Tampaknya, bencana alam berupa gempa
bumi sedang rajin menyapa bangsa Indonesia. Gempa yang awal kedatangannya hanya
berupa goyangan-goyangan kecil yang mengagetkan, berakhir dengan guncangan
besar yang mematikan dan mendatangkan kerugian yang tidak sedikit di berbagai
daerah di Indonesia.
Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat
porak poranda dihajar gempa. Gedung, rumah dan infrastruktur lainnya hancur,
korban nyawa pun berjatuhan. Korban bencana pun menderita di pengungsian. Belum
reda penanganan korban bencana gempa Lombok, Kota Palu, Sulawesi Tengah disapa
gempa, tsunami, dan likuifaksi. Korban harta benda dan nyawa pun tidak
terhingga. Kemudian disusul gempa-gempa kecil di berbagai daerah yang
kerusakannya tidak banyak, namun perlu diwaspadai.
Ya, konon, Indonesia terletak
diantara tiga lempengan yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Samudera Indo-Australia
dan Lempeng Samudera Pasifik. Secara umum gempa adalah pergerakan kerak bumi
yang diakibatkan adanya tekanan dari dalam inti bumi.
Berdasarkan lokasinya, gempa dibagi
menjadi dua, yaitu darat dan laut. Gempa di darat terjadi akibat adanya patahan
atau lipatan di darat. Gempa ini tidak menyebabkan tsunami, tetapi mampu
menghancurkan gedung, bahkan membuat kebakaran pada kota. Sedangkan gempa di
laut terjadi akibat adanya patahan atau lipatan di dasar laut yang memiliki
potensi tsunami.
Kata Amien Widodo, dosen ITS,
Surabaya, gempa merupakan salah satu
fenomena alam yang tidak dapat diprediksi
dan tidak bisa dihindari serta tidak bisa dijinakkan sehingga akibat
yang ditimbulkan bisa sangat mengerikan.
Gempa Palu yang menyebabkan sekitar
lima ribu mayat tidak diketemukan itu pun sudah disusul dengan gempa Situbondo
yang mengakibatkan beberapa daerah Kabupaten/Kota merasakan giyangannya. Akibatnya,
beberapa bangunan roboh dan memakan korban jiwa. Karena terlambat menyelamatkan
diri.
Melihat semakin seringnya bencana
(gempa) mengusik kehidupan masyarakat, termasuk kabar tentang adanya sesar waru dan sesar surabaya yang berpotensi menimbulkan gempa besar di seantero Surabaya. Maka, sudah saatnyalah pemerintah dan para
pegiat kemanusiaan tergerak kepeduliannya untuk melakukan penyuluhan tentang
kebencanaan kepada masyarakat, khususnya yang berdomisili di daerah rawan
bencana dengan melakukan kegiatan mitigasi bencana.
Pengertian mitigasi menurut UU 24/
2007 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya,
adalah dengan membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan
gempa, pembangunan jembatan, tanggul dan jalan, penanaman hutan bakau (untuk
mereduksi dampak tsunami), reboisasi hutan, serta memberikan penyuluhan dan
peningkatan kesadaran masyarakat yang berdomisili di wilayah rawan bencana (gempa)
dengan berbagai pelatihan.
Kegiatan mitigasi ini dilakukan dalam
rangka membangun Kesiapsiagaan seluruh komponen bangsa (masyarakat dan
pemerintah) dalam merespons kejadian saat bencana. Tujuannya adalah untuk
meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana pelayanan umum (publik), dan
infrastruktur lainnya.
Keberhasilan kegiatan mitigasi ini tidak
terlepas dari keterlibatan tokoh masyarakat setempat. Oleh karena itu mereka
harus dilibatkan. Sehingga komunitas setempat (sekolah, PKK, dll) mau “mendengarkan” materi yang tersaji dalam
kegiatan mitigasi. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Hendro
Wardhono, Ketua PSBL UNITOMO, yaitu memulai dari apa yang diketahui dan dialami
warga, memulai dengan apa yang telah dimiliki warga, dan memulai kegiatan
sesuai dengan kebutuhan warga.
Termasuk perlunya sosialisasi Tas
Siaga. Yaitu tas darurat yang mudah dibawa lari saat ada bencana (gempa). Tas
Siaga berisi surat surat penting (dokumen), makanan ringan, air minum, alat
komunikasi, uang, sarung, ponco dan pakaian secukupnya, paling tidak untuk
bertahan hidup selama seminggu sambil menunggu pertolongan datang.
Konon, banyak yang bilang, bukan
gempa yang membunuh banyak warga, tetapi bangunan robohlah (termasuk pohon)
yang seringkali menimpa warga yang salah memilih tempat berlindung karena
ketidak tahuannya. Untuk itulah sudah waktunya para pekerja kemanusiaan memberi
tahu warga melalui kegiatan sosialisasi/penyuluhan masalah bencana (gempa). Alangkah
baiknya jika terjadi sinergi antara pemerintah dengan para pekerja kemanusiaan
untuk bersama-sama melakukannya secara ‘keroyokan’
saling melengkapi. Salam Tangguh, semoga menginspirasi.[eB/sabtu legi 13/10].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar