Sendai Framework for DRR 2015 -
2030 (SFDRR) adalah hasil dari Konferensi Dunia untuk pengurangan risiko
bencana (PRB) yang ke-3 dan merupakan kerangka internasional melanjutkan Hyogo
Framework for Action (HFA). Disana mengamanatkan perubahan dari pengelolaan
bencana ke pengelolaan risiko dan penekanan partisipasi multi pihak dalam upaya
mengurangi risiko, termasuk penyandang disabilitas.
Di tingkat nasional, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memberikan perhatian khusus
terhadap PRB yang inklusif dengan menerbitkan Peraturan Kepala (Perka) BNPB
Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di bidang Penanggulangan
Bencana dan Perka BNPB Nomor 14 Tahun 2014 terkait Penanganan, Perlindungan dan
Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana.
Peraturan-peraturan ini memberikan mandat bahwa perempuan dan penyandang
disabilitas perlu dilibatkan dalam semua tahapan PRB,
Guna mensosialisasikan apa yang
dipesankan di atas, tidak terlalu salah jika sekretariat bersama relawan
penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM) mengajak kawan-kawan penyandang
disabilitas untuk berbagi ilmu dengan jalan mengundang hadir di acara Arisan
Ilmu Nol Rupiah, sebagai upaya meningkatkan kemampuan komunitas dalam
berpartisipasi menanggulangi kebencanaan dan mengurangi risiko.
Hal ini sejalan dengan peraturan daerah provinsi Jawa timur
nomor 3 tahun 2013, tentang Perlindungan dan Pelayanan bagi Penyandang
disabilitas, jelas disebutkan bahwa dengan memberikan perlindungan kepada para
penyandang disabilitas, maka hak konstitusional penyandang disabilitas terjamin
dan terlindungi sehingga penyandang disabilitas dapat mandiri dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta terhindar dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Namun, praktek di lapangan,
Program kebijakan pemerintah bagi penyandang disabilitas (penyandang cacat)
cenderung berbasis belas kasihan (charity), sehingga kurang
memberdayakan penyandang disabilitas untuk terlibat dalam berbagai masalah.
Ya begitulah nyatanya, penyandang
disabilitas di Tanah Air masih saja mengalami berbagai diskriminasi dalam
pemenuhan haknya. Kehadiran negara juga dirasa kurang dalam memberikan jaminan
dan perlindungan bagi penyandang disabilitas.
Melalui
kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah, Mereka yang menyandang disabilitas
perlu diberi tahu dan diajak berperan serta dalam pengurangan risiko bencana
maupun penanggulangan bencana, sesuai kapasitas dan kondisi fisiknya. Sungguh,
mereka sesungguhnya bisa dilibatkan dalam kerja-kerja kemanusiaan. Misalnya di
bidang pendataan, bantuan komunikasi, pencatatan sirkulasi logistik, dapur
umum, dan trauma healing.
Dengan kata lain, kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah ini, mengajak
semua orang untuk peduli ikut membantu teman-teman disabilitas agar bisa
bergerak dengan nyaman dan aman, tanpa memandang masalah SARA. Sungguh, kalau bukan kita yang mendukung mereka, siapa lagi?
Pertanyaannya kemudian, bagaimana
cara mendatangkan kawan2 penyandang disabilitas ke Joka untuk ikut bersama
berbagi ilmu dalam acara Arisan Ilmu?. Mungkinkan Dinas Sosial berkenan
memfasilitasi kawan2 untuk datang? Sementara SRPB sendiri belum mempunyai media
untuk mendatangkan mereka. Semoga tulisan ini menjadi penggugah rasa empati dan
rasa peduli terhadap kawan-kawan yang menyandang disabilitas di sekitar. [eBas]