Senin, 30 Maret 2020

CELOTEH PANJANG BANG TEZAR


Ceritanya tuh saya hanya mengkoleksi aneka komentar dari kawan-kawan yang punya gagasan hebat di grup WhatsApp, seperti dari Yeka Kusumajaya, Huda Obis Camp, Azelin dan Dian Harmuningsih, serta komentar lain yang tidak mungkin saya tulis satu-satu. Karena semuanya mempunyai keunikannya masing-masing,

Misalnya, Yeka Kusumajaya bilang bahwa “Saya hanya ingin berpendapat bahwa Corona ini penanganannya tidak seperti bencana pada umumnya. Misalnya longsor atau erupsi gunung api. Penanganannya harus lebih spesifik dan hati-hati kalau melibatkan relawan yang pengetahuan dan kemampuannya belum banyak,”

Yeka yang alumni Unisma, juga mengatakan, seberapa besar support pemerintah terkait Corona terhadap relawan yang dilibatkan dalam penanganan Corona. Adakah jaminan dan ketersediaan APD untuk teman-teman di lapangan. Sehingga bisa bekerja secara maksimal tanpa rasa kawatir.

Sedangkan Huda Obis Camp, mengajak relawan untuk waspada terhadap Corona. Dalam postingannya dia menganjurkan relawan untuk ‘tiarap dulu’,  konsentrasi pada kesehatan diri dan keluarga. Pemerintah beserta aparatnya sudah turun tangan melakukan pencegahan, penyelamatan dan rehabilitasi. Mohon utamakan keselamatan diri dan keluarga.

Saya pikir sayang jika komentar yang hebat itu berlalu begitu saja, karena buah pikir yang hebat itu pasti banyak manfaatnya untuk pembelajaran kita ke depannya. Bisa juga untuk bahan evaluasi diri, untuk bersama belajar berorganisasi. 

Untuk itulah, dari pada hilang ketumpuk komentar dan postingan yang lain, saya coba merangkai dengan ilmu ‘Othak Athik Gathuk’ yang hanya memerlukan ketekunan untuk menyambung kalimat menjadi narasi yang bisa dipahami (bisa juga dipaido). Jadilah postingan dengan kemasan baru, tapi intinya sama.

Ternyata Tezar, seorang relawan lawas Kota Malang berkenan mengomentari narasi ini dengan panjang lebar, sesuai pengalaman dan harapannya.

“Wah keren pak Dhe,  iki Luar biasa...jooos Bahasa langitan lek jare Cak Apan,” Katanya mengawali komentarnya dengan dialek malangan yang kental.

Masih menurut pria berkaca mata ini, Narasi tersebut Kalo dilihat dari atas emang kayak gitu pak Dhe. Pol bener gak ngecap,  Tapi kondisi di lapangan adoh tekan kono pak Dhe. Jauh panggang dari api. Kami yang kata mas Yeka relawan nekad, sudah koordinasi dan bahkan laporan kepada BPBD setempat dan siap diajak kerja bareng. Tapi nyatane di senggol ae ora. Ada juga yang selalu diajak BPBD, tapi itu lebih karena kedekatan dengan beberapa person aja, sedangkan yang gak kesenggol blas yo lumayan banyak. Cobak sekali-kali pean dulino nang Malang, cek ne weruh dewe.

“Tapi sekali lagi. Kita nekad tapi gak bodoh lek jare arek-arek. Mereka selalu melakukan mitigasi dulu daerah yang akan kita bantu. Lengkapi APD, Siapkan bahan dan logistik, terus jalan,” Kata shohibnya ning Chica bersemangat menelanjangi realita lapangan.

Terkait dengan sifat kenekatan relawan, Sam Yeka, Mbak Dian, dan Gus Yoyok Al-mBangilan, mengingatkan agar tetap hati-hati, jangan memaksakan diri dan lengkapi dengan alat perlindungan diri sebelum ikut beroperasi. Namun sebaiknya, sesuai anjuran pemerintah, berdiam diri saja di rumah, menikmati social distancing dan physical distancing untuk memutus mata rantai covid19.

“Benar sekali, masalah tenaga, dana, dan sarpras. Sungguh, Lek gak ada dana  kami diam. Tapi lek gak due, kita berusaha untuk mendapatkannya, entah bagaimana caranya, yang penting berusaha bersama-sama. Itu semua karena wis kadung kepanggil nuraninya berbuat sesuatu untuk sesama, seperti kata kak Dian, Koordinator SRPB,” Sambungnya.

Panggilan jiwa yang tidak bisa di bendung lagi. Ngenteni ajakan mereka yo sue. Mumpung onok donatur sing gelem berpartisipasi, yo jalan membantu sesama. Ya disitulah daya tarik terjun langsung di lapangan sangat besar, tampak heroiknya yang kadang diwarnai dengan sikap nekat. Baru akan menjadi masalah ketika relawan model cul-culan ini mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.  Disinilah perlu adanya acara duduk bareng antar relawan, kemudian pihak BPBD memberikan pembinaan dalam rangka memahamkan Perka BNPB nomor 17 tahun 2011.

Dalam komentar yang lain, Tezar mengatakan bahwa keberadaan relawan itu bisa dikategorikan ke dalam tiga mazhab. pertama  Relawan bentukan pemerintah yang dibina instansi tertentu dengan peraturan tersendiri sebagai payung hukumnya.  Sehingga cara kerjanya sudah jelas tertuang dalam tupoksi dan semua kegiatan selalu berbekal surat perintah dan anggarannya. Jadi wis jelas onok sing dijagakno. Sing penting budal mesti bayaran.

Ke dua, Relawan yang tergabung dalam organisasi gede. Ini juga jelas program dan tugasnya, sesuai visi misi organisasi. Sehingga ketika terjadi bencana, bisa langsung bergerak tanpa menunggu proses administrasi yang ribet, karena semuanya sudah ditanggung manajemen.

Golongan ini kadang ada yang egonya tinggi gak mau direcoki, gak mau diajak kerja bareng dan tidak mau diajak berkolaborasi membangun sinergi, karena sudah merasa kaya, punya segalanya dan keminter, walau memang ada yang pinter beneran.

Yang ke tiga, masih kata Tezar dengan dialek malangan, Iki sing angel. Relawan nekat pol gak duwe opo-opo tapi pengen bergerak berbuat sesuatu untuk kebermanfaatan sesama. Rodok ngeyel tapi muni relawan yang bergerak sendiri dengan modal mandiri atau ada donatur yang mendukung.

Golongan ini biasanya malas berkoordinasi dan sulit dipantau pergerakannya. Prinsipnya segera menolong apa yang perlu ditolong dengan penuh semangat suka cita untuk kemudian balik kanan, pulang tanpa perlu laporan. Itulah kepuasannya. Mereka kurang peduli dengan aturan administrasi, sehingga sering terkesan tidak terurus dan gak ngurusi terhadap aturan-aturan yang ditentukan.

Namun demikian, mereka ini juga relawan yang bekerja sukarela membantu upaya penanggulangan bencana, menolong sesama. Kebanggaan mereka adalah ketika upaya yang dilakukan berhasil. Itu saja tanpa tendensi lainnya, semua atas nama ikhlas dan tulus untuk kemanusiaan. kondisi yang demikian Ternyata banyak dimanfaatkan oleh oknum tertentu.

“Jangan kaget, aktivitas kerelawanan itu penuh cerita. Seperti adanya relawan yang hanya sekedar nyari-nyari dan cari muka mencari kesempatan dan keuntungan pribadi, pahamlah pokok e. Masio senior yo ono sing koyo ngono. Nggedabrus thok memberi harapan palsu nang mereka yang dianggap yunior.” Katanya.

Sungguh, sebuah pengalaman yang sangat berharga untuk pembelajaran. Perlu kiranya ada pihak yang bisa menggelar sebuah pertemuan untuk membedah apa yang diceritakan Cak Tezar agar ke depan, dunia relawan benar-benar dapat membersamai BPBD dalam menjalankan misi kemanusiaan tanpa ada upaya ‘menyelingkuhi’ ketulusan niat relawan dalam kerja-kerja kemanusiaan.

“Menggerakkan relawan sebenernya simple lho Pak Dhe. Cukup onok fasilitas transportasi dan logistik wae wis lebih dari cukup menyemangati mereka dalam melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Yang penting ada dialog yang terbuka, agar tiada dusta diantara kita.” Kata pria ganteng yang kini memelihara jenggot dan kumis, mirip Iwan Fals.

Berharap segala celotehan Cak Tezar ini bisa menginspirasi kita semua bahwa relawan itu unik dan kaya warna, penuh cerita yang tidak pernah ada selesainya. Karena cerita itu akan selalu berbeda dari masa ke masa dan dari daerah yang satu dengan daerah lainnya. hal ini terjadi karena ada kepentingan yang melatari dari kegiatan kerelawanan itu sendiri. Makanya jorgon yang bilang bahwa relawan itu berhasil tidak dipuji, gagal dimaki dan sakit salah sendiri, tampaknya benar adanya. Wallahu a’lam. [eBas/menjalani BDR-Covid19/senin kliwon-30032020]

Minggu, 29 Maret 2020

OBROLAN MINGGU WAGE DI JOKA


Rencana semula, pertemuan terbatas 8 orang (Ocha, Hamid, Rizal, Bambang, Abat, Adi, Leo dan Ebas), diadakan dalam rangka belajar menyusun skenario untuk pembuatan iklan layanan masyarakat sadar covid-19. Mengapa harus dilakukan terbatas ?. disamping memenuhi himbauan pemerintah tentang larangan berkumpul dalam rangka social distancing dan physical distancing, juga agar efektif belajarnya. Nanti setelah skenario tersusun tentu akan “dirapatkan” untuk mendapat masukan sebelum di produksi.

Namun rencana rapat terganggu karena kehadiran Pak SM yang ikut nimbrung. Obrolan menjadi gayeng karena pemilik Joka berkenan berbagi cerita ringan tentang bencana covid-19. Kami pun dengan senang hati mendengarkan ceritanya, sambil sesekali bertanya dan meminta komentarnya tentang sesuatu hal yang terkait dengan program, termasuk peran relawan dalam upaya pencegahan covid-19.

Konon perkembangan berita tentang covid-19 semakin menghawatirkan, jumlah ODP, PDP, dan yang positif kena covid-19 terus bertambah di berbagai daerah. Sementara, Pemerintah, dibantu oleh berbagai komunitas relawan tetap bersemangat melakukan langkah-langkah pencegahan.

Mulai dari pemberlakuan pembatasan berkumpul di beberapa tempat umum, himbauan untuk berdiam di rumah, sering cuci tangan, menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan. Bahkan memberlakukan bekerja dari rumah untuk PNS/ASN dan belajar di rumah untuk peserta didik.

Aksi nyata lainnya yang saat ini marak dilakukan adalah kegiatan penyemprotan disinfektan keberbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial. Di berbagai daerah, beberapa komunitas nirlaba secara mandiri melakukan bakti sosial penyemprotan dengan melengkapi diri memakai APD milik pribadi (di beberapa daerah, konon relawan mendapat bantuan APD dari pemerintah dan CSR dari dunia usaha).

Ada juga beberapa komunitas yang bersama-sama melakukan bantuan “bottling hand sanitizer” kepada masyarakat. Mereka dengan guyub rukun, tanpa lelah membantu pemerintah dengan caranya sendiri, tanpa menunggu perintah. Termasuk melakukan edukasi sadar covid-19 dan menginisiasi pembentukan satuan tugas pencegahan covid-19 tingkat Desa, bahkan jika memungkinkan, relawan bisa mendorong untuk belajar bareng tentang konsep karantina wilayah level RT.

Sambil nyruput wedang kopi ireng kelas warkop, semua mendengarkan petuah Pak SM, bahwa kerja penyemprotan itu harus dilakukan oleh relawan yang benar-benar sehat, dan dilengkapi APD. sambil nyruput wedang jahe ramuannya pak dhe kopros, beliau mengingatkan agar dalam pencampuran bahan-bahan yang digunakan nyemprot harus cermat sesuai dosis yang dianjurkan dan dipastikan aman bagi manusia.

“Partisipasi kalian sangat membanggakan, namun semua gerakan penyemprotan itu harus diketahui BPBD setempat yang diamanati undang-undang sebagai aktor utama dalam penanggulangan bencana. Pasti mereka akan senang hati dibantu oleh relawan. memang, terkadang gaya komunikasi itu juga berpengaruh. Namun, relawan tetap harus melaporkan kegiatannya,” Harapnya.

Obrolan pun harus berhenti karena mendung telah menghitam, tanda hujan tak lama lagi kan datang. Satu-satu mulai berkemas. Tidak lupa mengisi tumblernya dengan air hujan yang telah diolah oleh Mas Taka. Semua peserta rapat sepakat akan menindak lanjuti rencana pembuatan skenario iklan layanan masyarakat lewat whatsapp atau merencanakan jagongan lagi. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/29032020]

  




Selasa, 24 Maret 2020

R E L A W A N


 Jika anak-Mu kelak bertanya, ayah siapa itu RELAWAN ?!?
Mungkin ini bisa jadi jawabannya
RELAWAN itu bukan manusia biasa nak . . . .
Orang yang gak boleh sakit,
Orang yang harus nahan ngantuk,
Orang yang terus berpikir dan mengingat dan memperhatikan tentang kondisi orang lain,
Orang yang peduli sesama
Orang yang makan seadanya,
Orang yang menolong tanpa bayaran
Orang yang kadang kehilangan waktu dengan orang-orang yang disayanginya.
Orang yang berhasil tidak dipuji, jika gagal dimaki, mati salah sendiri

Dan bila Dia kembali bertanya . . , _kenapa Ayah mau jadi RELAWAN ?!?_
" Dulu ada yg bilang RELAWAN itu orang yang nanti kelak berada diantara surga dan neraka
Ilmu agama ayah tidak cukup untuk surga
Namun ayah tidak mau masuk neraka, _mungkin kelak diakhirat akan ada mereka yg mengingat Ayah sehingga dapat memberikan Syafaat untuk Ayah . . .

Dan bila Dia kembali bertanya . . , kapan ayah berhenti jadi RELAWAN dan pensiun ?!?
Sukatelawan_ tidak pernah bisa pensiun nak,
Sekalipun Ayah nanti memutuskan  berhenti bekerja, bila orang tau ayah Sukarelawan pasti akan ada pertanyaan atau minta pertolongan tentang kesulitan / musibah yang mereka derita.

Dan bila Dia kembali bertanya, berapa gaji Ayah ?!?
Gaji Ayah adalah melihatmu tetap sehat karena Ayah hanya punya sedikit waktu mengurusmu,
Gaji Ayah adalah melihat orang tertolong tersenyum, bangun dan berjalan,
(Tidak ada yang lebih berharga dari itu).

Dan bila Dia kembali bertanya, kalo Ayah terus menolong orang lain siapa yang menolong ayah ?!?
ALLOH SUBHANAHU WATA'ALA . . , nak, DO'A Kamu dan DO'A orang yang tertolong adalah obat, penguat  dan  penolong kesehatan serta keselamatan Ayah.

Bila Dia sudah selesai bertanya katakanlah ini :
Bila Kamu besar nanti, Ayah harapkan _jadilah orang yang berguna, orang yang berguna itu tidak perlu menjadi seorang Sukarelawan,_
Tapi bila Kamu mau jadi Sukarelawan, yang penting jagalah kesehatanmu, jagalah amalanmu dan jagalah profesimu._
Dan saat kamu menjadi Sukarelawan hati dan pikiranmu akan lebih banyak untuk orang-orang yang meminta bantuan-Mu ...
Untuk itu, siapkan dulu dirimu, sebelum memulai kerja untuk sesama
Jangan memaksakan diri, berbuatlah sesuai kemampuan, agar kamu tetap bahagia

#sumber: anonim
#copas dari facebook 
#24032020

Senin, 23 Maret 2020

AKU TELAH DI REMOVE OLEH SANG PROFESOR


Hari ini, selasa wage (24/3) aku telah di remove dari grup MTI, sebuah grup whatsApp yang berisi berbagai orang pinter dibidangnya. Aku dikeluarkan karena dianggap nakal memposting berita hoax. Gak tanggung-tanggung yang meremove itu bukan orang sembarangan, bukan sekedar admin grup, dia seorang pakar tapi bukan guru besar. Dosen ITS yang dilabeli masyarakat sebagai ahli gempa. Banyak masyarakat bahkan pejabat menaruh hormat karena prediksinya selalu tepat dan hasil penelitiannya akurat. Ya, wabah corona tidak hanya membawa kematian para penderitanya. Gegara corona pula telah memakan korban anggota grup di remove, agar perilakunya tidak menular ke anggota yang lain.

Sungguh dikeluarkan dari grupnya orang cerdik pandai ini sangat menyakitkan dan menjadikan petaka tersendiri. Karena tertutuplah salah satu sumber informasi terkini tentang berbagai hal. Mulai dari issue gempa Surabaya yang sempat mencemaskan warga, tentang peninggalan sejarah yang dihubungkan dengan ilmu kebencanaan masa lalu, sampai masalah wabah corona yang saat ini sedang hangat dibahas oleh semua orang.

Ya semua orang, saat ini telah menjadi pengamat dan komentator masalah corona. Berbagai teori, dugaan, pendapat, harapan, saran, usulan tentang penanganan corona dilontarkan seolah-olah paling benar sendiri. Bahkan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah pun dianggap kurang benar secara teori. Dianggap tidak melalui kajian teori, seperti penelitian yang dilakukan dosen.

Ya, seharusnya begini, hendaknya begitu sesuai mazhab kampusnya. (lain kampus memang sering kali berbeda mazhab). Seakan mereka lupa bahwa teori itu seringkali bertabrakan dengan kebijakan. Apalagi jika sudah diwarnai kepentingan politik. Maka suara pakar yang lebih top pun sering kali dikalahkan. Dalam beberapa kasus, suara pakar pun bisa berseberangan. Karena yang satu dibayar dan lainnya tidak. Ini nyata dan bukan hoax. Yang menganggap ini hoax berarti koplax.

Dengan dikeluarkannya diriku dari grupnya sang professor ITS yang bertepatan dengan suasana hari raya nyepi ini, mungkin cara Tuhan menampar agar aku berkaca diri, memperbaiki diri untuk tidak nakal lagi. Kalau bergaul dengan “orang kampus” ya harus berdasarkan data,  didukung teori dari berbagai referensi, agar tidak mampus sebelum oleh admin dihapus. Orang jawa bilang, aku ketiban awu anget, konangan nyebar hoax, sementara anggota lain yang pernah melakukan tidak konangan, aman-aman saja. Hahahahasem.

Sungguh sebagai pakarnya pakar yang merangkap admin, tentu dia tidak suka dengan berita hoax menghiasi grup. Sehingga ketika ada anggota grup yang berani menyebar hoax, maka sebagai pendiri grup MTI langsung bertindak tegas. Remove dari grup, tanpa ada diskusi panjang dengan para admin lainnya. karena admin lainnya juga takut di remove jika berani berseberangan paham dengan sang professor. Ya, sesama admin memang harus saling menjaga dan membela.

Saranku kepada anggota grup MTI yang konon dilahirkan di Taman Bungkul beberapa tahun yang lalu, jangan seenak udel berkomentar atawa posting di grup ini. Ini bukan grup biasa, tapi grup luar biasa yang berisi para akademisi, praktisi dan birokrat yang kritis sesuai kaidah ilmiah. temanku bilang, jika adminnya suka meremove itu tanda grupnya menuju pseudo democacy. 

Ingat hampir seluruh adminnya sangat tawaduk kepada sang professor. Jika kalian nakal, maka nasibmu akan seperti nasibmu, di remove oleh sang dosen pakar yang sangat “menikmati” dipanggil pak profesor dari para koleganya, termasuk anggota grup, padahal sungguh dia masih doktor (kata tetanggaku yang juga dosen ITS). Terimakasih prof atas ketegasan meremove diriku, Doaku, semoga Tuhan memberi kesempatan kepada prof menjadi prosesor sungguhan yang bijaksana. Wallahu a’lam. [eBas/angrem di rumah kena giliran BDR]
    

Minggu, 22 Maret 2020

SEMUA KARENA CORONA


Gegara corona yang semakin meluas sebarannya, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk bekerja di rumah dalam rangka upaya memutus rantai penyebarannya. Seperti saya, hari ini  mendapat giliran BDR (bekerja dari rumah), namun tetap absen dan membuat laporan online dari rumah (beserta foto kegiatan).

Ternyata BDR itu berat sekali. Mudah capek, bolak balik angop, bolak balik ngemil trus glethak’an di lantai sampai ketiduran. Tentu ini tidak sehat. Untuk itulah, senyampang mendapat jatah BDR, saya bermaksud ikutan berpartisipasi jaga Posko Siaga Corona di Kantor Gubernuran (Grahadi)., kumpul dengan berbagai relawan yang sedang piket. Siapa tahu disana nanti mendapat informasi baru. Lumayan bisa nambah ilmu dan relasi.

Sayang seribu sayang, putus sudah harapan. Karena, ternyata Ibu Gubernur telah mengumumkan bahwa jumlah piket Posko Siaga Corona dikurangi. Bukan karena keterbatasan konsumsi, tapi lebih karena Corona sudah semakin menyebar ke semua lini. Begitu juga koordinator SRPB Jawa Timur telah menginstruksikan kepada relawan yang siap piket untuk mundur alon-alon mengikuti himbauan Ibu Gubernur demi keselamatan.

Ya, gagal sudah rencana saya mengaktualisasikan diri sebagai relawan untuk berkontribusi ikutan jaga Posko. Seorang teman bilang, berdiam di rumah dalam rangka social descanting itu juga sudah membantu pemerintah memutus sebaran corona. Ada juga yang menyarankan untuk mengikuti berbagai diskusi online. Yang penting komunikasi tetap terjalin mesra.

Diana, sekjen Suara komunitas, bilang, silahkan Pak Edi beraktualisasi diri sebagai relawan untuk membantu sesama dan selalu membangun sinergi dengan pihak-pihak yang terkait dengan kebencaanaan, asalkan protokolnya jelas dipatuhi dan ada jaminan penanganan saat darurat.

“Kalau tidak ada, mari berpikir lebih jauh dan lebih bijak untuk keselamatan diri sendiri dan lingkup terdekat,” Kata ibu berputra dua ini mengingtakan, bahwa relawan juga rentan terhadap Corona.

Apa yang dikatakan alumni ITS ini, sejalan dengan komentarnya Yeka Kusumajaya. Pria alumni Unisma itu mengatakan, Jangan terlibat kalau kondisi rentan dan beresiko tinggi. Jangan korbankan relawan hanya untuk hal-hal yang sifatnya heroik semata. Apalagi jika dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

 “Kalau bukan tupoksi dan belum memiliki kemampuan dan pengetahuan menjadi relawan covid-19 lebih baik undur diri. Jangan memaksakan diri. Jangan karena kita relawan terus selalu wajib membantu kegiatan pemerintah tanpa kejelasan ‘aturan mainnya’.” Kata Yeka yang saat ini sedang di Palu.

Nasehat dari mbak Diana dan mas Yeka itu kiranya menarik untuk direnungkan bersama, demi keselamatan kawan-kawan yang memiliki jiwa kerelawanan. Dalam Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dikatakan Relawan Penanggulangan Bencana adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.

Mungkin, karena kata sukarela dan ikhlas itulah maka relawan tidak mengenal dan mempersoalkan apa itu protokol, seperti yang dimaksudkan oleh mbak Diana. Yang penting relawan siap membantu sesuai kemampuan dan tentunya kesempatan yang tidak mengganggu aktivitas pribadinya.

Konon, cerita dari relawan yang sudah merasakan piket di Posko Siaga Corona itu mengasyikkan. Disamping sering ketemu dan ber-selfie-ria dengan pejabat gubernuran, serta berkesempatan mendengarkan aneka gossip yang tidak biasa. Tugasnya tergolong ringan, bukan kerja fisik, tapi duduk mengamati berita perkembangan Corona dari berbagai daerah dan membuat laporan.

Sayang seribu kali sayang saya gagal mengaktualisasikan diri sebagai relawan yang piket di Posko Siaga Corona, karena adanya kebijakan pengurangan jumlah personil yang piket posko oleh Gubernur. Ada rasa kecewa tapi saya harus patuh dengan instruksi yang dikeluarkan oleh PIC (person in charge) yang ditunjuk oleh Koordinator SRPB Jawa Timur. Semoga ada hikmahnya. Paling tidak saya benar-benar bisa menikmati giliran bekerja di rumah (BDR) sambil ngemil dan sarungan tanpa baju alias ote - ote. Wassalam. [eBas/SeninPon-23032020]





Kamis, 19 Maret 2020

PESAN YEKA BUAT RELAWAN SIAGA CORONA

Ternyata corona dari Wuhan itu telah masuk ke Jawa timur, termasuk Surabaya. Masyarakat yang terpapar semakin banyak, baik itu orang dalam pemantauan, maupun pasien dalam pengawasan. Bahkan sudah ada korban meninggal, karena, konon Corona yang kini disebut Covid19 belum ada obatnya.

Untuk itulah Gubernur mengeluarkan status keadaan gawat darurat bencana Covid-19 di Jawa Timur. Dinas terkait pun sibuk bergerak “membendung” wabah Corona dengan mengerahkan segala daya dan sarana prasarana pendukungnya. Bahkan sudah pula mendirikan Posko Siaga Corona.

Relawan pun tidak tinggal diam. Mereka juga turut siaga untuk bergerak sesuai kemampuannya. Ada yang dilibatkan jaga Posko bersama PNS/ASN yang dibekali SPPD, ada yang berinisiatif membagikan masker, pun ada yang bersama-sama melakukan gerakan bersih-bersih rumah ibadah. Baik dengan menggunakan APD pribadi, atau terpaksa nekat tanpa APD karena tidak punya atau belum mendapat jatah dari yang menugaskannya.

Apa yang dilakukan relawan ini sebagai upaya turut antisipasi terhadap penyebaran Corona. Cuma, apa yang dilakukan ini sepertinya bertentangan dengan himbauan  Panca Selamat : cuci tangan, diam di rumah hindari kerumunan, jaga jarak, pakai masker, silaturahmi tangkup tangan. Hal ini sejalan dengan komentarnya Wawan Kim, bahwa Kawan-kawan sebaiknya benar-benar patuh pada apa yang disebut ‘social distancing’. Sebaiknya kawan-kawan fokus ke anak dan istri, juga keluarga. Pemerintah sudah menghimbau, agar keramaian sudah harus dikurangi, bahkan di tiadakan. Kegiatan yang mengumpulkan massa, banyak yang sudah ditunda pelaksanaannya. Kalau merujuk himbauan untuk sosialisasi langsung, logiknya kita diminta untuk mengumpulkan massa. Ini sudah paradoks.

Ya, apa yang dikatakan wawan ini berlawanan antara himbauan untuk ‘menyendiri’ dengan ajakan bersama untuk ‘kerja bakti’ dan sosialisasi. Terkait dengan hal tersebut, Yeka Kusumajaya yang sedang di Palu, bilang, “Saya hanya ingin berpendapat bahwa Corona ini penanganannya tidak seperti bencana pada umumnya. Misalnya longsor atau erupsi gunung api. Penanganannya harus lebih spesifik dan hati-hati kalau melibatkan relawan yang pengetahuan dan kemampuannya belum banyak,”

Yang kedua, masih kata pengurus SRPB ini, kita juga perlu wanti-wanti dengan kondisi ini. Seberapa besar support pemerintah terkait Corona terhadap relawan yang dilibatkan dalam penanganan Corona. Adakah jaminan dan ketersediaan APD untuk teman-teman di lapangan. Sehingga bisa bekerja secara maksimal tanpa rasa kawatir.

“Jangan terlibat kalau kondisi rentan dan beresiko tinggi, jangan korbankan relawan hanya untuk hal-hal yang sifatnya heroik semata. Apalagi jika dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Kalau bukan tupoksi dan belum memiliki kemampuan dan pengetahuan menjadi relawan covid-19 lebih baik undur diri. Jangan memaksakan diri. Ingat, kesehatan dan nyawa teman-teman lebih berharga bagi saya dibanding sekedar membangun nama SRPB,” katanya (mungkin dia nulisnya sambil ngudut jisamsu kesukaannya).

Masih terkait dengan gonjang ganjing Corona ini, Sahabatnya Pakdhe Kopros ini mengingatkan bahwa, tidak semua tawaran BPBD itu harus dituruti. Karena, relawan juga tidak selalu dilibatkan dalam pelaksanaan tugas BPBD. Jangan karena kita relawan terus selalu wajib membantu kegiatan BPBD. Ingat Corona itu ganas mematikan. Jadi relawan juga harus memproteksi diri dan keluarganya.

Karena, jika terjadi apa-apa, yang menanggung ya relawan itu sendiri, bukan yang lain, hal ini disebabkan pos anggaran untuk keselamatan relawan belum ada payung hukumnya. Untuk itulah Sam Yeka, begitu panggilan akrabnya, menyarankan agar relawan yang tergabung dalam SRPB juga harus cerdas memilih dan bersikap, agar keberadaannya  tidak dianggap sebagai perpanjangan tangan BPBD (apalagi dianggap mendapat subsidi).
        
       “Mohon maaf kalau saya keras dalam hal ini, karena saya tidak lagi mau dengar kehilangan relawan dalam penyelamatan, bukan karena takdir tapi lebih pada kebodohan dan kesombongan,” Katanya (tetap dengan nada berapi-api, mungkin sambil nyruput kopi).

Apa yang dikatakan alumni Unisma ini patut kiranya menjadi bahan renungan tentang keberadaan relawan yang terlibat dalam kerja-kerja sosial membantu sesama. Apalagi yang dikerjakan saat ini adalah bencana non alam. Ini bukan bencana alam seperti yang selama ini kita geluti, kasat mata, mudah dilihat dan dihindari. Harus ekstra hati-hati, jangan sampai tertular.

Sejalan dengan pesannya Yeka Kusumajaya, Syaiful Huda, pemilik Obis Camp, di kawasan Mojokerto, mengajak relawan untuk waspada terhadap Corona. Dalam postingannya dia menganjurkan relawan untuktiarap dulu’,  konsentrasi pada kesehatan diri dan keluarga. Pemerintah beserta aparatnya sudah turun tangan melakukan pencegahan, penyelamatan dan rehabilitasi. Mohon utamakan keselamatan diri dan keluarga.

“Ingat, kita ini relawan yang tidak ditanggung siapa-siapa. Hanya nurani dan rasa kemanusiaan saja yang menggerakkan kita berbuat sesuatu untuk sesama. Sementara karyawan Dinkes, bpbd, atau dinas lain yang ditugaskan sebagai relawan, itu semua adalah abdi negara yang  di gaji dan mendapat aneka tunjangan. Jadi, janganlah menjadi pahlawan  kesiangan. Kita sudah luarbiasa perhatian dengan masalah kemanusiaan.  Dan mohon dipahami ini lain dari pada bencana pada umumnya sepertinya patut diduga ini pekerjaan iluminati,” Katanya, tak kalah menohoknya dengan Yeka.

Semoga apa yang diposting oleh orang-orang hebat di atas bisa menjadikan kita semua untuk berfikir jernih dalam menyusun agenda organisasi. Jangan lupa bahagia dan tetap mengutamakan keselamatan bersama dalam melakukan kerja-kerja kemanusiaan. jangan sampai kegiatan kerelawanan itu mengorbankan urusan domestik yang berdampak pada terlantarnya keluarga. Naudzubillah Min dzalik. [eBas/Jumat Kliwon-20032020]




Senin, 16 Maret 2020

RELAWAN PERLU AGENDA BERSAMA UNTUK SESAMA


          Mungkin lupa dibahas, atau sudah dianggap masuk dalam salah satu program yang diagendakan, penulis kurang tahu. Yang jelas, tidak ada salahnya jika relawan dari berbagai organisasi yang bergabung di sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM), perlu memperkuat diri melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak (pentahelix), dalam rangka menyusun program bersama untuk meningkatkan kapasitas kerja-kerja kemanusiaan yang selama ini digelutinya.

Tidak lupa, keberadaan SRPB JATIM diharapkan bisa menjadi mitra kritis badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dalam menjalankan programnya. Selain memberi saran, usulan, dan gagasan kreatif, juga harus mampu menawarkan solusi nyata agar program-program BPBD bisa dipahami untuk kemudian diamalkan oleh masyarakat yang menjadi sasaran programnya. Baik itu program destana, SPAB, sosialisasi PRB, dan sejenisnya.

Tentu, dalam menyusun program bersama itu harus ada acara duduk bareng antar ketua organisasi untuk membahas agenda bersama. Misalnya digelar acara sarasehan untuk merumuskannya. Dalam kegiatan itu, masing-masing ketua organisasi diberi mandat untuk menyelenggarakan kegiatan. Baik itu indoor training, maupun outdoor training, sesuai dengan kebisaannya.

Sungguh, masing-masing relawan yang tergabung di dalam berbagai organisasi itu sudah kaya pengalaman perihal suka duka terjun di lapangan melakukan perannya menolong sesama yang menjadi korban bencana. Terkait dengan itu, Untuk mengawali program bersama, alangkah eloknya jika diadakan pelatihan Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana, Jurnalistik Kebencanaan, dan manajemen informasi kebencanaan. Ini penting agar relawan paham apa yang harus dilakukan di lokasi bencana.

Begitu juga program-program pra bencana, kiranya relawan juga perlu mengambil peran dalam mengedukasi masyarakat terkait dengan membangun budaya sadar bencana sehingga mereka mengenali potensi ancaman bencana di daerahnya untuk kemudian dapat mengurangi risikonya.

Jika perlu, SRPB JATIM menduplikasi kegiatan komunitas lain yang punya program “Kemah Bhakti”, di daerah rawan bencana. Disana diisi dengan materi tentang mitigasi, praktek pemetaan daerah rawan bencana, pembuatan rambu evakuasi dan menentukan titik kumpul dan tempat evakuasi sementara. Termasuk mengajak pemuda dan pelajar setempat untuk membersihkan lingkungannya. Tentu ini harus berkoordinasi dulu dengan pemerintah setempat.   

Kiranya tidaklah mudah membangun kesepahaman untuk membuat program keroyokan. Perlu proses panjang melalui dialog partisipatoris yang melibatkan banyak pihak. Utamanya para pengurus organisasi relawan yang memiliki kuasa (diberi amanah oleh anggota sebagai pengurus), untuk memutuskan kesepakatan yang diambil. Sungguh celaka jika pembahasan semacam ini yang dilibatkan adalah anggota biasa yang tidak punya kewenangan untuk mewakili organisasi terkait dengan penyusunan kebijakan (tidak punya hak untuk membuat keputusan atas nama organisasi).

Membangun agenda bersama ini bukan sekedar bersama-sama meningkatkan kapasitas relawan yang terkait dengan fase tanggap darurat semata. Namun lebih luas lagi peran SRPB JATIM, kedepan hendaknya juga bisa berperan sebagai kelompok pemikir (think thank) yang mampu menyodorkan konsep kepada BPBD untuk dijadikan bahan penyusunan kebijakan. Yang bagaimana itu ?. ya harus dirembug bersama dengan menggelar jagongan yang gayeng sambil melaksanakan ritual wajib, nyruput kopi.

Ya, ke depan, dalam program pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana, SRPB JATIM hendaknya bisa melibatkan diri memberikan sumbangsih kerelawanannya dengan menyalurkan gagasan-gagasannya, sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan sekaligus ikut dalam pelaksanaan dan mengawal perjalanan kebijakan agar tepat sasaran, tepat guna dan berhasil guna.

Ya, agenda bersama itu bisa terwujud manakala semua relawan yang tergabung di dalam SRPB JATIM legowo menyingkirkan ego sektoralnya untuk menyamakan chemistry dan menyiapkan SDM nya dalam rangka melaksanakan perannya membantu BPBD dalam upaya pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana.  

Mungkin pengurus SRPB JATIM perlu membuat acara jagongan untuk mendorong organisasi mitra merumuskan agenda bersama yang memberdayakan. Ini penting agar keberadaannya tidak dipandang sebelah mata oleh berbagai pihak. Hanya ditoleh manakala “potensi” yang dimiliki dibutuhkan untuk kerja-kerja kemanusiaan.  naudzubillah min dzalik. [eBas/selasa pahing-17032020]