Minggu, 30 Agustus 2015

KN-PRBBK XI (peran komunitas dalam penanggulangan bencana)



kegiatan konferensi nasional pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, merupakan ajang untuk berbagi pengalaman para pelaku pengurangan risiko bencana di berbagai daerah bersandar pada kajian sosial-budaya (kearifan lokal) serta multi disiplin ilmu pengetahuan, untuk kemudian dimunculkan deklarasi dan rekomendasi bersama tentang bagaimana peran masyarakat ke depan dalam pengawasan lingkungan sebagai bagian dari manajemen resiko bencana.
Ya, mereka, para pelaku pengurangan risiko bencana ternyata benar-benar ada ditengah gencarnya arus globalisasi yang mengedepankan hedonism dan komsumerisme. Mereka datang dari berbagai daerah, berbagai golongan, berbagai profesi, latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan sosial ekonomi. Tujuannya satu, memberdayakan masyarakat di bidang lingkungan hidup yang semakin rentan terhadap munculnya bencana alam maupun bencana non alam.
Mereka juga bergerak di berbagai bidang garap yang luput dari perhatian pemerintah sesuai kepeduliannya terhadap lingkungan. Mulai dari masalah sampah, limbah industri, pelestarian lingkungan alam, peduli flora fauna, peduli bencana, peduli sumber air, pemerhati kebijakan pemerintah dan masih banyak lagi lainnya.
Ya, mereka melakukan penyadaran, khususnya kepada masyarakat terpapar terkait dampak pembangunan terhadap kehidupan manusia dan lingkngan alam (termasuk flora dan funanya). Mereka terus beraksi tanpa publikasi, beraktivitas tanpa popularitas. Dalam gerakannya, mereka juga mendapat ‘pendampingan’ dari berbagai lembaga donor yang peduli terhadap kerja-kerja kemanusiaan, termasuk bantuan baju seragam yang dikenakan untuk KN-PRBBK ke XI tanggal 25 - 27 Agustus 2015 ini.    
Kegiatan yang digelar di kampus ITS, Surabaya ini, mengangkat tema “membangun ketangguhaan komunitas dalam mereduksi bencana lingkungan dan industri”. Mereka membahas soal pengelolaan lingkungan, manajemen resiko bencana lingkungan dan industri, kemudian dipertajam melalui diskusi kecil untuk bahan rekomendasi pengurangan risiko bencana. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bintang, orang penting di BNPB, bahwa peran dan kemandirian masyarakat dalam hal ketahanan, serta semangat gotong royong, sangat penting ditumbuhkan.
Mereka telah banyak membantu dalam proses penanggulangan bencana, sehingga sangat diharapkan keterlibatan masyarakat di tingkat lokal, termasuk upaya membangun ketangguhan masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana terhadap potensi bencana (terutama gelombang ekstrim bagi masyarakat nelayan, angin puting beliung, banjir, longsor, gempa, tsunami, serta dampak perubahan iklim)
“Kapasitas berbanding terbalik dengan resiko bencana. Termasuk kapasitas lokal dan kapasitas masyarakat. Semakin besar kapasitas, semakin kecil resiko bencana,” ungkap Bintang dalam pengatahannya.
Dari cerita yang muncul saat rehat kopi, sambil menikmati kudapan, terbukti kawan-kawan komunitas telah banyak berbuat untuk lingkungannya. Gerakannya pun telah dirasakan oleh masyarakat yang menjadi dampingannya. Oleh karenanya, alangkah bijaksananya jika mereka, para pegiat kemanusiaan yang bergelut dalam pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, dilibatkan oleh pemerintah, khususnya yang membidangi lingkungan dan kebencanaan, melakukan sosialisasi, pelatihan, pembinaan, pendampingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, sehingga tidak muncul ego sektoral dan kesalah pahaman dalam berkegiatan.
Muncul pula usulan agar penyelenggaraan KN-PRBBK berikutnya, melibatkan pemerintah, tokoh masyarakat (formal maupun informal) dan dunia usaha sebagai bagian dari “agent of change” yang bias melakukan fungsi edukasi, advokasi dan mediasi, agar saling berkomunikasi membangun kebersamaan dalam memberdayakan masyarakat sesuai konsep ketangguhan bangsa menghadapi bencana, yaitu, masyarakat yang mempunyai daya antisipasi, mempunyai daya proteksi, mampu beradaptasi dan mempunyai daya lenting pasca bencana.
Mereka, para pegiat pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, dengan kreativitas dan bahasanya sendiri telah banyak melakukan aksi-aksi yang sejalan dengan strategi penanggulangan bencana yang dicanangkan oleh BNPB, seperti menjauhkan masyarakat dari bencana, menjauhkan bencana dari masyarakat, hidup harmoni dengan risiko bencana dan menumbuh kembangkan kearifan lokal yang mendukung gerakan sadar bencana.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana tindak lanjut dari kegiatan ini?. Jelas harapannya, hasil rekomendasi yang telah disepakati bersama bisa segera dikomunikasikan ke instansi terkait sebagai bahan masukan penyusunan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Sungguh mulia apa yang telah mereka kerjakan. Semoga Tuhan memberi keberkahan. Salam Kemanusiaan. [eBas]





Selasa, 18 Agustus 2015

PELESTARIAN FLORA FAUNA UNTUK KEHIDUPAN



Konon, untuk menjaga kelestarian flora fauna liar, seperti burung yang hidupnya di perkotaan, seperti di kawasan pertokoan, perkantoran, perkampungan, pasar, sekolah (kampus) dan fasilitas umum lainnya, ternyata cukup mudah, yaitu dengan menanami aneka pepohonan yang rindang yang secara alami dapat memenuhi kebutuhan makanan dan air bagi burung tersebut. Termasuk ikan-ikan kecil yang biasa hidup di selokan/got perumahan yang mengalir menuju sungai.

Menurut pemerhati fauna, kedua hewan tersebut (burung dan ikan) dapat menjadi indikator kondisi lingkungan yang masih layak huni atau sudah memerlukan penanganan serius untuk pemulihannya. Bagaimana dengan hewan liar lainnya seperti tikus, kucing, kupu-kupu, kumbang, siput, belalang, lalat dan capung?. Konon semuanya itu bisa menunjukkan kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari ekosistem.

Yang jelas, usaha pelestarian lingkungan alam itu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itulah, peran aktivis lingkungan sebagai pendorong tumbunya kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan hidup yang sehat, diantaranya dengan menghimbau agar masyarakat bisa hidup berdampingan dan tidak mengusik keberadaannya. Kecuali hewan-hewan yang bisa membahayakan kehidupan manusia, seperti tikus, lalat, dan nyamuk, yang memang harus dikendalikan secara cerdas. Di sisi lain, hewan liar seperti burung, konon dapat memberi hiburan tersendiri, baik  dari keindahan bulunya, suaranya yang merdu dan lucunya gerak geriknya.

Kutilang, tekukur, balam, burung gereja, dan burung manyar, adalah sebagian burung liar yang masih sering terlihat di sekitar pemukiman manusia, namun populasinya semakin berkurang karena terganggu oleh aktivitas manusia. Begitu juga hewan pengendali hama alami (seperti kodok, ular dan cicak) pun semakin punah, sehingga aneka hama pun bermunculan tanpa ada predator alaminya (selain racun pembasmi yang merusak alam secara pelan-pelan).

Dalam beberapa tulisan tentang lingkungan, selalu dikatakan bahwa kerusakan lingkungan alam terjadi sebagai akibat ambisi manusia yang eksploitatif dan kurang bertanggung jawab terhadap pelestarian alam. Jelas dalam jangka waktu tertentu, kualitas lingkungan hidup akan semakin parah jika tanpa ada upaya pelestarian yang signifikan.

Ada beberapa contoh upaya pelestarian lingkungan alam yang bisa dilakukan, paling tidak dijadikan bahan diskusi saat melakukan program sosialisasi kepada kelompok masyarakat (termasuk karang taruna, remaja masjid, dan lainnya). Seperti (1), Reboisasi, yaitu berupa penanaman kembali tanaman terutama pada daerah-daerah perbukitan yang telah gundul. (2) Rehabilitasi lahan, yaitu pengembalian tingkat kesuburan tanah-tanah yang kritis dan tidak produktif. (3) Pembuatan sengkedan (terasering) bagi daerah daerah pertanian yang memiliki kemiringan lahan curam yang rentan terhadap erosi. (5) Pemeliharaan hutan kota. Hal ini dimaksudkan supaya kota tidak terlalu panas dan terkesan lebih indah. Mengingat pentingnya hutan di daerah perkotaan, hutan kota sering dinamakan paru-paru kota.

Kondisi yang demikian itu, hendaknya menggerakkan para pecinta alam untuk berbuat menyelamatkan flora fauna. Mengadakan sosialisasi kepada masyarakat agar semakin peduli terhadap pelestarian alam. Dengan cara dan gayanya sendiri, beberapa kelompok pecinta alam sudah banyak yang berbuat, seperti gotong royong membersihkan sampah di pantai, menanami pohon bakau di pinggir pantai yang berpotensi abrasi, menyelamatkan sumber mata air dengan menanami tanaman keras, pelepasan burung dan ikan serta kegiatan edukasi untuk generasi muda melalui kegiatan di alam terbuka (outbond).

Beberapa daerah telah memperbanyak ruang terbuka hijau sebagai tempat untuk beraktivitas warganya (santai dengan keluarga, menghirup udara segar sambil olah raga ringan) sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya, mendengarkan suara burung liar dan celoteh para penjual jajanan ditengah bisingnya lalu lintas kota. Bahkan ada taman kota yang dimanfaatkan warganya untuk belajar bersama berbagi ilmu, seperti belajar melukis, fotografi, main musik, pamer hewan piaraan dan lainnya.

Jelas, issue kerusakan alam lingkungan sudah sangat mendesak untuk digulirkan menjadi gerakan bersama sebelum alam semakin tidak bersahabat dengan manusia. Tanda-tanda alam marah pun sudah semakin sering ditampakkan melalui berbagai bencana alam, diantaranya tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kekeringan dan kebakaran lahan dan hutan.

Disinilah peran para pecinta lingkungan, termasuk organisasi pecinta alam sangat penting sekali, mari mulai menyayangi flora dan fauna liar yang ada disekitar kita, memulai dari hal-hal yang kecil dulu, seperti membuang sampah pada tempatnya, membersihkan lingkungan sekitar, menanam pepohonan dan aneka bunga serta menyayangi burung liar yang bebas berkicau memamerkan keindahan sayapnya. Wallahu a’lam bishowab.*[eBas]


   
   

Minggu, 16 Agustus 2015

MAPALA JONGGRING SALAKA



Selamat datang kepada mahasiswa baru Universitas Negeri Malang (d/h IKIP Malang), yang dengan kesadaran sendiri berminat menggabungkan diri ke dalam Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak dibidang kepecinta alaman dan lingkungan hidup. Selamat datang di dunia lain, dunia yang tidak biasa, khusus diperuntukkan buat mereka yang bernyali dan bermental berani mencoba tantangan serta punya kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian alam dan kritis terhadap perubahan lingkungannya, baik lokal, regional, nasional maupun global..

Dalam tulisan yang dimuat di blognya, www.rahmatalkafi.com, Kafi mengatakan bahwa pencinta alam dalam arti bahasa adalah orang yang sangat suka atau gemar akan alam. Dengan demikian Pencinta Alam dapat disebut sebagai organisasi yang mencintai alam, melestarikan lingkungan, meneliti lingkungan, menikmati lingkungan, belajar dari lingkungan, melakukan petualangan ke alam bebas. Biasanya organisasi ini mempunyai anggota yang ulet, solid, loyal, berdedikasi, kreatif serta cerdas dalam berpikir dan bereaksi terhadap masalah pelestarian lingkungan.

Sementara, mapala (mahasiswa pecinta alam) merupakan bagian dari unit kegiatan mahasiswa yang ruang lingkupnya di universitas dan anggotanya khusus terdiri dari mahasiswa dimana mapala itu berkedudukan. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis dalam https://mpajonggringsalaka.wordpress.com, yaitu Sebagai bagian dari Tri Dharma pendidikan Universitas Negeri Malang, Jonggring Salaka merupakan salah satu unit kegiatan yang berkecimpung dalam kegiatan lingkungan, yang mempunyai dasar orientasi kegiatan alam bebas dan Konservasi alam.

Dari tataran konsep pecinta alam, jelaslah bahwa mapala Jonggring Salaka ingin berbagi pengalaman kepada anggotanya demi tumbuhnya kesadaran membantu mensosialisasikan kepada masyarakat dan teman sebayanya, akan pentingnya pelestarian alam melalui kegiatan di alam bebas yang menjadi program organisasi, termasuk melalui Koran kampus.

Ya, kalian nanti, pada waktunya akan diperkenalkan kepada kegiatan di alam bebas beserta sarana prasarana pendukungnya serta berbagai tehnik hidup darurat melawan keterbatasan saat melakukan “pengembaraan” sesuai aturan organisasi. Semua itu dalam rangka menggembleng mental, pengetahuan, wawasan dan keterampilan yang telah diserap melalui berbagai pendidikana dan pelatihan.

Selanjutnya, masalah pengembangan kapasitas, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing pribadi sesuai dengan kreativitas dan potensi yang dimiliki. Kalian nanti pun akan dikenalkan dengan Organisasi Jonggring Salaka beserta aturan main dan budaya yang berlaku yang harus dijunjung tinggi dimanapun dan kapanpun, selama aktif maupun setelah alumni. Misalnya, tetap menjalin tali silaturahim antar anggota melalui berbagai media yang dimiliki.

Memang, anggapan awam yang sampai saat ini masih berlaku dan sering terdengar sehingga bisa menghambat jalannya kegiatan adalah, anggota mapala itu pemalas, jarang mandi, suka mabuk, kemproh, seenaknya sendiri, bolosan, kurang pandai, tidak berprestasi, tidak suka mengikuti kegiatan forum (seminar dan diskusi yang ada di kampus), slengek’an, nyantai dan seabrek anggapan minor lain.

Walaupun anggapan tersebut tidak semuanya salah, namun tidak sedikit anggota mapala yang pintar, sukses hidupnya, berhasil menjadi pendidik (dosen, guru, dan guru ngaji), dengan gelar akademik yang membanggakan, dan rata-rata alumni mapala itu ulet, kreatif dan cerdik dalam mensiasati kehidupan. Hal ini dibuktikan bahwa alumni mapala Jonggring Salaka, hidupnya mapan semua dengan segala pernak pernik nasibnya.

Artinya, kalian masuk bergabung di dunia kepecinta alaman itu tidak ada ruginya. Karena, disitulah kalian bias berlatih berorganisasi, belajar mengembangkan diri dan belajar cari duit secara mandiri. Di Sekretariat Jonggring Salaka kalian berkesempatan mengembangkan bakat, kreativitas dan hobi serta mengasah kepekaan sosial (yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan alam). Semua itu akan berguna kelak bila saatnya hidup bermasyarakat, membangun rumah tangga yang dapat melahirkan generasi muda yang tangguh.

Banyak contoh pengetahuan dan keterampilan yang berguna saat menghadapi permasalahan hidup bermasyarakat. Banyak kisah dari berbagai lintas alumni yang diceritakan saat ‘Sambang Sekretariat’ melepas kangen dan mengingat kenangan ama yang tak terlupa. Dimana, cerita yang disampaikan secara guyonan (kadang sedikit sombong), jika kita bisa memilih dan memilah, banyak wawasan yang bisa menginspirasi, membuka wawasan dan kesempatan untuk membangun jejaring mengembangkan silaturahim. Tanpa dirasakan, cerita-cerita yang mengalir tanpa skenario, sambil nyeruput kopi dan teh panas pun bisa menjadikan kita semakin tahu dan paham akan pengalaman dan karakter sesama anggota dan alumni.

Ada kata mutiara yang mengatakan bahwa bangsa cerdas dan maju adalah yang menulis dan membaca. Untuk itulah, mungkin ke depan, alangkah indahnya jika masing-masing angkatan dengan sebutannya yang khas itu diwajibkan membuat ‘catatan’ yang berisi catatan perjalanan dalam melaksanakan program kerja kepengurusan selama satu tahun. Catatan itu bias berbentuk narasi (artikel, dan kolom), karya puisi, gambar, sketsa dan foto yang kemudian dibukukan.

Sehingga masing masing angkatan mempunyai dokumentasi yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya sebagai catatan sejarah bahwa kita pernah berkiprah bersama merajut cita citra dan cinta dalam naungan panji-panji Jonggring Salaka. Ingat kata Cicero, filsuf Prancis, yang mengatakan ‘Historia magistra vitae, nuntia vetustatis’, yang artinya, sejarah adalah guru kehidupan, pesan dari masa lalu. Masa lalu bisa diketahui jika ada peninggalannya, baik berupa tulisan maupun dokumentasi lainnya. Sejalan dengan itu, WS. Rendra, melalui konser Kantata Tawa, mengatakan bahwa ‘orang-orang harus dibangunkan dan Kenyataan harus dikabarkan’.

Yakinlah, banyak alumni, khususnya yang berprofesi sebagai pendidik, biasa menulis, sering menyusun karya tulis ilmiah, jago membuat proposal, rutin membuat laporan dan sejenisnya, termasuk membuat cerpen, puisi dan sketsa, sehingga dapat  dipastikan mau dan mampu jika dimintai untuk mengajari bagaimana cara ‘menulis’. Tinggal bagaimana pengurus dan anggota aktif mengkomunikasikan dengan para alumni yang memiliki kepakaran untuk berkenan berbagi ilmu sambil jagongan nyruput kopi di depan sekretariat Jonggring Salaka yang teduh, asri dan bersih.  

Melalui tulisan sederhana ini mari kita bersama mulai menuliskan sejarah tentang kiprah kita, tanpa pedulikan tata bahasa serta gaya tuturan yang sederhana, sedikit ngawur. Tidak apa-apa tidak sempurna, yang penting berani memulai menulis tentang kita, apapun hasilnya. Karena sesungguhnyalah kalau bukan kita siapa yang peduli?. Selamat bergabung di republik Jonggring Salaka, semoga barokah. Wallahu a’lam bishowab.*[eBas]      





Selasa, 04 Agustus 2015

PERAN MAPALA DALAM SOSIALISASI PERUBAHAN IKLIM




Manusia beradaptasi dengan lingkungannya dengan cara mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan, ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas dan peralatan. Beragamnya pola adaptasi terhadap lingkungan hidup diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam. Salah satu kearifan lokal yang sangat erat dengan perubahan iklim adalah penghitungan musim berdasar “pranoto mongso” yang ada disetiap wilayah Indonesia. Namun, hitung-hitungan “pranoto mongso” itu, kini semakin sering meleset karena adanya perubahan iklim global.

Disadari atau tidak, dampak perubahan iklim telah dan akan terus terjadi, yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan aktivitas manusia (perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, red). Hal ini, mau tidak mau, masyarakat harus mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Pertanyaannya kemudian, bagaimana bentuk sosialisasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim kepada masyarakat, yang mudah dipahami oleh bahasa mereka?.

Ini penting, agar masyarakat yang berada di daerah rawan bencana siap menghadapi dan menyesuaikan cara hidup dengan lingkungan alam, yang senyatanya menyimpan aneka bencana, sesuai konsep ‘Living Harmony With Disaster‘. Sayangnya, sampai saat ini masalah perubahan iklim yang melahirkan banyak potensi bencana, belum banyak disadari oleh khalayak ramai. Semuanya masih dianggap sebagai takdir Tuhan dan baru ditanggulangi jika sudah terjadi bencana dengan berbagai dampaknya.

Seperti diketahui, bahwa dampak perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap multisektoral. Untuk itulah issue perubahan iklim harus ditangani oleh berbagai kalangan, pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, termasuk melibatkan kelompok masyarakat rentan (di kawasan rawan bencana).

Demikian beberapa hal yang mencuat dalam Workshop Memasyarakatkan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, yang diselenggarakan di gedung Rektorat ITS, Surabaya. Senada dengan ungkapan diatas, Agus Supangat, salah seorang nara sumber mengatakan bahwa, perubahan iklim pasti terjadi dengan berbagai dampaknya terhadap kehidupan manusia.

“Kita pasti akan kedatangan tamu yang bernama bencana akibat perubahan iklim. Bagaimana menyiapkan masyarakat agar siap menyambutnya?, itulah tugas kita yang berkumpul disini untuk mendiskusikannya.” Ujarnya bersemangat.

Kegiatan yang diikuti berbagai dinas terkait dan juga dihadiri oleh Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I) itu, mengkritisi perubahan iklim yang secara langsung mengancam kesuburan tanah dan air serta berpengaruh pada pelestarian flora fauna. Ini mengisyaratkan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca secara substansial dan berkelanjutan, harus dilakukan oleh semua pihak.

Mantan Presiden Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono, menegaskan persoalan perubahan iklim sebagai persoalan ancaman utama pembangunan yang harus segera memperoleh perhatian prioritas dari pilihan-pilihan strategis pembangunan.

Jelas, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim membutuhkan kerjasama yang kuat diantara sektor-sektor pembangunan dan juga membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit. Namun demikian, dengan melakukan upaya pencegahan dini, bisa mengurangi dampak bencana dalam skala besar, yang bisa muncul sewaktu-waktu, kapan saja.

Diakhir kegiatan, peserta sepakat menindak lanjuti dengan rencana membentuk wadah untuk memberi kesempatan kepada khalayak dan lembaga terkait untuk berkontribusi terhadap penanganan perubahan iklim serta sebagai sarana tukar informasi dalam rangka upaya pemasyarakatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dalam bentuk aksi nyata, seperti seminar, sarasehan dan lainnya. Hal ini mengingat bahwa perubahan iklim itu bersifat lokal, masing-masing daerah berbeda, diantaranya sesuai dengan kondisi topografi, demografi, geografi dan budaya setempat.

Pertanyaannya kemudian, peran apa yang bisa dimainkan oleh relawan dan para pegiat cinta alam (mapala, sispala dan pecinta alam)?. Beberapa gunung yang biasa dijadikan aktivitas pendakian, kini semakin diwarnai oleh tumpukan sampah plastik para pendaki, begitu juga tanaman liar yang menjadi cirri vegetasi setempat juga berangsur rusak oleh tangan-tangan jahil para pendaki yang menasbihkan diri sebagai pecinta alam (namun nyatanya malah merusak alam).

Paling tidak para pegiat cinta alam itu bisa bekerja sama dengan relawan kemanusiaan lainnya, termasuk berkoordinasi dengan badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) setempat untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam hal pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim global, melakukan mitigasi kebencanaan serta menanamkan cinta lingkungan serta upaya pelestarian alam flora dan fauna. Jika memungkinkan melakukan kerja sama dengan pemerintah terkait untuk mengadakan gerakan penghijauan dan pembersihan sampah yang menumpuk di beberapa gunung lokasi pendakian.Wallahu a'lam bishowab*[eBas]