Minggu, 21 Juni 2015

KOMUNITAS RELAWAN INDONESIA (MENATA DIRI)



Konon, Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I) chapter Malang Raya, dalam menggerakkan organisasi yang baru seumur jagung itu, dengan jalan melakukan pertemuan-pertemuan terjadwal. Baik itu pertemuan antar pengurus maupun pertemuan untuk seluruh anggota. Merekapun juga melakukan sosialisasi organisasi kepada khalayak ramai dengan gayanya sendiri. Aktivitas terbaru adalah membersihkan sampah di tempat wisata Sumber Jenon, Tajinan, Kabupaten Malang.

Apa yang dilakukan oleh aktivitas K.R.I chapter Malang Raya itu jelas dalam rangka mengokohkan keberadaan organisasi sekaligus mempererat tali silaturahim antar anggota, sehingga nantinya akan muncul loyalitas, dan dedikasi sebagai anggota K.R.I yang tangguh dan trengginas dalam melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan di bidang penanggulangan bencana yang berwawasan lingkungan.

Tentu, kelakuan teman-teman K.R.I chapter Malang Raya ini sesuai dengan sumber daya manusia dan potensi lokal yang berbeda dengan K.R.I chapter lain. Ya, masing-masing chapter mempunyai gaya sendiri dalam membuat program dan mengembangkan jaringan kemitraan dengan kelompok/instansi lain tanpa didekte oleh pusat.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh ketua K.R.I pusat, Ikbal, atau yang biasa dipanggil Cak Kabul, dalam sebuah acara buka bersama di Joka, sabtu (20/6) sore, bahwa dasar pendirian K.R.I adalah berbagi, peduli dan beradaptasi dalam bentuk saling sinau, tentang apa saja oleh siapa saja, sesuai kemampuan dan kemauannya. Termasuk mampu secara kreatif mandiri mengadakan baju dan kaos seragam K.R.I serta memilih berkonsentrasi di bidang tertentu, seperti K.R.I chapter Malang Raya yang berkonsentrasi di klater edukasi dan mitigasi.

Dalam acara buka bersama itu pun terlontar ide membuat kegiatan rutin yang melibatkan masyarakat sekitar dalam rangka sosialisasi kelembagaan dan program pengenalan pengurangan risiko bencana. Sementara gagasan untuk pendidikan dan pelatihan bagi anggota K.R.I dalam rangka peningkatan kapasitas dalam penanggulangan bencana, kiranya perlu waktu tersendiri untuk membahasnya, karena perlu persiapan yang matang agar berdaya guna dan berhasil guna.

Menurut Teddy, peserta dari chapter Malang raya, perlu mencari kenalan yang bisa menghubungkan kepada pihak lembaga donor agar mudah mendapatkan bantuan dana kegiatan maupun mengikuti pelatihan tingkat nasional yang deselenggarakan oleh lembaga donor yang bekerjasama dengan BNPB.

Lontaran ide dan pertanyaan silih berganti pun selalu mendapat sambutan yang antusias dari peserta buka bersama sambil menikmati hidangan takjil yang enak menyehatkan, bahkan berlebih sehingga bisa dibawa pulang dan satpam perumahan pun kebagian.

Tidak ketinggalan, batu akik pun juga menjadi pembicaraan hangat serta saling pamer akik yang dikenakan, sekaligus Tanya harga dan jenisnya untuk menambah wawasan tentang per-batuakik-an yang saat ini sedang naik daun dan menjadi trending topic di seantero Indonesia.

Yang jelas, sekecil apapun kegiatan K.R.I pasti akan membawa dampak peningkatan kapasitas anggota, termasuk keterlibatan Papa Mbothe dan kawan-kawan dalam melakukan upaya pencarian mayat korban bunuh diri di Sungai Jagir, serta saling sinau water rescue bersama Team Srikandi Tangguh binaan BPBD Sidoarjo, kiranya perlu dijadikana agenda K.R.I rutin sebagai upaya promosi  eksistensinya (dalam rangka rekruitmen anggota dan kaderisasi).

“Di sisi lain, masing-masing anggota K.R.I diharapkan sesegera mungkin bisa membangun komunikasi dengan BPBD setempat dan organisasi/Instansi lain yang berkiprah dalam penanggulangan bencana, sehingga keberadaan K.R.I bisa cepat dikenal untuk kemudian dilibatkan dalam kerja-kerja kemanusiaan di daerahnya.” Kata salah seorang penasehat K.R.I.

Sementara masukan dari Gus Rois Al-Hakim, ketua dewan penasehat K.R.I mengharapkan agar semua kegiatan K.R.I terdokumentasikan dengan baik dan dibuatkan laporan kepada BPBD setempat (dan pihak lain yang berkepentingan) yang diarsipkan, baik kegiatan yang dikerjakan secara swadaya mandiri maupun kegiatan yang mendapat bantuan dana dari BPBD atau pihak lain. Ini penting untuk membangun hubungan kerjasama selanjutnya.

Sementara untuk kaderisasi, masih menurut Bapak berputra dua ini, nantinya masing-masing chapter mengirimkan wakilnya untuk dilatih oleh team litbang K.R.I pusat dengan materi berstandar BNPB. Ini penting agar ke depan, anggota K.R.I semakin kuat persaudaraannya dan meningkat kapasitasnya sesuai klaster yang ada dalam kegiatan penanggulangan bencana.

Ya, kader itu memang perlu untuk kelestarian organisasi, mengingat tidak salamanya yang senior ini akan terus berkecimpung dalam organisasi, hal ini karena faktor usia tidak bisa dibohongi, ada tugas kemanusiaan lain yang harus dikerjakan, diantaranya adalah membangun keluarga sakinah mawadah warahmah.

Seperti kegiatan lain yang sedang marak dimana-mana, untuk mengakhiri acara buka bersama ini, selain doa adalah foto bersama sebagai upaya mengabadikan peristiwa bahwa kita pernah bersama mengadakan buka bersama saat melaksanakan kewajiban puasa ramadhan di Joka, dengan penuh canda tawa bahagia merajut paseduluran komunitas relawan Indonesia. Harapannya tentu, ada lagi acara buka bersama. Wallahu a’lam bishowab.[eBas]

Selasa, 09 Juni 2015

IABI MITRA KRITIS BNPB?



Dari beberapa perbincangan dengan akademisi yang menjadi anggota ikatan ahli kebencanaan Indonesia (IABI), ada keinginan kuat untuk menjadikan organisasi ini berjalan dinamis dengan berbagai pemikiran kritis, memberikan rekomendasi kepada pemerintah (dalam hal ini BNPB) sebagai bahan masukan perumusan kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia, dengan memperhatikan berbagai kepentingan, utamanya upaya pelestarian lingkungan. serta melibatkan berbgai pihak yang peduli terhadap alam dan kemanusiaan (LSM, dan Relawan).

Hal ini mengingat masalah kebencanaan itu (sekarang) telah menjadi kajian interdisipliner para pakar yang terhimpun dalam IABI untuk melakukan berbagai kajian dan penelitian interdisipliner tentang masalah kebencanaan. Mengingat mereka datang dari berbagai keilmuan yang berbeda, termasuk berbeda dalam menterjemahkan apa itu bencana, maka perlu ada wahana bersemuka yang terjadwal untuk menyamakan visi dan persepsi tentang persoalan kebencanaan di indonesia.

Dalam majalah Zerorisk, edisi September – Oktober, 2003, dikatakan bahwa pusta-pusat studi bencana (di berbagai kampus) dan lembaga riset yang ada, hendaknya dapat menyajikan hasil kajian dan penelitian yang bermutu, sehingga nantinya bisa berkontribusi dalam upaya pengurangan risiko bencana. Paling tidak, hasil kajian dan penelitian itu bisa dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Hal ini sejalan dengan pesan pasal 3 Undang-undang nomor 34 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana, yang menyebutkan asas penanggulangan bencana itu salah satunya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, upaya penanggulangan bencana di Indonesia sejauh mungkin harus mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Apa yang ditulis majalah Zerorisk di atas, jelas menyatakan betapa penting ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya penanggulangan bencana di Indonesia, sehingga tidak terlalu salah jika IABI dituntut menampakkan perannya melalui penelitian, kajian, riset dan teknologi tepat guna yang bisa mendukung kegiatan penanggulangan bencana, mulai dari pra bencana, tanggap bencana, pasca bencana dan masa rehabilitasi dan rekonstruksi.

Ini penting, karena masih banyak BPBD Kabupaten/Kota, saat akan menjalankan kebijakan dari BNPB, harus meminta restu dan persetujuan dari perangkat penguasa otoda. Di sisi lain, maju mundurnya kegiatan BPBD pun sangat ditentukan oleh kreativitas, kepedulian dan keberanian dari pejabat BPBD itu sendiri serta dukungan dari pejabat yang menjadi atasannya langsung, khususnya terkait dengan dukungan dana APBD, baik tingkat I maupun tingkat II yang signifikan.

Seperti diketahui bersama bahwa bencana yang terjadi di berbagai daerah, tidaklah sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu penanganannya pun memerlukan pendekatan berbasis kajian dan penelitian yang beragam sesuai karakteristik dan potensi lokal, sekaligus sumber daya manusia yang bertugas menangani penanggulangan bencana.

IABI yang anggotanya banyak dari unsur akademisi, diharapkan juga berkenan menularkan ilmunya kepada para pegiat kebencanaan, melalui berbagai diklat, seminar, diskusi dan sarasehan lainnya, termasuk (jika memungkinkan) melibatkan relawan dalam melakukan kajian dan penelitian, sebagai tenaga pengumpul data, penyebar instrumen, serta melakukan pendampingan kepada masyarakat di kawasan rawan bencana, seperti dalam program destana, kampung siaga bencana dan istilah lainnya, yang intinya menyiapkan masyarakat yang sadar bencana, seperti konsep yang digagas BNPB, Living Harmony With Disaster.

Apa yang terpapar di atas, merupakan garapan para ahli kebencanaan yang bisa dinarasikan ke dalam karya-karya ilmiah untuk memperkaya kepustakaan bidang bencana. Sehingga, tidak terlalu salah jika IABI dituntut menampakkan perannya melalui penelitian, kajian, riset, rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa mendukung kegiatan penanggulangan bencana di semua tahap.

Hal ini penting, karena pengalaman sering mengatakan bahwa masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengenali potensi bencana di wilayahnya sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, masyarakat, bahkan pemerintah setempat baru sadar dan peduli terhadap upaya penanggulangan bencana setelah terjadi bencana dengan berbagai kerugian yang ditimbulkannya. Upaya penyadaran ini pun juga menjadi salah satu ranah IABI.

Semoga IABI sebagai mitra dialog BNPB yang kritis berbasis keilmuan, bisa segera membumikan budaya tangguh bencana kepada masyarakat di sekitar kawasan rawan bencana, tentunya bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya yang selama aktif berkhitmad sebagai relawan kemanusiaan.*[eBas]



Kamis, 04 Juni 2015

MAHASISWA PECINTA ALAM (MENUJU ARAH BARU)



Konon, kegiatan rutin mahasiswa pecinta alam (mapala) itu selalu berkisar pada pendakian gunung, penjelajahan hutan, penelusuran goa, serta kegiatan cinta lingkungan lainnya. Semua itu dilakukan rutin tanpa ada catatan perjalanan yang bisa digunakan oleh yuniornya. Itu dulu sebelum ada kesadaran baru. Ya, jaman itu yang mengemuka adalah kegiatan di alam bebas dengan punuh canda tawa (sing penting seneng).

Dari cerita beberapa aktivis mapala, kini kegiatannya sudah mulai di dokumentasikan dalam bentuk tulisan yang dimuat di majalah kampus, maupun harian umum. Jelas ini sangat menggembirakan, karena sebagai mahasiswa, mereka diharapkan bisa mendiskripsikan perjalanan dan kegiatannya dalam sebuah laporan yang dibukukan sehingga bisa menjadi tinggalan sejarah bagi generasi berikutnya sebagai penerus ideologi kepecinta alaman. Ya, sudah selayaknya jika mahasiswa harus bisa menulis.

Mereka pun sudah mulai memanfaatkan hobby bersahabat dengan alam untuk melakukan penelitian sesuai jurusan masing-masing guna menunjang tugas mata kuliahnya. Bahkan ada yang rajin menuliskan pengalamannya, termasuk foto-foto pemandangan, untuk kemudian dikirimkan ke media massa.

Jika dimuat, itu artinya cerita perjalanannyabisa dinikmati oleh pembaca yang jumlahnya banyak dan tersebar diberbagai daerah. Penulisnya dikenal, dan yang terpenting dapat hinor penulisan, cukup untuk beli ‘wedang kopi sak gorengane, dipangan bareng sak konco ndek sekretariat’. Enak to?, asik to? Kegiatan hobby jalan terus, pengalaman bertambah dan mendapatkan penghasilan dari aktivitas menulis artikel.

Di sisi lain, sudah waktunya gerakan mapala juga semakin peduli dengan issue-isue lingkungan, seperti pembalakan liar, kebakaran hutan, dan perdagangan satwa liar, serta masalah bencana alam yang saat ini semakin sering terjadi.

Dalam catatan badan nasional penanggulangan bencana (BNPB), dikatakan bahwa rupa nusantara sangatlah rawan terhadap bencana. Kejadian bencana silih berganti di berbagai daerah, ini tidak lepas dari pengaruh geografis, geologis, dan demografis. Secara geografis, tiga lempeng tektonik indo Australia, eruasia dan pasifik mengelilingi wilayah nusantara yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan gempa bumi dan memicu terjadinya tsunami.

Disamping itu, Indonesia juga dikenal sebagai wilayah ‘ring of fire’ yang memiliki sekitar 129 gunung api aktif. Sementara, secara demografis, Indonesia mempunyai penduduk yang sangat besar, sebagiannya hidup di daerah rawan bencana dengan berbagai mata pencahariannya.

Perlu diketahui pula, menurut UU 24 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana, menyebutkan bahwa bencana dikategorikan menjadi tiga, yaitu bencana alam, non alam dan bencana sosial. Sementara itu, kejadian bencana berdasar ketiga kategori tersebut, diantaranya meliputi banjir, longsor, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, kekeringan, angin topan/putting beliung, gagal teknologi, gagal modernisasi, penyakit epidemi, konflik sosial dan terorisme. Tentunya semua ini penanganannya pun sangat beragam dengan tingkat kesulitan yang berbeda.

Sebagai salah satu komponen bangsa, wajar jika mapala juga mempunyai kepedulian terhadap derita sesame yang tertimpa bencana. Apalagi kemampuan dasar yang dimiliki anggota mapala sudah cukup mumpuni untuk terlibat dalam kegiatan di lokasi bencana, seperti melakukan evakuasi, SAR, trauma healing, bantuan dorlog, pendataan, komunikasi dan sejenisnya sesuai kebutuhan dan komando dari koordinator lapangan.

Kondisi Indonesia yang semakin akrab dengan aneka kejadian bencana inilah, hendaknya dapat menggugah kesadaran mapala untuk mengambil peran dalam upaya penanggulangan bencana, dengan jalan ‘merapat’ ke  badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) setempat, agar terdata sebagai potensi relawan penanggulangan bencana yang siap diterjunkan saat tanggap bencana.

Artinya, mapala yang sudah ‘terdata’ akan mudah dihubungi untuk diikutkan dalam kegiatan pembinaan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan maupun sarasehan yang diadakan oleh BPBD maupun pegiat penanggulangan bencana lainnya, untuk meningkatkan kapasitas sebagai relawan yang mumpuni dalam klasternya.

Hal ini sesuai dengan keputusan kepala Bandan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 173 tahun 2014, tentang klaster nasional penanggulangan bencana, yaitu klaster Kesehatan, Pencarian dan Penyelamatan, Logistik, Pengungsian dan Perlindungan, Pendidikan, Sarana Prasarana, Ekonomi, dan Pemulihan Dini. Klasterisasi inilah yang harus dimiliki oleh relawan agar ketika melaksanakan tugasnya benar-benar bisa mandiri sesuai perannya.

Walau sampai sekarang rencana klasterisasi relawan belum berjalan efektif, ke depan, akan diberlakukan dengan tujuan agar tidak terjadi penumpukan personil dalam salah satu klaster saja, tetapi bisa merata ke semua klater sesuai kapasitas dan arahan komandan pos komando sebagai penanggung jawab operasi penanggulangan bencana.

Di sisi lain, mapala pun sudah waktunya juga berpartisipasi melakukan penyuluhan pengurangan risiko bencana kepada masyarakat yang berdomisili di daerah rawan bencana. Kegiatan ini bisa dibarengkan ketika melakukan KKN, Bhakti Kampus maupun KKL/PKL. Dengan kata lain, sebagai ‘agent of change’, anggota mapala yang telah memiliki berbagai keterampilan hidup di alam bebas, hendaknya bisa menjadi model untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat (khususnya generasi muda) terkait dengan keterampilannya, maupun keterampilan lain yang telah dimiliki, seperti keterampilan sablon, menjahit, melukis, dan lainnya yang berguna bagi warga setempat.

Mereka pun bisa menularkan virus cinta flora dan fauna serta lingkungan alam, bersama melakukan mitigasi non struktural untuk mengurangi risiko bencana, meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan guna menumbuhkan budaya sadar bencana.

Paling tidak, program-program  mapala yang telah diputuskan dan disusun dalam musyawarah anggota, bisa dikolaborasikan dengan upaya pengurangan risiko bencana, sekaligus aktif menjalin hubungan silaturahim dengan BPBD dan kelompok relawan lainnya (termasuk alumni/ALB), agar bisa dilibatkan dalam agendan kerja mereka. Salam Kemanusiaan. [eBas]   


  

Senin, 01 Juni 2015

IABI Menuju Kemandirian Teknologi Kebencanaan



“Anggota IABI harus dapat berperan melalui tulisan, baik yang dimuat dalam media massa, termasuk jurnal ilmiah maupun karya ilmiah hasil penelitian dan kajian yang bisa digunakan oleh pemerintah sebagai bahan penyusunan  kebijakan dalam hal penanggulangan bencana,” Kata Syamsul maarif, kepala bdan nasional penanggulangan bencana (BNPB), saat berbincang santai dengan beberapa akademisi dan praktisi penanggulangan bencana di Hotel Melia, Jogjakarta, senin (25/5) malam.

Ikatan ahli kebencanaan Indonesia (IABI) sebagai wadah bagi akademisi, praktisi, perekayasa dan para pemerhati kebencanaan, untuk saling berbagi pengalaman, tukar informasi dalam rangka mengembangkan industri dan teknologi yang bisa mendukung proses penanggulangan bencana.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Sudibyakto, Ketua IABI saat wawancara dengan wartawan media nasional, bahwa Indonesia yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi karena berbagai bencana, harusnya bisa memproduksi sendiri sarana dan prasarana untuk menangani bencana, sehingga tidak selalu menggantungkan kepada bangsa lain untuk memenuhinya.

Dengan demikian perlu ada sinergi antara peneliti, perekayasa dan akademisi serta lembaga riset, pelaku usaha dan pemerintah untuk membuat kajian dan prototipe mengenai sarana prasarana yang dapat mendukung saat melakukan operasi tanggap bencana di berbagai daerah sesuai kondisi geografis Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Syamsul maarif, yang juga seorang dosen sosiologi di fisip Universitas Negeri Jember ini, mengatakan bahwa idealnya Indonesia mampu mengembangkan teknologi dan industri kebencanaan secara mandiri, baik berupa peralatan deteksi dini dari berbagai bencana, maupun berbagai peralatan dan perlengkapan kedaruratan lain yang selama ini masih harus dibeli dari luar negeri.

Sebenarnya, produk-produk perlengkapan yang mendukung kegiatan penanggulangan bencana itu sudah banyak dihasilkan oleh orang Indonesia sendiri, masalahnya hanya terbentur pada harga dan lemahnya promosi, sementara produk luar negeri sangat gencar dalam promosi dan kemasan yang menarik, jumlah, jenis dan harganya pun berani bersaing.

“Beberapa kelompok relawan sudah ada yang mencoba mengenbangkan produksi peralatan yang ada hubungannya dengan kebencanaan, mutunya pun lumayan, namun, karena keterbatasan modal, maka ketika ada pesanan dalam jumlah banyak mereka kesulitan memenuhinya. Untuk itu kiranya perlu ada perhatian dan pembinaan dari pemerintah agar industri dan teknologi peralatan kebencanaan yang direkayasa oleh tenaga dalam negeri bisa berkembang,” Kata Yuli, seorang relawan senior, memberi masukan.

Artinya, BNPB sebagai pengguna utama, secara berkala membuat acara gelar pameran peralatan pendukung penanggulangan bencana yang diproduksi di dalam negeri seperti yang diselenggarakan di kampus UGM berbarengan dengan acaranya IABI.

Acara ini sekaligus dijadikan media pamer prototipe hasil kajian dari para peneliti, perekayasa dan akademisi. Seperti alat deteksi dini, alarm gempa, alat serba guna untuk deteksi tanah longsor dan gas beracun dan sejenisnya. Sukur-sukur jika hasil temuan akademisi dan civitas kampus ini dilombakan sebagai upaya memotovasi tumbuhnya kajian-kajian dan penelitian yang menghasilkan teknologi tepat guna.

Ismanto, peserta pameran dari Semarang, mengatakan bahwa kegiatan ini sangat menarik dan perlu diagendakan secara rutin dengan menggandeng sponsor untuk melihat perkembangan teknologi pendukung penanggulangan bencana.

“Saya senang bisa berpartisipasi dalam kegiatan ini, banyak informasi yang saya dapatkan dari berbagai daerah terkait dengan upaya penanggulangan bencana dan metode sosialisasi pengurangan risiko bencana yang mengedepankan potensi lokal,” Katanya dengan penuh antusias.

Mungkin ke depan, masih kata pria berkaca mata ini, BNPB bisa membukukan hasil-hasil temuan teknologi tepat guna serta pengalaman-pengalaman penanggulangan bencana yang dilakukan oleh masing-masing komunitas dalam upaya menangani aneka bencana di berbagai daerah, sehingga bisa menjadi bahan reverensi bagi mereka yang membutuhkan.

Banyak harapan yang mengemuka dari acara pertemuan ilmiah tahunan riset kebencanaan yang tahun ini mengambil tema, membangun kemandirian industri dan teknologi  berbasis riset kebencanaan. Termasuk menggunakan produk-produk dalam negeri untuk melakukan operasi pra bencana, tanggap bencana maupun pasca bencana, sehingga industri dalam negeri yang bergerak dibidang sarana prasarana penunjang penanggilangan bencana bisa berkembang. [eBas]