Ceritanya tuh saya hanya
mengkoleksi aneka komentar dari kawan-kawan yang punya gagasan hebat di grup
WhatsApp, seperti dari Yeka Kusumajaya, Huda Obis Camp, Azelin dan Dian
Harmuningsih, serta komentar lain yang tidak mungkin saya tulis satu-satu.
Karena semuanya mempunyai keunikannya masing-masing,
Misalnya, Yeka Kusumajaya bilang
bahwa “Saya hanya ingin berpendapat bahwa Corona ini penanganannya tidak
seperti bencana pada umumnya. Misalnya longsor atau erupsi gunung api.
Penanganannya harus lebih spesifik dan hati-hati kalau melibatkan relawan yang
pengetahuan dan kemampuannya belum banyak,”
Yeka yang alumni Unisma, juga
mengatakan, seberapa besar support pemerintah terkait Corona terhadap relawan
yang dilibatkan dalam penanganan Corona. Adakah jaminan dan ketersediaan APD
untuk teman-teman di lapangan. Sehingga bisa bekerja secara maksimal tanpa rasa
kawatir.
Sedangkan Huda Obis Camp, mengajak
relawan untuk waspada terhadap Corona. Dalam postingannya dia menganjurkan
relawan untuk ‘tiarap dulu’, konsentrasi
pada kesehatan diri dan keluarga. Pemerintah beserta aparatnya sudah turun
tangan melakukan pencegahan, penyelamatan dan rehabilitasi. Mohon utamakan
keselamatan diri dan keluarga.
Saya pikir sayang jika komentar
yang hebat itu berlalu begitu saja, karena buah pikir yang hebat itu pasti
banyak manfaatnya untuk pembelajaran kita ke depannya. Bisa juga untuk bahan
evaluasi diri, untuk bersama belajar berorganisasi.
Untuk itulah, dari pada hilang
ketumpuk komentar dan postingan yang lain, saya coba merangkai dengan ilmu ‘Othak Athik Gathuk’ yang hanya
memerlukan ketekunan untuk menyambung kalimat menjadi narasi yang bisa dipahami
(bisa juga dipaido). Jadilah postingan dengan kemasan baru, tapi intinya sama.
Ternyata Tezar, seorang relawan
lawas Kota Malang berkenan mengomentari narasi ini dengan panjang lebar, sesuai
pengalaman dan harapannya.
“Wah keren pak Dhe, iki Luar biasa...jooos Bahasa langitan lek
jare Cak Apan,” Katanya mengawali komentarnya dengan dialek malangan yang
kental.
Masih menurut pria berkaca mata
ini, Narasi tersebut Kalo dilihat dari atas emang kayak gitu pak Dhe. Pol bener
gak ngecap, Tapi kondisi di lapangan
adoh tekan kono pak Dhe. Jauh panggang dari api. Kami yang kata mas Yeka
relawan nekad, sudah koordinasi dan bahkan laporan kepada BPBD setempat dan
siap diajak kerja bareng. Tapi nyatane di senggol ae ora. Ada juga yang selalu
diajak BPBD, tapi itu lebih karena kedekatan dengan beberapa person aja,
sedangkan yang gak kesenggol blas yo lumayan banyak. Cobak sekali-kali pean
dulino nang Malang, cek ne weruh dewe.
“Tapi sekali lagi. Kita nekad tapi
gak bodoh lek jare arek-arek. Mereka selalu melakukan mitigasi dulu daerah yang
akan kita bantu. Lengkapi APD, Siapkan bahan dan logistik, terus jalan,” Kata
shohibnya ning Chica bersemangat menelanjangi realita lapangan.
Terkait dengan sifat kenekatan
relawan, Sam Yeka, Mbak Dian, dan Gus Yoyok Al-mBangilan, mengingatkan agar
tetap hati-hati, jangan memaksakan diri dan lengkapi dengan alat perlindungan
diri sebelum ikut beroperasi. Namun sebaiknya, sesuai anjuran pemerintah,
berdiam diri saja di rumah, menikmati social
distancing dan physical distancing untuk
memutus mata rantai covid19.
“Benar sekali, masalah tenaga,
dana, dan sarpras. Sungguh, Lek gak ada dana kami diam. Tapi lek gak due, kita berusaha
untuk mendapatkannya, entah bagaimana caranya, yang penting berusaha
bersama-sama. Itu semua karena wis kadung kepanggil nuraninya berbuat sesuatu
untuk sesama, seperti kata kak Dian, Koordinator SRPB,” Sambungnya.
Panggilan jiwa yang tidak bisa di
bendung lagi. Ngenteni ajakan mereka yo sue. Mumpung onok donatur sing gelem berpartisipasi,
yo jalan membantu sesama. Ya disitulah daya tarik terjun langsung di lapangan
sangat besar, tampak heroiknya yang kadang diwarnai dengan sikap nekat. Baru
akan menjadi masalah ketika relawan model cul-culan ini mengalami hal-hal yang
tidak diinginkan. Disinilah perlu adanya
acara duduk bareng antar relawan, kemudian pihak BPBD memberikan pembinaan
dalam rangka memahamkan Perka BNPB nomor 17 tahun 2011.
Dalam komentar yang lain, Tezar
mengatakan bahwa keberadaan relawan itu bisa dikategorikan ke dalam tiga
mazhab. pertama Relawan bentukan
pemerintah yang dibina instansi tertentu dengan peraturan tersendiri sebagai
payung hukumnya. Sehingga cara kerjanya
sudah jelas tertuang dalam tupoksi dan semua kegiatan selalu berbekal surat
perintah dan anggarannya. Jadi wis jelas onok sing dijagakno. Sing penting
budal mesti bayaran.
Ke dua, Relawan yang tergabung
dalam organisasi gede. Ini juga jelas program dan tugasnya, sesuai visi misi
organisasi. Sehingga ketika terjadi bencana, bisa langsung bergerak tanpa
menunggu proses administrasi yang ribet, karena semuanya sudah ditanggung
manajemen.
Golongan ini kadang ada yang
egonya tinggi gak mau direcoki, gak mau diajak kerja bareng dan tidak mau
diajak berkolaborasi membangun sinergi, karena sudah merasa kaya, punya
segalanya dan keminter, walau memang ada yang pinter beneran.
Yang ke tiga, masih kata Tezar
dengan dialek malangan, Iki sing angel. Relawan nekat pol gak duwe opo-opo tapi
pengen bergerak berbuat sesuatu untuk kebermanfaatan sesama. Rodok ngeyel tapi
muni relawan yang bergerak sendiri dengan modal mandiri atau ada donatur yang
mendukung.
Golongan ini biasanya malas
berkoordinasi dan sulit dipantau pergerakannya. Prinsipnya segera menolong apa
yang perlu ditolong dengan penuh semangat suka cita untuk kemudian balik kanan,
pulang tanpa perlu laporan. Itulah kepuasannya. Mereka kurang peduli dengan
aturan administrasi, sehingga sering terkesan tidak terurus dan gak ngurusi
terhadap aturan-aturan yang ditentukan.
Namun demikian, mereka ini juga
relawan yang bekerja sukarela membantu upaya penanggulangan bencana, menolong
sesama. Kebanggaan mereka adalah ketika upaya yang dilakukan berhasil. Itu saja
tanpa tendensi lainnya, semua atas nama ikhlas dan tulus untuk kemanusiaan.
kondisi yang demikian Ternyata banyak dimanfaatkan oleh oknum tertentu.
“Jangan kaget, aktivitas
kerelawanan itu penuh cerita. Seperti adanya relawan yang hanya sekedar
nyari-nyari dan cari muka mencari kesempatan dan keuntungan pribadi, pahamlah
pokok e. Masio senior yo ono sing koyo ngono. Nggedabrus thok memberi harapan
palsu nang mereka yang dianggap yunior.” Katanya.
Sungguh, sebuah pengalaman yang
sangat berharga untuk pembelajaran. Perlu kiranya ada pihak yang bisa menggelar
sebuah pertemuan untuk membedah apa yang diceritakan Cak Tezar agar ke depan,
dunia relawan benar-benar dapat membersamai BPBD dalam menjalankan misi
kemanusiaan tanpa ada upaya ‘menyelingkuhi’
ketulusan niat relawan dalam kerja-kerja kemanusiaan.
“Menggerakkan relawan sebenernya
simple lho Pak Dhe. Cukup onok fasilitas transportasi dan logistik wae wis
lebih dari cukup menyemangati mereka dalam melakukan kerja-kerja kemanusiaan.
Yang penting ada dialog yang terbuka, agar tiada dusta diantara kita.” Kata
pria ganteng yang kini memelihara jenggot dan kumis, mirip Iwan Fals.
Berharap segala celotehan Cak
Tezar ini bisa menginspirasi kita semua bahwa relawan itu unik dan kaya warna,
penuh cerita yang tidak pernah ada selesainya. Karena cerita itu akan selalu
berbeda dari masa ke masa dan dari daerah yang satu dengan daerah lainnya. hal
ini terjadi karena ada kepentingan yang melatari dari kegiatan kerelawanan itu
sendiri. Makanya jorgon yang bilang bahwa relawan itu berhasil tidak dipuji,
gagal dimaki dan sakit salah sendiri, tampaknya benar adanya. Wallahu a’lam. [eBas/menjalani BDR-Covid19/senin
kliwon-30032020]