Kamis, 05 Juli 2018

DESK RELAWAN BANYUWANGI, SEBUAH TRAGEDI


Ada Tanya dari Pak Pejabat, mengapa saat bencana Pacitan dan Sumenep, SRPB tidak turun dengan desk relawannya?. Ya, secara kelembagaan memang tidak turun, namun anggota (organisasi mitra) sudah turun atas nama organisasi masing-masing dan melaporkan perkembangan kejadian bencana setiap saat lewat grup WhatsApp.

Selain itu, perlu diketahui bahwa SRPB sampai detik ini belum mempunyai dana siap pakai untuk menerjunkan anggotanya saat terjadi bencana. Tidak seperti organisasi/lembaga lain yang punya DSP on call setiap saat. Sehingga memudahkan untuk tampil beraksi, berbakti untuk negeri. Berkarya memabntu sesama.

Kemudian, saat bencana Banyuwangi, SRPB bisa berperan itu karena di sana ada mitra SRPB yang bernama Me-dan (Medik dan Aksi Kemanusiaan), yang berdomisili di Banyuwangi dan bersedia menjadi wakil SRPB untuk membuka desk relawan sesuai konsep yang digagas BNPB (Pak Papang, waktu itu). Tentu dengan segala keterbatasannya dalam menterjemahkan desk relawan.

Sayangnya, ketika SRPB mencoba menerapkan konsep desk relawan, oleh Pak Pejabat, langsung dituduh sebagai upaya menciptakan ‘matahari kembar’. Lho, kok bisa ya, ada apa dengan Pak Pejabat, atau Pak Pejabat mendapat masukan apa tentang SRPB dan desk relawan ?. disinilah kiranya perlu ada komunikasi yang harmonis untuk membuang rasa curiga yang tiada guna.

Lha, kira-kira apa yang dimaksud dengan matahari kembar itu?. Ingat lho, SRPB itu tidak punya kuasa, apalagi dana untuk bermanuver di berbagai medan bencana, beda dengan lembaganya Pak Pejabat, juga lembaga lain yang sudah siap segalanya.

Jika yang dimasalahkan Pak Pejabat itu, karena SRPB menggunakan istilah posko. Nyatanya, organisasi lain, seperti Ansor/Banser, HMI/KAHMI dan banyak lagi lainnya, juga menggunakan istilah posko, tapi oleh Pak Pejabat dibiarkan saja. tidak dicap sebagai matahari kembar. lho kenapa bisa begitu?. Dimana keadilan itu?.

Sebagai Pejabat, jelas ini pernyataan yang kurang bijak. Grusa-grusu mengeluarkan pernyataan di medsos yang bisa dibaca oleh siapa saja dimana saja dan dimaknai apa saja sesuai kepentingan yang melatarinya. Jelas pernyataan Pak Pejabat ini bisa blunder ke diri Pak Pejabat. Bisa menurunkan kredibilitasnya sebagai Pejabat yang melayani public di bidang kebencanaan.

Sementara, dari postingan yang muncul, ternyata dalam kegiatan tanggap darurat Banyuwangi itu juga timbul friksi antar relawan dan pejabat, akibat ketidak mengertian dan miskomunikasi. Hal ini bisa diartikan bahwa konsep manajemen posko, manajemen posko tanggap bencana, dan manajemen penanggulangan bencana, belum banyak dipahami oleh berbagai pihak. Sehingga perlu ada agenda duduk bareng membahasnya untuk menghindari kesalah pahaman.

Mungkin, bisa disimpulkan, bahwa konsep desk relawan itu belum waktunya untuk diterapkan saat tanggap darurat. Karena masih sebatas wacana yang perlu proses untuk dibicarakan bersama antar pejabat, antar bidang dan antar komunitas agar terbangun kesepahaman tentang desk relawan.Termasuk, mungkin menertibkan penggunan istilah posko, agar tidak memunculkan istilah matahari kembar. Jika memungkinkan perlu kiranya mendorong BNPB mengeluarkan Perka baru tentang Desk Relawan.

Sungguh, bencana Banyuwangi banyak sekali memberi pelajaran kepada kawan-kawan SRPB, baik yang berkesempatan terjun langsung di lokasi, yang hanya beberapa hari, maupun yang mengikuti perkembangan melalui berbagai grup whatsApp. Harapannya, bisa menjadi bahan evaluasi bagaimana enaknya langkah selanjutnya, agar tidak disalahkan. Wallahu a’lam bishowab. [eBas-30/6]

1 komentar:

  1. Hasil ngobrol semalam di Joka ttg desk relawan, posko utama dan komandan sbg manajer




    *SEKILAS TENTANG POS KOMANDO*

    Ada yang mengartikan Posko utama Penanggulangan Bencana itu, merupakan tempat pengendalian kegiatan yang dilaksanakan oleh para pegiat kebencanaan, yang meliputi kegiatan merencanakan, koordinasi, pendataan, distribusi logistik dan pusat informasi serta pemantauan aktifitas penanggulangan bencana di lapangan.

    Disamping Posko Utama, ada pula posko bantuan (katanya yang benar pos bantuan/tenda bantuan, karena, katanya posko itu hanya satu yaitu posko utama). Tenda ini menjadi tempat berkumpulnya dan menjadi wadah komunikasi antar lembaga terkait (bisa SKPD, Lembaga donor, Dunia Usaha, atau BNPB dan kementerian lain yang terkait), yang sewaktu-waktu memberi bantuan kepada posko utama, jika diminta. Biasanya secara nonformal memberi saran sambal ngopi, sehingga pelaksanaan operasi selanjutnya bisa lebih berarti.

    Kemudian, ada juga Posko relawan, lebih tepatnya disebut tenda relawan. Yaitu suatu tenda khusus yang dijadikan sebagai pusat koordinasi serta berkomunikasi tukar informasi bagi para relawan dalam rangka proses membantu pemerintah menanggulangi bencana dengan jangka waktu tertentu. Idealnya, di posko relawan itu tersedia data relawan yang terlibat serta apa saja yang telah dilakukan. Semuanya tercatat dan didokumentasikan sebagai bahan laporan ke Posko Induk Penanggulangan Bencana.

    Konon, tugas dari pos komando itu, disamping ngurusi manajemen kebencanaan, juga berupaya membuka akses komunikasi dan Informasi Kepada Instansi Lintas Sektor sebagai upaya mempercepat penanganan bencana, sehingga saat pasca bencana, masyarakat yang menjadi korban bencana bisa segera cepat pulih kembali menata hidupnya.

    Biasanya yang bikin repot dan perlu penanganana yang cepat dan cermat itu adalah, saat mengelola aneka bantuan yang masuk dan harus segera didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan pengungsi. Termasuk membuka akses jalan penghubung untuk mempercepat mobilisasi.

    Disinilah peran relawan yang sudah di data di tenda relawan itu bisa dimanfaatkan untuk membantu menanganinya. Apalagi, dengan keluasan jejaring kemitraannya, relawan bisa minta bantuan sarana prasarana kepada relasinya diberbagai daerah. Mengingat karakter setiap relawan dan organisasi relawan yang berbeda (dan sering mengedepankan arogansi pribadi), maka diperlukan seorang komandan yang mempunyai leadership yang tangguh dalam memberi komando.

    Artinya, dalam aksi kemanusiaan menangani bencana, komando hendaknya dimaknai sebagai konsensus (kesepakatan) bersama, bukan komando dalam praktek sebenarnya di dunia militer. Apalagi relawan sipil yang sok gaya militer. Inilah biang friksi dalam rapat-rapat di pos komando.

    Dalam sebuah diskusi di Joka, muncul istilah ‘emergency manager are much more effective when they emphasize coordination and communication instead of command and control’. Hal ini mengingat, dalam situasi bencana yang serba darurat dan perubahan yang begitu cepat, baik itu mobilitas relawan, maupun perkembangan situasi dan jumlah korban, maka komandan pos komando harus cepat mengambil keputusan dengan mengedepankan konsep decentralized, flexible, problem solving approach.

    Disisi lain, komandan juga harus bisa merangkul semua elemen yang terlibat dalam operasi tanggap bencana. Ini penting agar keberadaan pos komando menjadi tempat yang nyaman bagi semua komponen masyarakat yang ingin berperan mengabdi untuk kemanusiaan, bukan saling menjatuhkan dengan memutar balikkan keterangan. Salam tangguh. [eBas/ 28/6, malem Jum’ad Kliwon]

    BalasHapus