“Perlu kerja sama antar BPBD, SKPD, LSM,
masyarakat, dunia usaha dan relawan dalam rangka mempercepat pengurangan indek
risiko bencana di jawa timur,” Kata Sudarmawan, Kepala Pelaksana badan penanggulangan
bencana daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur, dalam arahan penutupan Rapat
Fasilitasi Peningkatan Kapasitas Aparatur dalam Pengurangan Risiko Bencana di
daerah tahun 2016.
Apa yang disampaikan oleh mantan sekretaris
daerah Kabupaten Bangkalan ini sesuai dengan kondisi wilayah jawa timur yang
memiliki beberapa potensi bencana yang harus diwaspadai agar tidak berdampak
besar. Seperti diketahui di Jawa timur memilik Gunung Berapi masih aktif : Gunung
Bromo, Semeru, Welirang, Kelud, Raung, Ijen, Arjuno & Gunung Lamongan).
Beberapa sungai pun juga mengalir melintasi beberapa daerah. Seperti Satuan Wilayah Sungai (SWS) Bengawan Solo,
Brantas, Welang – Rejoso, Pakelan –Sampean, Baru - Bajul mati , Bondoyudo –
Bedadung dan SWS Madura.
Keberadaan sungai dan gunung inilah yang
menyimpan potensi bencana besar jika tidak diantisipasi dengan melakukan
keiatan pencegahan (mitigasi) yang berkesinambungan dengan melibatkan berbagai
elemen masyarakat. Banjir, longsor, puting beliung, gempa, gelombang pasang dan
rob juga sering melanda beberapa daerah di Jawa timur.
Pertanyaannya kemudian, apa bentuk kerjasama
yang digagas Kalaksa BPBD Jawa timur itu?. Apakah melalui diklat, rapat
koordinasi atau acara pertemuan rutin yang dikemas dalam bentuk sarasehan,
misalnya?. Kiranya, semua itu perlu dibahas bersama. Karena, sesungguhnyalah,
kerjasama yang baik dengan berbagai pihak akan memudahkan dalam pengelolaan dan
penanggulangan bencana. Sehingga jumlah korban maupun kerugian yang ditimbulkannya
bisa dikurangi.
Beberapa kegiatan yang
bisa dikerjasamakan dengan berbagai pihak diantaranya, Gerakan Pengurangan
Risiko Bencana (Bersih-Bersih Sungai), Penerapan Mitigasi Struktural Partisipatif yang melibatkan relawan dan
dunia usaha, Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana (Sosialisasi
Sekolah/Madrasah dari Bencana), Gladi Posko dan piket pusdalops yang melibatkan
relawan, Rencana Aksi Terpadu
Penanganan Bencana Kekeringan, dan temu relawan untuk meningkatkan kapasitasnya.
Sementara melalui
kewenangannya, BPBD mengembangkan Desa
Tangguh Bencana, yaitu desa/kelurahan yang memiliki
kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana,
serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan.
Adapun tujuan desa tangguh
adalah: Melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana; Meningkatkan
kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan
kearifan lokal; Meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya; Masyarakat akan tanggap, tangguh dari ancaman bencana sehingga
korban bencana yang berupa material maupun jiwa dapat diminimalisir. Dengan kata
lain, Penguatan sumber daya dari berbagai elemen harus terus menerus
ditingkatkan untuk mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana (mampu
mengantisipasi, menghindar, harmoni dengan bencana dan memiliki daya lenting).
Sekali lagi, peran
BPBD membangun sinergitas antar berbagai elemen untuk bersatu padu dalam
penanggulangan bencana, sangat ditunggu realisasinya. BPBD harus mampu memprogramkan
saat penyusunan anggaran tahunannya, Sehingga ke depan BPBD benar-benar menjadi
ujung tombak dalam penanganan bencana (the
first responder for disaster), memberi komando dan memobilisasi berbagai
elemen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) untuk bersama menangani
operasi kemanusiaan membantu sesama yang menjadi korban bencana, seperti gambar segitiga biru yang menjadi logo BNPB dan BPBD. Wallahu a’lam
bishowab. [ebas/08123161763]