Minggu, 05 November 2017

KAOS SERAGAM

Di tengah-tengah maraknya kegiatan gelar relawan program sekolah sungai, sekolah laut, dan mungkin juga sekolah gunung, sebagai upaya membangun gerakan pengurangan risiko bencana, muncul pertanyaan cerdik menggelitik yang diposting di WhatsApp grup Membangun Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Timur (FPRB JATIM), “Kenapa ya, yang bantu bencana mesti pakai seragam?. Umpama ga pakai seragam, apa diusir, meski warga setempat ?”.

Ehm…?. Konon, Seragam bukanlah pakaian kerja biasa namun menjadi komponen penting yang memiliki fungsi, nilai dan makna penting bagi anggota dan organisasinya. Kalau tidak salah, seragam itu adalah identitas dari sebuah komunitas (organisasi) yang digunakan dalam melakukan aktivitasnya.  

Tanpa disadari, Seragam membuat anggota organisasi menjadi berbeda, disamping itu, seragam juga mampu menjadi media promosi untuk membangun citra organisasi yang berdampak pada tumbuhnya rasa bangga bagi pemakainya, 

Ya, dengan seragam, diharapkan lahir loyalitas, dedikasi, gotong royong, kerjasama, rasa senasib seperjuangan, sehingga tercipta kesetaraan dan persamaan yang mampu menghapuskan kesan kesenjangan sosial diantara anggotanya. Dari situlah akan tumbuh rasa melu handarbeni terhadap keberlangsungan hidup organisasi beserta programnya.

Sehingga wajar jika dalam kegiatan yang berbau seremonial, selalu saja semua yang terlibat, diseragami, dipakani, dan kadang juga disangoni. Bahkan di beberapa instansi tertentu, selain kaos, juga ada tas, rompi, topi, baju, jaket, dan alat tulis yang dibagikan untuk menyenangkan semuanya. Itu terjadi karena memang ada anggarannya (sengaja dianggarkan). Beda banget jika semua itu diselenggarakan secara nonformal atas inisiatif bersama berbasis keswadayaan.

Agar tidak menimbulkan salah paham, yang dibahas disini bukan bencana yang diseremonialkan. Karena bencana alam itu kata relawan senior pasti tidak dikehendaki dan tidak diskenariokan kedatangannya. Yang dibicarakan disini adalah penyelenggaraan program penanggulangan bencana yang diagendakan pemerintah (BNPB dan BPBD), dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat terpilih untuk bisa berperan membantu operasi penanggulangan bencana, yang ditandai dengan pembagian kaos seragam gratis.

Sementara itu, yang tidak kalah pentingnya adalah kegiatan pasca seremonial. Adakah tindak lanjutnya, atau, memang direncanakan untuk tidak ditindak lanjuti?. Sungguh, peserta program itu masih perlu didampingi dan dibina pasca penyelenggaraan program. Tidak dilepas begitu saja pasca program. sungguh mereka belum bisa mandiri, tidak berdaya jika langsung dilepas.

Semua harus dilakukan jika program yang digulirkan dengan anggaran yang tidak sedikit itu ingin tampak guna manfaatnya bagi masyarakat. Dalam hal ini membangun budaya masyarakat tangguh menghadapi bencana.

Dengan kata lain, gerakan pengurangan risiko bencana yang berupa sekolah sungai, sekolah laut, sekolah gunung, bahkan mungkin juga destana, diharapkan dapat membangkitkan kesadaran bergotong royong dan memupuk rasa kesetiakawanan sosial sesuai kearifan lokal.

Dibanyak kasus, usai penyelenggaraan program, tidak ditindak lanjuti dengan program pendampingan. Sehingga masyarakat yang menjadi sasaran program kembali berperilaku seperti sebelum mendapat sentuhan program. Yaitu masyarakat yang tidak mampu mengelola dan mengurangi risiko bencana dan gagal meningkatkan kualitas hidupnya.

Untuk itulah program gerakan pengurangan risiko bencana harus terus didampingi dalam rangka pemberdayaan masyarakat melalui proses belajar sosial bersama untuk meningkatkan kapasitas, prakarsa dan partisipasi dalam pembangunan desa.

Sementara kaos seragamnya pun semakin kusam untuk kemudian berubah fungsi menjadi gombal dan hilang entah kemana. Selanjutnya mereka hanya berharap ada pembagian kaos seragam lagi lewat acara seremonial untuk peningkatan kapasitas komunitas, entah itu dalam bentuk penyuluhan, lokalatih, apel siaga, simulasi maupun sekedar kerja bhakti bersama lintas elemen dan instansi. [eBas]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar