Selasa, 29 Juni 2021

PEMBERDAYAAN EKONOMI RELAWAN

Sering kali dikatakan bahwa upaya penanggulangan bencana adalah urusan bersama antara pemerintah, masyarakat dan swasta, maka semua aktor multi pihak harus terlibat. Untuk itulah perlu kiranya upaya peningkatan kompetensi agar mumpuni dalam tugas kerelawanan.

Sementara itu, relawan juga manusia yang memiliki tanggungjawab terhadap keluarga dan masyarakat di sekelilingnya. Untuk itu dia harus mempersiapkan diri menghadapi masa depannya agar keluarga dan masyarakatnya tidak terbebani karena ketidak berdayaannya.

Sebuah Langkah cerdas diambil pengurus SRPB guna menjawab tantangan di atas. Mereka menggelar workshop budidaya maggot sebagai upaya membuka peluang bisnis rumahan. Sebuah usaha yang tidak banyak membutuhkan modal, namun hasilnya jelas untuk menghindari bencana ekonomi akibat pandemi covid-19 yang belum ada obatnya.

Dengan adanya workshop ini diharapkan masyarakat sekitar dan relawan penanggulangan bencana memiliki alternatif usaha. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan nara sumber dari INAVOR, bahwa budidaya maggot itu  sangat berguna untuk, Menumbuhkan Ketahanan Ekonomi Keluarga dengan budidaya maggot yang memiliki kandungan protein tinggi untuk makanan ternak, Mengembangkan Usaha Ekonomi kerakyatan dengan membuat Komunitas Maggot, Bank Sampah maupun Bank Maggot.

“Workshop budidaya maggot ini sebagai upaya pemberdayaan dibidang ternak unggas dan perikanan. Dimana, masalah pakan merupakan pengeluaran utama yang bisa ditekan hingga separuh, dengan cara mancampurnya dengan maggot. Apalagi protein maggot yang mencapai 40% sangat bagus untuk ternak,” Kata Dian Harmuningsih, koordinator SRPB Jawa Timur.

Nah, disinilah peluang terjadi. Kenapa? Karena pembesaran maggot siap pakai dari telur maggot membutuhkan 15 s.d 18 hari, tentunya peternak kewalahan jika harus membudidaya maggot sendiri. Maka kawan-kawan relawan bisa menyuplai kebutuhan ini dengan menjual maggot dewasa ke peternak.

“Harga satu kilo maggot dewasa bisa mencapai tuju ribu rupiah. Jika grosir besar bisa sampai lima ribu rupiah per kilo. Jika tiap relawan memiliki pembesaran maggot 10 bak saja, penghasilan  satu juta per minggu bisa dicapai,” Ujarnya.

Materi workshop yang digelar di Omah Pinggir Sawah ini, senin (28/06/2021), meliputi, Pengenalan morfologi Maggot, dari Nama, anatomi, hingga Karakter Maggot, Mengenalkan dan mempraktikkan proses Penetasan, Pembesaran, Panen Maggot, Pengembangbiakan, hingga Panen Telur, serta Mengenalkan Peluang Pasar dan Perhitungan bisnis Maggot.

“Maggot Dewasa dijual, baik berupa Maggot Segar (fresh Maggot), dikeringkan atau pellets Maggot. Sedangkan telurnya bisa dijual dalam bentuk telur segar. Jangan lupa, sebagian telur Maggot Dewasa, disisihkan untuk di kembangbiakkan melalui proses Pre Puppa - Puppa - Lalat - Kawin – bertelur,” Kata Nara sumber meyakinkan.

Di akhir acara, Inavor memberikan bibit gratis 1 gram telur maggot untuk oleh-oleh peserta dan semua yang hadir. Agar bisa langsung praktek di rumah masing-masing.

Sungguh kegiatan ini sangat menarik untuk program pemberdayaan relawan. Sebuah peluang usaha yang sangat menjanjikan. Sebuah Langkah kecil dari pengurus SRPB untuk memberdayakan relawan telah diayunkan. Sangat elok sekali jika workshop ini ditindak lanjuti dengan peserta yang lebih banyak lagi. Tentu dengan tetap mentaati protokol Kesehatan dan perkembangan pandemi yang masih menebar aroma kematian.

“Sebenarnya saya sudah lama ingin relawan itu punya ketahanan ekonomi mandiri. Termasuk Organisasinya. Tidak melulu nunggu sumbangan dari Donatur/CSR. Cuma, sebaik-baiknya program kalau tidak didasari dengan mental yang tangguh, sulit juga diterapkan menjadi sebuah usaha alternatif,” Kata  Bang Erick, salah satu nara sumber dari INAVOR.

apa yang disampaikan pria berkacamata, yang juga berprofesi sebagai pendidik ini sangat manusiawi. Perlu proses panjang untuk menyadarkan relawan, disamping aktif melakukan kerja-kerja kemanusiaan, relawan harus punya kemandirian financial demi kesejahteraan keluarga dan di masa tuanya. Karena tidak selamanya relawan itu akan terus bermain di lapangan. Faktor usia dan Kesehatan pasti akan menghentikan aktivitas semua relawan. Salam Sehat, Salam Kemanusiaan. [eBas/SelasaLegi-29062021]  

 

 

Minggu, 27 Juni 2021

LITERASI BENCANA UNTUK PESERTA DIDIK

Konon, indonesia adalah salah satu negara yang rawan bencana. Karena berbagai jenis bencana ada diseluruh wilayah indonesia. Sementara itu, masyarakat belum begitu peduli dengan potensi bencana yang ada di daerahnya.

Kebanyakan menganggap bahwa bencana adalah kutukan Tuhan yang harus diterima dengan pasrah. Belum ada kesadaran untuk bagaimana mengenali bahayanya, serta upaya mengurangi risiko bencana secara mandiri. Orang awam juga masih menganggap bahwa bencana itu urusannya pemerintah.

Anggapan yang seperti inilah kiranya perlu dibongkar melalui sosialisasi pengurangan risiko bencana. Tentu pemerintah (dalam hal ini BNPB/BPBD) akan termehek-mehek jika melakukan sendiri. Harus merangkul aktor multipihak. Banyak komunitas relawan dan pekerja kemanusiaan yang siap membantu. Asal ada koordinasi.

Bahkan, saat ini muncul pula aktor yang menggerakkan literasi kebencanaan sebagai upaya membangun kesiapsiagaan masyarakat menuju budaya tangguh bencana. Khususnya masyarakat yang berdiam di kawasan rawan bencana. Konon, mereka banyak bergerak melalui media massa.

Menurut Wien Muldian, salah seorang pegiat literasi, mengatakan bahwa literasi kebencanaan adalah, kecakapan hidup untuk mengelola, memahami, dan menggunakan informasi dalam pengambilan keputusan yang tepat untuk mengikuti panduan penguatan ketangguhan di semua bidang dalam tahapan penanggulangan bencana.

Sebenarnya, upaya literasi kebencanaan melalui program satuan pendidikan aman bencana (SPAB) sangatlah ideal dilakukan untuk menumbuhkan budaya sadar bencana sejak dini. Sayangnya program ini belum banyak diminati oleh sekolah dengan bebagai alasan. Termasuk belum adanya arahan dari Dinas Pendidikan, sehingga sekolah tidak berani memulai.

BPBD Provinsi Jawa Timur, tahun ini berkesempatan menggandeng relawan yang tergabung dalam SRPB Jawa Timur, mengadakan sosialisasi SPAB di seluruh sekolah yang berada di daerah rawan bencana di Jawa Timur. Dengan harapan, setelah kegiatan sosialisasi ini, masing-masing sekolah bisa menindaklanjuti secara mandiri. Wallahu a’lam.

Dalam buku Pendidikan Tangguh Bencana, terbitan Seknas SPAB, tahun 2017, dikatakan bahwa ada tiga pilar kegiatan yang bisa dilakukan oleh sekolah dalam rangka implementasi SPAB. Yaitu Pilar Fasilitas Sekolah Aman, Pilar Manajemen Bencana di Sekolah, dan Pilar Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.

Sebagai pengenalan awal, tentu tidak harus ketiga pilar tersebut langsung diperkenalkan secara berurutan. Agar peserta didik tertarik, perlu kiranya kegiatan diawali dengan mengenalkan apa itu bencana, jenis-jenis bencana serta mengenali potensi bencana yang ada di daerahnya.

Pada kesempatan ini, peserta didik diajak untuk mengenali lingkungan sekolah dan daerahnya, belajar membuat rambu-rambu evakuasi serta menetapkan titik kumpul jika ada bencana. Sukur-sukur ada film pendek tentang bencana sesuai potensi bencana setempat.

Baru kemudian peserta didik diajak praktek evakuasi serta keterampilan pendukung lainnya. Seperti cara pemadaman kebakaran, membuat tandu serta PPGD/P3K, dan lainnya yang mudah dipraktekkan. Hal ini seperti yang tertulis dalam Pilar Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.

Dalam buku itu disebutkan tentang perlunya peningkatan kapasitas bagi warga sekolah, Praktek evakuasi, Integrasi materi PRB ke dalam berbagai mata pelajaran dan kegiatan ekstrakulikuler, dan kampanye rutin mengenai pesan kunci keselamatan yang praktis.

Sesungguhnyalah, literasi kebencanaan melalui program SPAB merupakan proses yang harus dilakukan secara berkelanjutan..Tidak mungkin “sekali sentuh” langsung beraksi secara mandiri. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan angggaran dan pandemi covid-19 dengan segala variannya yang mematikan. Paling tidak diperlukan waktu tiga atau empat bulan.

Seperti dalam Pilar Manajemen Bencana di Sekolah. Dimana kegiatannya antara lain Pembentukan tim penanggulangan bencana di sekolah, Penetapan kebijakan SPAB di Sekolah, Perencanaan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah dalam bentuk prosedur tetap dan rencana kontijensi, dan Penyusunan rencana aksi untuk mendukung SPAB. Sungguh, perlu waktu untuk melaksanakannya agar benar-benar membawa manfaat dlam upaya membangun budaya tangguh.

Apalagi, masih dalam buku pendidikan tangguh bencana, disebutkan tentang langkah mewujudkan SPAB. Langkah pertama, persiapan dan konsolidasi dengan pihak sekolah, ke dua, Pengkajian dan penilaian mandiri di awal program, ke tiga,  Pelatihan untuk guru, tenaga kependidikan, serta komite sekolah, ke empat, Pelatihan untuk peserta didik, ke lima, Pengkajian risiko bencana bersama, termasuk dengan peserta didik.

Ke enam, Penyusunan rencana aksi dan pembentukan tim siaga bencana sekolah, ke tuju, Penyusunan prosedur tetap untuk masa pra, saat dan paska bencana, ke delapan, Melakukan simulasi secara berkala, ke sembilan, Melakukan penilaian mandiri dan pengawasan rutin, dan sepuluh, Melakukan evaluasi pelaksanaan dan memutakhirkan rencana aksi.

Artinya, BPBD Provinsi Jawa Timur, BPBD Kabupaten dan SRPB hanyalah pemantik awal penyadaran akan pentingnya membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan menghadapi bencana. Selanjutnya, perlu ada keterlibatan sumberdaya lokal (relawan setempat) untuk melakukan pendampingan dalam rangka pelestarian gerakan literasi kebencanaan melalui SPAB. Tanpa itu, dapat dipastikan, selesai program langsung wasalam.

Pertanyaannya kemudian, siapakah yang punya otoritas memerintah relawan untuk melakukan pendampingan, dan relawan mana yang layak melakukan pendampingan SPAB untuk peserta didik dan warga sekolah lainnya?. Salam Literasi. [eBas/SeninKliwon-28062021]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 25 Juni 2021

DISKUSI PENGUATAN FORUM PENTAHELIX

Konon, Program SIAP SIAGA yang diluncurkap pada tahun 2019 itu, didanai oleh Pemerintah Australia (dalam hal ini DFAT), dalam kemitraannya dengan Pemerintah Indonesia untuk memperkuat manajemen bencana di Indonesia. Dengan tujuan, diantaranya memperkuat ketangguhan masyarakat menghadapi bencana, memperkuat manajemen bencana, meningkatkan peran, komunikasi dan tanggungjawab antar aktor multipihak, dan berusaha “mengikat relung-relung” antar aktor yang masih menjadi problem tersendiri karena adanya egosektoral yang masih bercokol. 

Entah bagaimana bentuk kegiatannya, dan akankah berdampak pada semua aktornya saat beraksi di lapangan ?. Inilah, mungkin yang sedang dibangun. Wallahu a’lam.

Mereka memiliki beberapa program yang terkait dengan kebencanaan. Salah satunya adalah rencana penguatan agenda forum pentahelix pengurangan risiko bencana Jawa Timur.  

Sebagai sebuah proses, maka kegiatannya dilakukan secara berkesinambungan yang diikuti oleh wakil-wakil dari pentahelix (walaupun ternyata beberapa helix masih enggan datang, entah karena apa. Mungkin masalah anggaran atau ketidak pahaman).

Hari ini, kamis legi (24/06/2021), Paladium menggelar focus group discussion. Kegiatan ini sebagai kelanjutan pertemuan beberapa waktu yang lalu. Kali ini masing-masing peserta dibagi dalam empat kelompok, untuk mengefektifkan waktu.

Kelompok satu membahas tentang strategi memahami risiko bencana, kelompok dua tentang strategi penguatan tata kelola risiko, dan kelompok tiga mengupas strategi investasi PRB untuk ketangguhan. Sedang kelompok empat tentang strategi peningkatan manajemen risiko bencana.

Aku dimasukkan ke dalam kelompok tiga. Alhamdulillah seluruh anggotanya sangat mumpuni dibidangnya sehingga aku kebagian menyiapkan “ubo rampe” diskusi kelompok. Kami membahas masalah bagaimana membangun ketangguhan berbasis masyarakat, Pemanfaatan pengetahuan dan teknologi, serta Pengelolaan penanggulangan bencana berkelanjutan.

Adapun outputnya adalah terbentuknya komunitas siaga bencana, termanfaatkannya sumberdaya lokal dalam mebangun ketangguhan, termanfaatkannya hasil penelitian para akademisi dalam praktek membangun ketangguhan, gerakan literasi dengan memanfaatkan kearifan lokal, serta meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana yang dikaitkan dengan ketahanan ekonomi pasca bencana.

Dalam presentasi hasil diskusi kelompok, masing-masing juru bicara menyampaikan hasil “kesepakatan eyel-eyelan” antar anggota kelompok, dalam rangka membangun kesepahaman bersama. Untuk kemudian panitianya tinggal "merapikan" sesuai harapan.

Walaupun dengan redaksi yang berbeda, ternyata ada kesamaan harapan dari semua kelompok. Yaitu perlunya pendampingan, pembinaan dan pelibatan relawan setempat untuk menindak lanjuti rencana penguatan agenda forum pentahelix pengurangan risiko bencana di Jawa Timur.

Ini penting, untuk melihat apakah program sosialisasi, edukasi dan pelatihan yang digelar itu sudah berdampak pada sasaran program atau belum. 

Rembang petang telah menjelang. Mendung menggelayut di atas Kota Surabaya, pertanda gelaran focus group discussion yang diselenggarakan di Hotel Four Points, Surabaya, harus disudahi. Bukan berarti telah berakhir, karena dialog multipihak itu penting dan harus terus berproses. Tinggal bagaimana keterwakilan helix-helix dalam pentahelix ini bisa benar-benar tampak.

Khususnya wakil dari OPD terkait, harusnya “dipaksa” hadir dengan menanggalkan egosektoralnya. Sehingga dialog multipihak untuk membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana seperti yang diharapkan Paladium benar-benar membawa hasil dalam bentuk aksi bersama.

Pertanyaannya kemudian, siapakah yang bisa “memaksa” OPD untuk menghadiri undangan dari SIAP SIAGA ini ?. Jangan sampai terjadi seperti jamannya AIFDR dulu. Dimana, saat kegiatan di Hotel Santika, Ada OPD yang cukup mengutus satpam sebagai wakilnya. Lha dalah, kalau sudah begini, maka kehadiran OPD hanya sekedar “gugur kuwajiban”

Tapi ya gimana lagi, Om Satpam datang berbekal surat tugas, resmi dari atasannya. Jelas panitia tidak bisa apa-apa. Paling nggrundel dalam hati sambil menirukan ucapan si Raja dangdut, Bang Haji Oma Irama, “Sungguh Terlalu”. [ebas/JumatPahing-25062021]   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 21 Juni 2021

JAGONGAN SEBAGAI MEDIA KADERISASI

Pandemi covid-19 yang muncul di awal 2020, ternyata tidak hanya berdampak pada sisi Kesehatan semata. Namun, semua sisi kehidupan terkena imbasnya, dan semua harus berubah menyesuaikan diri, termasuk program komunitas relawan yang harus “dijadwal ulang” agar tetap sehat terhindar dari covid-19.

Apalagi, sampai sekarang covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bahkan sebaliknya, telah melahirkan berbagai varian yang semakin membahayakan. Salah satu dampaknya adalah, banyak program komunitas relawan yang seharusnya dilakukan secara luring diganti daring dengan segala akibatnya.

Untuk itulah, mereka dituntut kreatif agar programnya bisa berjalan dengan tetap mematuhi protokol Kesehatan. Ini penting untuk menghindari kemandekan program yang bisa berdampak pada mandeknya kaderisasi. Salah satunya, dengan mengadakan jagongan terbatas dalam rangka pengimbasan pengetahuan dan pengalaman.

Hal ini terlihat dari kegiatan pengimbasan materi SPAB dan Jurnalistik yang dilakukan oleh komunitas relawan penanggulangan bencana. Mereka melakukannya dengan mentaati protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Pesertanya dibatasi agar semua yang terlibat tidak terpapar covid-19 yang mematikan.

Ya, pengimbasan itu penting bagi sebuah komunitas agar proses regenerasi (kaderisasi) tidak terhenti dikarenakan minimnya anggota yang mumpuni dalam bidang yang menjadi ikon komunitas. Artinya, dengan pengimbasan pengetahuan dan pengalaman dari senior ke yunior yang diagendakan itu sebagai upaya meningkatkan kapasitas anggota sekaligus memupuk kohesifitas diantara mereka. Hal ini akan menghindari munculnya istilah “kok itu-itu saja yang tampil”.

Rupanya komunitas relawan penanggulangan bencana ini, menyadari bahwa kaderisasi sangat penting dilakukan sedini mungkin, ditengah banyaknya komunitas yang lahir dengan membawa kekhasannya sendiri-sendiri, sesuai dengan siapa aktor yang ada di belakangnya.

Idealnya, hasil pengimbasan itu ditindak lanjuti dengan magang. Yaitu bagian dari pelatihan kerja, yang memberi kesempatan mengembangkan kompetensi seseorang lewat praktek di lapangan dalam rangka peningkatan kapasitas.

caranya bisa dengan mengadakan team theaching. Dimana yang senior mengajak yuniornya dalam sebuah kegiatan dengan aturan main yang disepakati, sehingga sama-sama enaknya.  Model ini sangat membantu yunior untuk memaksimalkan potensinya sehingga siap dilepas untuk melaksanakan tugas secara mandiri.

Dalam pendidikan nonformal, dikenal istilah, “belajar bisa dimana saja, kapan saja, belajar apa saja dan dengan siapa saja”. Sementara hampir semua komunitas relawan itu memiliki kebiasaan jagongan tanpa jadwal tertentu. Bebas bercengkerama apa saja sambil nyruput wedang kesukaannya.

Disitulah, tanpa disadari terjadi proses pembelajaran. Termasuk belajar bermasyarakat. Sambil berkelakar mempererat chemistry, mereka saling tukar informasi, berbagi pengalaman tentang segala hal, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas kerelawanan, dalam suasana demokratis.

Biasanya, dari jagongan itu muncul gagasan hebat yang bisa ditindak lanjuti dalam sebuah program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas bagi seluruh relawan penanggulangan bencana, sebagai salah satu bagian menyiapkan kader penerus yang mumpuni dalam kerja-kerja kemanusiaan. Salam Tangguh Salam Kemanusiaan. [eBas/SelasaWage-22062021]

Senin, 14 Juni 2021

FPRB JATIM MAKIN BERMANFAAT DAN BERMARTABAT

“Pak Sekjen sekarang ini ibaratnya wong kabur kanginan. Dia harus kesana kemari memenuhi undangan untuk menebar virus pengurangan risiko bencana kepada khalayak ramai, sekaligus mendorong terbentuknya forum PRB di Kabupaten/Kota, bahkan sampai tingkat Kecamatan dan Desa,” Kata Rurid Rudianto, di Hotel Aria Centra, Surabaya, Selasa (8/6/2021) malam.

Dengan kondisi itu, masih kata Rurid, maka pengurus forum yang lain harus bisa merumuskan kebijakan dan mengemas gagasan pembaharuan yang bisa dijadikan bahan oleh Pak Sekjen dalam mensosialisasikan program forum saat “manggung” di berbagai tempat di Jawa timur.

Ya, Catur Sudarmanto, nama asli Mbah Darmo, saat melaksanakan tugasnya, disamping menjelaskan bentapa pentingnya forum sebagai mitra BPBD, juga selalu menyisipkan materi Pengurangan Risiko Bencana  Berbasis Komunitas (PRBBK).

Seperti diketahui bahwa PRBBK bisa diartikan sebagai rangkaian upaya mengurangi risiko bencana yang dilakukan melalui penyadaran, peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana dan atau penerapan upaya fisik dan non fisik oleh anggota masyarakat secara aktif, partisipatif dan terorganisir.

Dengan demikian, tugas pengurus forum yang dipandegani mBah Dharmo haruslah bisa memberdayakan komunitas relawan di daerah agar  mandiri dalam upaya pengurangan risiko bencana di wilayahnya masing-masing, Semua dilakukan bersama untuk saling menguatkan serta saling memberi kesempatan untuk berkembang optimal.

Untuk itulah, dalam postingannya di grup whatsapp, mBah Dharmo siap mendampingi komunitas relawan di daerah dalam menyusun dokumen yang diperlukan. Mulai dari Pra bencana, saat tanggap darurat dan Pasca Bencana. Mereka juga diharapkan bisa menyusun perencanaan pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi. Ya, mBah Dharmo orangnya memang “nyah nyoh” untuk berbagi ilmu dan pengalaman.

Beberapa komunitas relawan di daerah telah merasakan manfaat bersentuhan dengan ayah berputra empat ini. Mereka terinspirasi untuk berbuat sesuatu dalam rangka membangun kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana yang ada di daerahnya.

Mungkin, yang diperlukan adalah pendampingan agar keberadaannya lestari. Tidak hanya saat ada seremoni saja, seperti yang disinyalir oleh mBak Hikmah, anggota dewan dari fraksi PKB, saat memberi materi di Hotel Aria Centra, Surabaya. Artinya, agen bencana yang dibentuk BPBD hendaknya turun melakukan pendampingan dan pembinaan.

Sementara, Sekjen forum yang ke-3 ini selalu berupaya mendorong pemerintah agar setiap merencanakan pembangunan harus berbasis  Pengurangan Risiko Bencana, dan menempatkan komunitas relawan pada garda terdepan sebagai aktor utama dalam menghadapi bencana.

Termasuk melibatkan kelompok rentan, seperti gerkatin dan perwakos. Sehingga keberadaan Forum semakin berwarna, bermanfaat dan bermartabat, serta saling menguatkan untuk kerja-kerja kemanusiaan. [eBas/SelasaPaing-15062021]

 

 

 

Kamis, 10 Juni 2021

RAPAT KOORDINASI MENYAMAKAN VISI

Mukidi hatinya senang bukan kepalang, karena diberi kesempatan menjadi peserta rapat koordinasi forum komunikasi masyarakat penanggulangan bencana (FKMPB).  Lho, apakah nama FPRB akan diubah menjadi FKMPB ?. atau hanya sekedar kesalahan istilah untuk memudahkan pencairan anggaran. Wallahu a’lam.

Bagi Mukidi perubahan istilah itu tidak berdampak pada dirinya. Atur sajalah, yang  penting bagi Mukidi, dia bisa menikmati empuknya kasur hotel yang nyaman, bersih dan dingin. Handuknya harum, tidak seperti handuk di rumahnya.

Apalagi makanannya, sangat istimewa bagi seorang Mukidi yang masuk kategori kelas proletar yang jarang makan enak. Sehingga makan di hotel bisa dianggap sebagai upaya perbaikan gizi. Jadi, harap dimaklumi kalau Mukidi makannya sangat banyak. Semua jenis makanan yang tersaji, dirasakan semua dengan sedikit “crongohan”, menggunakan aji mumpung.

Kegiatan yang digelar selama dua hari, selasa-rabu (8-9 Juni 2021), diikuti oleh staf BPBD Kabupaten/Kota serta pengurus FPRB Provinsi dan Kabupaten/Kota. Bukan pengurus FKMPB. Kegiatan ini fokus membahas upaya pembentukan FPRB Kabupaten/Kota di Jawa Timur, yang diharapkan selesai di tahun 2021 ini.

Mukidi sangat menikmati perhelatan yang digelar oleh BPBD Provinsi Jawa Timur. Apalagi, semua peserta diberi kaos seragam, masker dan hand sanitizer sesuai protokol kesehatan untuk memutus covid-19 yang masih mengancam.

Agar dianggap sebagai peserta aktif, Mukidi berkomentar tentang perlunya menginisiasi terbentuknya FPRB di Kota Surabaya yang sampai saat ini belum punya BPBD, tapi punya BPB Linmas (badan penanggulangan bencana dan perlindungan masyaraakat). Hal ini bisa terjadi jika BPBD Provinsi berkenan "memfasilitasi" pertemuan demi pertemuan untuk mencapai kesepahaman.

Mukidi juga usul agar statuta yang sejak dulu belum pernah “disentuh” perubahan, bahkan tidak semua anggota mengetahui, kiranya perlu disesuaikan dengan gerak jamannya, dengan semangat mBah Dharmo sebagai Sekjen yang “mlayu banter” menjalankan program menebar virus PRB yang bermanfaat dan bermartabat. Tapi usulan itu statusnya hanya dibaca saja karena dianggap tidak penting.

Pak Papang, dari BNPB berkenan hadir dengan menyampaikan paparannya tentang Pedoman Pembentukan dan pengelolaan FPRB (sekali lagi bukan FKMPB). Dimana forum sebagai mitra BPBD bertujuan untuk berkontribusi pada pembangunan ketangguhan kota terhadap bencana dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Dalam paparannya, Pak Papang mengatakan bahwa forum PRB berfungsi sebagai mekanisme koordinasi di tingkat lokal untuk meningkatkan kolaborasi dan koordinasi multi-pemangku kepentingan. Dikatakan pula, forum PRB harus mengadopsi proses partisipatif untuk memfasilitasi keterlibatan berbagai sektor.

Sungguh, di mata Mukidi, paparannya Pak papang ini tidak mudah untuk dilaksanakan oleh pengurus forum. Harus ada keterlibatan BPBD yang “membukakan jalan” untuk membangun silaturahmi dengan unsur pentahelix lain yang masih sering memandang sebelah mata kepada keberadaan forum.

Menurut Mukidi yang miskin berorganisasi ini, solusinya adalah sering melakukan koordinasi diantara para aktor untuk menyamakan visi. Duduk bareng membangun komunikasi dan kolaborasi untuk merencanakan aksi nyata, bukan sekedar wacana oleh beberapa orang saja..

Hal ini seperti yang dikatakan Pak Papang, bahwa huruf jawa itu jika dipangku pasti mati. Artinya, dalam budaya jawa, orang akan nurut (sepakat) jika disanjung, dihargai, dan diajak omong. Apakah benar begitu ?.

Yang jelas, Mukidi sudah kembali menjalani rutinitas hidupnya. Kini dia mencoba membangun harapan lewat grup whatsapp, mengajak koleganya untuk bertemu menindak lanjuti hasil rapat koordinasi FPRB Jawa Timur (bukan FKMPB seperti yang tertera di spanduk yang dipasang di Hotel Aria Centra Surabaya). Salam Tangguh Salam Sehat. [eBas/JumatPon-11062021]      

 

 

 

 

 


Kamis, 03 Juni 2021

RELAWAN SADAR LITERASI

Konon, sesuai perkembangan jaman, yang namanya literasi itu bukan sekedar paham dan ngerti baca tulis dan berhitung (calistung) . tapi juga meliputi berbagai aspek kehidupan. Ada literasi kesehatan, literasi lingkungan, literasi kewargaan, keuangan, ekonomi, bisnis, dan literasi kewirausahaan, serta literasi lainnya yang perlu dikuasai sesuai potensi yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhannya.

Sementara, National institute for literacy, mengatakan bahwa literasi adalah kemampuan individu dalam membaca, menulis, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam keluarga, pekerjaan dan masyarakat. (Fahri Abdullah dalam ruangguru.com-16 januari 2021).

Apa yang terpapar di atas, bisa dimaknai bahwa relawan pun harus selalu mengasah potensi dan kapasitasnya, lewat berbagai aktivitas. Tidak harus lewat diklat yang diselenggarakan oleh BPBD/BNPB saja. Namun bisa lewat media apa saja. Baik yang dilakukan secara formal, maupun informal.

Seperti, kebiasaan jagongan kawan-kawan relawan yang tergabung dalam Jamaah LC. Tanpa disadari mereka sedang berliterasi dengan caranya sendiri. Santai sambil ngopi tanpa kewajiban untuk menguasai materi. Namanya juga jagongan, jadi ya lebih banyak guyonan.

Hal ini tampak pada saat mereka kembali bersepakat menggelar jagongan. Saat itu kamis (21/5) malam jumat, di basecamp. Tanpa ada moderator dan tema tertentu, mereka langsung bergantian membuka obrolan berbagi cerita. Sementara ada yang menyiapkan kopi dan jajanan untuk memeriahkan suasana.

Ada Om Dharma, yang bercerita tentang praktek navigasi dan peta kompas saat penjelajahan. Dia juga berbagi pengalaman suka duka melakukan pencarian orang hilang saat pendakian di beberapa gunung. Termasuk saat diganggu oleh makhluk dari dunia lain.

Juga ada Cak Mus, yang berkenan berbagi pengalaman mendaki gunung dengan dibumbui cerita mistisnya. Sementara, yang lain menimpali dengan cerita lain yang sejenis. Termasuk Cak Alfin yang bercerita tentang upaya mendorong terbentuknya FPRB di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa timur. Begitulah, sambil nyruput kopi, mereka berbagi cerita apa saja sehingga peserta jagongan tahu tentang cerita itu.

Dari cerita-cerita itulah, diharapkan bisa dipetik pelajaran untuk ditularkan kepada generasi berikutinya (yuniornya), sehingga kejadian konyol itu tidak terulang kembali dikemudian hari. Karena, sesungguhnyalah dibalik proses literasi dalam bentuk cerita itu selalu ada pesan yang tidak semua orang bisa memahami dan mengambil hikmahnya.

Ya, dengan berliterasi, relawan tidak hanya jagongan semata, namun ada informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas masing-masing individu sehingga siap mandiri menghadapi masa depan.

Hal ini penting, mengingat relawan juga manusia yang mempunyai tanggung jawab mensejahterakan keluarganya, serta mempunyai tugas sosial sebagai anggota masyarakat dimana dia tinggal.

Kini, di basecamp telah terpasang kipas angin hasil urunan bersama, yang bisa meredam panasnya udara Surabaya timur. Tentu diharapkan agar jagongan di basecamp akan semakin semarak dengan cerita-cerita yang beraneka tentang apa saja, dalam rangka mendukung gerakan literasi, khususnya yang berkaitan dengan kebencanaan.

Konon, dalam proses literasi itu para relawan sedang belajar berkomunikasi, berkoordinasi, berkolaborasi, belajar berpikir kritis. Juga belajar berkreasi mengembangkan bakat dan memperluas jejaring kemitraan. Tentu dengan segala keterbatasannya.

Salam tangguh, salam sehat, saling menguatkan, saling peduli membangun sinergi untuk kerja-kerja kemanusiaan, dan salam wedang kopi, seduluran sampek mati. [eBas/JumatLegi-04062021]