Selasa, 29 Mei 2018

RELAWAN JADI USAHAWAN, SEBUAH KENISCAYAAN


Kita semua tahu, dalam UU nomor 24 tahun 2007, dikatakan bahwa, relawan penanggulangan bencana adalah, seseorang atau sekelompok orang, yang memiliki kemampuan dan kepedulian dalam penanggulangan bencana yang bekerja secara ikhlas untuk kegiatan penanggulangan bencana.

Kita pun paham, relawan yang gagah berkiprah diberbagai lokasi bencana, pada akhirnya harus menyerah karena usia yang semakin renta. Ya, raga yang semakin menua itu jelas mengalami penurunan daya tahan. Penyakit mudah datang, tentu mudah capek, bahkan sering masuk angin. Semua itu merupakan sesuatu yang wajar menyertai usia tua.

Kemudian, hal yang tidak bisa dipungkiri dari bertambahnya usia adalah, setiap orang pasti mempunyai kewajiban terhadap keluarga dan kepada masyarakat sekelilingnya dimana dia tinggal. Kewajiban kepada keluarga diantaranya adalah, menafkahi, membiayai keluarga agar bisa hidup ‘bahagia sejahtera’ untuk masa depannya.

Sementara, kewajiban kepada lingkungan masyarakatnya, bisa berupa aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Seperti, jadi pengurus kampung, ikut yasinan, berperan aktif dalam kerja bakti menjaga lingkungan, dan lainnya.

Kewajiban sebagai makhluk sosial itulah yang mengharuskan seorang relawan pandai mengatur waktunya. Sekaligus tahu dan sadar kapan harus ‘mundur’ dari kegiatan-kegiatan tanggap bencana, beralih aktif pada fase pra bencana. Seperti melakukan edukasi, maupun penyuluhan tentang pengurangan risiko bencana, dan upaya penanggulangan bencana kepada masyarakat.

Artinya, jangan sampai dimasa tuanya relawan menjadi ‘korban’ yang harus dievakuasi oleh relawan lainnya, karena ketidaksiapannya menghadapi masa tuanya. Terlena oleh kegiatan tanggap darurat bencana. Sibuk mengurusi dan membantu orang lain, lupa akan nasibnya sendiri.

Bisa-bisa nanti malah menjadi bahan tertawaan. Jelas ini akan mengganggu operasi dan membebani temannya, termasuk membebani dapur umum. Sungguh jangan sampai itu terjadi menimpa kita. Yang terbaik adalah tidak usah memaksakan diri ‘bermain’ di fase tanggap darurat.

Apa yang harus dilakukan ?. paling tidak, melalui komunitas, wacana di atas harus mulai disinggung sambil menikmati hitamnya kopi. Agar, masa depan relawan tidak sepahit dan sehitam kopi.

Apa salahnya jika SRPB JATIM sebagai wadah silaturahmi relawan dari berbagai organisasi, mulai membuat kegiatan-kegiatan yang ‘beraroma’ entrepreneur, yaitu  orang yang selalu membawa perubahan, inovasi, ide-ide baru dan aturan baru.

Menurut Wikipedia, entrepreneur adalah, orang yang melakukan aktivitas wirausaha yang dicirikan dengan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun manajemen operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.

Sementara divinisi lain mengatakan bahwa entrepreneur adalah orang yang  mempunyai dan membawa sumber daya berupa tenaga kerja, material, serta asset yang lainnya pada suatu kombinasi yang mampu melakukan suatu perubahan/ menambahkan nilai yang lebih besar daripada nilai yang sebelumnya.

Ya, tidak ada salahnya jika SRPB JATIM berani memulai bermimpi membuat kelompok usaha bersama, baik usaha online maupun offline, membuat program pemberdayaan masyarakat, mengadakan arisan untuk mitra SRPB JATIM, dan kegiatan lain yang nyata kebermanfaatannya bagi masyarakat.

Tidak ada salahnya jika kegiatan Arisan Ilmu menampilkan materi tentang entrepreneur. Sungguh, potensi dan sumber daya manusia yang ada di SRPB JATIM tersedia, bahkan banyak yang sudah ‘ngelakoni’.

Tinggal bagaimana kita bersepakat membangun komitmen untuk memulai aksi membangun sinergi dalam rangka merintis usaha bersama. Karena sesungguhnyalah relawan itu tidak haram menjadi usahawan yang tangguh. Dengan demikian, relawan dan organisasinya benar-benar bisa mandiri dalam menyelenggarakan program yang bermanfaat. Wallahu a’lam bishowab. Salam Literasi untuk berbagi inspirasi.[eBas/rabu kliwon]  




Minggu, 27 Mei 2018

LUKAS KAMBALI, “KEBERSAMAAN ITU HARUS DIWUJUDKAN”


“Kebersamaan dalam keberagaman itu haruslah diawali dengan membangun suasana akrab diantara komunitas yang berbeda, untuk kemudian ditampakkan dalam interaksi yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat. Ini penting untuk menangkal dan mengantisipasi tumbuhnya paham radikal sebagai awal munculnya gerakan teroris,” Pernyataan di atas diungkapkan oleh DR. Hendro Wardhono, dalam acara Kumpul Bareng Memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2018.

Masih kata direktur PUSPPITA (pusat penelitian dan pelatihan untuk Indonesia tangguh) Surabaya, generasi muda harus dimotivasi ikut terlibat menjaga keutuhan NKRI dari perpecahan yang dihembuskan oleh paham-paham anti Pancasila. Kaum muda pun perlu didorong untuk mengembangkan sikap kebersamaan, saling toleransi membangun kehidupan bermasyarakat yang damai, dijiwai sikap gotong royong.

“Pemuda perlu memiliki akses informasi, daya antisipasi, daya proteksi, daya adaptasi, dan daya lenting. Ini bisa diperoleh melalui kegiatan dialog dan musyawarah yang terstruktur sesuai konsep sapalibatisme,” Ujarnya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh DR. Fauzi Said, dosen Universitas Brawijaya, Malang, bahwa pemuda sebagai agen perubahan haruslah memiliki idealisme dan bersikap dinamis mencermati jamannya.

Kegiatan yang mengambil tema, ”Merajut Bersama Hidup Berbangsa Dalam Kebhinekaan,” berlangsung di Aula Gereja Kristus Raja, Surabaya, jum’at (25/5). Acara ini diinisiasi oleh pengurus paroki, dihadiri oleh berbagai komunitas lintas agama, yang dalam pembukaannya diawali dengan penampilan kesenian. Diantaranya hadrah yang mewakili kesenian dari komunitas muslim, dan tari bali mewakili komunitas hindu.

Pembicara lain, Bante Tedja Pande, mengatakan bahwa kita perlu menciptakan kehidupan bermasyarakat yang damai untuk menghindari kehancuran. Tumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama untuk menciptakan kebersamaan dalam keragaman sebagai upaya menjaga keutuhan NKRI.

“Menurut saya, kehancuran itu disebabkan oleh perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai keyakinan yang dipercayainya. Untuk itulah perlu kiranya kita mempraktekkan ajaran agama ke dalam hidup sehari-hari di masyarakat agar tercipta kedamaian antar umat beragama,” Katanya.

Apa yang dikatakan Bante itu memang mudah diucapkan, namun prakteknya yang sangat sulit dilakukan karena adanya kendala budaya. Namun itu harus dicoba di wujudkan bersama sama dalam sebuah kegiatan lintas komunitas, agar tercipta kesepahaman.

Sejalan dengan itu, Romo Armada dan pendeta Monang, mengatakan akan pentingnya melakukan relasi dengan Tuhan dan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Disini, Romo menekankan akan perlunya menciptakan hubungan yang akrab dengan membongkar sekat-sekat perbedaan yang menghalangi.

Lukas Kambali, sebagai ketua pelaksana berharap,  bahwa pertemuan kali ini hendaknya ada tindak lanjutnya berupa kegiatan bersama lintas agama. Misalnya, diklat kepemimpinan, outbond, bakti sosial, seminar lintas komunitas, membuat usaha ekonomi produktif yang dikelola bersama-sama tanpa membedakan agama, maupun terlibat bersama sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM) untuk melakukan aksi kemanusiaan, membantu sesama tanpa menandang golongan, suku, ras, status sosial dan agama.

“Sungguh indah jika acara kumpul bareng ini bisa menginspirasi kita semua, khususnya generasi lintas agama untuk berbuat bersama merajut kebersamaan dalam kebhinekaan guna menjaga keutuhan NKRI,” Pungkasnya. [eBas]         


TARAWIH DI PERUMAHAN BUMI MARINA EMAS


 Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, puasa ramadhan tahun ini pun, pengurus masjid Al-Ikhlas Bumi Marina Emas, Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya,  menyelenggarakan kegiatan solat tarawih. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang melakukan solat malam pada Ramadhan kerana keimanan dan mengharapkan keredaan dan keampunan Allah semata, maka diampunkan segala dosanya yang lalu.”  Riwayat al-Bukhari dan Muslim.

Hadist di atas menunjukkan besarnya pahala shalat tarawih di sisi Allah, sehingga Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang melakukan shalat tersebut.  Pengampunan tersebut didapat jika shalat tarawih dilakkan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah.

Hadist ini juga menunjukkan bahwa kita manusia sangat butuh kepada Allah, sehingga apa pun yang kita kerjakan kita niatkan dengan tujuan ibadah, karna yang kita harapkan adalah pahala dari Allah bukan yang lainya.

Jika kita telah mengetahui tentang besarnya pahala orang yang  mengerjakan shalat tarawih, sudah sepantasnya kita semakin giat mengerjakanya di Bulan Ramadhan saat  ini dan seterusnya.

Untuk itulah, salat tarawih menjadi salah satu ibadah yang dianjurkan untuk dilaksanakan selama bulan suci Ramadan. Hukum salat tarawih sendiri adalah sunah muakad, dan bisa dilaksanakan secara sendiri di rumah maupun berjamaah di masjid.

Adapun keutamaan salat sunah tarawih mulai malam pertama hingga malam  terakhir mengandung kebaikan-kebaikan, diantaranya diampuni dosanya, dikabulkan doanya, dimantapkan hatinya, dan mencegah dosa. Sungguh semarak sekali solat tarawih di masjid yang dibangun hasil patungan warga perum bumi marina emas.  

Kebiasaan lain saat romadhon yang patut diacungi jempol adalah keikhlasan warganya untuk menyumbangkan takjil untuk buka bersama di masjid secara bergantian. Takjil itu bisa berupa nasi bungkus, gorengan, buah dan minuman segar. Inilah salah satu bentuk gotong royong dan rasa guyub rukun warga perumahan bumi marina emas yang telah terbangun dengan indahnya.

Masjid yang dihari-hari biasa sepi, dibulan ramadhan ini berubah ramai oleh kegiatan pengajian, suara orang baca bertadarus, dan kultum menjelang berbuka puasa. Malamnya masjid dipenuhi jamaah tarawih. Seusai solat tarawih dan witir, beberapa orang ada yang melanjutkan iktikaf dengan memperbanyak berdzikir untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, meminta ridho-NYA.

Materi kultum yang disampaikan oleh para dai (penceramah) yang semuanya belum dicatat oleh kemenag itu, cukup mudah dipahami dan menyejukkan, mampu member pencerahan untuk meningkatkan ketaqwaan. Materinya tidak ada yang saling mengkafirkan dan membi’ahkan antar golongan. Semua mengajak untuk memperbanyak ibadah, dan meningkatkan keimanan.

Solat tarawih pun bisa menjadi sarana saling silaturahmi diantara warga perumahan yang sehari-hari sibuk bergelut dengan pekerjaannya. Sungguh, kesibukan warga yang padat itu menyebabkan sedikitnya waktu untuk bersemuka, ngobrol apa saja. ya, begitulah adanya. Solat tarawih menjadi sarana mempererat pertemanan sesama warga perumahan bumi marina emas.

Hal ini berdampak pada tumbuhnya semangat gotong royong, saling toleransi, dan bekerjasama menjaga ketenteraman, ketertiban dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. [eBas/senin pon]

 








Kamis, 24 Mei 2018

SERTIFIKASI WARUNG KOPI


Di era generasi milenial ini, apa saja yang berhubungan dengan aktivitas publik mulai di sertivikasi, dan harus mengikuti uji kompetensi. Idealnya, kedepan, semua haruslah terakreditasi, dalihnya untuk menjaga kualitas agar bisa kompetitif, bersaing di era globalisasi yang kian tak terbendung. Begitu juga keberadaan warung kopi (warkop) pinggir embong.

Sungguh, perkembangan usaha dagang warkop itu sangat menjanjikan dan segmennya juga masih terbuka lebar. Warkop tidak hanya tumbuh subur di pinggir jalanan yang strategis. Keberadaannya pun merambah sampai di dalam kampong.

Hampir setiap gang, dapat dipastikan ada orang buka warkop. Entah besar, entah kecil, bahkan yang dijual pun ala kadarnya. Disi lain warkop pun kini keberadaannya tidak sekedar memenuhi hasrat makan dan minum belaka, tetapi lebih sebagai tempat nongkrong, janjian dan berbagai aktivitas lain.

Sesuai pangsa pasarnya, warkop pun ada yang diberi nama kedai kopi, café, maupun resto. Ya, beda nama biasanya diikuti pula dengan tampilan dagangan yang dikemas berbeda, termasuk juga harganya.

Untuk meningkatkan kompetensi warkop, baik aspek penampilan penjualnya, pencahayaan dan sirkulasi udara, serta penataan ruang dan dagangannya, agar konsumen merasa nyaman, maka diperlukan program sertifikasi untuk menstandarkan tampilan warkop.

Sertifikasi itu bisa diartikan sebuah proses pembuatan dan pemberian dokumen resmi yang menyatakan bahwa informasi yang ada telah memenuhi standar yang ditetapkan. Warkop yang telah memiliki sertifikat berarti telah mempunyai kualifikasi yang terstandar untuk menawarkan dagangannya.  

Sertifikasi dilakukan dengan mendata semua yang ada di dalam warkop. Data tersebut dapat berupa meja kursi bangku (dingklik), kompor, gelas, mangkok, sendok, garpu. Termasuk jenis dagangan yang sesuai dengan segmen yang dibidik. Seperti kopi, nasi bungkus, dan gorengan. Kelengkapan lain yang tampaknya harus ada adalah tersedianya Jaringan Wifi, Koran, TV, dan Radio Yang tidak kalah pentingnya adalah, apakah warkop.

Semua itu bertujuan agar warkop semakin layak dalam hal pelayanan. Sehingga pelanggan merasa puas dan menjadi pelanggan loyal yang enggan berpaling ke warkop lain. Disampaing itu, juga mendorong terjadinya persaingan sehat antar warkop.

Kriteria warkop yang disertifikasi haruslah kongkret agar pengusaha warkop paham. Harus jelas yang namanya kompeten itu indikatornya seperti apa. Misalnya dari segi rasa, harga dan ragam dagangannya, sehat tidaknya lingkungan warkop, apakah pelayannya berpakaian rapi dan wangi, serta sopan dan ramah atau seenaknya.

Tampaknya, sungguh ribet jika usaha rakyat kecil untuk meningkatkan kehidupan ekonomi keluarga harus disertifikasi dengan memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan. Dimana, untuk memenuhi persyaratan itu butuh anggaran yang tidak sedikit, termasuk anggaran untuk ‘nyangoni’ si tukang sertifikasi.  

Pertanyaannya, mungkinkah warkop yang merupakan usaha rakyat kecil itu disertifikasi dan distandarkan ?. kasihan pemodal kecil yang tampil seadanya itu harus distandarkan penampilan warkopnya. Sungguh, dalam pelaksanaannya nanti, pasti banyak kendala yang ditemukan. Termasuk protes dan sumpah serapah dari rakyat kecil yang hanya bisa ngedumel tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena sibuk memikirkan perut yang lapar. [eBas/jum'at kliwon (25/5)-edisi tulisan ngelantur lupa gak ngopi waktu sahur]                    





Selasa, 22 Mei 2018

PERAN SRPB JATIM DALAM PRA BENCANA


Secara sederhana, sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM) itu merupakan wadah relawan untuk berkumpul, berbagi informasi dan pengalaman tentang program Penanggulangan Bencana, Pengurangan Risiko Bencana, dan Adaptasi Perubahan Iklim, berdasarkan konsep ‘dari kita, oleh kita, dan untuk kita’. Dari situlah diharapkan muncul rasa saling peduli dan berbagi membangun sinergi.

Keberadaan SRPB JATIM pun bisa menjadi media silaturahim antar relawan, saling berkoordinasi untuk membangun kapasitas sesuai klaster yang diminati, dalam rangka mengikuti sertifikasi (uji kompetensi) relawan yang diadakan oleh lembaga sertifikasi profesi penanggulangan bencana (LSP-PB).

Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan menggelar program ‘arisan ilmu nol rupiah’ dengan berbagai materi dan nara sumber yang bersedia berbagi ilmu tanpa sarat tertentu. Ya, SRPB JATIM dalam hal ini memerankan fungsi sebagai katalisator antara relawan yang ‘haus informasi’ dengan orang-orang yang memiliki kemauan serta kemampuan untuk membagikan informasi yang dimiliki.

Artinya, disini SRPB JATIM juga aktif pada fase pra bencana, yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini. Dari semua itu yang paling memungkinkan dilakukan adalah pendidikan dan penyuluhan. Seperti pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; pemahaman tentang kerentanan masyarakat; analisis kemungkinan dampak bencana; pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; pengembangan budaya sadar bencana; identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; penguatan ketahanan sosial masyarakat.
Hal diatas sesuai dengan peran relawan seperti yang termaktub didalam perka nomor 17 tahun 2011, tentang pedoman relawan penanggulangan bencan, disana dikatakan bahwa saat pra bencana, relawan bisa mengambil peran, diantaranya dengan menyelenggaraan pelatihan-pelatihan bersama masyarakat, mengadakan  penyuluhan kepada masyarakat, dan jika memungkinkan, relawan bisa menyediakan informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam rangka pengurangan risiko bencana
Apa yang dilakukan oleh relawan pada fase pra bencana itu tampaknya ada kesesuaian dengan pesan Kerangka Sendai 2015 – 2030, diantaranya menekanan pada manajemen risiko bencana, yaitu mencegah timbulnya risiko baru, mengurangi risiko, perkuat ketahanan. Sementara target Sendai itu diantaranya, menurunkan angka kematian, menurunkan angka korban bencana, mengurangi kerugian ekonomi, mengurangi kerusakan infrastruktur.

Untuk itulah SRPB JATIM ke depan tidak harus bergelut di bidang tanggap darurat saja. Tetapi juga bisa memainkan peran meningkatkan kapasitas relawan melalui bidang edukasi, seperti mengadakan sosialisasi, menyelenggarakan seminar, melakukan diskusi terbatas dimana hasilnya dikirimkan kepihak-pihak yang berkepentingan.

Sungguh, jika SRPB JATIM bisa melakukan, betapa bangganya Sugeng Yanu, sebagai inisiator sekaligus dewan pengarah yang getol mendorong agar SRPB JATIM bisa berbuat lebih sebagai wadah koordinasi dan silaturahmi dalam rangka peningkatan kapasitas relawan. Sehingga keberadaannya tidak sekedar ada dan dilihat sebelah mata oleh mereka yang tidak suka karena ketidak tahuannya. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/rabu pon]
*tulisan terinspirasi saat dialog santai di TV RI Pro 2, senin legi (21/5)
   


     



Sabtu, 12 Mei 2018

MENJAGA HIJAUAN TAMAN HARMONI SURABAYA


Sebentar lagi Surabaya memasuki musim kemarau. Biasanya, seperti tahun-tahun yang lalu, ancaman kebakaran sangat menonjol diberbagai sudut Kota. baik itu lingkungan perumahan, perkampungan, lahan kosong, maupun pabrik. Biasanya kebakaran itu dipicu oleh hal yang sepele, seperti membuang puntung rokok atau membakar sampah seenaknya. Sebuah perilaku yang kurang bertanggungjawab.

Bagaimana dengan taman harmoni yang berada di timur kota Surabaya dan pernah dikunjungi Megawati ?. Taman yang menempati areal bekas tempat pembuangan sampah itu sangat rawan kekeringan, karena air tanahnya tertutup sampah sehingga diperlukan upaya penyiraman yang serius agar tanaman tidak kurus dan pupus tak terurus.

Begitu juga saat kemarau menyapa kota, biasanya tumbuhan yang ada di jalur pedestrian dan taman kota ikut meranggas, kering menguning untuk kemudian mati karena terlambat disirami. Untuk itulah taman kota harus dirawat agar hijauan kerindangannya yang indah tetap bertahan member manfaat sampai nanti datang musim penghujan.

Ya, keindahan taman juga bergantung pada perilaku manusianya. Artinya, salah satu sumber kerusakan taman kota terbesar adalah tingkah laku manusia. Mereka seenaknya berswafoto dengan menginjak tanaman dan memetik bunga guna mempercantik penampilan.

Untuk itulah pengelola taman perlu memasang rambu larangan merusak tanaman. Disamping pemasangan rambu-rambu, masyarakat penikmat taman (pengunjung) pun perlu di edukasi tentang upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga taman kota, yakni dengan cara tidak merusaknya seperti mematahkan, mencabut dan lainnya karena akan menghambat pertumbuhan serta perkembangan tanaman itu. Sukur-sukur jika diantara penikmat taman juga mau menyambang bibit dan pupuk tanaman sebagai bentuk kepedulian terhadap keberadaan taman kota.

Taman kota hendaknya juga berfungsi sebagai tempat belajar bagi masyarakat. Dimana, keberadaannya menjadi tempat bersosialisasi saling tukar informasi, disamping menjaga kebugaran dengan berolahraga memanfaatkan fasilitas yang ada, ngobrol sesama teman, maupun belajar tentang pentingnya upaya pelestarian lingkungan.

Artinya, disamping adanya berbagai papan informasi dan papan petunjuk, tentunya, dijaman digital ini, dimana internet sudah menjadi kebutuhan hidup jaman now, tidak ada salahnya jika pengelola taman, termasuk Taman Harmoni Keputih, memasang fasilitas wifi yang tidak lemot sebagai ‘daya tarik’  agar masyarakat betah berlama-lama di taman.

Dengan tersedianya fasilitas internet, tentu akan memudahkan masyarakat untuk menambah pengetahuan dan wawasannya, hasil ‘bercengkerama’ dengan mbah Google. Termasuk membuka kesempatan kepada masyarakat untuk belajar berusaha melalui bisnis online, mempromosikan daerah keputih dengan segala potensinya.

Tidak kalah pentingnya, di sudut Taman Harmoni, jika memungkinkan perlu disediakan Gazebo. Dimana, didalamnya tersaji aneka buku bacaan yang bisa dinikmati oleh pengunjung taman secara gratis. Ini penting untuk mendukung gerakan literasi. Tentuya bekerjasama dengan komunitas relawan pendidikan nonformal dan dinas perpustakaan daerah.

Jika melihat luasnya Taman Harmoni, tampaknya masih memungkinkan untuk dibangun Gazebo Literasi dengan luas yang memadai. Tinggal bagaimana kebijakan pemerintah Kota Surabaya untuk melengkapi keberadaan Taman Harmoni yang digadang-gadang sebagai taman terluas di asia.

Sungguh menyenangkan jika Taman Harmoni dipenuhi berbagai tanaman yang berfungsi sebagai paru-paru kota, juga fasilitas olah raga dan Gazebo Literasi, sekaligus tempat yang nyaman untuk belajar tentang pelestarian lingkungan. Semoga pengurus Karang Taruna binaan Kelurahan Keputih, bisa segera mendayagunakan keberadaan Taman Harmoni. Salam lestari, salam literasi, terus menginspirasi. [eBas/minggu pon].


MATERI RENKON dan JITUPASNA


Dalam kegiatannya, pengurus sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana Jawa Timur (SRPB JATIM) tidak selalu mengadakan pertemuan-pertemuan secara resmi (formal). Seperti rapat pengurus, rapat kerja, dan diklat untuk peningkatan kapasitas relawan dari organisasi mitra.

Dengan sifatnya yang cair, gelaran pertemuan itu bisa diadakan secara informal dimana saja dan kapan saja. Pesertanya pun tidak harus banyak. Empat atau enam orang ngumpul bersama di warung kopi embongan pun bisa gayeng. Bahkan kadang bisa tercetus aneka gagasan liar yang tidak disangka. Walaupun sering kali gagasan itu hanya sekedar wacana sulit diwujudkan karena keterbatasannya.

Misalnya, gagasan untuk mengadakan diklat tentang pengkajian kebutuhan pasca bencana (jitupasna), penyusunan rencana kontijensi (renkon), monitoring dan evaluasi rehab rekon, maupun pembuatan rencana penanggulangan bencana. Untuk sebuah pengetahuan dan penambah wawasan, kiranya materi tersebut perlu juga dipahami oleh relawan. Ya, sebatas dimengerti, bukan untuk dikerjakan karena terkait dengan kebijakan.

Karena, materi di atas itu nantinya akan dijadikan dokumen yang sangat diperlukan, sebagai langkah kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana/kedaruratan termasuk kesigapan masyarakat. Dokumen itu disusun untuk jangka waktu tertentu untuk kemudian disusun kembali sesuai perkembangan dan hasil evaluasi.

Misalnya, rencana kontinjensi  (renkon) atau rencana kedaruratan digunakan sebagai dasar latihan kesiapsiagaan. Fakta di daerah adalah sebagian kecil daerah telah memiliki renkon namun hanya menjadi dokumen mati serta latihan dilaksanakan tanpa memperhatikan renkon yang ada.

 padahal idealnya renkon harus menjadi dokumen hidup, ditinjau kembali secara periodik, wajib dibuat oleh setiap organisasi/lembaga dengan skenario risiko/ ancaman yang sama serta dikembangkan sebagai dasar latihan dan peningkatan kapasitas kesiapsiagaan dan koordinasi melalui tahapan sebagimana tergambar dalam siklus kesiapsiagaan.

Disamping itu, sosialisasi dan diskusi publik menjadi salah satu tahapan di dalam penyusunan dokumen. Hal itu untuk memastikan bahwa dokumen tersebut telah berisikan substansi yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Sesungguhnyalah, pembahasan materi di atas itu jika akan dijadikan sebuah dokumen kebijakan, tentulah harus melibatkan peserta dari berbagai komunitas, dunia usaha dan organisasi perangkat daerah (OPD) setempat. Dengan kata lain, pembahasan materi di atas memang harus melibatkan berbagai komunitas, khususnya OPD setempat agar jelas siapa melakukan apa dan sarana prasarananya dari mana. Mengingat merekalah yang akan sibuk dan terlibat dalam penanganan bencana di daerahnya.

Nah, mendatangkan peserta dari berbagai komunitas itu tidak gampang. Apalagi peserta dari staf OPD yang harus dibekali SPPD/SPJ/SPT. Sehingga, perlu adanya kekuasaan yang bisa menekan, dan anggaran program yang signifikan untuk akomodasi dan transportasi. Tanpa itu, tampaknya akan sulit dapat menghasilkan sesuatu yang bermutu. Orang jawa bilang “Ono Rego Ono Rupo”, bahkan sering diplesetkan “Ono Rego Ning Hasile Ora Ono” .

Artinya, materi-materi di atas itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki anggaran dan punya kepentingan. Karena, etikanya, mengundang orang sebagai peserta itu harus ada pengganti transportnya. Apalagi, akhir dari pemberian materi itu biasanya dituntut untuk menghasilkan dokumen resmi yang ditanda tangani oleh pejabat dari masing-masing OPD (dan perwakilan relawan jika memang diperlukan).

Sementara organisasi relawan (khususnya yang tidak punya anggaran tetap, seperti SRPB Jatim), jelas tidak mungkin bisa menyelenggarakannya. Kalaupun toh menyelenggarakan hanya sebatas teori dan dokumen yang dihasilkannya pun biasanya tidak diakui sebagai dokumen resmi. Paling hanya digunakan sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan atau program. Kecuali relawan yang “berlindung” dibalik lembaga/yayasan yang kuat, baik program maupun anggarannya. Atau relawan yang ‘digandeng’ oleh lembaga donor untuk menyelenggarakan kegiatan dengan materi di atas.

Karena, sesungguhnyalah penyusunan dokumen renkon, RPB dan jitupasna itu adalah sebagian dari program BPBD, bukan programnya relawan, termasuk bukan programnya SRPB Jatim. Namun, relawan tidak berdosa jika dalam obrolannya di warung kopi membahas tentang itu atau mengadakan diklat. Namun, semua itu sebatas dalam rangka saling belajar literasi agar bisa menginspirasi. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas/jum’at legi]*











Senin, 07 Mei 2018

BEBERAPA ISTILAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA


Untuk kawan2 Relawan Penanggulangan Bencana, semoga bermanfaat mendukung kerja2 kemanusiaan

1. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Daerah yang melakukan yang melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana di Daerah.

2. Bahaya/Ancaman (Hazards) Situasi, kondisi atau karakteristik biologis, klimatologis, geografis, geologis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk janga waktu tertentu yang berpotensi menimbulkan korban dan kerusakan.

3. Bencana peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

4. Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Sebuah aplikasi analisis tools yang digunakan untuk menyimpan data bencana serta mengelola data spasial maupan data nonspasial baik bencana skala kecil maupun bencana dalam skala besar terdapat banyak faktor yang dapat meningkatkan terjadinya resiko bencana.

5. Forum Pengurangan Risiko Bencana merupakan Wadah yang menyatukan organisasi pemangku kepentingan, yang bergerak dalam mendukung upaya-upaya pengurangan risiko becana (PRB).

6. Kajian Risiko Bencana adalah Mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyelurch terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis tingkat ancaman, tingkat kerugian, dan kapasitas daerah dalam bentuk tertulis dan peta.

7. Kapasitas (Capacity) Penguasaan sumber-daya, cara dan ketahanan yang dimiliki pemerintah dan masyarakat yang memungkinkan mereka untuk mempersiapkan diri, mencegah, menjinakkan, menanggulangi, mempertahankan diri serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.

8. Kerentanan (Vulnerability) Tingkat kekurangan kemampuan suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesipan, dan menanggapi dampak behaya tertentu. Kerentanan berupa kerentanan social budaya, fisik, ekonomi dan lingkungan, yang dapat ditimbulkan oleh beragam penyebab.

9. Kesiapsiagaan (Preparedness) Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

10. Korban bencana Orang atau kelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana.

11. Mitigasi (Mitigation) Upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dengan menurunkan kerentanan dan/atau meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

12. Mitigasi fisik (Structure Mitigation) Upaya dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dengan menurunkan kerentanan dan/atau meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman bencana dengan membangun infrastruktur.

13. Mitigasi non-fisik (Non-Structure Mitigation) Upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dengan menurunkan kerentanan dan/atau meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman bencana dengan meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana.

14. Non Proletisi Bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

15. Pemulihan (Recovery) Upaya mengembalikan kondisi masyarakat, lingkungan hidup dan pelayanan public yang terkena bencana melalui rehabilitasi.

16. Penanggulangan Bencana (Disaster management) Upaya yang meliputi: penetapan kebjiakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana; pencegahan bencana, mitigasi bencana, kesiap-siagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

17. Pencegahan (Prevention) Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya sebagian atau seluruh bencana.

18. Pengungsi Orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tenggalnya untuk janjka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.

19. Pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction) Segala tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas terhadap jenis bahaya tertentu atau mengurangi potensi jenis bahaya tertentu.

20. Penyelenggaraan penanggulangan bencana Serangkaian upaya pelaksanaan penanggulangan bencana mulai dari tahapan sebelum bencana, saat bencana hingga tahapan sesudah bencana yang dilakukan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.

21. Peringatan dini (Early Warning) Upaya pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

22. Prosedur Operasi Standar Serangkaian upaya terstruktur yang disepakati secara bersama tentang siapa berbuat apa, kapan, dimana, dan bagaimana cara penanganan bencana.

23. Pusdalops Penanggulangan Bencana Unsur Pelaksana Operasional pada Pemerintah Pusat dan Daerah, yang bertugas memfasilitasi pengendalian operasi serta menyelenggarakan sistem informasi dan komunikasi PB.

24. Rehabilitasi (Rehabilitation) Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

25. Rekonstruksi Pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, social dan budaya, tegaknya hokum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wiliayah pasca bencana.

26. Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Dokumen perencanaan penanggulangan bencana untuk jangka waktu tahun 2012 sampai dengan tahun 2017.

27. Rencana Kontingensi Suatu proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan kontingensi atau yang belum tentu tersebut. Suatu rencana kontinjensi mungkin tidak selalu pernah diaktifkan, jika keadaan yang diperkirakan tidak terjadi.

28. Risiko(risk) Bencana Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

29. Setiap orang Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.

30. Sistem penanganan darurat bencana Serangkaian jaringan kerja berdasarkan prosedur-prosedur yang saling berkaitan untuk melakukan kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

31. Status keadaan darurat bencana Suatu keadaan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana.

32. Tanggap darurat(Emergency Response) bencana Upaya yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan, evakuasi korban dan harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, setra pemulihan pra-sarana dan sarana. 

Demikian beberapa istilah yang sering muncul dalam perbincangan masalah kebencanaan. Namun demikian mengingat perkembangan istilah yang begitu cepat dan masalah yang terjadi di bidang bencana juga selalu berkembang, maka tidak menutup mata akan muncul istilah baru yang perlu diketahui bersama.

Untuk itulah dipersilahkan bagi kawan-kawan yang memiliki informasi istilah baru diharapkan kesediaannya untuk menginfokan.
Terima kasih [eBas]