Kita semua tahu, dalam UU nomor 24 tahun
2007, dikatakan bahwa, relawan penanggulangan bencana adalah, seseorang atau sekelompok orang, yang memiliki kemampuan
dan kepedulian dalam penanggulangan bencana yang
bekerja secara ikhlas untuk
kegiatan penanggulangan bencana.
Kita pun
paham, relawan yang gagah berkiprah diberbagai lokasi bencana, pada akhirnya
harus menyerah karena usia yang semakin renta. Ya, raga yang semakin menua itu
jelas mengalami penurunan daya tahan. Penyakit mudah datang, tentu mudah capek,
bahkan sering masuk angin. Semua itu merupakan sesuatu yang wajar menyertai
usia tua.
Kemudian,
hal yang tidak bisa dipungkiri dari bertambahnya usia adalah, setiap orang
pasti mempunyai kewajiban terhadap keluarga dan kepada masyarakat sekelilingnya
dimana dia tinggal. Kewajiban kepada keluarga diantaranya adalah, menafkahi,
membiayai keluarga agar bisa hidup ‘bahagia
sejahtera’ untuk masa depannya.
Sementara,
kewajiban kepada lingkungan masyarakatnya, bisa berupa aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan. Seperti, jadi pengurus kampung, ikut yasinan, berperan aktif dalam
kerja bakti menjaga lingkungan, dan lainnya.
Kewajiban
sebagai makhluk sosial itulah yang mengharuskan seorang relawan pandai mengatur
waktunya. Sekaligus tahu dan sadar kapan harus ‘mundur’ dari kegiatan-kegiatan tanggap bencana, beralih aktif pada
fase pra bencana. Seperti melakukan edukasi, maupun penyuluhan tentang
pengurangan risiko bencana, dan upaya penanggulangan bencana kepada masyarakat.
Artinya, jangan
sampai dimasa tuanya relawan menjadi ‘korban’
yang harus dievakuasi oleh relawan lainnya, karena ketidaksiapannya menghadapi
masa tuanya. Terlena oleh kegiatan tanggap darurat bencana. Sibuk mengurusi dan
membantu orang lain, lupa akan nasibnya sendiri.
Bisa-bisa
nanti malah menjadi bahan tertawaan. Jelas ini akan mengganggu operasi dan
membebani temannya, termasuk membebani dapur umum. Sungguh jangan sampai itu
terjadi menimpa kita. Yang terbaik adalah tidak usah memaksakan diri ‘bermain’ di fase tanggap darurat.
Apa yang
harus dilakukan ?. paling tidak, melalui komunitas, wacana di atas harus mulai
disinggung sambil menikmati hitamnya kopi. Agar, masa depan relawan tidak
sepahit dan sehitam kopi.
Apa salahnya
jika SRPB JATIM sebagai wadah silaturahmi relawan dari berbagai organisasi,
mulai membuat kegiatan-kegiatan yang ‘beraroma’ entrepreneur, yaitu orang yang selalu membawa perubahan, inovasi, ide-ide
baru dan aturan baru.
Menurut Wikipedia, entrepreneur adalah, orang yang melakukan aktivitas wirausaha yang
dicirikan dengan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara
produksi baru, menyusun manajemen operasi untuk pengadaan produk baru,
memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
Sementara divinisi lain mengatakan bahwa entrepreneur adalah orang yang mempunyai dan membawa
sumber daya berupa tenaga kerja, material, serta asset yang lainnya pada suatu
kombinasi yang mampu melakukan suatu perubahan/ menambahkan nilai yang lebih
besar daripada nilai yang sebelumnya.
Ya, tidak ada salahnya jika SRPB JATIM berani memulai
bermimpi membuat kelompok usaha bersama, baik usaha online maupun offline,
membuat program pemberdayaan masyarakat, mengadakan arisan untuk mitra SRPB
JATIM, dan kegiatan lain yang nyata kebermanfaatannya bagi masyarakat.
Tidak ada salahnya jika kegiatan Arisan Ilmu menampilkan
materi tentang entrepreneur. Sungguh, potensi dan sumber daya manusia yang ada
di SRPB JATIM tersedia, bahkan banyak yang sudah ‘ngelakoni’.
Tinggal bagaimana kita bersepakat membangun komitmen untuk
memulai aksi membangun sinergi dalam rangka merintis usaha bersama. Karena sesungguhnyalah
relawan itu tidak haram menjadi usahawan yang tangguh. Dengan demikian, relawan
dan organisasinya benar-benar bisa mandiri dalam menyelenggarakan program yang bermanfaat.
Wallahu a’lam bishowab. Salam Literasi untuk berbagi inspirasi.[eBas/rabu
kliwon]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar