Minggu, 24 Juni 2018

SEBUAH PEMBELAJARAN DARI BANJIR BANDANG BANYUWANGI (NASIB DESK RELAWAN)


Banjir bandang banyuwangi pasca lebaran 2018 itu mengundang simpati banyak pihak. Banjir yang tidak terduga itu juga menggerakkan berbagai komunitas relawan dari berbagai daerah untuk bergerak membantu sesamanya, dengan berbagai cara dan kemampuannya.

Begitu juga dengan SRPB yang dibentuk sebagai wadah komunikasi antar organisasi relawan, melalui mitranya yang berdomisili di Banyuwangi, yang bernama Me-dan (Medik dan aksi kemanusiaan), mencoba mendirikan tenda “Desk Relawan” (DR) sesuai konsep yang pernah digulirkan BNPB saat kongres SRPB JATIM di Regent Park Hotel, Kota Malang, setahun yang lalu.

Menurut Wicaksono, salah seorang staf BNPB (benarkah?), dalam postingannya mengatakan bahwa, saat terjadi tanggap darurat bencana, hendaknya, desk relawan melakukan, (1), dalam waktu 24 jam mengirim tim ke lokasi bencana, (2), mendirikan tenda desk relawan penanggulangan PB yang lokasinya dekat Posko PB Kabupaten/Kota, atau tempat lain yang mudah berkomunikasi dengan BPBD/Posko PB, (3), melakukan koordinasi dengan Posko PB, (4), melakukan pendataan kepada relawan yang datang ke lokasi dan melaporkan ke Posko PB, (4), membuat tanda penghargaan (piagam, red) kepada relawan/organisasi yang terlibat dalam tanggap darurat yang ditandatangani Kepala BPBD Provinsi.

Namun ternyata, pendirian tenda DR itu kurang mendapat tanggapan yang ‘asyik dan menyemangati’ dari pejabat BPBD. Ini tampak dalam postingannya yang mengatakan, Sepaham saya teman2 relawan, disini sudah ada posko, di dalamnya sudah ada pendataan dan pendistribusian potensi relawan maupun peralatan. Jika teman-teman dari SRPB merapat, harusnya BKO ke posko dalam hal pendataan relawan. tidak dengan mendirikan tenda sendiri atau mendata sendiri potensi relawan di lain tempat.

“Ingat, pada saat tanggap darurat, posko hanya satu. Tidak ada posko yang lain. Tolong dipahami, jangan menjadi dua matahari dalam satu lokasi, itu tidak baik,” Katanya.

Masih menurut Pak Pejabat, jika ada mis komunikasi, tolong diperbaiki komunikasinya. Tidak dengan berinisiatif lain yang akan menghambat proses operasi tanggap darurat. Kami di Posko welcome kok, silahkan buka komunikasi.

“SRPB memiliki tugas pendataan dan pendistribusian relawan dalam tanggap darurat. Tapi mohon maaf, hari ini saya belum menemukan itu. Morat maritnya pendataan dan pengelolaan relawan, hari ini belum ada bantuan dari SRPB,” pungkasnya.

Ups …, mungkinkah ini tanda, bahwa konsep DR itu belum dipahami oleh semua pegiat penanggulangan bencana?. Atau mungkin karena konsep DR masih dalam tahap wacana, sehingga tidak perlu di praktekkan saat ada bencana, karena belum ada aturan yang mengatur. Disinilah, mungkin perlu ada komunikasi yang intens agar terbangun kesepahaman. Wallahu a’lam bishowab

Bahkan, karena konsep DR masih dalam tahap wacana yang belum didukung regulasi, seorang staf honorer BPBD yang sangat mumpuni dibidang kebencanaan dan kerelawanan, juga turut berkomentar ‘miring’ terhadap SRPB yang mendirikan tenda DR.

Sebagai mantan ajudan favorit teladan hebat, dia merasa “prihatin” karena SRPB tidak memahami perka 17 tahun 2011 tentang pedoman relawan PB, dan perka 14 tahun 2010 tentang pembentukan posko tanggap darurat.

Dalam postingannya, si honorer hebat ini mengatakan, yang jelas kami disini tidak mempunyai prasangka keji ataupun berkata kasar bahkan memfitnah sedulur. Justru SRPB yang nota bene pengurusnya pinter-pinter karena sudah bersertifikat, kenapa tidak ikut memberitahu tentang UU Kebencanaan dan perka BNPB yang mengatur relawan.

“Saya turut prihatin, disaat rekan-rekan berjibaku membantu pemulihan di Banyuwangi, lalu disuguhi hidangan ketidak pahaman SRPB,” ungkapnya menohok. Bahkan dipostingan lain, dia melontarkan kata kasar, ‘GATHEL’, kepada salah seorang pengurus SRPB. Sungguh tidak menyangka, staf BPBD tingkat Provinsi, bicaranya sangat vulgar. Padahal pimpinannya tidak begitu.

Sementara, Dian Harmuningsih, Koordinator SRPB, dalam postingannya mengatakan bahwa, di SRPB, semua sejajar untuk saling belajar, semua equal membangun kepedulian, semua mengusung egalitarian, bersama dalam keberagaman, dan semua diharapkan jadi tukang jahit, bukan tukang pukul, baik lewat pembicaraan, maupun lewat tulisan. Apalagi suka fitnah. Tidak ada itu. Dan orang yang begituan pasti akan minggir sendiri.

Sungguh, bencana Banyuwangi pasca lebaran di tahun politik ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa DR sebagai gagasan inovatif untuk membantu Posko/BPBD, ternyata tidak mudah diwujudkan karena belum didukung oleh perka/perundang-undangan. mungkin, secara formal juga belum ada sosialisasi dari BNPB ke BPBD.

Yang lebih penting lagi perlu kiranya ada acara duduk bersama antar berbagai elemen, baik pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, untuk mensosialisasikan (membahas) konsep DR agar bisa dipahami dan ditindak lanjuti dalam sebuah aksi, sehingga gagasan yang dilontarkan saat kongres SRPB di Kota Malang itu tidak menimbulkan polemik yang penuh sakwa sangka yang terkesan “rebutan panggung”.

 semoga nanti, akan ada lagi pelajaran yang berarti saat penanganan pasca bencana banjir bandang di Kota Gandrung, Banyuwangi. tentu akan menarik untuk dicermati. khususnya saat dilakukan audit barang bantuan dari masyarakat yang masih tersisa menumpuk di posko, itu akan diapakan, dikemanakan dan bagaimana pengelolaannya, agar tidak dimakan tikus got. Salam tangguh. [eBas]
     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar