Selasa, 23 Juli 2019

CATATAN DARI EDT 2019 SEGMEN JAWA TIMUR


Pada acara evaluasi kegiatan ekspedisi destana tsunami (EDT) 2019, hari pertama, Lilik Kurniawan, Direktur Pemberdayaan Masyarakat sekaligus komandan Pengendali kegiatan, wajahnya agak ditekuk karena suntuk. Percampuran capek dan penat seharian mengawal kegiatan yang ternyata di luar ekspektasinya.

Evaluasi diadakan di tenda yang ditempati kawan-kawan dari sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana (SRPB) Jatim, dengan dukungan pencahayaan yang minimalis, alias remang-remang namun berjalan khitmad sambil duduk merapat, saling bersentuhan syahdu tanpa nafsu.

Disana, diwajahnya, terbersit rasa kecewa. Bahkan saat membuka evaluasi, beliau sempat bilang “Kegiatan hari ini gagal” Ucapnya tanpa ekspresi, menatap satu satu wajah yang hadir. Untung cahayanya minim sehingga tidak terlihat perubahan warna wajah beliau. Termasuk wajah Ning Chica dan mbak Sri, yang mengurusi logistik relawan.

Waduh, kaget juga mendengar vonnis pria yang saat ini sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Brawijaya, Malang.  Mengapa Pak Lilik sampai bilang gagal ya?. Apakah karena target dari 48 Desa di Kabupaten Banyuwangi, hanya 19 Desa yang mengisi PKD (penilaian ketangguhan desa). jelas kurang dari 50%. Atau kecewa karena beberapa komunitas yang menyatakan bersedia hadir pada pembukaan EDT 2019, ternyata ‘Jauh Panggang dari Api’. langsung muntaber (mundur tanpa berita).

Jika hal tersebut di atas benar adanya, maka itu jelas bukan ranahnya relawan yang tergabung dalam SRPB JATIM. karena, jauh hari sebelum berangkat, relawan yang terdaftar sudah berniat ikut mensukseskan acara dengan menampakkan kinerja ‘ala relawan’. Ya, para relawan peserta EDT 2019 sudah melaksanakan agenda sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya bencana tsunami.

Walau tanpa ‘buku panduan turun ke lapangan’, relawan yang dibagi dalam beberapa kelompok kecil bisa menyelesaikan tugas, dan hasilnya di share di grup whatsApp. Semua dilakukan dengan kreativitas dan pengalaman masing-masing personil, dalam membangun komunikasi dengan warga setempat.

Ternyata, banyak warga (bahkan perangkat desa) yang tidak tahu jika daerahnya akan ‘dikunjungi’ relawan. sehingga mereka kurang siap menerima kedatangannya. Nah, kalau sudah begini, siapa yang gagal berkomunikasi ?. termasuk berkomunikasi untuk memobilisasi relawan lokal berpartisipasi memeriahkan acara yang baru digelar tahun bershio babi tanah ini.

Sambil menikmati kopi Banyuwangi dan jajanan yang dibagikan, kegiatan evaluasi berjalan gayeng. Sambil guyon tipis-tipis, walau lelah telah menggelayut di mata semua peserta, mereka tetap merencanakan kegiatan esok hari agar dapat berjalan lebih baik.

Seperti munculnya harapan agar BPBD daerah berikutnya melibatkan komunitas relawan lokal. Khususnya organisasi relawan yang memiliki banyak anggota. Seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Termasuk mengajak organisasi perangkat daerah untuk mendukung acara agar EDT 2019 di daerahnya semarak dan berkesan.

Kemudian, yang tidak kalah penting adalah BPBD menghubungi (mengkondisikan) daerah yang akan dijadikan sasaran sosialisasi dan edukasi bencana tsunami. Sungguh, jika harapan yang muncul dalam kegiatan evaluasi berteman kopi itu bisa direalisasi, tentu kegalauan Pak Lilik akan terpatahkan. Berganti senyum bahagia melihat dedikasi dan loyalitas seluruh elemen yang terlibat.

Alhamdulillah, di hari selanjutnya ada perubahan yang membahagiakan. Hal ini terlihat dari informasi relawan yang melakukan “Sambang Desa”. Dimana, masyarakat sangat antusias menyambut kedatangan ‘Pasukannya Pak Papang’ dengan konsep gupuh, lungguh, lan suguh.

Pasti Pak Lilik juga akan tersenyum (tidak kecut) melihat tingkah lucu Cak Amir dengan lagu andalannya, Sahara. Juga goyang RX King Kang Ardhi Obis serta Songkok super tinggi milik uztad Yoyok mBangilan, khas kultur Nahdiyin. Merekalah yang menghibur sekaligus menyemangati relawan lain agar tetap bahagia saat istirahan di tenda.

Tidak lupa, masing-masing kelompok mencatat hasil kegiatannya, pun ada yang memvidiokan untuk kemudian di upload lewat media sosial (WA, FB, dan IG). Termasuk Pak Lilik yang melakukan siaran langsung di Radio Bintang Tenggara Banyuwangi.

Semua ini dilakukan dalam rangka membantu BNPB/BPBD mengabarkan kegiatan eDT 2019 kepada khalayak ramai, akan pentingnya menumbuhkan kesadaran mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Khususnya kepada warga yang berdomisili di kawasan rawan bencana. Sekaligus bisa menjadi bahan pembelajaran bagi para pejuang kemanusiaan (pinjam istilahnya Pak Lilik), di berbagai daerah.

Kegiatan yang dibuka langsung oleh Kepala BNPB di Pantai Boom, Banyuwangi ini semakin istimewa dengan kehadiran Pak Prof, begitu sebutan akrab Syamsul maarif, dosen Universitas Pertahanan. Beliau sempat merapat di sektor Jember, Lumajang, dan Malang. Bahkan melakukan wawancara langsung dengan warga terkait dengan potensi bencana yang ada serta kebiasaan mereka menghadapi bencana, sambil melihat rambu-rambu evakuasi di beberapa titik strategis.

“Secara umum, kegiatan ini cukup berhasil dan perlu ada tindak lanjutnya. Namun perlu juga melakukan evaluasi agar semuanya tetap dalam kendali, sehingga dapat membuahkan hasil yang lebih baik lagi,” Ujarnya sambil melihat foto-foto kegiatan EDT 2019 yang bersemangat penuh canda tawa.

Sementara Papang Pangarso, yang dijuluki Panglima Relawan, mengatakan agar semua catatan hasil kegiatan sosialisasi dan edukasi diserahkan ke Ning Titis, salah seorang tim penulis BNPB. Termasuk foto-foto kegiatan dari berbagai sudut pengambilan. Harapannya tentu aneka tulisan dan foto dari peserta EDT 2019 itu bisa didokumentasikan dalam sebentuk buku yang bisa menjadi kenangan terindah untuk diwariskan ke generasi selanjutnya. Bukan sekedar untuk melengkapi laporan kegiatan sebagai pertanggungjawaban anggaran program semata.

Semuanya tergantung pada kebijakan Pak Lilik Kurniawan yang saat ini sedang ‘Naik Daun’. Jika sebagai komandan masih menganggap kegiatan ini gagal, ya gagal pula harapan mendokumentasi ‘jerih payah’ relawan yang berpartisipasi dalam EDT 2019.

Untuk itu, tidak ada salahnya jika abah Santo dari LMI dan kawan-kawan meluangkan waktunya barang semenit dua menit untuk berdoa agar Pak Lilik tidak suntuk lagi. Agar tidak ada lagi guratan lelah diwajahnya.

Kini, Pataka EDT 2019 telah bergeser dari jawa timur menuju jawa tengah dan akan berakhir di jawa barat nantinya. Harapannya, tidak akan ada lagi kata gagal terucap dari siapapun. Jika disana sini masih dijumpai kekurangan tipis-tipis, itu wajar terjadi di setiap kegiatan. Namanya juga kerja ‘keroyokan’ yang memerlukan koordinasi antar elemen, pasti ada kendala dikarenakan masing-masing elemen memiliki protap dan juklak sendiri yang berbeda dan memerlukan kepedulian dan saling pengertian.

Artinya, Pak Lilik, Pak Papang dan Pak Wartono bisa merangkul dan mengajak semua elemen. Baik itu unsur masyarakat, akademisi, praktisi, dunia usaha, media dan satuan kerja perangkat daerah terkait agar berkenan untuk berpartisipasi aktif memeriahkan gelaran EDT 2019.

Dengan bergesernya Pataka EDT 2019 keluar Jawa timur, maka Relawan pun sudah beranjak pulang, kembali ke rutinitas masing-masing yang memiliki tanggung jawab sosial di lingkungannya. Semoga pengalaman yang mengharu biru ini bisa menjadi cerita panjang yang menginspirasi program SRPB JATIM ke depan penuh makna dengan membangun sinergi dengan berbagai komunitas dan tentu saja dengan BPBD serta BNPB.  Wallahu a’lam bishowab. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/Rabu Kliwon-24/7]

Senin, 15 Juli 2019

TIM PENULIS BNPB MENDOKUMENTASIKAN DATA


Mbah Gugel, lewat jobsinfopedia.blogspot.com (2016), bilang, Penulis adalah sebutan bagi orang yang melakukan pekerjaan menulis, atau menciptakan suatu karya tulis. Menulis merupakan jenis pekerjaan sekaligus hobi, penulis profesional menuangkan karyanya dalam bentuk tulisan yang bisa menghasilkan uang, namun ada juga yang menulis untuk keperluan hobi atau menyalurkan hobi untuk menuangkan ide pikiran kedalam tulisan. 

Ada juga yang mengatakan penulis adalah orang yang suka mengabadikan peristiwa yang menarik dalam sebuah tulisan, sebagai upaya mendokumentasikan untuk kemudian mengkomunikasikan pesan (gagasan) agar bisa menjadi bahan inspirasi bagi mereka yang suka berbagi informasi dan perubahan.

Pramudya Ananta Tour, seorang budayawan yang di cap ‘kiri’ , mengatakan bahwa, menulis itu adalah sebuah keberanian. Artinya, menulis itu memerlukan modal keberanian, termasuk berani dikritik, disalahkan dan ‘di- kiri -kan karena dianggap nakal, keluar dari keseragaman.

Begitu pentingnya arti dokumentasi sebuah peristiwa, BNPB un merasa perlu membentuk sebuah Tim Penulis, yang harus selalu mengikuti pelaksanaan program BNPB agar diketahui masyarakat luas. Termasuk dalam kegiatan Ekspedisi Destana Tsunami 2019 (EDT 2019) yang berlangsung dari tanggal 12 Juli sampai 14 Agustus 2019.

Lilik Kurniawan, Direktur Pemberdayaan Masyarakat, BNPB, mengatakan bahwa kekuatan media dengan karya tulisnya sangat signifikan terhadap sukses tidaknya sebuah program pembangunan. Penulis dengan gaya dan kreativitasnya bisa menyampaikan pesan dari hasil liputan EDT 2019 kepada khalayak ramai.

Media massa disini, bukan saja berupa Koran, majalah, radio, dan televisi saja. namun, media online, termasuk aneka foto dan komentar instagram maupun facebook yang sering diviralkan oleh relawan peserta EDT 2019, juga tidak kecil perannya dalam menggaungkan gebyar kegiatan yang baru pertama diadakan BNPB. Sejak dari wilayah pesisir Banyuwangi sampai nanti berakhir di wilayah Pandeglang, di ujung barat Pulau Jawa,

Tinggal bagaimana mengajak para ‘kuli tinta’ mau menyampaikan pesan-pesan kebencanaan, dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Dengan kemampuan mengolah data dan fakta yang dilihat, mereka bisa menyajikan karya tulis yang enak dibaca dan mudah dipahami pesannya.

Pinjam istilahya Pakar Komunikasi, Dr Aqua Dwipayana, bahwa kunci sukses EDT 2019 yang dilaksanakan BNPB tergantung pada penguasaan komunikasi dan data yang dimiliki seluruh anggota Tim. Semakin bagus komunikasinya dan makin lengkap data yang dipunyai maka tingkat keberhasilan kegiatan ini tambah besar.

Artinya, BPBD harus mampu berkomunikasi untuk memobilisasi berbagai komunitas relawan yang ada di daerahnya agar berpartisipasi aktif mensukseskan agenda yang disusun. Termasuk menuliskan hasil kegiatan sosialisasi kebencanaan di desa-desa yang telah ditentukan. Ya, kemampuan inilah yang perlu ditingkatkan dengan menggunakan metode dialogis partisipatoris

Dimana, hasil tulisan (berupa laporan kegiatan) itu nantinya diserahkan kepada Tim Penulis untuk ‘dirapikan’ dengan kekayaan perbendaharaan kosa kata yang dimiliki menjadi sebuah tulisan yang bermakna (sukur-sukur dijadikan buku) yang bisa dinikmati untuk menambah wawasan yang menginspirasi.

Akan menjadi kenangan terindah, apabila Tim Penulis yang ditunjuk BNPB bisa mendokumentasikan gelaran EDT 2019 dalam sebuah buku yang dibagikan kepada para pegiat kemanusiaan. Sungguh, buku ini akan sangat berharga untuk pembelajaran serta pedoman penyelenggaraan kegiatan selanjutnya. Salam Tangguh.[eBas/Selasa pahing-16/7]  
 

     


Selasa, 09 Juli 2019

HIMBAUAN BIJAK DARI EXPEDISI DESTANA TSUNAMI


“Rehatlah sejenak dari bangku diskusimu !!!. Turun dan lihat kesiapan desamu, ada 584 desa di wilayah selatan Jawa yang rawan tsunami. Lakukan yang engkau bisa. Mari bergabung bersama, bekerja bersama, melidungi masyarakat dari bencana”. Sebuah ajakan bijak yang menyertai pelaksanaan kegiatan Expedisi Destana Tsunami 2019.

Sebuah kegiatan untuk “menapak tilasi” daerah selatan pulau Jawa yang berpotensi terkena bencana tsunami (ada pula yang pernah kena tsunami, seperti di Banyuwangi pada tanggal 3 Juni 1994). Ya, agenda tersebut dimaksudkan untuk menginformasikan potensi ancaman gempa bumi dan tsunami kepada aparat terkait dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan tsunami, utamanya mereka yang berada di pesisir selatan Jawa.

Dimana tujuan dari kegiatan yang di gelar mulai Banyuwangi sampai Pacitan, tanggal 12 sampai 23 Juli 2019, adalah (1). menginformasikan potensi ancaman gempabumi dan tsunami pada apparat dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan tsunami selatan Jawa, (2) melakukan Identifikasi awal ketangguhan desa rawan tsunami. (3) melakukan sosialisasi kesiapsiagaan pada masyarakat, termasuk penanaman vegetasi pelindung pantai.

Ya, ajakan bijak ini seharusnya diikuti acara ngobrol bareng dengan berbagai pihak membicarakan “aturan main” tentang ajakan untuk bergabung bersama, dan bekerja bersama untuk melindungi masyarakat dari bencana. Ya, ‘aturan main’ ini bisa berupa bagaimana ijinnya, daerah mana yang akan dituju, materi apa yang akan diberikan kepada masyarakat, dan berapa orang yang harus turun ke lokasi.

Ajakan bijak diatas senafas dengan postingannya Catur Sudiro, salah seorang staf LSP-PB, yang mengajak kita semua untuk bergabung bersama, bekerja bersama meningkatkan kapasitas masyarakat terhadap bencana.

Tentu, sebelum meningkatkan kapasitas masyarakat, sudah selayaknya mereka yang diberi tugas mengedukasi haruslah dibekali  terlebih dulu melalui diklat, pembinan dan pembekalan. Tanpa itu tidak akan ada standarisasi penyampaian materi untuk meningkatkan kapasitas masyarakaat (menghadapi bencana), dan ini akan membingungkan masyarakat.

Sesungguhnyalah, relawan itu siap sedia digerakkan (khususnya di fase tanggap darurat). Sementara untuk kegiatan di fase pra bencana, seperti melakukan penyuluhan pengurangan risiko bencana dan melakukan kajian dampak bencana, kiranya masih perlu pendampingan dan arahan dari instansi terkait agar tidak menimbulkan hal-hal yang bisa melahirkan kesalah pahaman di lapangan.

Karena pada kenyataannya, staf instansi itu belum tentu mengerti, dan menguasai bidang tugasnya. Disitulah sangat berpotensi lahirnya konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi, jika mau duduk bersama, belajar bersama mencari solusi bersama atas perbedaan yang terjadi. Sayangnya, atas nama gengsi dan kuasa, relawan harus kalah (mengalah) agar tidak timbul perilaku “Like and dis-like”. 
  
Himbauan di atas itu haruslah dimaknai sebagai sebuah dorongan agar relawan bisa tampil maksimal di fase pra bencana, sesuai semangat Sendai Frame Work for disaster risk reduction 2015 – 2030, yang mengedepankan peran serta masyarakat dalam pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, itu membutuhkan pemberdayaan dan inklusif, dapat di akses dan partisipasi yang tidak diskriminatif, memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang terdampak oleh bencana secara tidak proporsional, terutama yang paling miskin (BNPB, 2015).

Sekali lagi relawan itu hendaknya dibina agar bisa berbuat untuk membantu kerja-kerja kemanusiaan yang menjadi tugas BNPB/BPBD melalui lokalatih, lokakarya dan diklat, sehingga dalam melakukan edukasi kebencanaan kepada masyarakat tetap dalam ‘kendali’ BNPB/BPBD. Pertanyaannya kemudian, apakah ketika relawan melakukan edukasi secara mandiri, tidak menyalahi aturan, dan tidak berbenturan dengan program yang telah disusun BNPB/BPBD maupun instansi terkait ?

Dengan demikian, jika himbauan bijak yang muncul menyertai pelaksanaan kegiatan ekspedisi destana tsunami itu benar-benar bisa terwujud, ya harusnya mereka yang kaya konsep dan gagasan saat berdiskusi itu diajak serta untuk berkegiatan seperti konsep sapalibatisme. Yaitu menyapa (dan mengajak, red) berbagai pihak untuk melibatkan potensi yang ada, seperti dunia usaha, pemerintah, masyarakat dan lain sebagainya (akademisi dan media massa, red), untuk membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana, seperti yang diharapkan oleh kegiatan Expedisi Destana Tsunami ini. Wallahu a’lam bishowab. Salam tangguh, salamkemanusiaan. [eBas/siang selasa kliwon 99/7].