Perlakuan
diskriminatif terhdap penyandang disabilitas masih sering terjadi meskipun UU nomor
8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah ada. Begitu juga kelompok
disabilitas sangat berisiko menjadi korban saat ada bencana, karena bisa
memunculkan disabilitas baru.
Ini
terjadi karena khalayak ramai masih jarang berinteraksi dengan mereka dan tidak
tahu tentang bagaimana cara memperlakukannya. Disamping itu, masih banyaknya
fasilitas umum yang dibangun belum ‘pro
disabilitas’. Termasuk dalam penanggulangan bencana, sering kali kelompok
disabilitas masih diperlakukan sebagai korban yang tidak berdaya dan harus
ditolong. Padahal banyak dari mereka yang mampu untuk berbuat sesuatu jika
mereka diberi kesempatan dan dilibatkan.
Untuk itu
perlu ada upaya peningkatan kapasitas dari kelompok disabilitas agar berdaya. Disisi
lain, relawan juga perlu dilatih agar lebih peka terhadap disabilitas. Dari sinilah
perlunya semua pihak menyadari bahwa sudah ada ‘payung hukum’ yang bisa mengatur BNPB dan BPBD membuat program ‘pembinaan dan fasilitasi’ kepada kelompok
disabilitas agar mereka bisa berpartisipasi dalam PRB dan PB bersama relawan.
Dalam undang undangnya dikatakan bahwa Disabilitas
adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Dalam Pasal
20 dikatakan, Hak Pelindungan dari bencana untuk Penyandang Disabilitas
meliputi hak: a. mendapatkan informasi yang mudah diakses akan adanya bencana;
b. mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana; c. mendapatkan
prioritas dalam proses penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan bencana; d.
mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan evakuasi yang mudah diakses;
dan e. mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang mudah diakses di
lokasi pengungsian.
Masalah inilah
yang mencuat dalam kegiatan Training of Fasilitator PRB Inklusi tahun 2018, di
Hotel Santika Gubeng, Surabaya. Tujuannya diantaranya adalah menjadikan kelompok
disabilitas sebagai aktor pengurangan risiko bencana yang mumpuni.
Hal ini
sesuai konsep Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan keberadaan Penyandang
Disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga
mampu tumbuh dan berkembang menjadi individu atau kelompok Penyandang
Disabilitas yang tangguh dan mandiri.
Seiring dengan
hal di atas, Dalam Perka nomor 14 tagun 2014 memuat Prinsip-prinsip dasar
penanganan, perlindungan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam
penanggulangan bencana antara lain: Penghormatan atas martabat manusia dan
kebebasan individu untuk menentukan pilihan demi kemandirian pribadi.
Kemudian,
Nondiskriminasi, Partisipasi aktif dalam masyarakat, Penghormatan atas
perbedaan sebagai bagian dari keragaman dan kemanusiaan, Kesamaan kesempatan
dan iklusi pada semua bidang, Kemudahan akses, Kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, Penghargaan atas kapasitas penyandang disabilitas anak untuk
bertumbuh-kembang dan hak-hak mereka atas perlindungan identitas.
Sementara
itu, Pasal 109 UU nomor 8 tahun 2016, mengatakan, (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin penanganan Penyandang
Disabilitas pada tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. (2)
Penanganan Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan Akomodasi yang Layak dan Aksesibilitas untuk Penyandang
Disabilitas. (3) Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi dalam
penanggulangan bencana.
Hal ini
sejalan dengan tujuan penanggulangan bencana, yaitu Memberi perlindungan kepada
masyarakat, Menyelenggarakan Penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh, Menghargai budaya local, membangun kemitraan dan
partisipasi publik dan dunia usaha, Membangus semangat gotong royong,
kesetiakawanan dan kedermawanan, Menciptakan perdamaian dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kegiatan yang
dimotori oleh USAID melalui ASB dalam program Technical Assistance and Training
Teams, berupaya meningkatkan kapasitas kelompok disabilitas dalam PB dan PRB, sesuai
Lima Mandat Inklusi, yaitu tentang data terpilah, aksesibilitas, partisipasi,
peningkatan kapasitas, dan prioritas perlindungan.
Semua ini
perlu dilakukan secara intens agar mereka bisa berperan membantu memberikan
penyuluhan kepada kelompok disabilitas lainnya sehingga memiliki kesiapsiagaan
menghadapi bencana, sesuai konsep semua siap, semua terlibat dan semua selamat.
Kini,
semua peserta training sudah kembali ke daerah masing-masing. Bergelut kembali
dengan rutinitas kehidupan. Harapannya, melalui sarana grup WhatsApp yang
dibuat bisa menjadi media komunikasi. Siapa tahu dari situ tercetus membuat
rencana tindak lanjut dari kegiatan ini. Entah itu difasilitasi kembali oleh
USAID atau akan dianggarkan lewat APBD, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota. Wallahu
a’lam bishowab. Salam Tangguh. [eBas, rabu pahing 24/10]
Mantapkan dan teruskan program PRB Inklusif bertahap dan bervariasi sehingga pengetahuan PRB lebih inovatif dan tepat sasaran dengan masyarakat. Salam Tangguh...!!!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus