Hari Jumat pon (22/03/2024), saya ikut webinar ngabuburit (ngaji bareng urusan bencana untuk masyarakat inklusi dan tangguh), dengan tema “Pembekalan Psikologis bagi Relawan Bencana, Apa Pentingnya ?”. kegiatan ini dimotori oleh Yayasan Kinanta, Bandung.
Ya, dari ke tiga nara sumber mengatakan bahwa pembekalan pengetahuan tentang psikologi sangat penting. Baik terkait psikologis untuk diri pribadi, sesama relawan, serta kondisi psikologis para penyintas. Sehingga dalam menjalankan perannya di lokasi bencana, tidak mengalami stress yang berlebih, dikarenakan kesibukan yang seakan tiada hentinya.
Saking sibuknya relawan dalam membantu BNPB/BPBD, muncul pertanyaan dari peserta webinar, Apakah bisa dikatakan relawan adalah ujung tombak sebuah kebehasilan misi di lapangan saat respon bencana ?.
Dari pertanyaan ini, saya jadi ingat Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dimana peran relawan di masa darurat, diantaranya adalah Pencarian, penyelamatan dan evakuasi warga masyarakat terkena bencana. Penyediaan dapur umum, Penyediaan tempat penampungan/hunian sementara, Perlindungan kepada kelompok rentan dengan memberikan prioritas pelayanan, Pendampingan psikososial korban bencana. Dan kegiatan lain “atas permintaan” Pos Komando Utama.
Tentunya dalam melakukan perannya, harus sepengetahuan Posko yang memiliki fungsi koordinasi dan komando. Ini penting untuk menghidari kesalah pahaman dan tumpang tindih pekerjaan di lapangan. Walaupun nyatanya memang masih sering terjadi.
Jadi, kalau ada yang mengatakan relawan sebagai ujung tombak suksesnya penanganan bencana, ya perlu dipikir ulang. Karena, masih kata salah seorang nara sumber, nyatanya masih banyak relawan yang berangkat ke lokasi tanpa bekal penguasaan masalah psikologis. Mereka hanya modal nekat karena ingin membantu sesamanya dengan ikhlas sesuai panggilan kemanusiaan.
Padahal, menurut paparan nara sumber, sebelum turun ke lokasi, relawan harus memahami prinsip-prinsip kerja kemanusiaan, memahami prinsip dan etika dalam membantu masyarakat terdampak bencana, menghormati keberagaman dan budaya korban bencana,
Mungkin prinsip di atas itu diperuntukkan kepada relawan sebagai pekerja kemanusiaan yang mendapat bayaran, bukan relawan yang datang dari komunitas dengan mengandalkan panggilan jiwa dan bekerja berdasarkan perasaan sesuai pengalaman.
Bahkan, saking semangatnya menolong orang lain, ada yang berkomentar bahwa di beberapa kasus, banyak juga relawan yang terlalu bersemangat untuk ikut setiap kegiatan tanggap darurat, sehingga berdampak pada tanggung jawab keluarga yang cenderung dikesampingkan.
Jelas kerja-kerja nekat seperti di atas tidak dimiliki (bahkan tidak dianjurkan) bagi relawan jenis pekerja kemanusiaan, yang cara kerjanya berdasar kontrak kerja profesional dengan aturan tertentu yang mengikat. Mereka ini tampaknya juga harus paham tentang Core Humanitarian Standard (CHS) dalam kerja-kerja kemanusiaan.
Dalam webinar itu, pemapar materi juga sempat menyebut istilah “relawan lepas” untuk mereka yang ke lokasi bencana hanya mengandalkan semangat dan modal nekat saja.
Sungguh, baru dalam webinar ini saya mendengar istilah “Relawan lepas”. Semoga bukan mencibir dan merendahkan relawan yang datang ke lokasi berbasis rasa kemanusiaan ingin menolong sesamanya.
Bukan pula sebuah sindirian kepada relawan yang belum paham tentang pentingnya memahami materi psikososial sebelum ke lokasi bencana, apalagi CHS yang baru disahkan oleh para pekerja kemanusiaan. Karena, sesungguhnyalah pedoman yang seperti itu tampaknya untuk pekerja kemanusiaan, bukan “relawan lepas” yang konon bagian disuruh-suruh, dan angkat-angkat. Salam Waras [eBas/MingguKliwon-24032024]