“Tampaknya organisasi masyarakat
sipil (OMS) belum dianggap penting oleh para pengelola gugus tugas percepatan
penanganan covid-19, bahkan juga pemerintah setempat. Sehingga masih enggan
mengajak OMS/LSM untuk bersama-sama duduk bersama mencari solusi penanganan
covid-19 beserta dampak ikutannya,” Kata seorang peserta seminar web ke enam
(webinar 6), dengan tema OMS/LSM dan kerjasama multisektoral dalam konteks
pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Bahkan, menurut peserta lain dari
daerah Sumatera, ada kesan penanganan covid-19 akan dikerjakan sendiri oleh
pemerintah. Oleh karena itu, tambahnya, perlu segera diambil langkah untuk
mengorganisasikan seluruh OMS secara mandiri untuk bergerak melakukan kegiatan
penanganan covid-19. Termasuk di dalamnya menyiapkan sumber daya manusia,
sarana prasarana, dan dana penungkang operasional.
Untuk itulah kawan-kawan yang
dekat dengan Kementerian terkait hendaknya bisa mendorong agar OMS bisa masuk
sebagai pendamping bersama gugus tugas melaksanakan penanganan covid-19 secara terpadu
melibatkan semua elemen masyarakat (istilah BNPB adalah pentahelix). Khususnya
penanganan saat PSBB.
Kegiatan yang diselenggarakan
hari selasa (21/4) secara online itu merupakan kegiatan yang rutin dilakukan
untuk membulatkan gagasan agar bisa segera beraksi. Dari daftar kehadiran,
tampaknya mereka merupakan anggota OMS/LSM yang telah punya nama dan kiprahnya
pun sudah dikenal khalayak (baik secara nasional, regional,maupun lokal).
Pertanyaan yang diajukan untuk
bahan seminar ini adalah, langkah apa yang diperlukan untuk mendorong
koordinasi OMS/LSM dengan gugus tugas dari pusat dan daerah.
Pertanyaan ini sebagai upaya
memperlancar jalinan koordinasi dan komunikasi diantara ke duanya. Paling tidak,
diharapan agar orang-orang yang berada di dalam gugus tugas itu mau
berkoordinasi dengan OMS/LSM yang membantu pemikiran dan pendampingan dalam
melaksanakan tugasnya, serta berkomunikasi dengan komunitas relawan yang telah
membantu di lapangan selama ini.
Dengan kata lain, banyak dari
peserta seminar webinar ini berharap agar mereka yang terlibat dalam gugus
tugas rajin mengajak berkomunikasi mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan
penanganan covid-19 yang kemungkinan akan terbagi dalam klaster (tentunya melihat
perkembangan wabah dari Wuhan ini). Termasuk berkoordinasi untuk meningkatkan
kapasitas dan keterlibatan OMS/LSM dan komunitas relawan dalam pembahasan
kebijakan. Sehingga penanganan kepada warga yang terdampak PSBB akan lebih
efektif serta dapat mencegah timbulnya ‘gesekan’ di masyarakat.
Di dalam kegiatan yang
difasilitasi oleh OXFAM, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada
pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi, tercetus ajakan untuk segera
mengidentifikasi organisasi yang mau diajak bergabung dan berjejaring, dengan
mempertimbangkan factor SDM, sarpras, dan dana pendukung. Serta mengidentifikasi
keberadaan organisasi perangkat daerah yang dilibatkan dalam gugus tugas
percepatan penanganan covid-19.
Diakhir seminar, perbincangan yang
sempat tercatat adalah adanya sangkaan bahwa penyerapan anggaran penanganan
covid masih rendah, sehingga perlu peran OMS/LSM dalam membantu menggunakan
anggaran untuk kegiatan pembantuan program penanganan covid-19. Disamping itu
juga perlu melibatkan pekerja pendamping dana desa dalam jejaring OMS/LSM.
Entah apa maksudnya, yang jelas
perlunya dibangun hubungan kelembagaan antara OMS/LSM dengan instansi
pemerintah. Buka sekedar hubungan individual dan insidental saja. karena,
sering kali terjadi hubungan individual itu berakhir ketika kepala instansi
berganti, sehingga harus membangun hubungan dari nol lagi.
Kemudian yang menarik lagi adalah
, adanya permintaan lewat sudat agar BNPB mengeluarkan perintah agar gugus
tugas covid-19 berkoordinasi dengan OMS/LSM, dan OPD (serta komunitas relawan
?) setempat agar penanganan covid-19 terasakan progresnya. Sehingga masyarakat
yang terdampak akibat pelaksanaan PSBB tidak bergejolak yang berujung kerusuhan
sosial.
Sungguh seminar yang dikomandani
oleh Pujiono centre ini menjadi wawasan baru bagi komunitas relawan yang berkutat
pada bidang kemanusiaan secara mandiri tanpa harus tergantung pada bantuan
pihak lain, sehingga kerjanya pun semampunya tanpa target yang ditetapkan
secara professional.
Semoga semakin banyak komunitas relawan
yang mengikuti seminar semacam ini dalam rangka membuka cakrawala baru bahwa
kerja-kerja kemanusiaan itu senyatanya bisa dijadikan mata pencaharian yang
menjanjikan. Kita tunggu seminar berikutnya, jangan lupa siapkan secangkir
kopi, sebelum mengikutinya. Salam Tangguh, tetap menginspirasi untuk peduli. [eBas/RabuPon-22042020]