Jumat, 28 Januari 2022

GAGASAN MEMBUAT SOP KEAMANAN DAN KESELAMATAN RELAWAN

Para aktivis forum pengurangan risiko bencana provinsi (FPRB) Jawa Timur, pasti mengenal sosok satu ini yang kala itu “mengawal” proses berdirinya forum. Konon, bersama tim 9, mereka rajin mengkampanyekan betapa pentingnya berforum, membantu pemerintah dalam upaya pengurangan risiko bencana di tingkat Jawa Timur. Dialah Didik Mulyono. Dialah salah seorang sosok yang memperkenalkan penulis bagaimana asiknya berforum.

Jumat (28/01/2022) malam, tetiba mas Didik, sapaan akrab penulis kepadanya, japri menanyakan kabar sebagai pembuka keakraban diantara kami yang lama tidak bersua.

Pakdhe, nek njenengan selo, mbok konco-konco ingkang kelola relawan di Lumajang diajak diskusi tentang keamanan dan keselamatan relawan, kulo prihatin banget sampun wonten relawan ingkang berpulang karena kecelakaan,” Kata mas Didik.

Sebuah gagasan yang menarik demi upaya mengurangi risiko kecelakaan bagi relawan yang sedang melaksanakan tugas di lapangan. Syukur-syukur, masih kata pria yang masih setia pada ududnya,  nek hasil dari jagongan, bisa disepakati untuk dibuatkan SOP Keamanan dan Keselamatan Relawan.

Tentunya, SOP ini disusun bersama dengan para pengelola lembaga yang memobilisir relawan dan BPBD yang mempunyai kewenangan mengkoordinasikan kegiatan yang terkait dengan kebencanaan.

Sungguh ini sebuah gagasan yang perlu dibahas bersama sambil ngopi. Namun, karena kesibukan yang padat dalam rangka percepatan penanganan penyintas dan warga terdampak agar segera pulih untuk menjalani kehidupannya kembali, sehingga gagasan ini tidak sempat terpikirkan. Atau, menunggu munculnya “pengampu” untuk membicarakannya.

Nantinya, masih kata pria berkacamata ini, di dalam SOP diatur tentang prasyarat keamanan dan keselamatan kendaraan, kecepatan maksimal, jenis kendaraan dengan kondisi jalan ketika mengendarai kendaraan dan sebagainya. Semua ini untuk meminimalisir kelelahan relawan dalam berkendaraan.

Nggak usah nunggu satgas atau BPBD, dorong aja inisiatif dari Lembaga-lembaga yang mengelola relawan yang ditugaskan di Lumajang. Ini salah satu bentuk perlindungan atas keamanan dan keselamatan relawan oleh Lembaga.

“Jangan sampai respon Semeru menjadi rekor di Indonesia atas jumlah berpulangnya relawan karena mengalami kecelakaan di lapangan,” Ujarnya. Sementara penulis hanya diam sambil bertanya dalam hati, mungkinkan itu bisa terjadi ?.

Sedangkan masih banyak pekerjaan di lapangan yang belun teratasi. Apakah tidak hanya menambah kesibukan relawan melalui rapat adu gagasan tentang SOP Keamanan dan Keselamatan Relawan.

Dalam japrinya, mas Didik juga memberi saran agar mengundang perwakilan PMI yang mengelola relawan sebagai pemantik diskusi. Apa saja hal-hal yang terkait dengan keamanan dan keselamatan relawan yang diatur di internal PMI

“Apa saja yang bisa diadopsi dan dijadikan prosedur bersama oleh relawan untuk meminimalisir kejadian kecelakaan di masa mendatang,” Katanya.

Didik, yang pernah aktif di AIFDR mempersilahkan jika gagasan ini di sampaikan ke BPBD Lumajang, serta mendorong mBah Dharmo sebagai pengendali FPRB Jawa Timur, untuk memfasilitasi diskusi agar ada kesepahaman berbagai pihak tentang pentingnya prosedur keamanan dan keselamatan relawan.

Sungguh gagasan ini menarik, namun juga banyak pertanyaan yang harus dijawab sebelum gagasan ini disuarakan ke khalayak ramai. Atau, langsung saja gagasan ini diserahkan ke mBah Dharmo agar ditindak lanjuti.

Mengingat beliau langkahnya gesit, sat set wat wet dalam mengkomunikasikan sebuah gagasan ke berbagai pihak. Ya, beliau ini memang seorang negosiator ulung. Apalagi jika didampingi Gus Yoyok, mBak Ratna, dan mBak Anin, pasti semua akan berakhir indah dalam menebar kebermanfaatan yang bermartabat.

Mugi-mugi mboten wonten malih rencang-rencang relawan yang berpulang karena mengalami kecelakaan karena kelelahan atau menurunnya fokus habis berkegiatan,” Pungkasnya mengakhiri japrian dengan penulis tentang gagasan membuat SOP Keamanan dan Keselamatan Relawan. Salam Tangguh, Salam seduluran sak lawase. [eBas/SabtuKliwon-29012022]

 

 

 

 

 

RAKOR FPRB AJANG EVALUASI MENUJU PROGRAM 2022.

Mbak Ratna, bendahara Forum pengurangan risiko bencana (FPRB), dalam postingannya bilang bahwa akan ada agenda rapat koordinasi forum untuk menyusun program kerja tahun 2022. Tentu ini adalah kabar baik sebagai upaya mengkaji kebermanfaatan kiprah orgaisasi selama ini.

Paling tidak, peristiwa rapat ini dijadikan ajang reuni untuk membangun semangat berforum. Sehinga anggota lain bisa mengimbangi semangat Sekjen forum yang telah berlari jauh sekali, ke berbagai lokasi untuk mengukir pretasi. Apalagi, kini sudah ada ijin resmi menempati salah satu ruangan di BPBD Jawa Timur untuk dijadikan kantor sekretariat FPRB Jawa Timur.

Sementara, sampai saat ini belum semua penanggungjawab bidang, mampu berlari seperti pengganti Mas Rurid yang penuh spirit. Melalui rakor inilah diharapkan muncul program kerja tahun 2022 yang bisa dinikmati oleh semua pengurus sesuai renstra yang pernah dibuat, kata Mas Rurid, saat penulis japri.

Sementara, Mbah Gender, menginginkan dalam rakor nanti, muncul program training of fasilitator  (TOF) untuk menambah jumlah fasilitator yang akan melakukan kegiatan SDSB dan Sapa Destana. Serta penguatan jaringan sistem peringatan dini melalui radio komunikasi (dan weblog forum PRB).

Sungguh tidak menyangka, mBah Gender punya usulan yang menarik sebagai praktek baik, yang melibatkan banyak pihak untuk melaksanakan program forum.

Hal ini sejalan dengan apa yang diharapkan Yudha, salah satu motor penggerak FPRB Kota Probolinggo. Sosok satu ini berharap semakin banyak unsur pentahelix (pelibatan relawan setempat) yang turut berkiprah dalam program forum, serta terjadinya sinergi antar bidang dalam kegiatan pengurangan risiko bencana maupun penanggulangan bencana.

Dia juga setuju dengan pendapat Sekjen Planas dalam sebuah webinar, yang mengatakan perlunya berbagi peran antara FPRB dengan BPBD dalam sebuah kolaborasi yang baik. Sebuah gagasan cerdas yang perlu dibahas oleh ke dua belah pihak.

Istilahnya Sekjen Planas adalah, Pada hakekatnya tujuan kolaborasi adalah untuk mencapai tujuan Daerah yang mandiri dan tangguh. Menguatkan ketangguhan daerah berdasar  standar minimal, bukan hanya yang “menyusu” pemerintah pusat.

Sedangkan pelibatan relawan setempat, mungkin menurut Yudha adalah sebagai upaya memunculkan kesetaraan antar pengurus forum di berbagai tingkatan untuk memberdayakan “wilayahnya” sehingga dapat mandiri.

Sekali lagi semua gagasan yang dimunculkan itu sebagai tanda rasa “melu handarbeni”. Ya, mungkin mampunya hanya urun rembug, bukan urun dana, apalagi tenaga saat terjadi bencana, terjun ke lokasi membantu evakuasi.  

Termasuk gagasannya Pak Cus, panggilan akrab dosen Universitas Airlangga Surabaya. Dia bilang tentang perlunya peningkatan kapasitas dibidang penyusunan aneka dokumen. Seperti dokumen jitupasna, RPB, RAK, analisis resiko dan lainnya. Sehingga forum bisa menjadi mitra kerja BPBD di masing-masing daerah dalam menyusun berbagai dokumen.

Postingan bendahara forum tentang rencana rapat koordinasi itu diamini oleh Mas Rurid, katanya bulan februari. Jika benar, semoga beberapa gagasan yang berhasil penulis himpun layak menjadi fokus bahasa. Sehingga waktu yang tersedia benar-benar bermakna, bukan habis untuk sekedar berbagi cerita sambil menikmati kopi yang tersedia.

Tidak ada salahnya jika dalam kesempatan ini penulis menyitir apa yang telah diposting kholaf Hibatulloh. Sebagai “petinggi” relawan Sigab Nurul Hayat, dia bilang bahwa, Terkadang kita lupa menyiapkan pelari selanjutnya untuk memegang estafet. Terlena berada di tengah medan pertempuran.

Disaat sudah lelah, baru sadar tidak ada yang bisa menggantikan.  Untuk itulah menumbuhkan tim yang solid merupakan sebuah tujuan utama. Begitulah hidup sebagai makhluk sosial. Semoga postingan mas Kholaf menginspirasi panitia rapat koordinasi FPRB tahun 2022. Salam Tangguh. [eBas/jumatWage-28012022]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rabu, 19 Januari 2022

SELAMAT DATANG FPRB KOTA SURABAYA

Beberapa bulan yang lalu, Fatoni, salah seorang pengurus FPRB JATIM, adalah orang yang paling getol menanyakan sekaligus mendorong untuk menyegerakan terbentuknya FPRB Kota Surabaya. Ini penting agar semua Kabupaten/Kota di Jawa Timur terbentuk FPRB. Walaupun nyatanya masih ada Kabupaten/Kota yang masih enggan membentuknya.

Sementara pengurus yang berdomisili di Kota Surabaya belum siap untuk bergerak mengupayakan terbentuknya FPRB, dengan berbagai alasan. Termasuk adanya masalah kebijakan di era wali kota baru dalam hal pengangkatan kepala Dinas (0rganisasi perangkat daerah).

Muncullah sosok Ninil Jannah, yang mencoba mengumpulkan beberapa pihak yang mewakili komunitasnya untuk diajak menginisiasi terbentuknya FPRB Kota Pahlawan, yang katanya akademisi dan praktisinya banyak dan paham akan pentingnya berforum. Namun sayang, karena tidak ada yang “menggerakkan” maka semuanya terkesan tiarap sambil mencari peluang untuk dirinya sendiri.

Mbak Ninil, begitu panggilan akrabnya, beberapa kali mengajak jagongan membahas upaya pembentukan FPRB. Beberapa komunitas relawan diundang untuk jagongan. Sayang akademisi dan praktisinya (apalagi birokratnya), belum ada yang berkenan menghadiri jagongan yang digelar Mbak Ninil secara “garingan”.

Jagongan demi jagongan digelar dalam rangka membangun kesepahaman, sesuai pesan dari buku panduan pembentukan FPRB. Peserta yang datangpun masih dari unsur masyarakat (relawan), sementara elemen pentahelix yang lain belum ada yang berkenan hadir di arena jagongan.

Ya, semua pasti memaklumi bahwa, sudah menjadi kebiasaan jika mengundang mereka harus ada sesajennya. Sementara peserta jagongan rata-rata tidak memiliki kemampuan untuk menyiapkan sesajen. Sehingga wajar jika ajakan jagongan disambut dengan dingin.

Kegiatan inisiasipun terhenti ketika bencana melanda Kota Batu, yang dilanjutkan di daerah lain, termasuk bencana awan panas guguran Gunung Semeru, yang di dalamnya muncul permasalahan ikutan. Seperti adanya oknum yang menendang sesajen.

Sebenarnya, beberapa pihak berkeinginan mengadakan jagongan dalam rangka menginisiasi pembentukan FPRB, namun tidak terlaksana karena kesibukan. Sehingga gairah jagonganpun semakin melemah, bahkan tidak ada lagi yang mau berteriak ngajak jagongan.

Sukurlah, tetiba ada pihak yang menamakan diri Global Future Cities Program (GFCP) dengan membawa dana dan agendanya, mengadakan FGD dengan Pemkot untuk membentuk FPRB Kota Surabaya. Tentu, siapapun dari elemen pentahelix, pasti “sreminthil” jika diundang GFCP, yang tentunya tidak “garingan” dan pastinya menyenangkan.

Masalahnya kemudian, apakah  orang-orang GFCP sudah kontak dengan mbah Dharmo dan kawan-kawan terkait dengan kegiatannya ?. atau mereka cukup main “slonong boy” untuk upaya pembentukan FPRB Kota Surabaya ?. ya, memang tidak ada aturan dalam pembentukan FPRB. Sehingga dialog partisipatif antar pihak bisa diabaikan.

Jangan-jangan, yang dipentingkan adalah tersedianya fasilitas yang memadai untuk membentuk forum, tanpa harus melalui tahap-tahap seperti yang ada di buku pedoman pembentukan FPRB. Sehingga keterwakilan semua elemen pentahelix menjadi tidak penting. Termasuk  siapa yang dilibatkan dalam kegiatan FGD ini, tergantung selera penyandang dana dan birokratnya.

Semoga orang-orang GFCP bisa segera menindaklanjuti hasil FGD dengan menyusun struktur kepengurusan FPRB Kota Surabaya beserta program-programnya. Sehingga harapan Fatoni lewat postingan selama ini bisa terwujud, dan Ketua FPRB Kota Surabaya terpilih segera berkonsultasi terkait pengadaan atribut FPRB agar tidak tertinggal dengan lainnya. Selamat datang FPRB Kota Surabaya. Kiprahmu di tahun yang bershio macan, tentang praktek baik dalam PRB ditunggu oleh banyak pihak. [eBas/RabuKliwon-19012022]

 

 

 

 

 

 

Minggu, 16 Januari 2022

KANG HUDAS SUDAH TIDAK LAGI MARAH

Beberapa minggu yang lalu, Kang Hudas sempat uring-uringan ketika Satgas Masa Transisi Darurat Bencana awan panas guguran Gunung Semeru, dalam rapat yang bertempat di Aula Makodim 0821 Lumajang, sabtu (25/12/2021).

Dimana, dalam rapat itu ada rencana menertibkan secara perlan-pelan dan humanis relawan di wilayah Kecamatan Candipuro dan sekitarnya, alasannya akan menghambat kinerja kita di lapangan. Namun akhirnya diralat karena ketidak tahuannya (istilah kerennya terjadi miskoordinasi dan miskomunikasi).

Padahal di lapangan, sampai saat ini masih banyak warga yang memerlukan bantuan relawan. Kira-kira, apakah mampu anggota satgas melayani derita warga yang tersebar di berbagai lokasi dengan bermacam kebutuhan yang harus segera dipenuhi ?.

Apalagi, beberapa komunitas relawan, dengan dukungan donatur yang tidak sedikit, saat ini, dimasa pemulihan, punya program membangun huntara, mushola, dan fasilitas umum lainnya. Termasuk merenovasi rumah warga, sarana MCK, dan saluran air bersih.

Mereka di lokasi juga tetap memberikan batuan kepada warga sesuai kemampuan, juga melakukan layanan dukungan psikososial (LDP) kepada anak-anak, agar mereka tetap bersemangat belajar. Sedangkan untuk orang tua, lebih kepada pemberian motivasi untuk segera memulihkan kehidupannya pasca bencana sesuai konsep daya lenting.

Biasanya, disela-sela pemberian LDP, juga ada kegiatan pembagian sembako untuk orang tua dan bingkisan berupa aneka jajanan, alat tulis dan alat permainan edukasi.

Apa yang dilakukan relawan di atas, belum tentu bisa dikerjakan satgas, bahkan pemda sekalipun. Karena terbentur oleh aturan penggunaan anggaran (baca: keterbatasan anggaran), dan kurangnya SDM yang memadai di bidang penanggulangan bencana.

Kalau sudah begini, apakah rencana menertibkan relawan secara pelan-pelan dan humanis, masih akan dilakukan ?. Kang Hudas dalam postingannya bilang bahwa, seringkali saat melakukan proses pencarian dan evakuasi korban, hanya dilakukan oleh relawan saja tanpa dibarengi “Agen Bencana” yang sudah terlatih. Termasuk dalam melayani para penyintas di waktu malam. Hanya relawan yang turun, bukan yang lain.

Semoga ke depan, dalam kegiatan rapat koordinasi yang dilaksanakan di posko induk, pihak satgas (atau pemda) berkenan melibatkan beberapa relawan sebagai wakil komunitas. Ini penting untuk menghindari kesalahpahaman antar pihak.

Keterlibatan relawan dalam posko induk juga diperlukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang membuat Kang Hudas dan kawan-kawan jengkel. Misalnya dengan perilaku para wisatawan bencana yang berbondong-bondong datang melihat kerusakan dan derita korban sambil berswafoto sana sini.

Termasuk saat kasus syuting film terpaksa menikahi tuan muda (TMTM), serta kelakuan youtuber yang tega mempermalukan relawan yang berusaha mengingatkan. Sebuah kelakuan yang tidak punya rasa empati sama sekali terhadap situasi.

Untungnya semua kejengkelan Kang Hudas dan kawan-kawan relawan bisa diselesaikan dengan damai. Termasuk adanya ulah oknum yang tidak menghargai kearifan lokal setempat dengan menendang sesaji.

Oknumnya sudah ditangkap polisi, kini menunggu proses hukum selanjutnya. Kang Hudas pun sudah bisa tersenyum lagi, sudah kembali menekuni aktivitasnya mensejahterakan keluarganya. Ya, Kang Hudas sudah tidak lagi marah. [eBas/SeninPon-17012022]

 

 

 

 

Rabu, 05 Januari 2022

KETIKA RELAWAN DILECEHKAN DEMI SEBUAH KONTEN

Beberapa waktu yang lalu, sempat beredar video di mana dua orang relawan yang berusaha mengingatkan warga agar tidak mendekati lokasi lahar dingin Semeru, tidak diperhatikan, bahkan ditertawakan. Alasannya, mereka sudah paham potensi Semeru karena sudah lama hidup di sana.

Bahkan ada seorang pria yang katanya sebagai youtubers, melecehkan ke dua relawan dengan kata-kata yang merendahkan. Sungguh menyakitkan. Hanya demi konten video, si oknum tega mempermalukan relawan yang berusaha mengingatkan.

“Apakah pantas seorang pegiat media bersikap seperti itu terhadap relawan?. Mentang-mentang orang lokal, seenaknya saja bersikap demikian. Bukannya berterima kasih malah melecehkan relawan,” Kata Cak Alfin dalam postingannya yang disebar kemana-mana.

Pria yang setia menjaga Pos bersama Forum PRB di Candipuro ini juga mencoba mengundang si oknum untuk ngopi di sebuah Cafe, bersama relawan yang masih bertahan di lokasi.

Namun rupanya si oknum bernyali kecil sehingga tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya yang melecehkan relawan. Si oknum hanya minta maaf secara online lewat media sosial, dan menganggap semua selesai. (akhirnya si oknum mau meminta maaf secara langsung di depan forkompimda dan perwakilan relawan dengan membuat pernyataan tertulis di atas materai)

“Katanya paham tentang Semeru, tapi kenapa dua relawan anak buahnya meninggal di sana?. Kasus syuting film terpaksa menikahi tuan muda (TMTM) belum tuntas, sudah muncul kasus serupa,” tambahnya lagi.

Senada dengan Cak Alfin, Kang Hudas, relawan senior dari daerah Kertosono, dalam postingannya mengajak si oknum untuk bertemu, mengklarifikasikan ucapannya yang sempat viral.

“Jangan kamu anggap sepele perkataanmu coy. Urusan ini belum selesai cuma dengan kata maafmu. Temui aku dan teman-teman relawan yang turun langsung di Semeru, baru semua bisa clear,” Tulis Kang Hudas di laman Facebooknya.

Ya, ternyata bencana awan panas guguran Gunung Semeru di akhir tahun 2021, banyak memberi pelajaran kepada kita semua. Diantaranya bagaimana kita memahami keberadaan relawan yang turun di lokasi bencana membantu warga yang terdampak.

Pinjam istilahnya Om Teja Alvin, jangan pernah remehkan relawan. Kepedulian itu adalah nurani, kepedulian itu sebuah kejujuran. Terlepas dari segenap kekurangannya, relawan itu punya hati.

Sayang si oknum yang arogan itu tidak paham tentang kerelawanan, sehingga menyepelekan keberadaannya. Hanya demi sebuah konten untuk memperbanyak followernya, dia tega meremehkan relawan yang berusaha mengingatkan akan bahaya erupsi.

Dengan becanda, Kim Kurniawan dalam komentarnya bilang, “Mungkin biyen pas pelajaran PMP sering ora mlebu. Akhire kurang paham dan ngerti carane menghargai orang lain dan apa itu gotong royong,”

“Ini yang kayak gini minta di turokno, kepruk boto cangkeme. Orang setahun di semeru kayak udah raja, tapi dua relawannya mati di situ kok malah bangga. Kalau saya langsung hajar saja tanpa babibu, dasar pekok. Minta maaf gampang tapi lu viralin ketulusan orang dengan hinaan semacam itu.,” Tulisnya dengan nada marah.

Komentar kasar seperti ini jumlahnya banyak. Hal ini menunjukkan banyak pihak yang tidak rela jika relawan dilecehkan oleh si oknum yang katanya juga berprofesi sebagi kontributor berita TV ternama.

Sementara itu, ditengah-tengah rencana penertiban relawan secara pelan-pelan dan humanis, beberapa komunitas relawan, tetap istiqomah mendistribusikan aneka bantuan dari donatur kepada warga yang membutuhkan. Bahkan ada yang membantu membangun tempat usaha untuk percepatan pemulihan roda perekonomian warga.

Mungkin ke depan perlu ada wakil resmi relawan di posko induk yang terlibat dalam rapat-rapat, untuk menyuarakan secara langsung hasil kegiatannya, termasuk usul, saran dan gagasan cerdasnya, bukan sekedar kirim laporan tertulis aja, yang bisa dimaknai berbeda.

Agar kejadian di atas tidak terulang, di samping relawan dibekali surat tugas dan tanda pengenal, ada baiknya mereka didampingi aparat keamanan, saat melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang menganggap lokasi bencana sebagai tempat wisata, dan perlu adanya regulasi yang ditaati.

Sukur-sukur, jika aparat setempat segera menangkap si oknum untuk dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya yang melukai perasaan relawan. Kemudian, seandainya si oknum bertemu relawan, semoga dia tidak diselesaikan secara adat oleh relawan yang terlanjur marah.

“Angel  wis angel. Dunia relawan itu dunia yang penuh kerendah hatian, bukan dunia yang harus menunjukkan keegoannya. Monggo kita sama-sama menghargai kerja tulus relawan. Pada saat semua saling menghargai dan beretika, maka “dunia kebencanaan” ini tidak akan ada konflik dan pertikaian, namun semua akan bersinergi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi,” Komentar Mas Yeka mencoba mendinginkan suasana. Salam Kemanusiaan. [eBas/KamisPahing-06012022]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 03 Januari 2022

KANG HUDAS TERUSIK JIWA KERELAWANANNYA

Kang Hudas, salah seorang relawan yang turut “berjibaku” di lokasi bencana Semeru, terusik dengan salah satu materi rapat koordinasi, Satgas Masa Transisi Darurat Bencana awan panas guguran Gunung Semeru, yang bertempat di Aula Makodim 0821 Lumajang, sabtu (25/12/2021).

Rapat yang dipimpin Dandim 0812 Lumajang, sekaligus sebagai Dansatgas, salah satu diantaranya membahas tentang keberadaan relawan yang turut berjasa memperingan tugas-tugas pemerintah daerah Kabupaten Lumajang dalam melayani penyintas.

Salah satu bahasan yang mengusik Kang Hudas itu berbunyi, “Untuk relawan yang kita butuhkan saat ini adalah dapur umum dan relokasi, jadi untuk relawan yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Candipuro dan sekitarnya, untuk ditertibkan secara pelan pelan dan humanis, karena apabila mereka masih berada disini akan menghambat kinerja kita di lapangan”.

Lho kenapa harus ditertibkan?. Benarkah keberadaan relawan menghambat kinerja?. Sementara relawan yang datang dari berbagai daerah itu benar-benar menyumbangkan tenaganya, waktunya serta membawa berbagai bantuan dari donator untuk dibagikan langsung ke warga terpapar yang sangat membutuhkan.

Sependek informasi yang didapat, tidak ada relawan yang datang ke lokasi hanya selfi sana sini. Apalagi sekedar mencari kesempatan untuk mendapatkan rejeki. Sungguh keji tuduhan itu. Tidak salah jika Kang Hudas tersinggung dan menuliskan ketidak senangannya di laman facebooknya.

Menanggapi postingannya Kang Huda, Deena Ali Umar berkomentar, “Karepe kan wes kon ngalih pelan-pelan yang relawan selain dapur umum dan relokasi. Tapi perasaan para relawan wes podo mudun deh. Kecuali relawan golek-golek”.

Rupanya komentar Deena Ali Umar itu menggelitik Isti Anna, seorang relawan yang masih sibuk di lokasi. Dia bilang, “Maaf rekan-rekan, saya masih di posko semula. Walau yang saya jarak dekat (Jember, Surabaya, Malang). Mereka bukan relawan golek-golek”. Ujarnya, mungkin dengan sedikit tersinggung diarani golek-golek.

“Bisa di cek langsung apa yang mereka lakukan di sana. Selain membantu warga untuk memindah barang-barang karena rumahnya sudah tidak layak huni. Juga ngopeni yang harus kontrak rumah karena luka bakar belum sembuh. Intinya, masih banyak yang bisa dilakukan di sana, dan bukan relawan golek-golek” imbuhnya lagi.

Jangan-jangan pejabat yang berkata begitu karena tidak tahu atau salah menerjemahkan info yang diterima tentang kiprah relawan di lapangan. Jangan-jangan desk relawan yang diaktifkan BNPB juga dianggap mubazir. Tidak ada salahnya jika BNPB mengadakan sosialisasi Perka nomor 17 tahun 2011. 

Mungkin perlu ada koordinasi dan komunikasi antar aktor yang harmonis. Agar saling memahami dan menghargai peran masing-masing di lapangan. Sehingga tidak muncul istilah ‘menertibkan pelan-pelan dan humanis’.

Mungkin pula, perlu adanya penjelasan, apa yang dimaksud dengan menertibkan relawan itu. Sementara, menurut Isti Anna, masih banyak pekerjaan yang dikerjakan oleh relawan, tanpa sepengetahuan pejabat pemda Lumajang. Ya, sebuah pernyataan yang perlu diklarifikasi agar tidak menimbulkan luka di hati para relawan yang turut “berjibaku” di lokasi, seperti Kang Hudas ini.

Sementara, info yang didapat dari Alfin, yang setia menjaga pos bersama (Posma) di Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, dan belum pulang sama sekali sejak Semeru berulah, mengatakan bahwa masih banyak yang bisa dikerjakan oleh relawan dan tidak mungkin orang pemda mau mengerjakan. Seperti membersihkan jalan, membantu membersihkan rumah dan distribusi logistik, serta banyak lagi yang lainnya.

Jika relawan ditertibkan, jelas nasib para penyintas akan semakin memelas, karena belum banyak yang bisa “move on” dari deritanya, sehingga di masa transisi ini perlu kiranya didampingi dalam upaya pemulihan pasca bencana. Jelas yang bisa melakukan ini adalah relawan, yang langsung bekerja tanpa menunggu turunnya surat perintah dari atasan.

“Prasane relawan isone ngrepoti ta?. Ngono yo ngono ning ojo ngono”. Tulis Azeline, sahabat Kang Hudas yang lain, mengungkapkan kejengkelannya.

“huahahahahaha biasane yang nulis lagi bingung cari celah buat isi kantong. Soale kan bencana itu dananya tidak terhingga,” Komentar Kang Hudas, menyiratkan ketidak sukaannya dengan istilah relawan perlu ditertibkan pelan-pelan dan humanis.

Sungguh, komentar Kang Hudas itu tidak benar. Karena emosi maka komentarnya keras, tajam dan pating pecothot.sebuah pembelajaran yang berharga akan pentingnya tabayyun agar tidak terjadi kesalah pahaman, Salam Tangguh. [eBas/SeninWage-03012022]