Banjir bandang
banyuwangi pasca lebaran 2018 itu mengundang simpati banyak pihak. Banjir yang tidak
terduga itu juga menggerakkan berbagai komunitas relawan dari berbagai daerah
untuk bergerak membantu sesamanya, dengan berbagai cara dan kemampuannya.
Begitu juga
dengan SRPB yang dibentuk sebagai wadah komunikasi antar organisasi relawan,
melalui mitranya yang berdomisili di Banyuwangi, yang bernama Me-dan (Medik dan
aksi kemanusiaan), mencoba mendirikan tenda “Desk Relawan” (DR) sesuai konsep
yang pernah digulirkan BNPB saat kongres SRPB JATIM di Regent Park Hotel, Kota
Malang, setahun yang lalu.
Menurut Wicaksono,
salah seorang staf BNPB (benarkah?), dalam postingannya mengatakan bahwa, saat
terjadi tanggap darurat bencana, hendaknya, desk relawan melakukan, (1), dalam waktu 24 jam mengirim
tim ke lokasi bencana, (2), mendirikan tenda desk relawan penanggulangan PB
yang lokasinya dekat Posko PB Kabupaten/Kota, atau tempat lain yang mudah berkomunikasi
dengan BPBD/Posko PB, (3), melakukan koordinasi dengan Posko PB, (4), melakukan
pendataan kepada relawan yang datang ke lokasi dan melaporkan ke Posko PB, (4),
membuat tanda penghargaan (piagam, red) kepada relawan/organisasi yang terlibat
dalam tanggap darurat yang ditandatangani Kepala BPBD Provinsi.
Namun ternyata,
pendirian tenda DR itu kurang mendapat tanggapan yang ‘asyik dan menyemangati’
dari pejabat BPBD. Ini tampak dalam postingannya yang mengatakan, Sepaham saya
teman2 relawan, disini sudah ada posko, di dalamnya sudah ada pendataan dan
pendistribusian potensi relawan maupun peralatan. Jika teman-teman dari SRPB
merapat, harusnya BKO ke posko dalam hal pendataan relawan. tidak dengan
mendirikan tenda sendiri atau mendata sendiri potensi relawan di lain tempat.
“Ingat,
pada saat tanggap darurat, posko hanya satu. Tidak ada posko yang lain. Tolong dipahami,
jangan menjadi dua matahari dalam satu lokasi, itu tidak baik,” Katanya.
Masih menurut
Pak Pejabat, jika ada mis komunikasi, tolong diperbaiki komunikasinya. Tidak dengan
berinisiatif lain yang akan menghambat proses operasi tanggap darurat. Kami di
Posko welcome kok, silahkan buka komunikasi.
“SRPB
memiliki tugas pendataan dan pendistribusian relawan dalam tanggap darurat. Tapi
mohon maaf, hari ini saya belum menemukan itu. Morat maritnya pendataan dan
pengelolaan relawan, hari ini belum ada bantuan dari SRPB,” pungkasnya.
Ups …,
mungkinkah ini tanda, bahwa konsep DR itu belum dipahami oleh semua pegiat penanggulangan
bencana?. Atau mungkin karena konsep DR masih dalam tahap wacana, sehingga
tidak perlu di praktekkan saat ada bencana, karena belum ada aturan yang mengatur. Disinilah, mungkin perlu ada
komunikasi yang intens agar terbangun kesepahaman. Wallahu a’lam bishowab
Bahkan,
karena konsep DR masih dalam tahap wacana yang belum didukung regulasi, seorang staf honorer BPBD yang
sangat mumpuni dibidang kebencanaan dan kerelawanan, juga turut berkomentar ‘miring’
terhadap SRPB yang mendirikan tenda DR.
Sebagai
mantan ajudan favorit teladan hebat, dia merasa “prihatin” karena SRPB tidak memahami
perka 17 tahun 2011 tentang pedoman relawan PB, dan perka 14 tahun 2010 tentang
pembentukan posko tanggap darurat.
Dalam postingannya,
si honorer hebat ini mengatakan, yang jelas kami disini tidak mempunyai
prasangka keji ataupun berkata kasar bahkan memfitnah sedulur. Justru SRPB yang
nota bene pengurusnya pinter-pinter karena sudah bersertifikat, kenapa tidak
ikut memberitahu tentang UU Kebencanaan dan perka BNPB yang mengatur relawan.
“Saya
turut prihatin, disaat rekan-rekan berjibaku membantu pemulihan di Banyuwangi,
lalu disuguhi hidangan ketidak pahaman SRPB,” ungkapnya menohok. Bahkan dipostingan
lain, dia melontarkan kata kasar, ‘GATHEL’, kepada salah seorang pengurus SRPB.
Sungguh tidak menyangka, staf BPBD tingkat Provinsi, bicaranya sangat vulgar. Padahal
pimpinannya tidak begitu.
Sementara,
Dian Harmuningsih, Koordinator SRPB, dalam postingannya mengatakan bahwa, di
SRPB, semua sejajar untuk saling belajar, semua equal membangun kepedulian,
semua mengusung egalitarian, bersama dalam keberagaman, dan semua diharapkan
jadi tukang jahit, bukan tukang pukul, baik lewat pembicaraan, maupun lewat
tulisan. Apalagi suka fitnah. Tidak ada itu. Dan orang yang begituan pasti akan
minggir sendiri.
Sungguh,
bencana Banyuwangi pasca lebaran di tahun politik ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa DR
sebagai gagasan inovatif untuk membantu Posko/BPBD, ternyata tidak mudah
diwujudkan karena belum didukung oleh perka/perundang-undangan. mungkin, secara formal juga belum ada sosialisasi dari BNPB ke BPBD.
Yang lebih
penting lagi perlu kiranya ada acara duduk bersama antar berbagai elemen, baik pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, untuk mensosialisasikan
(membahas) konsep DR agar bisa dipahami dan ditindak lanjuti dalam sebuah aksi,
sehingga gagasan yang dilontarkan saat kongres SRPB di Kota Malang itu tidak
menimbulkan polemik yang penuh sakwa sangka yang terkesan “rebutan panggung”.
semoga nanti, akan ada lagi pelajaran yang berarti saat penanganan pasca bencana banjir bandang di Kota Gandrung, Banyuwangi. tentu akan menarik untuk dicermati. khususnya saat dilakukan audit barang bantuan dari masyarakat yang masih tersisa menumpuk di posko, itu akan diapakan, dikemanakan dan bagaimana pengelolaannya, agar tidak dimakan tikus got. Salam tangguh. [eBas]
semoga nanti, akan ada lagi pelajaran yang berarti saat penanganan pasca bencana banjir bandang di Kota Gandrung, Banyuwangi. tentu akan menarik untuk dicermati. khususnya saat dilakukan audit barang bantuan dari masyarakat yang masih tersisa menumpuk di posko, itu akan diapakan, dikemanakan dan bagaimana pengelolaannya, agar tidak dimakan tikus got. Salam tangguh. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar