Selasa, 15 Desember 2015

RENKON DAN RENOP TANGGAP BENCANA PERLU KOMITMEN KUAT



Salah satu rangkaian kegiatan rapat koordinasi kesiapsiagaan erupsi gunung bromo di Probolinggo adalah mereview rencana kontijensi (renkon) untuk kemudian diaktivasi menjadi rencana operasi (renop) tanggap bencana, jika situasi memang mengharuskan, dan harus dibuat bersama-sama  sama oleh semua pihak (stakeholders) dan multi-sektor yang terlibat dan berperan dalam penanggulangan bencana, meliputi unsur pemerintah, dunia usaha, organisasi non-pemerintah (relawan), dan masyarakat .

Dalam hal menghadapi erupsi siklus lima tahunan yang kemungkinan akan besar dampaknya, maka disusunlah renkon, yaitu Suatu proses identifik asi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan kontinjensi atau yang belum tentu terjadi. Artinya,  Suatu rencana kontinjensi mungkin tidak selalu pernah diaktifkan, jika keadaan yang diperkirakan tidak terjadi.

Dengan kata lain, renkon bisa diartikan sebagai proses yang mengarah pada kesiapan dan kemampuan untuk memperkirakan kejadian bencana sehingga dapat: mencegah bencana, mengurangi dampak, menanggapi secara efektif, dan memulihkan diri dari dampaknya. Prinsip renkon adalah, penyusunan renkon Proses penyusunan dilakukan bersama, Skenario dan tujuan disepakati bersama, Dilakukan secara terbuka, Menetapkan peran dan tugas setiap pelaku, Menyepakati konsensus yang telah dibuat bersama, Dibuat untuk menghadapi keadaan darurat , dan Mengutamakan sumberdaya lokal termasuk sumberdaya daerah sekitar, Serta Tidak berorientasi penyusunan proyek.

Dalam kegiatan ini sudah semakin tampak siapa melakukan apa, dimana dengan menggunakan sarana dan prasarana siapa. Masing-masing stakeholder yang terlibat menginventarisir berapa personil yang akan dilibatkan, sarana prasarana apa saja yang bisa digerakkan untuk mendukung operasi tanggap darurat. Semuanya tercatat dan disepakati dalam sebuah dokumen yang disahkan oleh masing-masing pimpinan lembaga.

Terkait dengan itu, untuk menyamakan langkah dan kesepahaman dalam operasi tanggap bencana, bila sewaktu-waktu bromo erupsi, maka dalam kesempatan itu juga diadakan table top exercise (TTX), yaitu metode latihan dimana unsur pimpinan yang memiliki fungsi komando dari berbagai instansi terkait tanggap darurat bencana, melaksanakan rapat koordinasi untuk melakukan tinjauan kebijakan, strategi, prosedur, rencana dan teknis pelaksanaan dalam menghadapi situasi darurat.

Bisa juga dikatakan bahwa TTX ini sebagai upaya kesiapan menghadapi kemungkinan terjadinya situasi darurat atau bencana di suatu wilayah, dibutuhkan suatu kesiapsiagaan kedaruratan, dimana setiap pihak berkepentingan terlibat sejak awal dalam merumuskan kebijakan, strategi, prosedur, rencana dan teknis pelaksanaan dalam menghadapi situasi kedaruratan bencana tersebut.

Tujuannya adalah : (1)- Memberikan gambaran dan membangun pemahaman yang sama kepada para pimpinan dan staf instansi terkait penanggulangan bencana tentang penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan penanggulangan bencana. (2)-Membangun komunikasi dan koordinasi terpadu lintas bidang dalam perencanaan dan pengerahan sumberdaya untuk penanganan tanggap darurat, dan (3)- Sebagai pedoman para pimpinan dan staf tentang penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan penanggulangan bencana, sehingga dapat bertindak cepat, tepat dan efektif dalam membangun kesiapsiagaan.

Tentu, masing-masing daerah terdampak gunung bromo, memiliki gaya tersendiri dalam melihat siklus lima tahunan erupsi bromo. Karena, masing-masing penguasa otonomi daerah itu mempunyai selera sendiri dalam mensikapi permasalahan, termasuk masalah penanggulangan bencana gunung bromo.

Dibanyak kasus, ketika operasi tanggap darurat dimulai, ternyata banyak sarana prasarana yang ternyata tidak siap, atau rusak, dana pendukungnya belum cair, personilnya ada tugas lain, bahkan pimpinannya baru sehingga perlu waktu untuk mempelajari segala sesuatu yang terkait dengan kesiapsiagaan yang telah disepakati dalam renkon maupun renop. Hal-hal inilah yang perlu diwaspadai.

Untuk itulah dalam TTX, disamping membangun komitmen antar stakeholder, jika perlu dibuatkan regulasi yang mengikat, juga sekaligus mengecek keberadaan sarana prasarana yang akan digunakan itu benar-benar siap diterjunkan manakala siklus erupsi gunung bromo itu benar-benar terjadi dalam skala besar. [eBas]




Rabu, 09 Desember 2015

SIAGA SIKLUS ERUPSI BROMO

Dalam rangka mengantisipasi siklus erupsi lima tahunan gunung Bromo, badan nasional penanggulangan bencana (BNPB), melalui Direktur Kesiapsiagaan, berinisiatif mengadakan rapat koordinasi kesiapsiagaan erupsi gunung bromo yang saat ini telah memasuki status siaga, seiring semburan abu vulkanik yang mulai dirasakan oleh masyarakat terdampak.

Kegiatan yang diadakan di Hotel Lava Probolinggo itu, sebagai upaya meningkatkan kewaspadaan ketika nanti Bromo benar-benar memuntahkan isi perutnya, yang tentunya akan membawa dampak ekonomi masyarakat, seperti terganggunya kegiatan wisata dan pertanian yang menjadi andalannya.

Masing-masing badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) terdampak gunung Bromo, seperti BPBD Kota Probolinggo, BPBD Kabupaten Probolinggo, BPBD Kabupaten Lumajang, BPBD Kabupaten Pasuruan, dan BPBD Kabupaten Malang, telah melakukan persiapan untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, dengan melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, TNI dan POLRI, dan Relawan.

Tidak lupa mereka juga menyiapkan logistik, dan sarana prasarana, serta personil yang bisa digerakkan sewaktu-waktu sesuai perkembangan status Bromo.

“Pos komando, tempat pengungsian, jalur evakuasi, alat komunikasi, sudah siap diaktifkan, tinggal menunggu komando atas,” Kata Bagio dari BPBD Kabupaten Malang dalam paparannya yang disusun dengan melibatkan lembaga penanggulangan bencana nadhatul ulama (LPB_NU).

Terkait dengan kesiapsiagaan menyambut erupsi Bromo, masing-masing BPBD telah melakukan beberapa kegiatan, diantaranya persiapan pembagian masker kepada masyarakat, melakukan gladi dan simulasi evakuasi bersama masyarakat di daerah terdampak, menyiapkan jalur evakuasi dan tempat pengungsian serta memanfaatkan fasilitas umum untuk dijadikan Posko Aju. Sementara, mobil dapur umum, ambulance, truck tangki air, toilet portable dan mobil sejenisnya, baru akan digerakkan jika sudah terjadi pergerakan pengungsian.

Tentu, sejak Bromo menampakkan tanda-tanda erupsi, lima BPBD terdampak telah mulai melakukan pemetaan dan pendataan penduduk di kawasan rawan bencana, termasuk sarana transportasi yang dimiliki warga dan bisa digunakan untuk sarana penyelamatan warga.

Artinya disini, dalam acara pemaparan yang dihadiri oleh Sekda, Dandim, dan kapolres, dikatakan bahwa dinas terkait sudah menyatakan siap digerakkan jika Bromo erupsi. Siapa melakukan apa dan dimana, dengan dukungan sarana prasarana milik siapa, semuanya telah terjabar dalam rencana kontijensi (renkon) yang siap diaktifkan menjadi rencana operasi (renop).

Diingatkan pula tentang kemungkinan adanya bencana ikutan yang menyertai musim hujan, yaitu tanah longsor yang menutup jalan. Jika ini terjadi, jelas akan menghambat proses evakuasi, termasuk tertahannya pergerakan pasokan logistik. Dampaknya, derita masyarakat akan semakin memilukan.

Dalam amanatnya, Medi Herlianto, pejabat direktur kesiapsiagaan BNPB, mengatakan bahwa BNPBN siap memberikan bantuan dana on call, ketika nanti pernyataan siaga darurat dikeluarkan oleh Bupati/Wali kota setempat sesuai aturan yang berlaku.

“Dengan kecenderungan status Bromo yang semakin mengkhawatirkan, perlu kiranya segera disipakan SK siaga darurat,” Ujarnya dihadapan peserta rakor yang juga diramaikan oleh beberapa wartawan yang meliput acara ini sebagai bentuk kepedulian terhadap upaya penanggulangan bencana.

Muncul pula harapan dari peserta rakor, bahwa kegiatan latihan penanggulangan bencana harus melibatkan masyarakat, relawan dan para pegiat kemanusiaan lain sebagai salah satu bentuk pembinaan, sehingga akan memudahkan untuk memobilisasi saat pra, tanggap dan pasca bencana.
Jika memungkinkan, mereka juga dilibatkan dalam penyusunan renkon agar semakin detail dan sempurna, bahkan kalau perlu renkon tingkat kecamatan juga dibuat dengan melibatkan para pegiat desa tangguh bencana (destana) maupun tim kampung tangguh bencana yang didampingi oleh tagana.

Diakhir pemaparan kesiapsiagaan erupsi gunung Bromo, disepakati bahwa, jika nanti status Bromo berubah dari siaga ke awas, maka semua harus bergerak melakukan penyelamatan dan evakuasi bagi masyarakat di kawasan terdampak. Untuk itu sejak saat ini semua yang terlibat dalam rencana operasi harus siaga penuh dan alat komunikasi dipastikan berfungsi sehingga mudah dihubungi, secara berkala saling menginformasikan perkembangan situasi Bromo.

Kemudian, semua sarana prasarana pendukung dan logistik segera didorong ke tempat  pengungsian dan posko lapangan yang telah ditentukan. Selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya adalah BPBD provinsi Jawa Timur diharapkan bisa menjadi koordinator dari lima BPBD terdampak agar ada kesatuan langkah dalam menangani erupsi gurung Bromo. [eBas]

  

Senin, 07 Desember 2015

REHAT KOPI FORUM PRB

Saat acara rehat kopi, seorang teman bilang bahwa Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) harus mengedepankan komitmen dalam gerakannya, dengan mengaktifkan komunikasi yang efektif dalam rangka mempromosikan keberadaannya sebagai organisasi baru yang berfokus pada upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK), berdasarkan pada konsep transparansi untuk menghindari ‘rasan-rasan di belakang’ yang bisa memecah persatuan dan kesatuan forum.

Artinya, apapun yang menyangkut pengelolaan forum harus diinformasikan kepada anggota, sehingga dari situ akan muncul masukan cerdas dari anggota yang berlatar belakang keilmuan dan pengalaman yang beragam, dan munculnya alternatif solusi serta gagasan baru yang mendukung, bahkan memperkuat gerakan.

Sambil nyeruput kopi encer, si teman tadi juga bilang bahwa ada baiknya forum mengadopsi kata sakti milik muhammadiyah yang kurang lebih berbunyi, “Janganlah kau hidup di muhammadiyah, namun hidupilah muhammadiyah”. Artinya, forum benar-benar menjadi ladang pengabdian untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana, khususnya bagi mereka yang hidup di kawasan risiko bencana. Hal ini sejalan dengan pikiran Kang ET, bahwa sejatinya forum itu bukan tempat kerja mencari uang, tetapi lebih sebagai tempat beraktivitas dalam kerja-kerja kemanusiaan, dalam hal ini upaya pengurangan risiko bencana (PRB) dan penanggulangan bencana (PB).

Namun idealnya, organisasi juga mempunyai sumber dana pendukung operasional yang memadai dengan membangun jejaring kemitraan dengan berbagai lembaga donor dan dunia usaha. Tanpa itu pergerakan forum akan sangat terbatas, karena hanya mengandalkan iuran anggota dan tergantung pada kebaikan pihak lain.

Syukur-syukur jika forum bisa terlibat kerjasama dengan pihak lain untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat dengan menyelenggarakan kegiatan ekonomi produktif sesuai potensi dan kearifan lokal, dengan tetap berbasis pada upaya PRB dan PB.

Pertanyaannya kemudian, apakah forum yang sudah dibentuk dan didampingi oleh fasilitator desa (fasdes) itu terjamin kelestariannya, atau nasibnya akan seperti program pemerintah lainnya yang selalu saja bubar jalan pasca berakhirnya program?.

Sementara mantan fasdes, yang nota bene kebanyakan bukan warga desa setempat, akan segera pulang karena kontraknya sudah habis untuk kemudian mencari kontrakan baru. Kira-kira apakah desa tangguh atau pun kampung tangguh akan tetap tangguh tanpa fasdes?. Ataukah para fasdes sudah menyiapkan kader setempat untuk melanjutkannya secara mandiri?. Mungkin inilah yang perlu dikaji oleh forum untuk memberikan masukan dan rekomendasi kepada pembuat program desa maupun kampung tangguh.

Disinilah peran BPBD sangat penting untuk menindak lanjuti aksi-aksi yang telah ditorehkan oleh fasdes selama program berjalan. Karena senyatanyalah, aksi kemanusiaan bidang PRB dan PB belum banyak dibantu oleh BPBD dengan fasilitas dan anggaran operasional, termasuk pembinaan teknis untuk memperkuat aksi. Ini semua terjadi karena kegiatan ini belum masuk ke dalam APBD setempat.

Untuk itulah, perlunya penguatan kapasitas forum PRB melalui berbagai pertemuan demi terjadinya peningkatan kohesitas dan sinergitas antar anggota forum, sehingga mampu berkontribusi dalam kegiatan PRB maupun PB, sekaligus menjadi mitra BPBD dalam melaksanakan programnya, baik itu masalah teknis maupun kajian akademis yang dapat dijadikan bahan penyusunan kebijakan.


Obrolan santai saat rehat kopi sambil menikmati kudapan khas Hotel ELMI Surabaya itupun terpaksa harus berakhir ketika Arna, salah seorang panitia mengingatkan bahwa waktu rehat kopi sudah selesai dan dilanjutkan dengan diskusi analisa swot, agar nanti dalam melaksanakan programnya tidak berjalan alot, yang bisa bikin anggota sewot. *[eBas]

Minggu, 06 Desember 2015

LEGALITAS FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gelaran Workshop Penguatan Kelembagaan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Untuk Membangun Gerakan PRB di Jawa Timur ini diikuti oleh para pegiat PRB, baik di tingkat Daerah, Kabupaten/Kota, maupun tingkat Provinsi.

Bahasan yang cukup menggelitik adalah perlu tidaknya forum memiliki tanda legalitas kelembagaan berupa akta notaris. Dimana, biasanya akta kelembagaan ini didukung dengan NPWP dan Rekening Bank atas nama institusi, serta kelengkapan lain yang dipersyaratkan oleh pihak pemberi bantuan, baik berupa dana maupun sarana prasarana.

Artinya, jika forum dalam kegiatannya harus mencari dana dengan cara “jualan proposal” ke berbagai lembaga donor, dunia usaha dan lembaga Negara, maka forum wajib memenuhi aturan main yang dipersyaratkan, agar tidak bermasalah nantinya. Karena, konon saat ini banyak aturan yang terkait dengan anggaran, bisa berujung di meja pengadilan.

Jika cara mencari dananya hanya mengandalkan iuran anggota, model ngemis minta bantuan kepada siapa saja, termasuk menggantungkan rasa iba dan budi baik dari berbagai pihak, diantaranya BPBD maupun dana yang bersumber dari APBD lainnya, maka, pinjam istilahnya Rurid Rudianto, forum tidak perlu memiliki BH (badan hukum).
Karena hanya mengandalkan ‘belas kasihan’ pihak lain, tentu bantuan yang diterima relatif tidak banyak, cukup untuk kegiatan ala kadarnya. Mana yang akan dipilih?, monggo kerso kawan-kawan pegiat  PRB yang telah berjibaku dengan kondisi lapangan yang berbeda.

Padahal, sesungguhnyalah ada motif tertentu yang mendasari seseorang berorganisasi. Selain pengakuan dan kesamaan minat dan semangat, juga ada rasa ingin mendapat kesenangan dan materi, serta banyak lagi motif lain yang tidak dapat dinafikan begitu saja, dan ini juga tidak bisa dipungkiri.

Jadi, jika keberadaannya dalam forum tidak mendapat apa-apa, dapat dipastikan roda organisasi akan berhenti pelan-pelan. Adanya akan hanya ada ketika ada acara seremonial formal, semacam rapat dinas, diklat, seminar, dan workshop yang ada snack gratisannya. Lain itu tidak, dan mungkin inilah yang dimaksud anggota forum abal-abal. Ya, memang, pegiat PRB itu juga manusia yang punya nafsu, punya keinginan dan kebutuhan hidup yang tidak disediakan forum.

Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel ELMI, Surabaya ini pun mendorong masing-masing kelompok menyusun rencana praktis, yaitu rencana kegiatan yang bisa segera dilakukan dalam waktu satu dua bulan dari sekarang. Kemudian, menyusun rencana strategis, yaitu penyusunan kegiatan yang pelaksanaannya jangka panjang sebagai bagian dari program yang mewarnai kiprah organisasi dalam mengabdi kepada kemanusiaan.

Sambil meraba-raba tugas dari panitia, semua kelompok antusias menuangkan pengalamannya dalam menyusun tindak lanjut program yang biasa dilakukannya. Diantaranya, rencana praktis, yang meliputi konsolidasi dan koordinasi anggota, rapat evaluasi dan penyusunan program, kegiatan pembinaan internal bagi anggota untuk meningkatkan kapasitas secara mandiri.

Untuk rencana strategis, dirupakan dalam bentuk membangun jejaring kemitraan dan kerjasama dengan pihak lain, baik itu pihak donor, pemerintah maupun dunia usaha, terlibat (dilibatkan) dalam kegiatan yang diadakan oleh BPBD/BNPB maupun lembaga lain, seperti seminar, workshop, diklat, kemudian, secara mandiri melakukan advokasi, pembinaan dan pendampingan.

Tidak lupa program pengadaan sarana prasarana. Baik itu beli secara mandiri, maupun bantuan dari pihak lain yang peduli forum, dan membangun media komunikasi melalui media sosial, dan media massa pada umumnya sebagai sarana promosi dan publikasi kelembagaan. Sungguh, apa yang disusun itu masih poin besarannya yang nantinya bisa di breakdown lebih lanjut sekaligus direvisi sesuai kesepakatan.

Minggu siang, tanggal 6 Desember 2015, gelaran workshop diakhiri bersamaan dengan mendung menggelayut tebal yang membawa aroma gerimis. Satu-satu peserta dari berbagai wilayah Jawa Timur tertib menyelesaikan administrasi dengan mbakyu Arna, Budhe Tyas, dan mbak Emil. Untuk kemudian beranjak meninggalkan Hotel ELMI Surabaya dengan beragam kenangan yang terindah. [eBas]

   


   

Minggu, 22 November 2015

PENGURANGAN RISIKO BENCANA MENUJU DESA TANGGUH


BNPB menginisiasi upaya pengurangan risiko bencana kepada ‘masyarakat kampus’ dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan penanggulangan bencana sehingga mampu melakukan gerakan sosialisasi kepada khalayak ramai saat melakukan kegiatan tri dharma perguruan tinggi, agar tumbuh kesadarannya akan masalah bencana yang ada di daerahnya. Leading sector masyarakat kampus ini adalah mereka yang aktif di pusat Studi Bencana dan relawan kampus (atau nama lain yang dipakai oleh masing-masing kampus).

Seperti diketahui, dalam berbagai kesempatan, pejabat BNPB/BPBD seringkali mengatakan bahwa peningkatan kapasitas pengurangan risiko bencana (PRB) itu meliputi peningkatan pengetahuan PRB kepada eksekutif maupun legislative agar mereka paham akan kerja-kerja penanggulangan bencana. Peningkatan kemampuan aparat di bidang teknis PRB (khusus untuk karyawan BNPB/BPBD sebagai pelaksana UU nomor 24 tahun 2007). Fasilitasi pencegahan bencana yang partisipatif dengan pola gerakan PRBBK.

Ya, Relawan penanggulangan bencana (termasuk relawan kampus) harus aktif meningkatkan kapasitasnya melalui diklat dan pembinaan berkala agar tidak lupa dengan keterampilan yang telah dikuasai, bahkan akan semakin mahair dan luas wawasannya. Tentu, alangkah eloknya jika yang melakukan pembinaan ini adalah BPBD/BNPB, sesuai tugas dan fungsinya sehingga relawan penanggulangan bencana sebagai komponen masyarakat yang terlatih, akan mudah dimobilisasi dalam satu komando, yaitu oleh BPBD/BNPB manakala ada peristiwa bencana. Ya, upaya melakukan perubahan secara terus menerus sehingga SDM pelaku penanggulangan bencana perlu mendapatkan pembinaan, termasuk peningkatan dan perbaikan sarana prasarana yang dimiliki.

Semua ini penting dilakukan dalam rangka menterjemahkan tujuan dari Sendai Framework for Action (SFA) 2015 – 2030, ke dalam kegiatan nyata, yaitu mengurangi risiko bencana yang ada melalui penerapan langkah-langkah terpadu dan ekonomi yang inklusif, struktural, hukum, sosial, kesehatan, budaya, pendidikan, lingkungan, teknologi, politik, dan kelembagaan yang mencegah dan mengurangi paparan bahaya dan kerentanan terhadap bencana, meningkatkan kesiapan untuk respon dan pemulihan. Dengan demikian akan dapat memperkuat ketahanan ketangguhan komunitas.

Hal ini pun sejalan dengan pesan dari kerangka aksi Hyogo yang terdiri dari empat bidang prioritas, yaitu: (i) memahami risiko bencana, (ii) penguatan tata kelola pemerintahan untuk mengelola risiko bencana, (iii) meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif, dan untuk membangun dengan lebih baik (build back better) dalam pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Sejalan dengan upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PRB), maka diperlukan sinergitas semua pihak dalam rangka mendorong kesadaran masyarakat untuk melakukan pencegahan dan mitigasi di daerahnya. Disinilah BPBD/BNPB berperan penting dalam mengkoordinasikan sekaligus menjamin keberlangsungan upaya mengurangi risiko bencana.

Ke depan, keterlibatan ‘masyarakat kampus’ dalam melakukan tri dharma perguruan tinggi, agar berjalan efektif hendaknya bekerjasama dengan masyarakat lokal yang melakukan kegiatan PRB dengan mengenalkan hasil kajian tentang cara dan teknik PRB yang dapat direplikasikan secara luas sesuai kultur setempat, dan menyambungkan dengan upaya yang dilakukan pemerintah, terkait dengan kajian kerentanan, kerawanan, dan identifikasi risiko bencana daerah, sebagai dasar pengambilan kebijakan pengarusutamaan PRB dalam perencanaan pembangunan, serta memperkuat kapasitas SDM BPBD/BNPB, khususnya di daerah rawan bencana, termasuk para pegiat penanggulangan bencana.

Semua upaya ini dalam rangka membangun desa tangguh bencana, yaitu desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi bencana serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan. (Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2012). Dimana prinsip desa tangguh bencana itu adalah; (1).Bencana adalah urusan bersama. (2). Berbasis Pengurangan Risiko Bencana. (3). Pemenuhan hak masyarakat. (4). Masyarakat menjadi pelaku utama. (5). Dilakukan secara partisipatoris. (6). Mobilisasi sumber daya lokal. (7). Inklusif dan berlandaskan kemanusiaan.

Sedangkan indikator desa tangguh bencana itu meliputi: (1). Memiliki peta ancaman bencana. (2). Peta dan analisis kerentanan masyarakat terhadap dampak bencana. (3). Peta dan penilaian kapasitas dan potensi sumber daya. (4). Draf Rencana Penanggulangan bencana 5 tahunan. (6). Draf Rencana Aksi Komunitas (RAK) untuk Pengurangan Risiko Bencana. (2-3 Tahun). (7). Relawan penanggulangan bencana (termasuk forum pengurangan risiko bencana). (8). Sistem peringatan dini berbasis masyarakat. (9). Rencana kontijensi (termasuk evakuasi) dan Pola Ketahanan ekonomi.

Upaya-upaya inilah kiranya yang perlu dijadikan bahan sosialisasi bagi relawan penanggulangan bencana, baik saat pra bencana maupun pasca bencana kepada masyarakat di kawasan rawan bencana. Itulah sebagian pesan yang disampaikan pada acara seminar peluang dan tantangan penerapan dynamic governance untuk pengarusutamaan PRB di Indonesia, yang diselenggarakan oleh BNPB, IABI dan Universitas Brawijaya Malang, tanggal 19 Novenber 2015. [eBas/yayasanpusppita]



Sabtu, 14 November 2015

SEKOLAH AMAN BENCANA, SEBUAH GAGASAN YANG INDAH



Indonesia yang tidak pernah lepas dari masalah bencana di sepanjang tahun, telah menumbuhkan kepedulian para pegiat kemanusiaan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana. Salah satunya melalui institusi pendidikan, yaitu sekolah. Sebuah gagasan yang indah namun tidak mudah membumi karena berbagai faktor yang ada didalamnya. Namun patut terus dicobakan untuk menjadi nyata.

Konon, Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap generasi muda yang sedang menuntut ilmu (siswa), yaitu dalam menanamkan nilai-nilai budaya serta menyampaikan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa, termasuk pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB), yaitu usaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran untuk memberdayaan peserta didik dalam upaya untuk PRB dan membangun budaya aman serta tangguh terhadap bencana

Dalam berbagai kesempatan diskusi kebencanaan, dikatakan pendidikan PRB  bertujuan untuk meminimalisir risiko bencana dan meningkatkan kapasitas sekolah dalam melaksanakan pengurangan risiko bencana, kesiapsiagaan, mitigasi, dan peringatan dini. PRB oleh satuan pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan materi pendidikan PRB  dalam mata pelajaran, muatan lokal, dan ekstrakurikuler.

Terkait dengan PRB, teman-teman dari Humanitarian Forum Indonesia (HFI), menyodorkan konsep Tiga pilar sekolah aman  meliputi, (1) Pilar Struktural, seperti lokasi aman, struktur bangunan aman, desain dan penataan kelas aman serta dukungan sarana prasarana aman. (2) Pilar Non Struktural ; peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan, kebijakan sekolah aman, perencanaan kesiapsiagaan dan mobilitas sumber daya, dan (3) Pilar manajemen bencana di sekolah.

Sungguh, gagasan membangun budaya tangguh bencana melalui sekolah aman bencana itu perlu didukung oleh semua pihak, khususnya para pemangku kebijakan di bidang pendidikan. Merekalah yang perlu diberi kesadaran akan pentingnya PRB, budaya tangguh bencana dan sekolah aman bencana. Karena merekalah yang bisa mengatur kebijakan dan anggarannya. Pastilah ini juga dipahami oleh sekretariat nasional sekolah/madrasah aman bencana (Seknas SMAB).

Apalagi, dalam seminar penguatan kapasitas guru dalam PRB, tidak dihadiri oleh pejabat Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, BPBD, dan dinas terkait lainnya. Sehingga kemungkinan kecil guru berani mulai berbuat dalam PRB untuk meningkatkan kapasitas komunitas sekolah dalam menghadapi bencana. Sementara pihak sekolah, dalam hal ini pendidik dan tenaga kependidikan hanyalah objek kebijakan. Kapasitas mereka hanyalah pelaksana lapangan sesuai petunjuk dari ‘atas’, karena inisiatif dari bawah sering kali ditolak oleh atasan, bahkan bisa berbuah petaka terhadap nasib karier pendidik dan tenaga kependidikan itu sendiri.

Disisi lain, program sekolah aman itu kenyataannya masih sangat tergantung dari adanya bantuan anggaran untuk menyelenggarakannya, entah itu dari pemerintah maupun dari pihak swasta (dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat). Kalau hanya mengandalkan  dana BOS, BOBDA, iuran wali murid dan sejenisnya, kayaknya pihak sekolah tidak akan berani mengambil resiko yang tidak diinginkan, yang bisa muncul kerena ketidak tahuan.

Saat tanya jawab, ada yang menggelitik dari konsep tiga pilar sekolah aman, yaitu terkait dengan bangunan sekolah yang aman. Pertanyaan yang muncul kemudian, jika gedung sekolah sudah terlanjur dibangu di daerah rawan bencana, apakah harus dibongkar dan dipindah?. Jika gedung sekolah rusak memerlukan perbaikan, apakah bisa dilakukan dengan segera, dan anggarannya dari mana?.

Ini menarik, karena masih banyak gedung sekolah yang rusak hampir roboh, masih digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan dibiarkan bertahun-tahun tanpa renovasi dengan berbagai alas an. Belum lagi masalah lahan yang semakin sulit dan sempit, juga kepemilikan lahan sekolah yang sering bermasalah. Belum lagi masalah politik anggaran dan politik lokal yang sarat kepentingan, sedikit banyak akan menghambat pelaksanaan sekolah aman bencana.

Mungkin, langkah kecil yang telah diawali oleh Amin Widodo dan kawan-kawan di pusat studi kebumian bencana dan perubahan iklim, bisa menginspirasi Seknas SMAB  lebih giat lagi mendorong pemerintah untuk segera mewujudkan budaya tangguh bencana melalui sekolah aman bencana. Salah satunya adalah lebih sering menggelar seminar dan diklat yang beraroma PRB kepada mayarakat. Salam kemanusiaan. [eBas]