Jumat, 12 Oktober 2018

MITIGASI GEMPA ITU PERLU SINERGI


Tampaknya, bencana alam berupa gempa bumi sedang rajin menyapa bangsa Indonesia. Gempa yang awal kedatangannya hanya berupa goyangan-goyangan kecil yang mengagetkan, berakhir dengan guncangan besar yang mematikan dan mendatangkan kerugian yang tidak sedikit di berbagai daerah di Indonesia.

Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat porak poranda dihajar gempa. Gedung, rumah dan infrastruktur lainnya hancur, korban nyawa pun berjatuhan. Korban bencana pun menderita di pengungsian. Belum reda penanganan korban bencana gempa Lombok, Kota Palu, Sulawesi Tengah disapa gempa, tsunami, dan likuifaksi. Korban harta benda dan nyawa pun tidak terhingga. Kemudian disusul gempa-gempa kecil di berbagai daerah yang kerusakannya tidak banyak, namun perlu diwaspadai.

Ya, konon, Indonesia terletak diantara tiga lempengan yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik. Secara umum gempa adalah pergerakan kerak bumi yang diakibatkan adanya tekanan dari dalam inti bumi.

Berdasarkan lokasinya, gempa dibagi menjadi dua, yaitu darat dan laut. Gempa di darat terjadi akibat adanya patahan atau lipatan di darat. Gempa ini tidak menyebabkan tsunami, tetapi mampu menghancurkan gedung, bahkan membuat kebakaran pada kota. Sedangkan gempa di laut terjadi akibat adanya patahan atau lipatan di dasar laut yang memiliki potensi tsunami.

Kata Amien Widodo, dosen ITS, Surabaya, gempa  merupakan salah satu fenomena alam yang tidak dapat diprediksi  dan tidak bisa dihindari serta tidak bisa dijinakkan sehingga akibat yang ditimbulkan bisa sangat mengerikan.

Gempa Palu yang menyebabkan sekitar lima ribu mayat tidak diketemukan itu pun sudah disusul dengan gempa Situbondo yang mengakibatkan beberapa daerah Kabupaten/Kota merasakan giyangannya. Akibatnya, beberapa bangunan roboh dan memakan korban jiwa. Karena terlambat menyelamatkan diri.

Melihat semakin seringnya bencana (gempa) mengusik kehidupan masyarakat, termasuk kabar tentang adanya sesar waru dan sesar surabaya yang berpotensi menimbulkan gempa besar di seantero Surabaya. Maka, sudah saatnyalah pemerintah dan para pegiat kemanusiaan tergerak kepeduliannya untuk melakukan penyuluhan tentang kebencanaan kepada masyarakat, khususnya yang berdomisili di daerah rawan bencana dengan melakukan kegiatan mitigasi bencana.

Pengertian mitigasi menurut UU 24/ 2007 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Contoh kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya, adalah dengan membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, pembangunan jembatan, tanggul dan jalan, penanaman hutan bakau (untuk mereduksi dampak tsunami), reboisasi hutan, serta memberikan penyuluhan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang berdomisili di wilayah rawan bencana (gempa) dengan berbagai pelatihan.

Kegiatan mitigasi ini dilakukan dalam rangka membangun Kesiapsiagaan seluruh komponen bangsa (masyarakat dan pemerintah) dalam merespons kejadian saat bencana. Tujuannya adalah untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana pelayanan umum (publik), dan infrastruktur lainnya.

Keberhasilan kegiatan mitigasi ini tidak terlepas dari keterlibatan tokoh masyarakat setempat. Oleh karena itu mereka harus dilibatkan. Sehingga komunitas setempat (sekolah, PKK, dll) mau “mendengarkan” materi yang tersaji dalam kegiatan mitigasi. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Hendro Wardhono, Ketua PSBL UNITOMO, yaitu memulai dari apa yang diketahui dan dialami warga, memulai dengan apa yang telah dimiliki warga, dan memulai kegiatan sesuai dengan kebutuhan warga.

Termasuk perlunya sosialisasi Tas Siaga. Yaitu tas darurat yang mudah dibawa lari saat ada bencana (gempa). Tas Siaga berisi surat surat penting (dokumen), makanan ringan, air minum, alat komunikasi, uang, sarung, ponco dan pakaian secukupnya, paling tidak untuk bertahan hidup selama seminggu sambil menunggu pertolongan datang.

Konon, banyak yang bilang, bukan gempa yang membunuh banyak warga, tetapi bangunan robohlah (termasuk pohon) yang seringkali menimpa warga yang salah memilih tempat berlindung karena ketidak tahuannya. Untuk itulah sudah waktunya para pekerja kemanusiaan memberi tahu warga melalui kegiatan sosialisasi/penyuluhan masalah bencana (gempa). Alangkah baiknya jika terjadi sinergi antara pemerintah dengan para pekerja kemanusiaan untuk bersama-sama melakukannya secara ‘keroyokan’ saling melengkapi. Salam Tangguh, semoga menginspirasi.[eB/sabtu legi 13/10].  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar