Di era generasi
milenial ini, apa saja yang berhubungan dengan aktivitas publik mulai di
sertivikasi, dan harus mengikuti uji kompetensi. Idealnya, kedepan, semua
haruslah terakreditasi, dalihnya untuk menjaga kualitas agar bisa kompetitif,
bersaing di era globalisasi yang kian tak terbendung. Begitu juga keberadaan
warung kopi (warkop) pinggir embong.
Sungguh,
perkembangan usaha dagang warkop itu sangat menjanjikan dan segmennya juga
masih terbuka lebar. Warkop tidak hanya tumbuh subur di pinggir jalanan yang
strategis. Keberadaannya pun merambah sampai di dalam kampong.
Hampir setiap
gang, dapat dipastikan ada orang buka warkop. Entah besar, entah kecil, bahkan
yang dijual pun ala kadarnya. Disi lain warkop pun kini keberadaannya tidak
sekedar memenuhi hasrat makan dan minum belaka, tetapi lebih sebagai tempat
nongkrong, janjian dan berbagai aktivitas lain.
Sesuai pangsa
pasarnya, warkop pun ada yang diberi nama kedai kopi, café, maupun resto. Ya,
beda nama biasanya diikuti pula dengan tampilan dagangan yang dikemas berbeda,
termasuk juga harganya.
Untuk
meningkatkan kompetensi warkop, baik aspek penampilan penjualnya, pencahayaan
dan sirkulasi udara, serta penataan ruang dan dagangannya, agar konsumen merasa
nyaman, maka diperlukan program sertifikasi untuk menstandarkan tampilan
warkop.
Sertifikasi itu bisa diartikan sebuah proses
pembuatan dan pemberian dokumen resmi yang menyatakan bahwa informasi yang ada
telah memenuhi standar yang ditetapkan. Warkop yang telah memiliki sertifikat
berarti telah mempunyai kualifikasi yang terstandar untuk menawarkan
dagangannya.
Sertifikasi dilakukan dengan mendata semua yang ada
di dalam warkop. Data tersebut dapat berupa meja kursi bangku (dingklik),
kompor, gelas, mangkok, sendok, garpu. Termasuk jenis dagangan yang sesuai
dengan segmen yang dibidik. Seperti kopi, nasi bungkus, dan gorengan.
Kelengkapan lain yang tampaknya harus ada adalah tersedianya Jaringan Wifi,
Koran, TV, dan Radio Yang tidak kalah pentingnya adalah, apakah warkop.
Semua itu bertujuan agar warkop semakin layak dalam
hal pelayanan. Sehingga pelanggan merasa puas dan menjadi pelanggan loyal yang
enggan berpaling ke warkop lain. Disampaing itu, juga mendorong terjadinya
persaingan sehat antar warkop.
Kriteria warkop yang disertifikasi haruslah
kongkret agar pengusaha warkop paham. Harus jelas yang namanya kompeten itu
indikatornya seperti apa. Misalnya dari segi rasa, harga dan ragam dagangannya,
sehat tidaknya lingkungan warkop, apakah pelayannya berpakaian rapi dan wangi,
serta sopan dan ramah atau seenaknya.
Tampaknya, sungguh ribet jika usaha rakyat kecil
untuk meningkatkan kehidupan ekonomi keluarga harus disertifikasi dengan
memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan. Dimana, untuk memenuhi
persyaratan itu butuh anggaran yang tidak sedikit, termasuk anggaran untuk ‘nyangoni’
si tukang sertifikasi.
Pertanyaannya, mungkinkah warkop yang merupakan
usaha rakyat kecil itu disertifikasi dan distandarkan ?. kasihan pemodal kecil
yang tampil seadanya itu harus distandarkan penampilan warkopnya. Sungguh,
dalam pelaksanaannya nanti, pasti banyak kendala yang ditemukan. Termasuk
protes dan sumpah serapah dari rakyat kecil yang hanya bisa ngedumel tanpa bisa
berbuat apa-apa. Karena sibuk memikirkan perut yang lapar. [eBas/jum'at kliwon (25/5)-edisi tulisan ngelantur lupa gak ngopi waktu sahur]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar