanusiaan’ yang mumpuni dalam
melakukan gerakan literasi kebencanaan. Yang bagaimana itu?. Marilah berjejaring,
berkumpul dan berdiskusi, untuk menemukan bentuknya. Wallahu a’lam
bisshowab.[eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar