Selasa, 20 Agustus 2019

BNPB Sosialisasi Desa Tangguh Tsunami


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan sosialiasi Desa Tangguh Bencana (Destana) tsunami bersama tim ekspedisi dan telah menyasar 512 desa di 24 kabupaten/kota. Kegiatan ini bertujuan agar masyarakat lebih siap dalam menghadapi bencana tsunami.

"Kegiatan ini dalam rangka penguatan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami dan untuk pengembangan Desa Tangguh Bencana yang berada di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa," kata Plt Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Agus Wibowo dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/8/2019).

BPNB sebagai lembaga negara yang bertugas untuk mengoordinasikan upaya penanggulangan bencana, membuat langkah untuk melindungi masyarakat berisiko yang berada di desa/kelurahan tersebut. Ekspedisi ini juga melibatkan lima unsur (pentahelix), yaitu pemerintah, akademisi, masyarakat, lembaga usaha, dan media.

Ekspedisi ini terbagi dalam empat segmen, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten, yang masing-masing segmen diikuti 200 orang. Dari target 518 desa, hanya tercapai 512 desa yang berhasil disosialisasikan tentang kesiapsiagaan dan potensi tsunami.

"42 ribu masyarakat yang kami datangi, lebih dari 3.700 orang perangkat desa yang kami berikan pemahaman bencana. Kendala di lapangan banyak kami alami, termasuk penolakan dari kepala daerah tersebut," ucap Deputi Pencegahan BNPB Lilik Kurniawan. 

Diketahui, ada 600 ribu lebih masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tsunami. Fakta Tim Destana di lapangan menemukan tingkat kesiapsiagaan cukup baik bagi daerah yang sudah pernah mengalami tsunami, namun yang belum mengalami tsunami masih banyak yang belum paham dan tidak tahu kemana harus melakukan evakuasi.

"Selain itu, infrastruktur yang masih belum memadai untuk evakuasi. Dari timur Jawa ke barat, masih banyak daerah wisata, yang hampir sebagian besar tidak punya rambu peringatan tsunami. Hal ini sangat riskan bagi keselamatan pengunjung," ucap Lilik.

Kepala BNPB Doni Monardo juga menggagas pembangunan monumen tentang peristiwa bencana alam yang sudah terjadi. Monumen itu ditujukan agar masyarakat mengingat peristiwa bencana alam. Menurutnya, bencana tidak dapat dihindari, namun bisa dikurangi risikonya.

"Konsep pentahelix merupakan sosialisai yang terbaik. Perangkat desa ini diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam memberikan sosialisasi kepada RW/RT dan keluarga, namun tetap memperhatikan kearifan lokal. Poinnya, masyarakat harus sadar potensi bencana yang ada, memahami dan mampu melakukan upaya pencegahan, dan masyarakat menjadi tangguh serta mampu dalam menyelamatkan diri dari bencana," tutur Doni. 

Selanjutnya, kegiatan ini akan dilanjutkan menjadi KKN tematik Destana dan bekerjasama dengan perguruan tinggi. Selain itu, ada dua buku mengenai tulisan ekspedisi dan foto perjalanan ekspedisi untuk berbagi pengetahuan kepada masyarakat lain. [sumber:news.detik.com/berita/14/8]




Jumat, 16 Agustus 2019

SATUAN PENDIDIKAN AMAN BENCANA MASUK DIKLAT PAUD DIKMAS


Tahun 2019, yang bertepatan dengan shio babi tanah ini, BP-PAUD dan DIKMAS Jawa timur mempunyai terobosan baru dalam menggelar pelatihan untuk lembaga mitra. Kegiatan yang bertema “Peningkatan Kompetensi SDM melalui Bimtek (LKP, PAUD, PKBM), berlangsung di “Kampus Gebang Putih 10” Surabaya.

Terobosan baru itu adalah dimunculkannya materi tentang pengurangan risiko bencana, yang di dalamnya berisi Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Sebuah materi baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Mengapa baru sekarang diadakan ?.

Seperti diketahui, sejak terjadinya gempa di Pulau Lombok yang meluluh lantakkan Kabupaten Lombok Utara, kemudian disusul gempa Palu (Sulawesi tengah) yang diberengi dengan tsunami dan likuifaksi (jenis bencana baru yang belum dimasukkan ke dalam UU 24 tahun 2007, sebagai salah satu jenis bencana).

Ke dua bencana yang melanda daerah yang berbeda ini belum selesai ditangani, sudah disusul gempa selat sunda yang memunculkan tsunami di pantai pangandaran dan lampung. Di susul dengan berbagai bencana di daerah lain dengan korban harta benda dan nyawa yang tidak sedikit.

Dari situlah kemudian muncul ‘himbauan’ presiden dan mendikbud agar pendidikan mitigasi bencana diajarkan di sekolah. Sayangnya himbauan itu kurang disambut serius dikarenakan ada anggapan materi pelajaran di dalam kurikulum sudah padat.

Bagaimana dengan satuan pendidikan nonformal (SKB, PKBM, PAUD, dan LKP) dalam menyambut himbauan presiden dan mendikbud itu?. Sama saja, setali tiga uang. Bahkan terkesan tidak ada yang peduli melakukan pengkajian untuk dijadikan program aksi sebagaimana yang dihimbaukan oleh presiden.

Padahal, sesungguhnyalah peserta didik dari satuan pendidikan nonformal itu kebanyakan berdomisili di desa yang masuk dalam kawasan rawan bencana. sehingga kalau terjadi bencana mereka akan menjadi korban pertama, sekaligus sebagai orang yang melakukan penyelamatan terhadap korban bencana, sebelum bantuan dari luar datang.

Dari situlah kemudian, sesuai dengan salah satu tugas BP-PAUD dan DIKMAS Jawa Timur, melaksanakan pengembangan mutu pendidikan anak usia dini dan pendidikan masyarakat. Sementara salah satu fungsinya adalah pengembangan program PAUD dan DIKMAS.

Maka pamong belajar BP-PAUD dan DIKMAS JATIM setiap tahun diwajibkan mengembangkan model. diantaranya model pembelajaran mitigasi bencana pada pendidikan multikeaksaraan. Sasaran dari model ini adalah masyarakat penyandang buta aksara yang baru menyelesaikan program keaksaraan fungsional. Tujuannya adalah sebagai upaya menjaga kemampuan keberaksaraannya agar tidak kembali buta aksara, sekaligus paham akan pentingnya melakukan mitigasi mandiri seperti dalam konsepnya pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.

Kemudian model lain yang masih bersinggungan dengan masalah kebencanaan adalah pengembangan model pembelajaran sadar bencana untuk memperkuat karakter bagi peserta didik LKP. Saat ini model ini masih dalam tahab ujicoba.

Harapannya, setelah mereka menerima materi ini bisa memahami arti penting kesiapsiagaan menghadapi bencana serta mampu melakukan mitigasi untuk mengenali potensi bencana yang ada di daerahnya sebagai upaya mengurangi risiko bencana.

Seperti diketahui, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Dengan kata laian, mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. 

Sedangkan Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU RI No.24 Tahun 2007). Kegiatan yang termasuk kesiapsiagaan itu seperti penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharan dan pelatihan personil. Bisa juga dikatakan bahwa Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.

Sementara, untuk kegiatan bimbingan teknis kali ini, peserta diperkenalkan dengan konsep SPAB, dalam rangka penguatan kapasitas sekolah termasuk kepala sekolah, guru dan siswa tentang kesiapsiagaan agar mereka dapat selamat ketika terjadi bencana.

Dengan kata lain, SPAB sebagai bentuk antisipasi terjadinya bencana di lingkungan sekolah guna mengurangi risiko serta memberi pemahaman kepada pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, terkait risiko bencana yang mengancam daerahnya dimana sekolah itu berada.   

Disamping itu, melalui SPAB peserta dapat turut membangun budaya siaga, budaya aman dan budaya pengurangan risiko bencana di sekolah, serta membangun ketahanan warga sekolah dalam menghadapi bencana secara terencana, terpadu dan terkoordinasi dengan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam rangka memberikan perlindungan kepada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan masyarakat di sekitar sekolah dari ancaman dan dampak bencana.

Dengan memahami SPAB itulah, diharapkan para pengelola satuan pendidikan nonformal bisa menerapkan konsep SPAB di daerahnya, tentunya dengan beberapa modifikasi sesuai dengan karakteristik budaya setempat. Paling tidak pengelolanya membangun kerjasama dengan relawan setempat untuk mensosialisasikan masalah kebencanaan kepada peserta didiknya.

Hal ini mengingat bahwa upaya penanggulangan bencana itu bukan hanya urusan pemerintah, namun urusan semua sesuai konsep pentahelix (pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media), yang dikenalkan oleh Kepala BNPB beberapa waktu yang lalu. Dalam UU 24 tahun 2007, ada pasal yang mengatur tentang hak masyarakat untuk mendapat pelatihan tentang kebencanaan dan kewajiban untuk melakukan upaya penanggulangan bencana.

Semoga apa yang dilakukan oleh BP-PAUD dan DIKMAS Jawa timur bisa menginspirasi Balai lainnya untuk turut serta menyisipkan materi kebencanaan dalam kegiatan diklat maupun bimtek yang rutin dilaakukan dalam rangka upaya meningkatkan kompetensi sumber daya manusia pengelola satuan pendidikan nonformal, dalam rangka peningkatan dan penjaminan mutu program PAUD dan DIKMAS untuk mendukung jargon "menuju SDM unggul Indonesia maju" . Salam Literasi, terus menginspirasi, [eBas/Sabtu wage-17/8]









Senin, 12 Agustus 2019

YANG TERCATAT DARI OPEN TALK SABTU PAHING


                “Alat yang diproduksi itu mahal daripada produk kami, termasuk alat yang dipasang di Pancer itu mahal sekali. Jika dibelikan ke kami bisa mendapat 10 biji dengan fungsi yang sama,” Kata Nara sumber di acara Open Talk yang digelar di Kampus ITS, tepatnya Gedung Geofisika, sabtu pahing (10/8).

Open Talk adalah Kegiatan pengimbasan ilmu dan pengalaman yang rutin digelar oleh Masyarakat Tangguh Inklusif (MTI). Kegiatan ini disamping untuk anggota terdaftar, juga dihadiri oleh berbagai komunitas yang peduli terhadap masalah kebencanaan. Materinya beragam, biasanya disesuaikan dengan kejadian yang sedang ngetren, dan dipandu oleh nara sumber yang kompeten. Untuk kegiatan kali ini materinya berbicara tentang alat peringatan dini Fidela dan Pengalaman mengikuti Ekspedisi Destana Tsunami (EDT) 2019 wilayah Jawa timur, mulai Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan berakhir di Pacitan.

Terkait dengan early warning system (EWS), nara sumber mengatakan bahwa di pantai selatan ada sekitar 400 EWS canggih buatan luar negeri yang harganya miliaran rupiah, namun sayang kurang berfungsi optimal, bahkan sudah banyak yang tidak berfungsi karena rusak maupun hilang dicuri orang.

Dari situlah nara sumber beserta tim nya membuat sendiri alat peringatan dini yang diberi nama Fidela. Mereka berusaha membuat alat yang murah dengan fungsi sama, dilengkapi dengan alat (semacam sensor atau CCTV, mungkin) untuk menjaga agar Fidela tidak hilang dan berfungsi optimal. Artinya, alat ini dilengkapi software  yang bisa mengirim sinyal jika tempatnya berubah dari posisi semula atau dipindah oleh orang lain (dicuri), sehingga cepat ditindak lanjuti. 

Sayangnya, sampai generasi ke 3, alat ini belum ‘digunakan’ oleh instansi yang berwenang dalam hal penanggulangan bencana. mengapa bisa begitu ?. alat yang diproduksi oleh anak negeri sendiri yang sangat canggih dan relatif murah itu, kok kalah bersaing dengan produk luar negeri yang harganya tidak murah.

Menurut teori ngawurologi, kemungkinan alat itu tidak dibeli dan belum digunakan secara massal itu diantaranya, (1) alat itu kurang promosinya, sehingga kalah bersaing dan tidak dikenal oleh calon konsumen. (2)  alat ini masih sebatas untuk pameran ilmiah atau sekedar untuk keperluan mengikuti lomba berhadiah, dan (3) pengusahanya belum bisa “meng-entairtain” calon konsumen seperti yang biasa dilakukan oleh pedagang (rekanan lembaga) pada umumnya, agar proyek pengadaan alat itu jatuh ketangannya. (jika perlu, termasuk proyek pemeliharaannya).

Apa yang terpapar dalam teori ngawurologi itu bisa salah, namun juga bisa benar seperti yang sering dikabarkan oleh burung melalui media massa. Seperti masalah impor bawang yang dilakukan pengusaha tertentu yang berkolaborasi dengan anggota dewan dan akhirnya menjadi tahanan KPK. Konon, pengusahanya juga harus meng entertain dulu agar proyeknya berjalan. Guyonan yang sering dilontarkan adalah, semua yang berbau proyek itu harus ada koordinasi dulu. Yaitu Koor nya ada di nasi. Jika ada nasi baru terjadi koordinasi. Wallahu a’lam.

Tentu kedepan, diharapkan alat canggih bikinan alumni ITS ini perlu diperkenalkan ke pihak yang bertugas mengurusi bidang penanggulangan bencana. Caranya, dengan menggelar kegiatan diskusi, seminar  atau apapun namanya dengan menghadirkan para pemegang kebijakan dan anggaran. Tujuannya jelas agar mereka beralih memanfaatkan produk anak negeri, seperti amanat Bung Karno, berdiri di kaki sendiri (berdikari).

Dari kegiatan itu,  mereka bisa langsung tahu bentuk alatnya, melihat cara kerjanya dan lainnya untuk kemudian mau memborong alat ini untuk dipasang diberbagai titik menggantikan alat yang telah terpasang dan hilang maupun yang rusak. Narsumnya juga bilang bahwa sebaiknya sebelum alat dipasang haruslah disosialisasikan lebih dulu ke masyarakat setempat agar mereka mengerti tujuan dan manfaat pemasangan alat ini, sehingga tumbuh rasa ikut memiliki alat dan mau memelihara serta menjaganya.

Sementara, paparan nara sumber tentang pengalaman mengikuti EDT 2019, sangat menarik. Semangat relawan dalam melakukan edukasi dan sosialisasi terkait dengan potensi bencana tsunami di daerahnya, perlu mendapat apresiasi dan dilatih lagi agar semakin ‘luwes’ dalam berinteraksi langsung dengan masyarakat sesuai kearifan lokal setempat.

Disisi lain, ada masukan bahwa kegiatan EDT 2019 yang telah dirintis itu harus ada tindak lanjutnya. Baik itu berupa KKN tematik maupun munculnya inisiatif dari BPBD untuk mengagendakan secara rutin diklat maupun simulasi penanggulaan bencana kepada masyarakat. Sukur-sukur jika kegiatan simulasi juga melibatkan unsur pentahelix.

Tanpa ada tindak lanjut, maka program EDT 2019 yang menelan biaya tidak sedikit itu tidak akan berdampak kepada upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Seperti biasanya, kegiatan Open Talk diakhiri dengan foto bersama sebagai bukti fisik yang dapat dijadikan potofolio ketika nanti relawan berminat ikut sertifikasi relawan oleh LSP-PB. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan.  [eBas/senin wage-12/8]




Sabtu, 10 Agustus 2019

RELAWAN SADAR BENCANA


Ada yang istimewa dalam kegiatan pelatihan pengelola PAUD dan PKBM tahun 2019 ini. Kegiatan yang dikemas dengan tema Peningkatan Kompetensi SDM Melalui Bimtek bagi Pengelola PAUD dan PKBM (untuk LKP menyusul gelombang berikutnya). Istimewanya adalah, disisipkannya materi tentang Pendidikan (manajemen) Pengurangan Risiko Bencana Pada Satuan PAUD dan DIKMAS.

Ya, materi baru yang oleh Balai coba diperkenalkan dikalangan pegiat satuan pendidikan nonformal (SPNF), dimana seringkali lokasinya atau peserta didiknya banyak yang berdomisili di daerah rawan bencana. Sehingga materi ini menjadi penting diberikan, agar mereka sadar bahwa di daerahnya ada potensi bencana.

Sesungguhnyalah, materi tentang kebencanaan ini sudah ada sejak tahun 2012, dengan nama SMAB (sekolah madrasah aman bencana) yang diperbaharui menjadi SPAB (satuan pendidikan aman bencana). walau sudah lama, namun konsep SMAB/SPAB belum banyak dilakukan di pendidikan formal. Apalagi di pendidikan non formal. Mengapa begitu ?. ya tidak tahu, nyatanya memang begitu. Mungkin pejabatnya yang kurang memiliki kesadaran untuk melakukan itu.

Kegiatan yang bertempat di Aula BP-PAUD dan DIKNAS JATIM berlangsung meriah dan interaktif. Dipandu oleh  pakarnya dari MDMC (muhammadiyah disaster managemen center), membuat peserta antusias mendengan paparan materi yang baru tahun ini diadakan oleh Balai.

Materi yang diberikan berkisar pada konsep satuan pendidikan aman bencana. seperti, Konsep dan Konteks Penanggulangan Bencana  (PB) di Indonesia, Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Tiga Pilar Kerangka Kerja dalam SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana), Pengkajian Risiko Bencana secara mandiri dan partisipatif, Praktek Pengkajian berbasis aset sekolah, Pembuatan RAS (rencana Aksi Sekolah), diakhiri dengan Praktek Pembuatan Peta/Denah Ancaman, Risiko dan Jalur Evakuasi, serta Pembuatan Protap Bencana Sekolah.

Sebagai penyemangat, disamping diberi tas beserta isinya, peserta juga diberi kaos lengan panjang warna orange, waran khas relawan kebencanaan, yang bertuliskan ‘Relawan Sadar Bencana’. ya, dengan pemberian kaos ini diharapkan peserta yang bergiat di satuan pendidikan nonformal, tumbuh kesadaran akan pentingnya mengenali potensi bencana yang ada di daerahnya untuk kemudian bisa mengurangi risiko saat terjadi bencana.

Tentu, dengan pemberian kaos orange bertuliskan Relawan Sadar bencana, bukan otomatis sipemakainya langsung memiliki kesadaran akan arti penting kesiapsiagaan menghadapi bencana dan mengurangi risikonya. Ya, harus ada tindak lanjutnya. Baik berupa diklat maupun simulasi yang diagendakan secara berkala untuk menumbuhkan budaya tangguh bencana kepada peserta didiknya.

Sukur-sukur alumni kegiatan ini bisa berperan sebagai aktor yang menyebarkan konsep pengurangan risiko bencana kepada masyarakat sekitarnya. Jadi semuamya memerlukan proses. Tidak hanya sekali mendengarkan materi SPAB langsung menyandang gelar relawan yang sadar bencana. ingat semuanya butuh proses dan tidak semua orang bisa menjadi relawan.

Mungkin,BP-PAUD dan DIKMAS JATIM lah yang pertama berani menerapkan materi kebencanaan ini dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas SDM Pengelola Satuan Pendidikan Nonformal. Hal ini mengingat, seperti yang dirilis dalam indek risiko bencana Indonesia (IRBI) BNPB,  bahwa di seluruh daerah Jawa Timur berpotensi terjadia bencana dengan ancaman yang berbeda, sesuai letak geografisnya. Hampir semua jenis bencana ada di Jawa Timur. Ada bencana erupsi gunung api, banjir, longsor, gempa, tsunami, kekeringan, kebakaran, dan angin puting beliung.

Disisi lain, ada sekitar 2.000 gedung sekolah yang didirikan di daerah rawan bencana. jumlah tersebut belum termasuk lembaga pendidikan nonformal (PKBM, SKB, LKP, dan PAUD). Dengan kondisi yang seperti ini, tentulah diperlukan upaya penyadaran kepada para pegiat SPNF tentang adanya potensi ancaman bencana di daerahnya.

Sehingga mereka bersama-sama relawan penanggulangan bencana lainnya (termasuk BPBD setempat, jika memungkinkan), bisa membangun sinergi untuk bersama-sama melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pengurangan risiko bencana, sehingga akan tercipta masyarakat sadar bencana yang memiliki kesiapsiagaan serta bisa melakukan mitigasi dan evakuasi mandiri ketika bencana melanda daerahnya. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/ minggu pon (11/9) dini hari]




   

Rabu, 07 Agustus 2019

CERITA PAGI TENTANG KONSUMSI


Setiap ada  pagelaran yang mendatangkan khalayak dari berbagai komunitas, masalah konsumsi haruslah menjadi perhatian utama. Ini penting agar tidak mengecewakan semua yang terlibat, agar tidak memalukan penyelenggara.

Masalah makan minum itu sangat lekat dengan kebiasaan para peserta pagelaran. Ada yang selalu mengedepankan mumpungisme, mumpung gratisan sehingga perlu mengajak kroninya. Juga ada yang jaim, menikmati hidangan ala kadarnya sesuai porsi yang wajar sebagai manusia beretika. Ya begitulah masalah konsumsi memang rawan, dan itu tampaknya sudah menjadi tradisi dimana-mana, dalam acara apa saja.

Memang, konon pengelolaan konsumsi itu oleh sebagian orang sangat menggiurkan karena dananya bisa disiasati agar bisa untung besar namun konsumsinya cukup untuk memenuhi rasa lapar dan haus para yang terlibat dalam paagelaran ini. (bahkan berlebih dengan mengakali mutu menu). Biasanya konsumsi itu yang penting banyak, enak, dan mengenyangkan. Masalah kualitas variasi dan standar gizi sering diabaikan.

Kadang juga, mereka yang mengurusi konsumsi itu juga harus mengenal karakter mereka yang terlibat dalam pagelaran. Jika mayoritas pesertanya berkarakter Kerbau. Maka yang sering terjadi adalah, bila saatnya makan tiba, yang terjadi bukan sekedar antri tapi cenderung rebutan takut tidak kebagian. Crongohan koyo wong jarang mangan. Cirinya porsi makannya banyak, apa saja dimakan tanpa peduli kesantunan, tanpa menghormati hak teman.

Yang berlaku pada karakter kerbau adalah, Bal gedibal bal dudu suwal dudu bantal dudu terpal yo dudu aspal, kabeh diuntal. (siapa cepat dia dapat). Golongan karakter kerbau keparat inilah yang biasanya bikin pusing bagian konsumsi. Juga menimbulkan rasan-rasan diantara teman. Sungguh memprihatinkan.

Mereka akan kuwalahan menyiapkan konsumsi. Apa yang dihidangkan pasti habis tandas, bahkan ada yang tidak kebagian, atau harus mau koret-koret dapat kuah sayur dan secuil tempe daripada lapar. Disinilah perlunya ada manejemen konsumsi. Dimana pengelolanya harus pandai membagi konsumsi agar semua kebagian secara merata dan tidak terjadi rebutan yang mencerminkan kerakusan.

Pasti kita semua pernah mengalami bahkan tidak tertutup kemungkinan sebagai pelaku yang berkarakter kerbau. Itu wajar sebagai manusia yang punya rasa, punya nafsu. Namun hendaknya tetap harus belajar beretika agar ada perubahan dalam hidup yang lebih baik. Janganlah selalu jadi kerbau. Sungguh itu perilaku yang memalukan, tidak sesuai dengan ajaran moral dan agama. Tidak tahu lagi jika perilaku kerbau itu memang sudah watak yang harus disandangnya sesuai takdir, ya gak tahu lagi Wassalam, jangan lupa ngopi biar tidak salah jalan. [uztat koplak ora tepak njaluk di keplak]

   




Senin, 05 Agustus 2019

PENINGKATAN KOMPETENSI RELAWAN JAWA TIMUR


Sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana (SRPB) Jawa Timur, sebagai wadah berkumpulnya berbagai organisasi relawan, memiliki tujuan, diantaranya berupaya menghilangkan ego sektoral, dengan meningkatkan silaturahmi antar para pegiat alam dan kemanusiaan yang ada di Jawa Timur, sehingga bisa bersama-sama elemen pentahelix lainnya melakukan upaya pengurangan risiko bencana.

Disana, mereka bisa belajar berbagi informasi tukar pengalaman dan berkoordinasi membangun sinergi. Bahkan tidak menutup kemungkinan mengagendakan aksi bersama membantu sesama.

Memang, sampai tahun ke dua keberadaannya, semua masih berproses. Karena ternyata tidak mudah menyamakan langkah. Masing-masing terikat oleh visi misi masing-masing organisasi induknya. Juga kepentingan lain yang mungkin ikut bermain di dalamnya.

Untuk itulah melalui kegiatan Arisan Ilmu yang digelar sebulan sekali itu dalam rangka menambah wawasan, pengetahuan, serta memperluas jejaring pertemanan sebagai upaya peningkatan kompetensi relawan. Arisan ilmu yang digelar dengan berbagai topik itupun kini menjadi ikon dari SRPB Jawa Timur, juga menginspirasi berbagai komunitas untuk berbagi ilmu.

Upaya peningkatan kompetensi pun tidak hanya lewat acara Arisan Ilmu, namun juga ikut (diikutkan) dalam kegiatannya BPBD, juga BNPB. Seperti kegiatan Dharma Relawan Adhirajasa di Bali, dan Ekspedisi Destana Tsunami yang menyusuri wilayah pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Mulai pesisir Banyuwangi sampai Kabupaten Pacitan.

dalam kamusnya 'mBah Gugel', kompetensi adalah karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkan mereka mengeluarkan kinerja superior dalam pekerjaannya. Menurut Trotter dalam Saifuddin (2004) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan.

Websterís Ninth New Collegiate Dictionary dalam Sri Lastanti (2005) mendefinisikan kompetensi adalah ketrampilan dari seorang ahli. Di mana ahli didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat keterampilan tertentu atau pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan dan pengalaman.

Dengan kompetensi yang meningkat, diharapkan relawan semakin profesional dalam membantu BPBD melakukan penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana sebagai upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana

Semua kesempatan yang diberikan itu diikuti dengan penuh kesungguhan dan tanggungjawab. Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi si pemberi kesempatan. SRPB pun semakin dipercaya oleh BPBD. Buktinya, saat ini diberi kepercayaan untuk mengikuti pelatihan pengoperasian alat berat di Madiun. Sebelumnya, juga diperkenankan mengikuti pelatihan pengelasan untuk relawan. Ya, sepanjang mampu menjaga amanah pasti akan membawa barokah.

Yang penting, ikuti semua aturan dan materi diklat agar bermanfaat. Jangan kecewakan para pejabat BPBD Provinsi Jawa Timur yang telah berkenan memberi mandat berupa kesempatan mengikuti pelatihan sebagai upaya peningkatan kompetensi, wawasan sekaligus mempererat paseduluran.

“Selamat dan sukses untuk rekan-rekan yang ikut pelatihan Pengoperasian Alat Berat di Akademi Perkeretaapian Indonesia, Madiun. Semoga bisa membawa kebanggaan dan manfaat untuk keluarga dan masyarakat. Tetap semangat mengikuti pelatihan dan tetap menjaga nama baik diri sendiri dan juga SRPB Jawa Timur,” Kata Dian Harmuningsih, Koordinator SRPB Jawa Timur, memberi arahan kepada peserta pelatihan yang tas, kaos dan topinya diseragamkan secara gratis sebagai bentuk apresiasi pemerintah kepada relawan yang berniat meningkatkan kompetensinya . Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas/senin pahing-5/8]




  



Sabtu, 03 Agustus 2019

EDT 2019 DALAM CATATAN SEORANG PENULIS

      Pemandangan gemunung Ijen, Pulau Madura, juga Bali menjadi penanda jumpa kali pertama Tim Ekspedisi Destana Tsunami (EDT) 2019 besutan BNPB di ujung timur Jawa, Pantai Boom Banyuwangi. Syukur tentu terucap, kegamangan juga tidak lekas pudar. Sementara Pantai Pulau Merah tetap tegar sebagai destinasi wisata.

Ratusan simpul komunitas relawan kebencanaan dalam jejaring SRPB (Sekretariat Bersama Relawan Penanggulangan Bencana) Jawa Timur, beberapa BPBD kabupaten/ kota, juga para personil BNPB bersapa sua di sana. selfi sana selfi sini, tentu dilakukan untuk membangun pertemanan, dan menguntai kenangan.

Waktu itu yang saya ingat, ada kecamuk rasa ragu, khawatir, juga penuh harap, seperti berdiri di tengah pasukan yang siap bertempur dengan berbagai baju kebesaran organisasi yang dibungkus rompi EDT 2019 yang mbois, siap menapaktilasi jejak Tsunami agar masyarakat siap menghadapi secara mandiri.

Dalam gelap (maksudnya temaram cahaya karena minimnya pasokan listrik di tenda), angin laut yang dingin, sekaligus kehangatan kopi dan guyon Jawa Timur-an, para relawan EDT 2019 menyiapkan segalanya demi langkah pertama ini.

Langkah yang ternyata terjal, penuh kerikil, debu, duri, yang seringkali menjadi sebab kaki yang limbung dan tubuh yang terluka, lecet-lecet. Namun semua terlewati atas nama kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan yang menguatkan kita disela perasaan ‘jaim’ karena belum saling kenal.

Dari satu pantai ke pantai lain, dari satu tutur tersisa tentang tsunami ke berbagai harapan ketangguhan masyarakat. Bersama-sama melahap jarak menembus Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagunng, Trenggalek, sampai dengan Pacitan, tak terasa luka itu sudah mengering, berganti tawa ria yang nyaring. Rebutan nasi kotak dan tidak kebagian jajanan adalah romantika yang kelak akan indah untuk dikenang.

Masing-masing daerah berbeda cara menyambut Pataka EDT 2019, sesuai kearifan lokal yang ada disana. Namun semua tidak mengurangi makna yang diharapkan dalam program yang baru tahun ini diadakan. Tentu, disela gelaran hiburan malam yang disuguhkan, terbersit harap semoga tahun depan lebih tertata lagi.

Herannya, bukannya lelah dan menyerah, para pejuang kemanusiaan ini malah makin heroik melakukan sosialisasi dan edukasi tentang adanya potensi bencana Tsunami kepada masyarakat pesisir selatan Jawa. Dengan gayanya sendiri mereka melakukan interaksi dengan masyarakat sambil ngopi (ngobrol pintar), bicara tentang kebiasaan setempat jika ada bencana seperti banjir rob atau longsor.

Rasanya jadi sulit membedakan mana dia masyarakat, pemerintah, media, akademisi, dan dunia usaha, yang seringkali berdiri di 5 sudut berbeda dalam aktor pentahelix kebencanaan. Warga Pacitan yang menyediakan kulineran ala pasar rakyat yang dilanjut dengan cerita-cerita di lingkaran api unggun, merekatkan jiwa persaudaraan para relawan.

Rabu, 24 Juli 2019. Hari ke-12, kilometer ke sekian ratus, Pataka EDT 2019 telah berpindah kesembilan kalinya. Pasukan yang siap bertempur waktu itu, merayakan satu kemenangan kecilnya. Lelah menguap, luka-luka memudar, gelak tawa mengembang di lapangan Desa Cemeng, Donorejo, kabupaten Pacitan.

Jalan terjal yang dulu agak membuat gentar itu, mampu dibakar oleh ketangguhan arek-arek SRPB JATIM yang berapi-api itu. Hanya ada satu kata, EDT 2019 segmen Jatim harus sukses. Semoga kemenangan kemarin, menjadi lecutan karya dalam memberi makna pertempuran-pertempuran selanjutnya.

Sudah waktunya aktor-aktor Pentahelix bersatu padu melanjutkan jejak langkah yang ditinggalkan peserta EDT 2019 dalam sebentuk aksi mengedukasi masyarakat secara berkala agar terbangun budaya tangguh menghadapi bencana. edukasi dan simulasi menghadapi bencana harus diadakan secara berkala, bukan sekali saja terus dianggap sudah bisa.

Salam hormat dan salut untukmu para relawan, juga warga Jawa Timur. Langkah awal di ujung timur pesisir selatan Jawa ini, semoga bisa menginspirasi daerah lain sekaligus memantapkan langkah ekspedisi selanjutnya.

Pataka EDT 2019 telah berpindah. Kini waktunya relawan Jawa timur melepas lelah. Sementara relawan Jogja, Jawa tengah, Jawa Barat dan Banten telah siap meneruskan langkah. Tapi ingat, perjuangan jangan pernah punah. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan *[Rts]

Jumat, 02 Agustus 2019

Gempa dan Tsunami Terdahsyat di Indonesia Selama Dua Dekade


Indonesia sebagai negara kepulauan perlu untuk beradaptasi dan mewaspadai gempa yang bahkan bisa diikuti tsunami. Widjo Kongko, pakar tsunami sekaligus pejabat Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan adanya potensi gempa megathrust di pesisir Jawa. Pernyataannya menjadi perbincangan masyarakat dan banyak pihak.

“Ada segmen-segmen megathrust di sepanjang selatan Jawa hingga ke Sumba di sisi timur dan di selatan Selat Sunda. Akibatnya, ada potensi gempa megathrust dengan magnitude 8,5 hingga 8,8,” ujarnya di Yogyakarta pada Kamis (19/7).

Indonesia memang rentan mengalami gempa bumi. Apalagi letak negara ini yang berada di lingkaran cincin api (ring of fire). Dalam satu bulan, terjadi sekitar 400 kali gempa bumi di Indonesia. Sebab secara geologis, wilayah Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Benua Eurasia, lempeng Samudra Indo-Australia, dan lempeng Samudra Pasifik.

Jika dirunut ke belakang, sebenarnya sejak tahun 1700an, BMKG mencatat telah terjadi gempa bumi di Indonesia, sehingga ritme ini akan berulang. Indonesia sebagai negara kepulauan perlu untuk beradaptasi dan mewaspadai gempa yang bahkan bisa diikuti tsunami kapan pun. Sebab dalam 20 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan ratusan ribu nyawa akibat bencana ini.

Penulis: Yosepha Pusparisa  Editor: Aria W. Yudhistira




Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat

Salah satu penyebab semakin parahnya dampak bencana adalah lemahnya strategi penanggulangan bencana, terutama karena prosesnya yang berjalan dari atas ke bawah (top-down) dan mengabaikan potensi sumberdaya masyarakat setempat. Pengabaian terhadap kapasitas masyarakat itu kadang juga meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap risiko bencana.

Karena hal tersebut di atas muncul manajemen risiko bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk management) yang pada dasarnya menegaskan bahwa program manajemen risiko bencana perlu menggunakan pendekatan berbasis komunitas.

Dalam hal ini masyarakat diberi kesempatan kesempatan lebih luas dan peran lebih aktif dalam manajemen risiko bencana. Ini berarti masyarakat dengan tingkat kerentanan yang tinggi akan dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan manajemen resiko bencana.

Pelibatan masyarakat dilaksanakan dari tindakan pencegahan, langkah-langkah kesiap-siagaan, tindakan tanggap bencana, serta tindakan pemulihan setelah terjadi bencana. Pendekatan ini percaya bahwa bahwa masyarakat yang selalu waspada dan siap menghadapi resiko bahaya yang mungkin terjadi di lingkungan mereka, cenderung lebih tahan banting, serta mampu meningkatkan ketahanan diri mereka sendiri.

Setiap individu, masyarakat akan terlibat aktif dalam mengenali berbagai ancaman yang ada di wilayahnya, bagaimana mengurangi ancaman atau bahaya dan kerentanan yang dimilki, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman.

Bahwa, masyarakat adalah elemen terpenting dalam pelibatan kewaspadaan akan resiko bencana. Bahwa masyarakat harus di EDUKASI dengan memperhatikan kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat.

Kondisi yang terjadi di lapangan, tidak semua masyarakat paham dan mengerti apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana datang. Upaya2 dari stakeholder kebencanaan menjadi hal yang amat vital untuk duduk bersama memikirkan dan melakukan aksi nyata dalam pengurangan resiko bencana.

Kamis, 01 Agustus 2019

BNPB MENAWARKAN PENTAHELIX UNTUK SOLUSI PRB


Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, menjelaskan penerapan konsep Pentahelex itu harus melibatkan lima pihak yakni akademisi (academician), pelaku bisnis (business), komunitas (community), pemerintah (government), dan media. Jika kelima unsur tersebut dapat bersinergi maka mitigasi risiko di Indonesia akan berjalan dengan baik.

"Kata kuncinya tetap sama: gotong royong yang merupakan implementasi dari sila Pancasila," katanya di puncak peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 2019 yang di gelar di Sesko AU, Lembang, Jawa Barat, Jumat (26/4/201).

Letjen Doni Monardo seusai penanaman mangrove di Pantai Laguna Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dalam rangkaian Ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) Tsunami 2019 pada Selasa (30/7/2019) mengungkapkan masyarakat pesisir agar segera mencari tempat yang aman apabila terjadi gempa skala besar.

Terlebih jika gempa terjadi dalam jangka waktu lama dan berpotensi menyebabkan tsunami. Ia juga mengungkapkan semua daerah tak punya alat deteksi dini tsunami.
"Ketika ada gempa tidak semua daerah mempunyai sistem peringatan dini, tidak semua masyarakat pakai Hp. (Maka) masyarakat diajari kalau ada gempa besar dengan waktu relatif lama tidak usah menunggu peringatan dini," kata Doni.

Doni menambahkan jika gempa dalam durasi lama maka secepatnya masyarakat di pesisir meninggalkan lokasi dan pergi menyelamatkan diri sejauh mungkin. Sebab masyarakat hanya diberi tenggat waktu tiga menit saja untuk menyelamatkan diri.

"Karena tidak semua daerah punya peringatan dini, kalau yang punya (sistem) peringatan dini alhamdulillah. Kalau yang tidak punya, otomatis kesadaran segera tinggalkan kurang dari tiga menit," ujar Doni.

Saat gempa dan tsunami di Palu, peringatan dini baru keluar pada menit kelima usai terjadinya gempa.

Dalam kesempatan itu Doni juga meminta para pemilik resort maupun hotel di kawasan pesisir agar membangun sistem keamanan demi keselamatan bersama saat gempa dan tsunami terjadi.

Doni lantas menuturkan agar tiap-tiap insan menyadari jika Indonesia rentan terjadi gempa dan tsunami. "Presiden dua minggu yang lalu mengatakan, sampaikan apa adanya," kata Doni seusai penanaman mangrove di Pantai Laguna Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, dalam rangkaian Ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) Tsunami 2019, Selasa (40/7/2019).

Doni menyebutkan rentetan bencana gempa dan tsunami yang terjadi di masa lalu. Antara lain tsunami yang terjadi 19 Agustus 1977 di Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali dan Jawa Timur.

"1992 tsunami di Flores, korbannya sangat banyak. Kemudian 1994 kejadian di Banyuwangi. Kalau dilihat lagi, mendekati kemarin di Aceh tahun 2004, kemudian Nias, Mentawai, Enggano, Selat Sunda dan terakhir Pelabuhan Ratu," kata Doni.
Ribuan tahun yang lalu, lanjut Doni, juga pernah terjadi tsunami besar seperti di Aceh. Bahkan bencana tersebut tidak hanya terjadi sekali saja.

"Suatu saat akan terulang, karena alam mencari keseimbangan. Terjadilah gesekan, pergerakan lempeng, maka timbul pelepasan energi gempa lebih dari 8 skala richter," jelas Doni.(*sumber; Kompas)