Rabu, 28 Maret 2018

TOUR OF DUTY BISA BERARTI MUTASI INTERNAL


Akhirnya rolling karyawan yang sudah digaungkan setahun yang lalu, kini benar-benar terlaksana. Karna sempat ditengarai bahwa issue mutasi itu hanyalah sekedar ancaman agar karyawan menurut dan tidak berani bersuara macam-macam.

Mereka yang dipindah itu ada yang karena aturan harus pindah, ada yang dipromosikan, dan ada pula yang digeser untuk memperbaiki kinerjanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kadarman, bahwa mutasi adalah kegiatan memindahkan karyawan dalan satu tingkat organisasi dari satu jabatan ke jabatan lainnya secara horizontal tanpa diikuti peningkatan gaji, tanggugjawab dan kekuasaan. (1997).

Konon, dalam perjalanan karir seorang karyawan dimungkinkan mengalami perpindahan/mutasi jabatan (tour of duty), sebagai upaya memprofesionalkan dan mengembangkan wawasan karyawan ke depan. Untuk itu, karyawan harus selalu siap beralih tugas untuk “pendewasaan” karyawan pelayan masyarakat.

Dalam manajemen, mutasi ini dimaksudkan untuk memaksimalkan produktivitas, menambah pengetahuan dan keterampilan karyawan, meminimalkan rasa bosan terlalu lama dalam satu bidang tertentu, meminimalkan potensi korupsi, sebagai pendorong sikap bersaing dan berprestasi, dan menyesuaikan kondisi fisik karyawan dengan jenis pekerjaan.

Memang, tour of duty dalam sebuah organisasi itu adalah wajar dan memang harus ada pergantian untuk penyegaran sekaligus pembelajaran bagi karyawan. Namun kadang ada yang enggan dimutasi karena sudah merasa nyaman di satu tempat yang basah (menurutnya), biasanya mereka ini jenis karyawan yang “istimewa” .

Sayangnya, nuansa tour of duty yang dilaksanakan kali ini tidak sesuai dengan issue yang digulirkan beberapa waktu sebelumnya. Ya, semuanya diluar dugaan banyak pihak. Beberapa personil yang seharusnya diprediksi kena mutasi, karena kinerjanya dianggap kurang bagus atau layak dipromosikan, ternyata tetap bertengger ditempatnya dengan gagah dan angkuhnya, aman menikmati kursinya. Entah kenapa. Itulah kenyataan yang penuh kejutan.

Sekarang tinggal melihat apa yang terjadi pasca tour of duty. Adakah perubahan yang signifikan atau semuanya akan tetap seperti sediakala tanpa ada gerakan yang progresif?. Hanya waktulah yang akan mencatat sebagai sejarah bahwa mutasi itu pernah ada dengan segala haru birunya.

Harapannya, tentulah mereka yang kena gerbong mutasi itu bisa segera beraksi di tempat baru dengan gairahnya untuk menujukkan bahwa  mutasi internal itu membawa berkah, bukan sumpah serapah. Salam Literasi. [eBas/ rebo pahing]



Minggu, 25 Maret 2018

PERINGATAN HARI AIR DAN TANTANGANNYA.


Berbagai komunitas peduli lingkungan, punya cara menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Berbagai tema diangkat, yang muaranya hanya satu, untuk melindungi sumber air tanah agar tidak musnah karena peruntukan lahan yang kelewat serakah.

Melalui kegiatan peringatan hari air, mereka menyampaikan pesan-pesan sekaligus contoh nyata bagaimana upaya sederhana yang mudah dilakukan untuk merawat lingkungann. Termasuk promosi akan   pentingnya air bagi kehidupan makhluk serta upaya melindungi pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan untuk masa depan,

Ada seminar, diskusi untuk menemukan solusi, yaitu Kegiatan ini bertujuan untuk mengkaji dan mendiskusikan permasalahan yang berkaitan dengan sektor air terhadap apa yang telah dilakukan selama ini dan upaya perbaikan sehingga melahirkan suatu rumusan dan ditindaklajuti dalam bentuk tindakan yang akan dilaksanakan secara bersama oleh pihak – pihak terkait. 

Tidak sedikit komunitas yang langsung mengadakan gerakan bersih-bersih sungai, bersih-bersih pantai, gerakan penanaman pohon di lereng gunung, lahan gundul dan sekitar sumber mata air. Baik atas inisiatif komunitas maupun kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat luas.
Sungguh, jika aneka pohon yang ditanam itu tumbuh subur, maka lingkungan sekitar akan tampak rindang dan menjadi hunian baru berbagai satwa liar. Paling tidak daerah itu menjadi lahan resapan yang bisa mengurangi bahaya banjir dan longsor. Dengan kata lain, dalam kajian  Hidrologis manfaat penanaman pohon akan menjadikan daerah sebagai daerah resapan/persediaan air tanah yang dapat memenuhi kehidupan bagi manusia dan makhluk lainnya.

Ingat, ketika air tanah tidak bisa tersimpan karena tanahnya semakin gersang, maka potensi banjir pun akan meningkat. Contoh, menurut Koran kompas hari senin (19/3) dikatakan bahwa sejak 1975 hingga kini, banjir bengawan solo makin kerap terjadi seiring dengan makin parahnya kerusakan lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai.

Masih menurut kompas, sungai sepanjang 527 kilometer ini, melintasi 17 kabupaten dan kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini sudah rusak sejak di bagian hulunya di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Kawasan vegetasi tanaman keras telah berubah menjadi lahan pertanian semusim sehingga terjadi erosi dan sedimentasi di sepanjang sungai mulai Kabupaten Sukoharjo, Solo, Sragen, Blora, Bojonegoro, hingga muaranya di Kabupaten Gresik.

Apalagi, masyarakat juga masih menganggap sungai sebagai tempat sampah terbesar dan terpanjang. Sehingga mereka terbiasa membuang sampah di sungai. Dampaknya jelas, banjir pun muncul setiap tahun. Hal ini membuktikan masyarakat masih abai terhadap sungai.

Pertanyaannya kemudian, dampak apa yang ditinggalkan setelah usainya peringataan hari air yang digelar oleh berbagai komunitas peduli lingkungan ?. bisakah masyarakat tergugah kesadarannya untuk berbuat sesuatu menjaga kelestarian lingkungannya.?. sebuah tugas berat karena upaya pelestarian lingkungan itu sering berbenturan dengan “kepentingan perut” dan kepentingan ikutan lainnya. Wallahu a’lam bishowab. Salam tangguh, salam lestari, salam kemanusiaan. [eBas/siang senin kliwon]   
  




Sabtu, 17 Maret 2018

PEGIAT LINGKUNGAN DAN PECINTA ALAM DALAM PRBBK


       Kawan-kawan pegiat lingkungan dan pecinta alam, selalu punya cara sendiri yang kreatif dalam upaya mengingatkan masyarakat akan pentingnya pelestarian alam (flora dan fauna). Misalnya, peringatan Hari Air Sedunia. Sebagai upaya mengingatkan bahaya krisis air jika sumber mata air dibiarkan hilang karena tidak dijaga kelestariannya.

         Begitu juga halnya kegiatan peringatan Hari Hutan Internasional yang diselenggarakan oleh R-KomPAS (Rumah Komunitas Pecinta Alam Senusantara). Pasti pesan yang disampaikan adalah ajakan melakukan konservasi, dan melestarikan hutan untuk menjaga keanekaragaman hayati sebagai penopang kehidupan.

Dalam peringatan ini, kawan-kawan secara kreatif mengemas program kampanye penyadaran dalam berbagai bentuk. Seperti gerakan pembersihan sungai dari sampah, penanaman pohon, gerakan mangrovisasi, penghijauan lereng gunung dan hutan akibat nafsu pembalakan yang brutal, serta bakti sosial dan kegiatan lain yang misinya menegur sekaligus menghibur.

Dalam khasanah penanggulanagan bencana, seperti yang penulis baca dan sering mendengar paparan diskusi selama ini, apa yang dilakukan oleh mereka yang mengatasnamakan pegiat lingkungan dan pecinta alam, itu sejalan dengan semangat PRBBK (pengurangan risiko bencana berbasis komunitas).

Secara umum PRBBK bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana mengenal potensi-potensi bencana yang ada disekitarnya, bagaimana masyarakat memetakan wilayah-wilayah yang rawan bencana di lingkungannya, serta bagaimana tindakan preventif yang harus dilakukan masyarakat sebagai tindakan pencegahan dan mitigasi bencana.

Program PRBBK ini dilaksanakan dengan dasar pemahaman bahwa masyarakat yang tinggal didaerah rawan bencana adalah yang paling pertama berhadapan dengan bencana yang apabila tidak dibekali dengan informasi dan pengetahuan tentang bencana maka akan memiliki tingkat kerentanan yang besar dan ketahanan masyarakat terhadap bencana akan sangat rendah.

Dengan demikian, bolehlah dikatakan bahwa PRBBK itu upaya membangun kapasitas untuk menggerakkan sumber daya komunitas dalam mengelola risiko bencana tanpa harus menunggu bantuan dari luar.

Termasuk mendorong komunitas melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian komunitas yang tepat, dan efektif. Seperti, penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi evakuasi. Didalam usaha kesiagaan ini juga dilakukan penguatan sistem peringatan dini.

Untuk itulah, pagelaran yang dirancang para pegiat lingkungan dan pecinta alam sebagai relawan kemanusiaan itu, masuk pada ranah kegiatan pra bencana, diantaranya, Mendampingi/menginspirasi Komunitas melestarikan lingkungan alam, Mengedukasi warga yang berdomisili di daerah rawan bencana agar bisa hidup berdampingan dengan risiko.

Apapun istilahnya, bagaimanapun bentuk kegiatannya, ujung-ujungnya adalah para pegiat lingkungan dan pecinta alam itu  berupaya mengajak khalayak ramai untuk melestarikan alam serta membangun kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana, agar tidak terjadi petaka yang mengganggu keberlangsungan hidup makhluk-NYA. Selamat menyongsong Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, 26 April 2018. “Siap Untuk Selamat”. Salam Rimba, salam Lestari, Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/sabtu legi]



Minggu, 11 Maret 2018

MBAH DHARMO LIHAT ARISAN SRPB


“Seorang relawan, jika masih bicara tentang aku, kamu, dan mereka, dalam kegiatan penanggulangan bencana, dapat dipastikan dia belum khatam belajar tentang kebencanaan. Karena, dalam penanggulangan bencana, tidak ada kata aku, dan kamu. Adanya  kata kita yang bekerja dalam tim untuk saling berkoodinasi dan bersinergi  antara pemerintah, relawan dan dunia usaha,” begitulah awal tausyiah mbah Dharmo dalam kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah, sabtu (10/3).

Kegiatan rutinan yang diagendakan oleh sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM) ini mengambil tema, ‘Berbagi Pengalaman dalam Menggeluti Program Desatana’. Yaitu, desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan (Perka BNPB No.1 Tahun 2012).

Kali ini yang menjadi nara sumber sebanyak tiga orang. Mereka memiliki pengalaman lapangan yang layak dibagi untuk menambah wawasan relawan tentang kegiatan pra bencana. Mereka sangat piawai menceritakan pengalamannya. Saling mengisi, saling melengkapi. Sehingga peserta pun gembira terpana. Manggut-manggut, entah paham apa karena ngantuk.

Alfin, seorang fasilitator desa tangguh bencana, menceritakan pengalamannya ditolak Pak Lurah saat mengenalkan diri mensosialisasikan program destana. Namun, karena ketangguhannya, Alfin pun menuai sukses. Bahkan ditawari bekerja di kelurahan.

Artinya, diawal melaksanakan program perlu kiranya memperkenalkan diri terlebih dahulu melalui kegiatan yang sudah ada di masyarakat. Seperti PKK, Karang Taruna, Remaja Masjid, dan Kelompok Yasinan. Jangan lupa, juga melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan perangkat desa setempat.

Sementara Ecak, dari PSBL UNITOMO, menceritakan pengalamannya mendampingi program desatana di kabupaten  Sidoarjo, yang agak berbeda cara penanganannya dengan konsep destana.

Dimana, ada upaya pengintegrasian program destana dengan kegiatan KKN tematik yang digarap secara nonformal dengan beberapa pembekalan keterampilan bagi masyarakat yang ditunjuk menjadi relawan desa tangguh. Diantaranya dengan mengenalkan Tas Siaga, Biopori, dan alat pemanen air hujan.

Menurutnya, yang penting itu masyaralat paham akan potensi bencana di daerahnya. Dengan demikian, hal ini akan memudahkan memberi virus kesiapsiagaan menghadapi bencana secara mandiri sebelum bantuan dari luar datang.

Sementara Yeka Kusumajaya, dari Komunitas Gimbal Alas Indonesia, menekankan bahwa tidak ada istilah senior yunior dalam kegiatan tanggap darurat bencana, yang ada adalah kebersamaan, saling berkoordinasi membangun jejaring kemitraan.

Terkait upaya menciptakan desa tangguh bencana, maka menurut pria berkumis tipis ini, yang perlu digarap terlebih dulu adalah membangun kesadaran masyarakat dimana program itu berada. Menurutnya, ada tiga timgkatan kesdaran yang harus dipahami oleh relawan agar pendampingan destana itu berhasil. Yaitu, kesadaran religi, kesadaran naïf, dan kesadaran kritis. Tentu, ketiganya ini berbeda dalam perlakuannya.

Kegiatan yang diadakan di Joka, Juanda, Sidoarjo ini semakin lengkap ketika mBah Dharmo berkenan membagi pengalamannya tentang destana dan pengurangan risiko bencana. Dengan gayanya yang komunikatif, simbah yang sedang menyelesaikan tesisnya itu berhasil membuat peserta arisan terkesima mendengarkan ‘wedaran’ ilmu dan pengalamannya memberdayakan masyarakat lereng gunung Kelud dan gunung Agung, agar siap hidup berdampingan dengan bencana.

Inilah salah satu tugas relawan melakukan edukasi masyarakat dalam rangka mengurangi risiko, dan membangun kapasitas menuju masyarakat tangguh bencana. Pria yang aktif dikepengurusan Forum PRB Jatim ini mengutuk keras jika upaya penanggulangan bencana dilakukan hanya sekedar untuk kepentingan lomba.

“Biasanya, program yang beginian tidak bertahan lama karena semuanya serba sulapan, serba instan,” Kata mBah Dharmo menyudahi ceritanya.

Sesungguhnyalah program destana itu sebagai upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam bidang pengurangan risiko bencana. Baik itu SDM atau SDA agar bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu jika terjadi bencana. [eBas]