Senin, 28 Oktober 2019

SUDAH WAKTUNYA SPAB MASUK PENDIDIKAN NON FORMAL


Di era milenial ini, bencana alam semakin sering melanda berbagai daerah dengan dampak yang merugikan kehidupan masyarakat yang terdampak. Sehingga diperlukan upaya bersama untuk menangani bencana. Paling tidak bisa mengurangi dampak yang ditimbulkan. Dengan kata lain, diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat untuk mendorong gerakan sadar bencana, hal ini mengingat bahwa bencana itu bukanlah urusan pemerintah semata. Tapi menjadi urusan bersama seluruh masyarakat untuk menanggulangi bencana.

Salah satu upaya yang coba diperkenalkan adalah konsep satuan pendidikan aman bencana (SPAB). Sekolah aman bencana adalah sekolah yang menerapkan standar sarana dan prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana. Sementara fasilitas sekolah aman itu merupakan fasilitas gedung sekolah dan halaman sekitar memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, dan kemudahan. Termasuk kelayakan bagi anak berkebutuhan khusus, kenyamanan dan keamanan.

Sekolah aman ini merupakan bagian dari materi satuan pendidikan sekolah aman (SPAB), sebagai upaya pengurangaan risiko bencana secara mandiri oleh komunitas sekolah. Mereka itu terdiri dari unsur  kepala sekolah, staf tata usaha, pendidik, wakil peserta didik (anggota OSIS) dan anggota komite sekolah. Sehingga mereka dapat melakukan upaya penyelamatan sendiri sebelum bantuan datang.

Kegiatan ini juga sebagai upaya menemukenali potensi bencana yang ada di daerahnya. Hal ini penting, karena ada banyak ancaman bencana yang tersebar di seluruh wilayah jawa timur. Diantaranya seperti bencana banjir, tanah longsor, gempa, erupsi gunung berapi, kekeringan, kebakaran, angin puting beliung. Tentu penanganannya berbeda antara bencana satu dengan lainnya.

Bagaimana dengan satuan pendidikan nonformal (PAUD, PKBM, LKP) ?. Dengan banyaknya ancaman bencana, kiranya perlu membekali para pengelola dan pendidik satuan pendidikan nonformal dengan materi pengurangan risiko bencana sebagai upaya membangun ketangguhan dalam menghadapi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Apalagi kebanyakan lembaga nonformal melayani perseta didik yang berdomisili di daerah rawan bencana. Sehingga punya kewajiban untuk mengingatkan adanya potensi bencana dan cana menanggulanginya.  
         
        “Paling tidak, dengan materi ini, peserta bisa mengimbaskan kepada sasaran didiknya agar mereka mengerti akan pentingnya sadar bencana,” Kata Mochamad Rosi, nara sumber dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).

Untuk itulah BP-PAUD dan DIKMAS Jawa Timur, dalam kegiatan peningkatan kompetensi PTK PAUD DIKMAS melalui bimbingan teknis/orientasi bagi pengelola PAUD, memasukkan materi satuan pendidikan aman bencana yang dikaitkan dengan upaya mitigasi untuk mengurangi dampak bencana. Ini merupakan sebuah terobosan baru yang belum pernah dilakukan oleh BP-PAUD dan DIKMAS lainnya. Mungkin saja Balai lain juga melakukan tapi dalam bentuk lain. Harapannya semoga semua Balai juga melakukan sosialisasi pengurangan risiko bencana sebagai bentuk sumbangsihnya kepada upaya penanggulangan bencana.

Kegiatan ini diikuti oleh 60 peserta pengelola PAUD di seluruh Jawa timur, untuk menambah wawasan tentang upaya membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana. Harapannya, sepulang dari kegiatan bimbingan teknis ini, peserta bisa mensosialisasikan satuan pendidikan aman bencana yang membahas tentang konsep sekolah aman bencana, manajemen bencana di sekolah, dan pendidikan pencegahan bencana.

Penyampaian materi SPAB ini disambut antusias oleh peserta. Apalagi saat nara sumber mengajak praktek membuat matrik jenis dan ragam ancaman di daerah, menentukan karakter ancaman dan penilaian risiko bencana, membuat rencana aksi untuk kesiapsiagaan sekolah menghadapi bencana serta membuat peta sekolah yang dilengkapi jalur evakuasi dan titik kumpul.

“Saya baru kali ini menerima materi kebencanaan. secara pribadi, saya  senang menerima materi satuan pendidikan aman bencana, karena ternyata penting mengenali potensi bencana yang ada di daerah saya, sehingga saya bisa mengurangi risiko bencana seminim mungkin,” Kata Ajeng Puspita, peserta dari Mojokerto.

Masih kata ibu berputera tiga ini, dirinya akan memberikan usulan kepada pengurus himpaudi kabupaten mojokerto agar melakukan sosialisasi tentang satuan pendidikan aman bencana kepada lembaga PAUD yang kebetulan di daerahnya ada potensi bencana yang bisa merusak bangunan PAUD beserta sara prasarana pendukungnya.

“Semuanya bisa dikurangi risikonya jika kita telah siap. Agar kita siap, maka upaya pengurangan risiko bencana harus menjadi gerakan massif agar masyarakat tumbuh kesadarannya akan pentingnya mengenali potensi bencana yang ada di daerahnya sekaligus bisa bergotong royong melakukan mitigasi secara mandiri. Ingat pesan nara sumber, kenali bahayanya, dan kurangi risikonya,” Katanya sambil membenahi tugas kelompoknya untuk dipresentasikan. [edibasuki/08123161763]
 







Sabtu, 26 Oktober 2019

NGOBROL TENTANG HUTAN DI KANTOR DINAS KEHUTANAN JATIM

Sabtu wage (26/10), di salah satu ruang rapat Dinas Kehutanan Jawa Timur, berbagai komunitas peduli lingkungan alam, bertemu dalam rangka Ngobrol Tentang Hutan. Kegiatan ini menghadirkan nara sumber dari pejabat di Dinas Kehutanan, Komunitas Nol Sampah  dan Komunitas Hutan itu Indonesia.

Namanya saja ngobrol tentang hutan, maka dalam salah satu slide, nara sumber menampilkan pengertian hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Sedangkan hutan lindung diartikan sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Kegiatan ini berupaya mengajak pesertanya untuk mencintai hutan dan mengerti permasalahan yang membelit. Seperti masalah tutupan lahan dan hutan yang selalu berubah karena kebijakan tata guna lahan dan hutan yang berubah sesuai ‘kepentingan’ tertentu. Ya, alih fungsi lahan/hutan saat ini menjadi ancaman dalam upaya mempertahankan luasannya.

Disisi lain, perlunya memberi edukasi kepada masyarakat sekitar hutan agar bisa melakukan diversifikasi usaha tanaman yang menguntungkannya, sementara lingkungan hutan tetap terjaga ekosistemnya.

“Pendampingan kepada masyarakat sekitar hutan perlu dilakukan secara terus menerus sesuai dengan kondisi sosial budaya yang melatari. Sehingga mereka yang berkesempatan mendapat akses mengelola hutan, tidak hanya menanam tanaman semusim saja, tapi juga mau menanam tanaman pokok untuk mempertahankan fungsi hutan,” Kata Mudji, dari Relawan Sidoarjo saat rehat kopi.

Disamping Kopi dan teh panas, kegiatan yang berlangsung interaktif ini diramaikan dengan nasi bakar dan kudapan enak sekaligus mengenyangkan. Tersedia juga air galonan yang bisa diisikan ke dalam tumbler masing-masing peserta sebagai upaya mengurangi penggunaan gelas plastik.

Dalam slide yang lain, menggambarkan data dari dinas kehutanan jawa timur yang mengatakan bahwa upaya penanaman pohon di hutan belum optimal. Hal ini diantaranya disebabkan oleh tingkat keberhasilan tanam yang rendah, kesejahteraan masyarakat sekitar hutan banyak yang masih rendah, penanaman komoditas tanaman semusim menyalahi aturan, bencana banjir dan longsor selalu mengancam saat musim hujan. Sementara kekeringan dan kebakaran menjadi masalah tersendiri dimusim kemarau.

Kegiatan ini juga bicara tentang Ekosistem Esensial (EE), yaitu Ekosistem di luar kawasan konservasi yang secara ekologis penting bagi konservasi keanekaragaman hayati yang mencakup ekosistem alami dan buatan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan. Tentu semua ini dalam rangka upaya pelestarian lingkungan sekitar beserta flora faunanya.

Sementara, hutan mangrove dimaknai sebagai ekosistem yang tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut, terutama dipantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut, yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam yang tinggi.

Tidak nyangka, ternyata mangrove itu paling tidak ada 19 jenis mangrove sejati dan 14 mangrove ikutan. Fungsi dari hutan mangrove itu jelas untuk mencegah intrusi air laut, melindungi garis pantai dari abrasi dan tsunami, tempat berpijah aneka biota laut, tempat berlindung dan berkembang biak berbagai jenis burung, mamalia, reptil dan serangga, menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, pengembangan wisata, penyerap polutan, dan arena penelitian dan pendidikan.

Sungguh, informasi yang didapat peserta dalam ngobrol tentang hutan sangat banyak dan baru. Alangkah eloknya jika acara ngobrol bareng ini ada kelanjutannya. Ya, paling tidak komunitas pemerhati lingkungan (seperti Pramuka saka Wana Bhakti) bisa bekerja sama dengan dinas kehutanan untuk mengagendakannya tanpa harus mengganggu anggaran program dinas kehutanan.  Seperti mengadakan persami yang di dalamnya diisi dengan sarasehan tentang upaya pelestarian hutan dan sebagainya. Sungguh pasti akan menarik. Semoga. [eBas] 

Senin, 21 Oktober 2019

SAPALIBATISME DALAM PENANGGULANGAN BENCANA


          Dalam UU 24 tahun 2007, mengatakan bahwa masyarakat diharapkan terlibat dalam penanggulangan bencana. Ya, semua pihak dapat berkontribusi  dalam kegiatan penanggulangan bencana. Termasuk juga dalam upaya pengurangan risiko bencana. Untuk itulah pemerintah yang membidangi kebencanaan hendaknya ‘berkenan’ menerapkan konsep sapalibatisme. Yaitu menyapa dan melibatkan mereka yang memiliki kepedulian dalam kegiatan kebencanaan dan bahkan sering kali tampil lebih dulu di lokasi sebelum lainnya ‘move on’.

Begitulah adanya. Setiap kali terjadi tanggap darurat, banyak relawan ‘yang berdaya’ selalu berlomba tampil pertama membantu mengevakuasi warga, membuka dapur umum, membersihkan jalan untuk memudahkan mobilisasi kendaraan bantuan, menyiapkan tempat pengungsian, bahkan mengumpulkan donasi/bantuan dari masyarakat. Ya, mereka mengambil peran sendiri, sementara yang lain juga berperan di sisi lainnya sesuai kemampuan.

Hal ini terjadi karena, sesungguhnyalah dibanyak kasus,  masih sering dijumpai belum memadainya kinerja penanggulangan bencana, hal tersebut terkait dengan keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan tanggap darurat. Belum lagi akibat kepanikan yang berlebih menyebabkan kelambatan penanganan korban bencana.  

Disisi lain, sampai saat ini nyatanya kesadaran masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana masih rendah. Termasuk masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, meliputi rendahnya kesadaran terhadap upaya pengurangan risiko bencana serta kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Hal ini mungkin karena kurang gencarnya upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana (PRB) seperti yang dituangkan dalam konsep PRBBK/PRBBM.

Pertanyaannya kemudian, dalam konsep sapalibatisme itu siapa yang menyapa dan melibatkan mereka?. Termasuk dalam bentuk apa sapaan dan pelibatannya. Tampaknya, untuk menjawabnya tidaklah semudah membalikkan tangan. Diperlukan dialog panjang untuk membangun kesepahaman. Harus ada acara duduk bareng antara birokrat, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media massa untuk memahami dan melaksanakan konsep sapalibatisme, sekaligus membongkar ego sektoral dari masing-masing unsur pentahelix.

Harapannya, jika dalam acara duduk bersama itu bisa mengambil kesepahaman, pastilah hasilnya akan semakin tampak dan terkoordinasi. Misalnya perlu dirancang kegiatan sosialisasi PRB yang terjadwal dengan melibatkan berbagai unsur. Sehingga, dari situ bisaa mendorong pelaksanaan perencanaan pembangunan yang memasukkan upaya PRB dalam proses manajemen pembanganan daerah.

Gelaran diskusi yang melibatkan beragam komponen ini juga termasuk upaya menjalankan konsep sapalibatisme dalam upaya pengurangan risiko bencana  dan percepatan  penanggulangan bencana. melalui KKN tematik, pihak kampus yang dimotori akademisi mencoba memotivasi kaum emak-emak untuk berdaya dalam upaya pengurangan risiko bencana melalui program Dhasa Wisma Tangguh Bencana.

Tidak ada salahnya jika relawan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki jiwa sosial berlebih dan terlatih dalam tugas-tugas kemanusiaan, juga memulai untuk menggelar diskusi-diskusi agar bisa terlibat dalam kegiatan pra bencana maupun pasca bencana. ya, jalan panjang yang berliku tampaknya masih menghadang untuk mengembangkan konsep sabalibatisme. [eBas/Selasa Kliwon-22/10]










Senin, 14 Oktober 2019

SIAGA KOTA SURABAYA SEBAGAI WADAH KOMUNITAS


Sabtu kliwon (12/10), malem minggu,  bertempat di seputaran Taman Bungkul Surabaya, beberapa komunitas yang menekuni bidang ‘pengawalan’ ambulance berkumpul. Satu persatu datang bersalaman, untuk kemudian duduk melingkar di trotoar. Sambil menikmati lalu lintas malam mereka ngobrol ngalor ngidul menyamakan chemistry agar terbangun sinergi melaksanakan aksi. Ya, sesungguhnyalah lewat komunitas masing-masing individu bisa berinteraksi dan berekspresi sebagai makhluk sosial.

mBah Gugel bilang, komunitas merupakan kelompok sosial di suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa individu, dimana mereka  saling berinteraksi dan memiliki ketertarikan dan habitat yang sama.  Biasanya mereka memiliki program membantu sesamanya, juga berupaya meningkatkan kapasitas anggotanya agar keberadaan komunitas itu makin tampak kiprahnya dimata khalayak ramai.

Konon, keberadaan Siaga Kota Surabaya ini berfungsi sebagai wadah berkumpulnya aneka komunitas pegiat kemanusiaan, juga pecinta lingkungan yang peduli terhadap kondisi Kota Surabaya dengan segala problemanya. Khususnya terkait dengan kurang sadarnya masyarakat terhadap kelancaran perjalanan ambulance yang sedang membawa korban. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan pemberian informasi, respon cepat hingga penanganan awal pada suatu kejadian.

Sebagai wadah, kebaradaan Siaga Kota Surabaya diharapkan benar-benar bisa berperan sebagai koordinator dari berbagai komunitas untuk berbagi informasi, baik untuk anggota komunitas maupun kepada warga kota Surabaya pada khususnya. Semua harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip transparansi, kesetaraan dan terbuka untuk komunitas apa saja yang peduli pada sesama.

Sukur-sukur ke depan Siaga Kota Surabaya juga bisa menjadi katalisator yang menyuarakan kepentingan komunitas agar didengar oleh pihak-pihak terkait yang memiliki kesamaan perhatian terhadap aksi kemanusiaan dan pelestarian lingkungan. Termasuk upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat yang ada di seputaran wilayah Surabaya.

Apalagi, konon, masing-masing individu dari komunitas itu telah memiliki ‘kedekatan’ dengan pihak CC 112 Kota Surabaya dan institusi lain yang bisa mendukung kegiatannya. Ini merupakan modal tersendiri dalam rangka membangun relasi dengan ‘penguasa’ di Kota Pahlawan ini.

Dari pertemuan-pertemuan yang (harus) digelar secara rutin itulah nantinya diharapkan muncul program yang bisa mendekatkan komunitas dengan masyarakat dan pemerintah kota. Sehingga keberadaan Siaga Kota Surabaya akan semakin ‘diakui, dilihat, dan dilibatkan’ dalam hal pengawalan ambulance dan kegiatan lain.

Ini penting untuk menghapus penilaian masyarakat pengguna jalan yang selama ini sering dikecewakan oleh tingkah arogan dari oknum tertentu saat melakukan pengawalan. Untuk menghindari sikap arogansi itulah perlu ada semacam kode etik pengawalan yang disepakati. Termasuk pelatihan dengan berbagai materi yang mendukung kegiatan komunitas dibawah koordinasi Siaga Kota Surabaya. Salam Tangguh, Salam kemanusiaan. [eBas]









































 












Selasa, 01 Oktober 2019

PEMBEKALAN SERTIFIKASI RELAWAN MITRA SRPB JATIM


         Ada yang bilang bahwa sertifikasi relawan itu  merupakan proses pemberian sertifikat kepada relawan yang sudah memenuhi persyaratan kompetensi tertentu, yang didukung bukti fisik sesuai bidang yang diambil.

Sementara Sugeng Yanu, sebagai pemateri tunggal acara sosialisasi sertifikasi relawan kepada mitra SRPB JATIM, mengatakan bahwa sertifikasi adalah seluruh kegiatan yang dilakukan asesor untuk menetapkan bahwa seseorang memenuhi persyaratan kompetensi yang ditetapkan mencakup permohonan, evaluasi, keputusan sertifikasi, survalen, sertifikasi ulang dan penggunaan sertifikat.

Diawal penyampaian materi, Sugeng Yanu yang juga aktif di gerakan pramuka, mengatakan bahwa kegiatan sosialisasi dan pembekalan masalah sertifikasi ini merupakan inovasi yang kreatif dari pengurus SRPB JATIM. lebih tepatnya sosialisasi dulu, baru pembekalan.

Kegiatan sosialisasi sertifikasi relawan yang digelar di Ruang Siaga, Kantor BPBD Provinsi Jawa Timur, minggu (29/9) ini, dalam rangka menyiapkan relawan yang akan mengikuti sertifikasi agar hasilnya tidak mengecewakan dan benar-benar kompeten dibidang yang akan disertifikasi. Disamping itu juga untuk menghindari peserta yang sudah terpilih mengikuti sertifikasi tiba-tiba muntaber (mundur tanpa berita).

Sungguh, jika waktunya sertifikasi kemudian pesertanya tiba-tiba muntaber, maka pengurus SRPB JATIM yang blingsatan mencarikan penggantinya. Ini  menjadi problem tersendiri. Hal ini bisa menurunkan kepercayaan pihak lain kepada pengurus.

Untuk menghindari peserta yang muntaber inilah acara Arisan Ilmu kali ini digelar dengan materi pembekalan sertifikasi. Harapannya, hanya mereka yang benar-benar seriuslah yang akan dibina dan didampingi lebih lanjut agar tidak muntaber.

Arisan ilmu yang ke 26 ini didominasi oleh wajah baru yang datang dari berbagai komunitas. Bahkan ada dua mahasiswi STIKES Kota Malang, nekat datang berdua naik motor berboncengan. Begitu juga dengan relawan dari Kota tuak Tuban, berboncengan penuh semangat ingin tau apa itu sertifikasi relawan, sekaligus ‘nyambangi’ markaz SRPB JATIM. siapa tahu mereka bisa mengadopsi di daerahnya. subhanallah, semoga perjalanan kalian mendapat barokah.

Seperti biasa nasi lodeh, lauk ikan asin, mendol dan es cao meramaikan Arisan Ilmu. Ditambah dengan hadirnya wedang kemaruk (ramuan daun kemangi dan perasan jeruk) sumbangan Bukaji Rukiyati menambah semangat peserta menikmati makan siang bersama sambil bercengkerama untuk mengakrabkan suasana.

Dari kegiatan ini ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Seperti, perlunya ada tanda khusus bagi relawan yang telah tersertifikasi. Karena sampai saat ini manfaat dari sertifikasi belum terasakan oleh relawan yang telah memiliki sertifikat. Artinya, selama ini saat terjadi tanggap darurat bencana, semua relawan yang datang ke lokasi langsung beraksi tanpa melihat kompetensi yang dimiliki, serta tanpa pernah ditanya sudah tersertifikasi atau belum oleh petugas posko induk (yang belum tentu sudah tersertifikasi).

Ada juga saran agar SRPB JATIM berani menggelar acara sarasehan yang menghadirkan unsur birokrasi, akademisi dan praktisi serta relawan dari berbagai komunitas untuk membahas praktek penanggulangan bencana yang semakin baik  sesuai kompetensi yang terstandar di dalam aturan sertifikasi.

Sugeng Yanu, menimpali terkait dengan usulan cerdas dari peserta yang baru pertama ikut arisan ilmu,  bahwa kebijakan daerah masih sering belum ‘konek’ dengan masalah penanggulangan bencana. Mereka masih sibuk mengerjakan program-program ‘populer’ yang bisa segera menyerap anggaran. Sementara program yang berupaya menyiapkan masyarakat tangguh bencana masih sedikit (belum menjadi prioritas).

“Ketika pimpinan tidak mau mengagendakan kegiatan pra bencana, maka yang terjadi adalah tidak adanya program yang mengarah ke upaya pendidikan mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Sementara kegiatan simulasi atau gladi lapang sering kali hanya untuk memenuhi seremonial saja, jarang dilakukan di tempat yang berpotensi terjadi bencana,” Ujarnya sambil tersenyum penuh arti.

Pensiunan karyawan BPBD Provinsi  Jawa timur ini juga mengatakan bahwa, menurut UU nomor 24 tahun 2007, operasi bencana harus dipimpin oleh unsur birokrasi atau orang lain yang ditunjuk oleh birokrat. Sementara, masih menurut pria berambut putih ini, kalau dulu, sebelum ada UU Penanggulangan Bencana, siapa saja yang datang ke lokasi bencana lebih dulu, dialah yang menjadi pemimpin. Sekarang, siapapun yang datang lebih dulu boleh melakukan kegiatan penanggulangan bencana, namun tidak boleh memimpin.

Kegiatan yang diikuti oleh 60 peserta ini sebagai upaya SRPB JATIM untuk menjelaskan tentang manfaat relawan mengikuti sertifikasi. diantaranya membantu relawan meyakinkan kepada orang lain/institusi bahwa dirinya kompeten dalam bekerja untuk menghasilkan produk/jasa, membantu memastikan dan memelihara kompetensi untuk meningkatkan rasa percaya diri, membantu dalam memenuhi persyaratan regulasi, dan membantu pengakuan kompetensi lintas sektor dan lintas Negara.

Dengan demikian, ke depan diharapkan relawan memahami tentang  proses sertifikasi yang agak panjang karena harus terukur, objektif, tertelusur, diterima (acceptable), dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Disamping itu relawan yang berminat mengikuti sertifikasi haruslah memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk dapat ikut serta dalam proses sertifikasi melalui uji kompetensi.

Di penghujung acara, atas kemurahan hati pejabat BPBD Provinsi Jawa Timur, semua peserta yang datang bergembira, mendapat bingkisan berupa makanan siap saji khas bencana, yang dikemas dengan warna orange. Ada nasi goreng, nasi rawon, bubur kacang ijo, dan banyak lagi jenisnya. Mereka senang karena tidak semua relawan berkesempatan menikmatinya.

Oleh panitia, diharapkan makanan kemasan tersebut segera ‘dieksekusi’ agar tidak kedaluwarsa. Kecuali jika makanan yang diproduksi oleh BNPB itu akan dijadikan ‘pajangan’ dirumahnya untuk kenang-kenangan, dipamerkan kepada tetangga dan handai taulan sebagai relawan yang diperhatikan oleh BPBD. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/ selasa wage-011019].