Rabu, 22 April 2020

ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL MENCOBA BERJEJARING MENANGANI COVID-19 (YANG SEMPAT TERCATAT DARI SEMINAR ONLINE)


“Tampaknya organisasi masyarakat sipil (OMS) belum dianggap penting oleh para pengelola gugus tugas percepatan penanganan covid-19, bahkan juga pemerintah setempat. Sehingga masih enggan mengajak OMS/LSM untuk bersama-sama duduk bersama mencari solusi penanganan covid-19 beserta dampak ikutannya,” Kata seorang peserta seminar web ke enam (webinar 6), dengan tema OMS/LSM dan kerjasama multisektoral dalam konteks pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Bahkan, menurut peserta lain dari daerah Sumatera, ada kesan penanganan covid-19 akan dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Oleh karena itu, tambahnya, perlu segera diambil langkah untuk mengorganisasikan seluruh OMS secara mandiri untuk bergerak melakukan kegiatan penanganan covid-19. Termasuk di dalamnya menyiapkan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan dana penungkang operasional.

Untuk itulah kawan-kawan yang dekat dengan Kementerian terkait hendaknya bisa mendorong agar OMS bisa masuk sebagai pendamping bersama gugus tugas melaksanakan penanganan covid-19 secara terpadu melibatkan semua elemen masyarakat (istilah BNPB adalah pentahelix). Khususnya penanganan saat PSBB.

Kegiatan yang diselenggarakan hari selasa (21/4) secara online itu merupakan kegiatan yang rutin dilakukan untuk membulatkan gagasan agar bisa segera beraksi. Dari daftar kehadiran, tampaknya mereka merupakan anggota OMS/LSM yang telah punya nama dan kiprahnya pun sudah dikenal khalayak (baik secara nasional, regional,maupun lokal).

Pertanyaan yang diajukan untuk bahan seminar ini adalah, langkah apa yang diperlukan untuk mendorong koordinasi OMS/LSM dengan gugus tugas dari pusat dan daerah.
Pertanyaan ini sebagai upaya memperlancar jalinan koordinasi dan komunikasi diantara ke duanya. Paling tidak, diharapan agar orang-orang yang berada di dalam gugus tugas itu mau berkoordinasi dengan OMS/LSM yang membantu pemikiran dan pendampingan dalam melaksanakan tugasnya, serta berkomunikasi dengan komunitas relawan yang telah membantu di lapangan selama ini.

Dengan kata lain, banyak dari peserta seminar webinar ini berharap agar mereka yang terlibat dalam gugus tugas rajin mengajak berkomunikasi mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan penanganan covid-19 yang kemungkinan akan terbagi dalam klaster (tentunya melihat perkembangan wabah dari Wuhan ini). Termasuk berkoordinasi untuk meningkatkan kapasitas dan keterlibatan OMS/LSM dan komunitas relawan dalam pembahasan kebijakan. Sehingga penanganan kepada warga yang terdampak PSBB akan lebih efektif  serta dapat mencegah timbulnya ‘gesekan’ di masyarakat.

Di dalam kegiatan yang difasilitasi oleh OXFAM, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi, tercetus ajakan untuk segera mengidentifikasi organisasi yang mau diajak bergabung dan berjejaring, dengan mempertimbangkan factor SDM, sarpras, dan dana pendukung. Serta mengidentifikasi keberadaan organisasi perangkat daerah yang dilibatkan dalam gugus tugas percepatan penanganan covid-19.

Diakhir seminar, perbincangan yang sempat tercatat adalah adanya sangkaan bahwa penyerapan anggaran penanganan covid masih rendah, sehingga perlu peran OMS/LSM dalam membantu menggunakan anggaran untuk kegiatan pembantuan program penanganan covid-19. Disamping itu juga perlu melibatkan pekerja pendamping dana desa dalam jejaring OMS/LSM.

Entah apa maksudnya, yang jelas perlunya dibangun hubungan kelembagaan antara OMS/LSM dengan instansi pemerintah. Buka sekedar hubungan individual dan insidental saja. karena, sering kali terjadi hubungan individual itu berakhir ketika kepala instansi berganti, sehingga harus membangun hubungan dari nol lagi.

Kemudian yang menarik lagi adalah , adanya permintaan lewat sudat agar BNPB mengeluarkan perintah agar gugus tugas covid-19 berkoordinasi dengan OMS/LSM, dan OPD (serta komunitas relawan ?) setempat agar penanganan covid-19 terasakan progresnya. Sehingga masyarakat yang terdampak akibat pelaksanaan PSBB tidak bergejolak yang berujung kerusuhan sosial.

Sungguh seminar yang dikomandani oleh Pujiono centre ini menjadi wawasan baru bagi komunitas relawan yang berkutat pada bidang kemanusiaan secara mandiri tanpa harus tergantung pada bantuan pihak lain, sehingga kerjanya pun semampunya tanpa target yang ditetapkan secara professional.

Semoga semakin banyak komunitas relawan yang mengikuti seminar semacam ini dalam rangka membuka cakrawala baru bahwa kerja-kerja kemanusiaan itu senyatanya bisa dijadikan mata pencaharian yang menjanjikan. Kita tunggu seminar berikutnya, jangan lupa siapkan secangkir kopi, sebelum mengikutinya. Salam Tangguh, tetap menginspirasi untuk peduli. [eBas/RabuPon-22042020]




Minggu, 19 April 2020

CANGKRUK’AN SEBAGAI PROSES PEMBELAJARAN


Entahlah, kebiasaan cangkruk’an itu siapa yang memulai dan sejak kapan ada di Negara kita ini. Tampaknya  cangkruk’an itu kebiasaan yang turun temurun. Diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Begitu seterusnya. Mungkin yang berbeda adalah gayanya. Karena sesungguhnyalah gaya itu mengikuti perubahan jaman, yang dipengaruhi oleh ragam komunikasi yang semakin canggih.

Dalam Ilmu sosial dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan sesamanya untuk berbagi rasa, bertukar pikiran dan kehendak, baik secara langsung maupun tidak langsung, salah satu media untuk berinteraksi adalah cangkruk’an.

Cangkruk’an sangat menyenangkan karena di sana terjadi perbincangan yang setara, dan peningkatan relasi persahabatan. Cangkrukan merupakan ruang publik yang dapat dimanfaatkan sebagai wahana komunikasi, tempat bersosialisasi,  tukar informasi, dan juga sebagai tempat hiburan rohani yang murah meriah.

Tempatnya bisa di mana saja yang penting nyaman dan cocok untuk mengobrol bersama-sama dalam waktu tertentu. Pada saat cangkruk, materi obrolan bisa apa saja, dari satu topik pembicaraan ke topik pembicaraan lainnya, mulai dari berita politik, bencana alam, sampai gossip tentang relawan lain atau tentang kehidupan artis yang kawin cerai dan selingkuh, yang dianggap sebagai obat awet muda.

Dengan kata lain, kebiasaan cangkruk bagi penggemarnya, sangat dinantikan karena di sana ada pertukaran ilmu, wawasan, pengetahuan, informasi-informasi penting bagi kemajuan hidup, dan berbagai hal yang bersifat positif dan konstruktif bagi kehidupan bersama. Ya, semua orang pasti suka cangkruk. Termasuk komunitas relawan.

Cangkruk’an, bagi komunitas relawan tanpaknya sudah merupakan hal yang ‘wajib’ dilakukan disamping pertemuan yang diagendakan dalam kaitannya dengan program. Seperti diketahui bahwa seseorang bergabung ke dalam sebuah komunitas itu biasanya untuk mewujudkan kebutuhannya dalam konteks sosial sebagai anggota komunitas.

Lewat cangkruk’an. Komunitas membantu seseorang dalam memenuhi sejumlah kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk belajar bergaul, belajar berkomunikasi, bersahabat, dan beaktualisasi diri, Mungkin juga untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. karena motivasi seseorang itu beragam.

Ya, cangkruk’an sebagai sebuah pertemuan informal yang kental dengan suasana persahabatan, sangat mungkin menjadi media pembelajaran secara informal diantara mereka. Khususnya masalah kerelawanan dan kerja-kerja kemanusiaan yang menjadi kepeduliannya.

Disana, mereka saling bertukar pengalaman dan berbagi informasi, sambil nyruput kopi. Yang lebih berpengalaman membagikan pengalamannya dengan gaya tutur yang khas. Sementara, yang kaya informasi mengimbaskan informasinya agar diketahui. Siapa tahu, dari situ muncul kegiatan kreatif. Sehingga cangkruk’an bermakna sebagai wahana saling menginspirasi sesama relawan untuk merancang sebuah kegiatan bersama.

Ya, biasanya, dalam cangkruk’an itu, yang dianggap kaya pengalaman selalu menjadi pusat perhatian. Semua yang hadir menyimak apa yang dikatakan dan semua yang diceritakan. Inilah proses pembelajaran informal dalam upaya pewarisan nilai-nilai hidup sebagai seorang relawan kemanusiaan serta pengalaman dan informasi yang bisa dijadikan pedoman oleh relawan generasi baru.

Melihat strategisnya kegiatan cangkruk’an, maka pengurus SRPB JATIM selalu memanfaatkan moment ini untuk menebar pesan moral dan etika bermasyarakat. Siapa tahu bisa dimanfaatkan oleh relawan milenial yang akan menggantikan peran relawan kolonial yang mau tidak mau, karena faktor umur, harus mundur memberi kesempatan kepada lainnya tampil di atas panggung kehidupan sesuai jamannya. Wallahu a’lam bishowab. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/MingguKliwon-19042020]











Rabu, 15 April 2020

DISKUSI ONLINE PERAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENANGANAN COVID-19


Sesungguhnyalah, peran masyarakat sipil (selanjutnya disebut komunitas) dalam upaya mencegah berkembangnya virus yang datang dari Wuhan itu, sudah dilakukan.

Mereka melakukan dengan caranya sendiri. Ada yang  urunan diantara mereka, ada pula yang disokong oleh donatur. Bahkan ada yang didukung oleh anggaran lembaga tertentu. Bentuk kegiatannya, antara lain penyemprotan disinfektan ke fasilitas umum, pembuatan bilik semprotan, membagikan masker dan hand sanitizer kepada masyarakat.

Pemerintah pun tidak tinggal diam. Presiden langsung menunjuk kepala BNPB menjadi ketua gugus tugas percepatan penanganan covid-19, dengan membentuk posko nasional. Konon, posko diisi oleh berbagai elemen kementerian/lembaga. Disusul berdirinya posko di tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan sampai kecamatan dan desa/kelurahan (teorinya sih begitu, tapi belum semua begitu).

Pertanyaannya kemudian, bagaimana hubungan antara gugus tugas dengan komunitas relawan (OMS/LSM) yang secara mandiri telah berbuat mandiri melakukan kegiatan penanganan covid-19. Karena di lapangan, koordinasi dan komunikasi antar elemen pentahelix ini belumlah tampak.

Ketidak jelasan inilah yang oleh Pujiono centre dijadikan bahan diskusi online yang diadakan selasa (14/4), untuk menampung kegelisahan aktivis OMS/LSM, juga komunitas relawan terhadap keberadaan gugus tugas yang kurang komunikatif dalam aktivitasnya.

Oleh Pujiono centre, permasalahan di atas dikemas dalam tema “Struktur dan mekanisme koordinasi serta tindakan kongkrit seperti apa yang perludilaksanakan oleh gugus tugas nasional, daerah dan di desa untuk mengoptimalkan kerja sama dengan OMS/LSM dalam rangka pelaksanaan pembatasan sosial beskala besar.

Banyak sekali yang bertanya, apakah keberadaan posko OMS/LSM yang akan diaktifkan itu, tidak bertabrakan kepentingan dengan posko Gugus tugas ?. Kemudian, OMS/LSM yang bagaimana yang terlibat/dilibatkan dalam posko ?. entah siapa yang bisa/berhak menjawab. 

“Ingat lho ya, keberadaan posko itu tidak hanya memikirkan masalah covid-19 saja. seperti jumlah ODP, jumlah PDP, positif, sembuh dan meninggal saja. tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengatasi dampak ikutan yang ditimbulkan covid-19. Seperti masalah sosial ekonomi yang bisa memicu kerusuhan sosial,” Kata seorang peserta yang merasa kelurahan/desa belum banyak yang mendirikan posko sesuai harapan dari buku Desa Tangguh Covid-19, dan Protokol Relawan Desa Lawan Covid-19.

Artinya, Dampak pandemi covid-19 bagi kehidupan sosial ekonomi rakyat kecil perlu dipikirkan oleh posko. Termasuk mereka yang baru kena PHK, belum pernah terima bantuan apa-apa, dan belum mendapatkan kartu pra kerja. Posko juga berupaya memotivasi sekaligus memperkuat solidaritas antar elemen pentahelix untuk mengatasi masalah sosial ekonomi yang jika tidak segera diantisipasi bisa memunculkan kerawanan yang tidak diinginkan.

Untuk itulah, mereka yang diamanahi mengendalikan Posko Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 harus segera mengajak rapat seluruh elemen pentahelix, termasuk OMS/LSM dan komunitas relawan untk berbagi peran dalam upaya memutus rantai penyebaran wabah dari Wuhan ini.

Dengan demikian bisa dihindari praktek yang egosentris, memanfaatkan dana bantuan untuk mensejahterakan sanak saudara dan kolega perangkat desa sendiri, karena ketidak terbukaan data yang diperlukan. termasuk menghindari terjadinya kongkalikong antara oknum dengan OMS/LSM yang telah menjadi kroninya (koncoisme).

Kemudian, yang tidak kalah penting adalah segera dikeluarkannya surat resmi sebagai payung hukum untuk OMS/LSM dan komunitas relawan yang professional agar ‘dilibatkan’ dalam pengawasan pembagian paket bantuan. Serta disertakan pula dalam melakukan sosialisasi sadar bencana covid-19 yang massif, dengan menggunakan bahasa setempat sehingga mudah dipahami. termasuk menggerakkan kegiatan yang sudah ada di kampong. Seperti yasinan, tahlilan, majlis taklim, PKK, dan dasa wisma agar tumbuh kesadarannya akan bencana covid-19.

“Masalahnya kemudian, bagaimana bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sementara ada larangan untuk berkumpul terkait dengan social distancing,” Tanya seorang aktivis LSM yang tidak menyebutkan jadi dirinya.

Diakhir diskusi online, dikatakan pula bahwa Posko gugus tugas penanganan covid-19 belum berjalan optimal karena ketidak tahuan personil yang dilibatkan tupoksinya. Termasuk pejabat daerah juga banyak yang belum bertindak karena takut berlawanan dengan kebijakan yang ada.

Padahal, pihak kementerian desa sdh membuat instruksi kepada desa untuk bersiap dalam karantina lokal dengan menggunakan dana desa melalui program desa tangguh Covid-19 serta diharapkan membuat program lumbung pangan untuk membantu masyarakat desa yang tidak mampu.

Demikian beberapa catatan dari diskusi online yang sempat tercatat karena suara dari zoom application yang digunakan sering putus nyambung tergantung dari signal internet. Juga ketersediaan paket datanya.

Semoga poin-poin ini bisa dijadikan pembelajaran bagi semua elemen pentahelix dalam melakukan kerja-kerja kemanusiaan. bahwa yang namanya egosentris bisa menghambat terjadinya koordinasi dalam membangun sinergitas.  wallahu a’lam bishowab.[eBas/KamisPahing-16042020]


Senin, 13 April 2020

TIM SRPB JATIM DIKUNJUNGI GURU BESAR UNHAN


Seperti biasa, sesuai kesepakatan antara dosen Disain Produk ITS dengan SRPB JATIM, hari ini, senin (13/4), mereka tampak bersemangat merakit face shield sebanyak-banyaknya untuk dibagikan ke paramedis yang menangani korban covid-19. Sesuai prosedur, mereka datang langsung masuk bilik semprot disinfektan, kemudian cuci tangan menggunakan hand sanitizer. Baru masuk ruangan untuk menyiapkan bahan-bahan yang akan di rakit. Begitulah protapnya.

Hari ini, merupakan hari yang ke 14 perakitan Face Shield sebagai salah satu Alat Pelindung Diri (APD) yang sangat dibutuhkan paramedis.  Konon, alat ini berguna untuk melindungi wajah dari droplet (cipratan saluran nafas, seperti air liur, batuk dan bersin). Yang jelas APD ini sangat dibutuhkan oleh mereka yang menjadi garda terdepan penanganan covid-19.

Tempatnya masih sama, di Gedung Disain Produk, Kampus ITS. Hanya personilnya yang ganti sesuai kesempatan dan kesibukannya. Artinya, kalau tidak sibuk ya dipersilahkan membantu merakit face shield. Namun person in charge (penanggungjawab kegiatan) tetap sama, Dwi Rossantiana, salah satu pengurus SRPB dari Navshot, Surabaya. Begitu juga konsumsi yang tersedia, semua hasil donasi dari para relawan yang baik hati. Inilah salah satu bentuk gotong royong yang ditampilkan oleh SRPB JATIM.

Hanya saja, kegiatan kali ini ada yang berbeda, sekaligus menggembirakan bagi relawan yang sedang piket. Karena, ditengah kesibukan merakit face shield, tiba-tiba muncul seorang tamu yang cukup familier dengan aktivis SRPB JATIM. Ya, Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si, selaku Penasihat Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI), sekaligus Dewan Pembina Pusat Penelitian dan Pelatihan Indonesia Tangguh (PUSPPITA), berkenan nyambangi relawan yang mendharma bhaktikan tenaganya untuk membantu pengadaan APD.

Pak Prof, begitu panggilan akrabnya, dengan antusias melihat relawan merakit mika yang telah dipotong sesuai dengan ukuran dan peruntukannya. Sesekali bertanya dan memberi arahan. Tentu diselingi dengan guyon khasnya. Sehingga suasana siang itu sangat menyenangkan.

Kehadiran mantan Komandan Balayon Sikatan 507/BS era tahun 1990 ini didampingi Kepala Produksi, Djoko Kuswanto, membuat semangat relawan bertambah. Seakan ingin menunjukkan bahwa sekecil apapun, relawan juga ikut berpartisipasi dalam upaya menangani wabah covid-19 yang semakin membahayakan. Ya, karena hanya itu yang bisa disumbangkan. Lain dengan mereka yang berpunya, pasti bentuk sumbangannya pun akan berbeda. Jadi janganlah dibandingkan, apalagi dibenturkan.  

Menurut guru besar Universitas Pertahanan (UNHAN) ini, dalam menghadapi bencana, termasuk pandemi covid-19 ini, peran akademisi dan relawan sangat dibutuhkan dan harus berlanjut sesuai dengan sinergi pentahelix. Tinggal bagaimana melibatkan unsur media massa, dunia usaha, dan pemerintah. Inilah yang harus dibicarakan bersama. Mungkin, lebih tepatnya, tugas BPBD yang punya kekuatan untuk itu.

“upaya memutus mata rantai penyebaran covid-19 harus dilakukan dan melibatkan semua elemen pentahelix. Dari tingkat pusat sampai yang paling bawah. Kemudian, yang lebih penting lagi adalah terciptanya jalur koordinasi dan komunikasi yang baik, agar terjadi kesepahaman disitu” Kata Syamsul, yang juga menjadi dosen sosiologi di Universitas Negeri Jember.

Sebelum meninggalkan lokasi, Guru besar Unhan, yang juga pemilik Joglo Kadiren (Joka), menyempatkan diri melihat ruang 101, sebagai pusat data dan informasi terkait face shield. Kemudian juga melihat tempat pengumpulan hasil perakitan yang selanjutnya akan dibersihkan dengan cairan disinfektan dan diberi penyinaran ultra violet. Setelah itu dikemas dalam kardus yang steril, dan siap didistribusikan.

Dari kunjungan itu, Pak Prof mengusulkan agar tempat perakitan dicarikan yang lebih luas agar sirkulasi udaranya lancar dan nyaman. Memang, selama ini tempat perakitan memakai ruang kelas yang terbatas, sehingga tampak sumpek. Antara bahan yang akan dirakit, hasil rakitan dan konsumsi menjadi satu. Usulannya baik, tapi kalau tempatnya tidak ada ya bagaimana lagi, seperti kata pepatah, ‘Tiada rotan, akarpun jadi’. [dari hasil reportase Ocha/selasa-14042020]





Selasa, 07 April 2020

SRPB MEMBANGUN SINERGI MEMBANTU SESAMA


Konon, dana yang disediakan pemerintah untuk tanggap darurat Covid-19 itu sejumlah 405,1 triliun. Lumayan besar, tapi untuk penggunaannya tidak semua orang bisa tahu. Salah satunya tentu untuk membeli alat pelindung diri (APD) untuk para medis yang berjuang digaris depan penanganan convid-19. Bahkan sudah 24 orang dokter meregang nyawa, wafat tanpa penghormatan yang layak saat pemakanannya.

Namun senyatanya, sampai saat ini masih banyak tenaga medis yang merasa kekurangan APD, sehingga terpaksa mengandalkan bantuan dari berbagai komunitas yang peduli kemanusiaan. Masyarakat pun secara mandiri tetap membantu pemerintah melakukan upaya pencegahan, seperti penyemprotan disinfektan di berbagai tempat. Begitulah adanya, pemerintah selalu mengandalkan bantuan masyarakat.

Ya, seperti bencana alam lainnya, pandemi corona ini juga menggugah semangat gotong royong berbagai komunitas untuk saling peduli membantu sesama mengatasi corona, dengan segala cara yang bisa dilakukannya. Seperti yang saat ini melakukan penyemprotan disinfektan, pembagian masker dan hand sanitizer kepada masyarakat. Ada juga yang melakukan edukasi tentang wabah corona kepada masyarakat. Semuanya dilakukan dengan ikhlas dan suka cita tanpa ada tekanan.

Begitu juga dengan relawan yang tergabung di SRPB Jawa timur. Saat ini mereka serempak membantu teman-teman dari jurusan disain produk ITS, merakit Face Shield (pelindung muka). Konon alat itu nantinya akan didistribusikan ke berbagai rumah sakit yang membutuhkan (masih membutuhkan karena belum mendapat jatah dari pusat)

Setiap hari mereka bergantian datang ke Gedung desain produk untuk bersama-sama merakit salah satu APD yang dibutuhkan para medis dalam melaksanakan tugasnya. Sementara yang lain juga sibuk bersinergi dengan berbagai komunitas melakukan aksi peduli sesama, di daerahnya masing-masing.

Beberapa relawan yang berkelebihan rejeki juga berpartisipasi menyediakan konsumsi bergizi, untuk menjaga stamina mereka yang sibuk merakit pelindung muka berbahan mika, agar tetap konsentrasi pada pekerjaan dan melakukannya dengan penuh kegembiraan. Konsumsinya macam-macam. Ada nasi sayur sop, ada penyetan, sosis bakar, ada nasi kotak, dan jajanan yang mengenyangkan. Termasuk diantaranya wedang tape, wedang kemaruk, dan es sinom yang turut menyegarkan dahaga relawan.

Sungguh, tidak mudah menjadi orang baik yang peduli sesama, dengan menyempatkan waktu, tenaga dan bahkan uangnya untuk kerja-kerja kemanusiaan. jika hanya dihitung berdasarka rugi laba, jelas rugi dan tidak ada untungnya sama sekali. Namun, ada yang percaya hidup itu adalah misteri. Siapa yang menolong, pasti suatu saat akan ditolong.

Dalam agama juga mengajarkan bahwa Tuhan itu dalam memberi rejeki umat-NYA dari berbagai jalan yang tidak diduga. Bisa jadi seseorang mendapat rejeki melalui kebaikan kita. Seperti saat ini, SRPB membangun sinergi dengan berbagai komunitas relawan untuk bersama bergotong royong merakit Face Shield adalah salah satu wujud nyata dari peran relawan dalam membantu sesama menangani wabah covid-19.

Semoga langkah kecil dari relawan mitra SRPB, yang dengan suka rela meluangkan tenaganya akan menjadi ladang ibadah dan dicatat oleh Tuhan sebagai investasi di akherat kelak. Teruslah bergerak, bersatu bersinergi untuk peduli, insha Allah Tuhan memberkati. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/SelasaPon-07042020]




#narasi ini terinspirasi saat membersamai relawan yang sedang sibuk merakit face shield di gedung dispro ITS, selasa 7/4. semoga barokah dan tercatat sebagai lahan ibadahmu untuk kemanusiaan#

Sabtu, 04 April 2020

RAPAT ONLINE DI BP-PAUD DIKMAS JATIM


Sejak corona resmi masuk ke Indonesia, pemerintah langsung mengeluarkan kebijakan untuk memutus mata rantai persebaran corona  dari Wuhan, Cina yang selama ini menjadi ‘mitra dagang’ utama Indoensia. Salah satu kebijakan yang dibuat adalah mengurangi keluyuran di luar rumah dalam rangka social distancing, bahkan physical distancing.

Salah satu wujudnya adalah Belajar di Rumah bagi siswa dan Bekerja Badi Rumah bagi karyawan (khususnya PNS/ASN). Namun ternyata bekerja dari rumah (BDR) itu membosankan sekaligus merepotkan. Karena setiap dua jam sekali wajib serlok dan laporan secara online. Sehinga tidak bisa kemana-mana. benar-benar di rumah saja.

Ternyata ada manfaatnya juga wabah corona yang merepotkan pemerintah itu, yaitu munculnya komunikasi online. Guru memberi pelajaran dan tugas kepada siswa melalui Handphone pintar di tangannya. Siswa pun bisa langsung mengerjakannya lewat Handphone atau komputernya, untuk kemudian dikirim balik ke gurunya.

Begitu juga karyawan di lingkungan Dirjen Paud dan Dikdasmen, Kemendikbud, diantaranya BP-PAUD DIKMAS JATIM. Untuk memperlancar komunikasi di masa karantina mandiri, maka beberapa karyawan yang menguasai teknologi informasi, mencoba memfasilitasi dengan menggelar rapat online menggunakan aplikasi Zoom meeting online. Ya, rapat online sebagai salah satu bentuk komunikasi tidak langsung antar sesama karyawan Balai.

Mau tidak mau, dan siap tidak siap, semua harus mengikuti rapat online, karena nanti akan diabsen. Semua gopoh, tampak mana yang canggih dan mana yang gabtek. Semua dipaksa mengakrabi aplikasi Zoom untuk bisa ikut rapat online. Walau harus nunak nunuk menggunakan metode Trial and error, semua harus mencoba sambil bertanya lewat grup WhatsApp maupun telpon langsung kepada yang pinter. Ya, perlu dimaklumi karena belum terbiasa bermain dengan aplikasi baru model ini.

Namanya barang baru, tentu terjadi kebingunan, kecemasan yang berbuntut pada salah nutul keyboard, untuk kemudian mengulangi perintah dari awal, serta kelucuan tingkah polah dari semua peserta rapat online, yang pertama kali diwajibkan oleh pimpinan Balai.

Gelaran rapat online ini dilakukan saat seluruh karyawan Balai dikenakan wajib bekerja dari rumah. Jadi semua dikerjakan dari rumah masing-masing. Namanya juga rapat online yang pertama, maka suasana canggung terasa pada awalnya. Tampak di monitor ada yang diam saja, ada yang senyum-senyum sendiri, juga ada yang mencoba bicara tapi tidak terdengar suaranya. Bahkan ada yang tampak sekilas istrinya cuma dasteran saja.

Ada yang kesulitan bergabung karena sambungan internet yang putus-nyambung. Sementara yang masih gabtek berteriak, “gambarku mana kok tidak muncul di layar”. Peserta lain ngedumel, “suara bapak kok pelan banget ya, coba dibesarkan volumenya yang gambar mike itu.”. sementara yang disuruh bingung mencari gambar mike sambil menggerutu, “yang mana ya, sebelah mana gambarnya. Sudah saya tutul kok ya tidak berubah ya,”. “Coba deh bapak pakai head set biar jelas suaranya,” timpal yang lain

Bagi yang sudah tersambung dengan baik, berusaha menyapa temannya yang gambar wajahnya sudah muncul di layar. Karena ingin berbicara dalam waktu yang bersamaan, maka yang terjadi malah tidak jelas apa yang dibicarakan. Semua ingin mendominasi percakapan.

Setelah agak ruwet sedikit, selanjutnya suasana rapat online menyenangkan. Guyonan pun mewarnai rapat online. Candaan lugu pun terdengar, “Mbakyu, Jilbab sampiyan warnane ngejreng, tuku ndek mana, aku pesen ya.”

Ada juga yang curhat masalah pengisian SKP dimasa BDR, “Gimana cara ngisi log harian ya, sementara saat ini kita wajib BDR sehingga tidak memungkinkan untuk mengadakan KBM. Adapun jika mau melakukan KBM juga tidak mungkin karena semua peserta didik sedang menjalani program belajar di rumah. Trus kalau mau addendum, kira-kira apa yang harus diadendum dan diganti dengan kegiatan apa ya?. Bingung aku.”.

Pembicaraan yang semrawut itu hanya berlangsung beberapa saat. Setelah waktu yang ditentukan untuk rapat online tiba, semua mundur alon-alon, diam mendengarkan perintah operator rapat online, dan mendengarkan pengarahan dari kepala Balai dan pejabat di bawahnya.

Sungguh, betapa efektif dan efisiennya rapat online itu. Terjadi percepatan berkomunikasi dengan pemanfaatan teknologi internet. Wajar jika terjadi keributan sebentar karena ketidak tahuan. Dengan rapat online ini, sangat memudahkan untuk mempertemukan seluruh karyawan Balai tanpa perlu waktu yang lama, dan yang terpenting, Balai tidak perlu repot menyediakan jajan kotakan.
Pesertanya pun tidak harus meninggalkan rumah dan aktivitas lainnya. semua bisa mengikuti rapat online dengan santai. Kalau perlu tidak harus mandi dulu dan cukup dasteran atau sarungan.

Masalah yang mungkin lepas dari perhatian kita adalah, kegiatan rapat online ini mengharuskan pesertanya memiliki Handphone yang memadai serta didukung paket data yang cukup (jalan aman adalah cari warkop gratis wifi). Semoga kita cepat akrab dengan kecanggihan internet yang memiliki berbagai aplikasi, agar tidak tertinggal oleh proses revolusi industry 4.0. wallahu a’lam. [eBas/SabtuKliwon-04042020]