Beberapa waktu yang lalu, Amien Widodo dalam tulisannya di
Koran mengatakan bahwa, kondisi tanah di Surabaya utara dan sepanjang pantai
Kenjeran itu sangat jelek. Rawan terjadi likuifaksi. Menurut Wikipedia, likuifaksi
tanah atau pencairan tanah (bahasa Inggris: soil
liquefaction) adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh
atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan,
misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain
secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan.
Menurut Dwikorita, mantan rector UGM Jogja, fenomena likuifaksi
ini biasanya terjadi saat gempa bumi terjadi yaitu pada daerah-daerah atau
zona-zona dengan tanah yang mengandung air. Misalnya yang sering terjadi itu di
dekat pantai atau di daerah gempa, ada lapisan yang mengandung air misalnya
tanah pasir.
Sementara dewan penasehat Ikatan Ahli Geologi Indonesia
Rovicky Dwi Putrohari, mengatakan bahwa Likuifaksi terjadi karena ada getaran
gempa yang memicu terjadinya fraksi (butiran) kasar yang terkumpul di bawah dan
butiran halus serta air akan keluar.
"Likuifaksi ini kalau diibaratkan seperti kita sedang
mengetuk-ngetuk toples untuk memasukkan suatu benda supaya ada banyak yang
masuk ke dalamnya. Ini menyebabkan cairan atau material halus berada di
atas," imbuhnya.
Sungguh, peristiwa likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah yang
dipicu oleh gempa itu sangat mengerikan. Betapa tidak. Satu kawasan porak
poranda dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Pemerintah pun memutuskan daerah
tersebut, yang telah menjadi kunuran massal ke depan akan dijadikan hutan taman
kota, disana akan didirikan monument bencana, dan tidak boleh dijadikan tempat
hunian (dilarang mendirikan rumah). Ya, daerah yang baru kena likuifaksi akan
memerlukan waktu lama untuk mengeras kembali.
Akankah Likuifaksi akan ‘menyapa’ warga yang berdomisili di
wilayah Surabaya, yang kata Amien tanahnya jelek?. Jawabnya tidak tahu, karena
memang belum ada penelitian. Yang jelas likuifaksi terjadi pada tanah yang
memiliki kondisi tidak padat atau merupakan tanah gembur
Salah satu upaya mencegah bahaya Likuifaksi adalah melakukan
rekayasa untuk merubah tanah yang gembur menjadi tanah yang padat, yakni ‘menginjeksi’
tanah dengan semen, namun biayanya mahal. Disamping itu, pondasi bangunan harus
dalam sampai menembus lapisan tanah keras dan juga memiliki struktur bangunan
yang kuat. Lagi lagi semua itu memerlukan biaya yang tidak murah.
Mungkinkah menggalahkan penghijauan di daerah yang tanahnya
jelek bisa mengurangi bahaya likuifaksi?. Mungkinkah menghijaukan pinggir pantai
dengan program mangrovisasi bisa mengurangi bahaya likuifaksi?.
Yang jelas menggalakkan penghijauan di bibir pantai timur Surabaya
(pamurbaya) dengan berbagai tanaman keras dan bermanfaat. Seperti pohon mangga,
nangka, mahoni, kedondong, beringin, randu, dan lainnya itu, tentunya akan
membuat tanah menjadi subur tidak kerontang, suasana rindang menjadikan
pemandangan yang menyegarkan mata sekaligus menjadi habitat satwa liar yang
nyaman, sebagai upaya pelestarian alam.
Mungkin itulah yang bisa dilakukan oleh warga yang
berdomisili di pantai Surabaya agar terhindar dari bahaya likuifaksi. Tentunya terlepas
dari takdir Illahi. Jika nanti memang harus terjadi likuifaksi di daerah pantai
timur Surabaya dengan menelan korban ribuan disertai kehancuran yang dahsyat. Maka,
akan tercatat dalam sejarah kebencanaan bahwa Surabaya ternyata menyimpan
potensi yang benar-benar dahsyat.
Paling tidak kawasan pantai Surabaya yang sudah luluh
lantak itu akan menjadi pusat perhatian para peneliti kegempaan, para peneliti
kebencanaan. Sekaligus menyadarkan manusia bahwa keseimbangan alam dan
pelestarian alam itu wajib dijaga dan dipelihara agar anak cucu kita tidak
sengsara. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/kamis legi-18/10]
yang jelas upaya gerakan penghijauan (khususnya di tepi pantai) dgn berbagai tanaman keras harus didukung dan pemerintah wajib menjadi pelopor dalam bentuk fasilitasi dengan regulasi
BalasHapus