Kamis, 19 Oktober 2017

SURABAYA ADA POTENSI GEMPA BESAR

Edi basuki>>
Tampaknya, Kota Surabaya tidak mempunyai sejarah bencana yang ‘mematikan’, masuk zona aman bencana. Sehingga masyarakat Surabaya dan pejabatnya kurang peduli terhadap masalah kebencanaan. Apalagi, sebagai salah satu Kota besar di Indonesia, masyarakatnya hanya mengenal bencana banjir dan kebakaran yang dengan cepat bisa ditangani.

Begitu juga ketika para peneliti masalah kegempaan menemukan ada sesar aktif yang melewati Surabaya dan berpotensi terjadinya gempa besar. Masyarakat tetap tenang. Pejabatnya pun kurang peduli terhadap informasi dari para ahli. Buktinya, issue sesar aktif tidak memengaruhi kebijakan yang dibuat.

Dalam buku Revisi Peta Sumber Gempa dan Bahaya Gempa yang baru diluncurkan oleh  Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono, dikatakan  Sesar aktif sering juga disebut sesar gempa sebab pergeseran sesar ini bisa menimbulkan gempa.

Sesar aktif ini ada di darat sehingga kalau terjadi gempa bisa sangat membahayakan orang dan infrastruktur yang ada di sekitar sesar tersebut. Sekali lagi, masyarakat Surabaya dan pejabatnya masih belum menyadari dan kurang siap akan bahaya yang bisa datang tanpa permisi.

Upaya mitigasi, sosialisasi pengurangan risiko bencana (gempa), terkait dengan penurunan dampak dan risiko gempa besar yang diprediksikan itu kurang tampak gregetnya. Sehingga upaya-upaya kegiatan pra bencana pun berjalan ala kadarnya, tergantung tingkat pemahaman pejabatnya terhadap bencana.

Oleh karena issue ini (mungkin) masih berupa hasil penelitian yang baru dipublikasikan di lingkungan kampus. Termasuk temuan jalur kendeng yang membentang dari Surabaya, Semarang, Cirebon, bahkan mungkin sampai Jakarta, maka perlu kiranya ditindak lanjuti dengan kegiatan desiminasi hasil penelitian kepada khalayak ramai, dalam hal ini kepada pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, agar semuanya tahu.

Menukil ceritanya Kang Amien Widodo, bahwa di Jepang, pemerintahnya sangat peduli terhadap masalah kebencanaan. Sehingga mereka dengan sepenuh hati dan didukung regulasi, melakukan upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana, menyelenggarakan kegiatan simulasi menghadapi bencana gempa (dan tsunami). Dengan gerakan yang terencana ini, masyarakat Jepang telah terbangun budaya tangguh bencana. Bukan sekedar jargon indah dalam gelaran seremonial belaka.

Ada baiknya bangsa Indonesia, melalui BNPB dan BPBD mengadopsi cara Jepang mengakrabi bencana gempa dan tsunami. Salah satunya adalah melalui kegiatan Workshop Pengurangan Risiko Bencana Gempa Kota Surabaya yang digelar di gedung Rektorat ITS, kamis (19/10), sebagai upaya menambah wawasan dan membangun kesadaran peserta Workshop.

Dengan harapan peserta Workshop bisa mengedukasi masyarakatnya untuk memahami potensi bencana yang ada di daerahnya. Diantaranya, seperti yang dikatakan oleh Kang Amin, mengajak mengenali sejarah bencana di suatu daerah untuk memahami sifat bencana sehingga masyarakat siap menghadapinya, seperti konsep Living Harmony with Disaster.

Semoga postingan Kang Amien Widodo tentang Kota Surabaya Berpotensi Diterjang Gempa Besar tidak dianggap Hoax oleh warga Kota Surabaya, tapi dijadikan bahan pembelajaran menuju masyarakat tangguh bencana, yang bisa mengenali bencana dan mengurangi risikonya. Semoga pula BPBD terinspirasi oleh paparannya para ahli dari pusat studi gempa nasional.[eBas]

Selasa, 10 Oktober 2017

UPAYA PENGURANGAN DAMPAK BANJIR DAN LONGSOR

Sebentar lagi musim penghujan datang. Lahan kerontang pun kembali basah. krisis air bersih yang melanda sejumlah daerah pun segera teratasi dengan turunnya hujan. Aneka tanaman tumbuh subur dan menghijau. Bahaya kebakaran dan kekeringan berganti dengan ancaman bencana banjir, longsor dan angin puting beliung.

Di beberapa daerah sudah mulai turun hujan. Banjir dan longsor pun juga sudah menampakkan kesombongannya, merusak segala yang dilewati, bahkan korban nyawa pun mulai berjatuhan. Kian buruknya kondisi lingkungan membuat hujan yang seharusnya menjadi rahmat, justru sering kali berubah menjadi bencana. Lagi-lagi, faktor penyebabnya adalah manusia yang lalai dan tak ramah terhadap lingkungan

Banjir dan longsor disebabkan curah hujan yang tinggi dan daerah resapan semakin sedikit. Juga dikarenakan terjadinya percepatan sedimentasi akibat kebiasaan buang sampah di sungai. Belum lagi terjadinya penggundulan hutan yang tidak terkontrol.

Terjadinya bencana alam itu tidak dapat dicegah, namun masyarakat bisa meminimalisir kerugian akibat bencana, baik kerugian materi maupun kerugian jiwa. Dalam penanganan bencana pemerintah menjadi penanggung jawab utama, namun dalam pelaksanaanya  dibantu berbagai pihak termasuk relawan. Baik di saat pra bencana, tanggap bencana, maupun pasca bencana.

Untuk itulah masyarakat dihimbau meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan akan datangnya potensi bencana. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat perlu melakukan langkah preventif untuk mencegah terjadinya korban jiwa akibat banjir dan longsor di musim penghujan ini.

Salah satunya adalah dengan melakukan sosialisasi kepada warga yang tinggal di daerah aliran sungai dan perbukitan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana dimusim hujan.

Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana banjir dan longsor harus mendapat edukasi tentang tanda-tanda akan terjadinya banjir dan longsor agar cepat mengungsi ke tempat evakuasi yang telah ditentukan  jika terjadi bencana.

Dengan kata lain, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana  perlu meningkatkan kewaspadaan. Tak hanya itu, mereka juga harus disiplin dan taat bila pemerintah mengevakuasi ke tempat yang lebih aman. Karena, dibanyak kasus, akibat sering mengabaikan peringatan, banyak nyawa tewas terkubur longsoran.

Meningkatkan kesadaran masyarakat desa terhadap potensi ancaman di wilayahnya sesuai konsep masyarakat tangguh bencana. Dimana,  Indikatornya adalah, Mampu menyerap informasi bahkan mengembangkannya dengan menggunakan pitutur kuno, “Nonton, Niteni, Nirokke, Nambahi, Nemokke”, Mampu untuk mengantisipasi, Mampu melawan (melindungi diri) atau menghindar, Mampu beradaptasi, Mampu pulih kembali lebih baik dan lebih aman

Untuk itulah BNPB menelorkan gerakan perungurangan risiko bencana, yaitu Sebuah proses pemberdayaan komunitas melalui pengalaman mengatasi dan menghadapi bencana yang berfokus pada kegiatan partisipatif untuk melakukan kajian, perencanaan, pengorganisasian, serta pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku kepentingan, dalam menanggulangi bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana.

Tinggal bagaimana BNPB/BPBD merangkul keberadaan relawan untuk diajak kerja bareng melakukan upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Harapannya di musim penghujan ini dampak bencana hidro meteorologi seperti banjir, dan longsor bisa dikurangi.

Demikian hasil NGOPi (NGObrol Pintar) di joglo Kadiren, tentang upaya membangun ketangguhan bangsa menghadapi bencana dengan mengutamakan keswadayaan masyarakat. Tinggal bagaimana mensinergikan gerak langkah antara masyarakat (dalam hal ini relawan penanggulangan bencana), pemerintah (dalam hal ini BNPB/BPBD), dan Dunia Usaha untuk melakukan gerakan mitigasi dan kesiapsiagaan. Wallahu a’lam bishawab. Salam Tangguh.[eBas]


Senin, 09 Oktober 2017

RELAWAN PENANGGULANGAN BENCANA


          Ketika Gunung Agung menampakkan ulahnya.  Semua terpana, takut terjadi apa-apa yang membahayakan warga di sekitarnya. Apalagi di lerengnya ada Pura Besakih yang menjadi tujuan wisata. Persiapan menyambut dampak dari ulah si Agung pun dilakukan, agar tidak mengulang sejarah masa lalu yang korbannya cukup banyak karena kekurangsiapan kita semua.

Pemerintah segera turun tangan dengan segala bantuan dan himbauan, agar masyarakat waspada dan segera mengungsi dari pada menjadi korban erupsi. Relawan pun dengan kemampuannya, turun membantu pemerintah, membantu sesamanya.

Relawan penangulangan bencana dari berbagai daerah, dengan segala idealismenya, secara swadaya berangkat sendiri. Lama di lokasi pun disesuaikan dengan kondisi dompet dan pekerjaan utamanya. Mereka membantu evakuasi warga terdampak, membantu distribusi logistik, sibuk di dapur umum, dan apa saja yang sekiranya layak untuk dibantu.

Sungguh pemerintah sangat terbantu oleh kehadiran para relawan yang datang sendiri atas nama rasa kemanusiaan, tanpa tergantung surat perintah perjalanan dinas (SPPD). Ya, peran relawan. Salah besar jika ada yang menganggap relawan itu adalah sekumpulan orang nganggur gak mempunyai pekerjaan dan rela capek mencari pekerjaan di lokasi bencana menolong sesama.

Andai ada staf BPBD yang tega bilang begitu, pasti dia patut dikasihani, karena tidak paham akan perka 17 tahun 2011. Jangan-jangan dia dimutasi ke BPBD karena bermasalah atau sekedar nunggu masa pension sehingga tidak tahu berterima kasih kepada relawan yang telah membantu meringankan sebagian tugasnya.

Dalam konsep pemberdayaan masyarakat, relawan itu adalah   seseorang/organisasi yg bekerja dalam gerakan kemanusiaan untuk kepentingan masyarakat korban bencana yang bekerja secara sukarela tanpa mengharapkan keuntungan (profit) semata didorong oleh kekuatan moral, rasa kemanusiaan dan semangat  tolong menolong.

Semetara itu dalam UU nomor 24 tahun 2007, dikatakan bahwa relawan adalah  seseorang atau sekelompok orang, yang memiliki kemampuan dan kepedulian dalam penanggulangan bencana yang bekerja secara ikhlas untuk kegiatan penanggulangan bencana.

Kriteria relawan pun juga disebutkan, diantaranya Sehat rohani, Mempunyai  jiwa kerelawanan, Memiliki semangat kerelawanan, Bersedia tidak membebani (mampu berkerja secara mandiri), Dapat menjadi penghubung antara lembaga dan publik, Memiliki keahlian ketrampilan tertentu dalam kebencanaan.

Dalam perka 17 tahun 2011, dikatakan relawan melalui induk organisasinya, ketika tidak ada bencana, melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengembangkan wawasan kebencanaan dan meningkatkan kapasitas melalui loka latih, latihan bersama, dan simulasi penanggulangan bencana. Baik dengan dana dari sponsor, maupun mandiri.

Untuk itulah BPBD harusnya merangkul keberadaan relawan untuk bersama melaksanakan sosialisasi penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim kepada masyarakat. Termasuk memobilisasi untuk kerja-kerja saat pra bencana, darurat bencana, dan pasca bencana.

Gunung Agung yang memiliki ketinggian 3142 meter di atas permukaan laut itu, masih menebar ancaman yang ditandai dengan munculnya gempa sebagai indikasi adanya pergerakan magma kepermukaan. Konon perubahan permukaan kawah yang mengalami lubang-lubang tembusan untuk mengeluarkan gas. Artinya, potensi erupsi masih tinggi.

Namun sampai sejauh ini belum jelas kapan Gunung Agung benar-benar memuntahkan kandungannya menebar ancaman yang mematikan. Semuanya masih serba kemungkinan. Mungkin benar-benar akan meletus, atau tidak jadi sesuai kepercayaan beberapa masyarakat yang bisa berkomunikasi dengan si Agung lewat mata batinnya.

Sementara itu, relawan penanggulangan bencana masih tetap bertahan disana, tetap siaga mewaspadai gerakan si Agung sekaligus membantu sesamanya yang sedang galau di pengungsian agar tetap semangat menghadapi cobaan dan menjadikan bahan instrospeksi atas perlakuannya salama ini kepada lingkungan di sekitar Gunung Agung. Salam kemanusiaan, salam tangguh, Tabah sampai akhir.[eBas]