Minggu, 24 Maret 2024

PERLUKAH PEMBEKALAN PSIKOLOGIS BAGI RELAWAN LEPAS

 Hari Jumat pon (22/03/2024), saya ikut webinar ngabuburit (ngaji bareng urusan bencana untuk masyarakat inklusi dan tangguh), dengan tema “Pembekalan Psikologis bagi Relawan Bencana, Apa Pentingnya ?”. kegiatan ini dimotori oleh Yayasan Kinanta, Bandung.

 Ya, dari ke tiga nara sumber mengatakan bahwa pembekalan pengetahuan tentang psikologi sangat penting. Baik terkait psikologis untuk diri pribadi, sesama relawan, serta kondisi psikologis para penyintas. Sehingga dalam menjalankan perannya di lokasi bencana, tidak mengalami stress yang berlebih, dikarenakan kesibukan yang seakan tiada hentinya.

 Saking sibuknya relawan dalam membantu BNPB/BPBD, muncul pertanyaan dari peserta webinar, Apakah bisa dikatakan relawan adalah ujung tombak sebuah kebehasilan misi di lapangan saat respon bencana ?.

 Dari pertanyaan ini, saya jadi ingat Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dimana peran relawan di masa darurat, diantaranya adalah  Pencarian, penyelamatan dan evakuasi warga masyarakat terkena bencana. Penyediaan dapur umum, Penyediaan tempat penampungan/hunian sementara, Perlindungan kepada kelompok rentan dengan memberikan prioritas pelayanan, Pendampingan psikososial korban bencana. Dan kegiatan lain “atas permintaan” Pos Komando Utama.

 Tentunya dalam melakukan perannya, harus sepengetahuan Posko yang memiliki fungsi koordinasi dan komando. Ini penting untuk menghidari kesalah pahaman dan tumpang tindih pekerjaan di lapangan. Walaupun nyatanya memang masih sering terjadi.

 Jadi, kalau ada yang mengatakan relawan sebagai ujung tombak suksesnya penanganan bencana, ya perlu dipikir ulang. Karena, masih kata salah seorang nara sumber, nyatanya masih banyak relawan yang berangkat ke lokasi tanpa bekal penguasaan masalah psikologis. Mereka hanya modal nekat karena ingin membantu sesamanya dengan ikhlas sesuai panggilan kemanusiaan.

 Padahal, menurut paparan nara sumber, sebelum turun ke lokasi, relawan harus memahami prinsip-prinsip kerja kemanusiaan, memahami prinsip dan etika dalam membantu masyarakat terdampak bencana, menghormati keberagaman dan budaya korban bencana,

 Mungkin prinsip di atas itu diperuntukkan kepada relawan sebagai pekerja kemanusiaan yang mendapat bayaran, bukan  relawan yang datang dari komunitas dengan mengandalkan panggilan jiwa dan bekerja berdasarkan perasaan sesuai pengalaman.

 Bahkan, saking semangatnya menolong orang lain, ada yang berkomentar bahwa di beberapa kasus, banyak juga relawan yang terlalu bersemangat untuk ikut setiap kegiatan tanggap darurat, sehingga berdampak pada tanggung jawab keluarga yang cenderung dikesampingkan.

 Jelas kerja-kerja nekat seperti di atas tidak dimiliki (bahkan tidak dianjurkan) bagi relawan jenis pekerja kemanusiaan, yang cara kerjanya berdasar kontrak kerja profesional dengan aturan tertentu yang mengikat. Mereka ini tampaknya juga harus paham tentang Core Humanitarian Standard (CHS) dalam kerja-kerja kemanusiaan.

 Dalam webinar itu, pemapar materi juga sempat menyebut istilah “relawan lepas” untuk mereka yang ke lokasi bencana hanya mengandalkan semangat dan modal nekat saja.

 Sungguh, baru dalam webinar ini saya mendengar istilah “Relawan lepas”. Semoga bukan mencibir dan merendahkan relawan yang datang ke lokasi berbasis rasa kemanusiaan ingin menolong sesamanya.

 Bukan pula sebuah sindirian kepada relawan yang belum paham tentang pentingnya memahami materi psikososial sebelum ke lokasi bencana, apalagi CHS yang baru disahkan oleh para pekerja kemanusiaan. Karena, sesungguhnyalah pedoman yang seperti itu tampaknya untuk pekerja kemanusiaan, bukan “relawan lepas” yang konon bagian disuruh-suruh, dan angkat-angkat. Salam Waras [eBas/MingguKliwon-24032024]

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 22 Maret 2024

PERAN KELOMPOK RENTAN DALAM KEDARURATAN, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

 Seperti diketahui, kelompok rentan adalah masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam menikmati kehidupan yang layak. Dalam kebencanaan, kelompok rentan, merujuk pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terhadap dampak bencana.

 Kelompok ini berada dalam situasi dan kondisi yang kurang memiliki kemampuan mempersiapkan diri dalam menghadapi risiko bencana atau ancaman bencana

 Mereka yang termasuk kelompok rentan itu adalah orang lanjut usia, orang sakit, perempuan hamil/menyusui, anak-anak, penyandang disabilitas, serta masyarakat termarginalkan.

 Konon, di berbagai peristiwa bencana, mayoritas yang menjadi korban adalah kelompok rentan. Seperti orang lanjut usia, perempuan, anak-anak dan kaum difabel. Bahkan, untuk perempuan dan anak seringkali mendapat perlakuan yang tidak baik. Seperti pelecehan seksual dan dieksploitasi untuk kepentingan tertentu.

 Untuk itulah, dalam praktek Pengurangan risiko bencana, hendaknya dapat melibatkan partisipasi mereka. Sehingga kebutuhan mereka akan terlayani dengan baik ketika terjadi bencana. Sekaligus keberadaan mereka juga terlindungi dari tindakan yang merugikannya dari oknum yang tidak bertanggung jawab.

 Kelompok rentan, khususnya perempuan dan kelompk difabel tertentu, kiranya dapat dilibatkan dalam kerja-kerja pada situasi kedaruratan. Diantaranya terlibat dalam pengelolaan dapur umum, layanan dukungan psikososial, shelter pendidikan, serta bidang lain yang memungkinkan kaum perempuan dan difabel turut berperan serta tanpa menimbulkan beban baru.

 Pertanyaannya kemudian, bencana yang bagaimana yang memungkinkan mereka dilibatkan ?. kalau hanya bencana banjir yang cuma dua tiga hari saja, mungkin mereka cukup dilibatkan dalam mengelola di tempat pengungsian saja.

 Sementara, realita di lapangan, ketika terjadi bencana, kelompok rentan ini masih belum diberdayakan. Masih menjadi korban yang perlu diselamatkan dan dilayani sama seperti korban lainnya. Padahal mereka itu sesungguhnya berbeda kebutuhannya, berbeda pula pelayanannya.

 Ya, memang seharusnyalah, kelompk rentan ini mendapat pelayanan yang berbeda dengan pengungsi di luar kelompok rentan. Diantaranya tentang permakanan, keperluan sandang, fasilitas MCK , dan tempat pengungsian yang sesuai dengan kondisi mereka.

 Disinilah peran relawan untuk melakukan pengamatan apakah tempat pengungsian sudah ramah bagi kelompok rentan (khususnya penyandang difabel), mendata keberadaan kelompok rentan, sekaligus “mengawasi” untuk kemudian dilaporkan ke Posko Induk agar mendapat perhatian terkait dengan pemenuhan kebutuhannya.

 Relawan juga dapat mengedukasi sekaligus memotivasi para penyintas, untuk bersemangat bangkit secara ekonomi, untuk mengembalikan kesejahteraannya dalam arti luas (daya lenting). Tidak berlama-lama larut dalam kesedihan, merenungi nasibnya.

 Disamping itu, relawan juga harus memastikan tidak ada kekerasan terhadap kelompok rentan. Baik ketika di tempat pengungsian, maupun saat membangun kehidupannya pasca bencana.

 Sungguh keberadaan kelompok rentan ini memang perlu mendapat perhatian, namun sering kali terlupakan karena berbagai alasan. Atau, sudah dilakukan oleh pekerja kemanusiaan” (relawan yang bekerja di bawah lembaga kemanusiaan), namun lupa tidak dipublikasikan. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/SabtuWage-23032024 dini hari]

 

 

 

 

 

Selasa, 12 Maret 2024

ADA APA DENGAN BANG SUL

                  Seiring bencana banjir mengunjungi beberapa daerah dengan segala dampak yang ditimbulkan, tiba-tiba Bang Sul, Ketua Komunitas menyatakan keluar dari grup whatsapp pengurus, mundur dari kepengurusan, dengan alasan, akan fokus ngurusi keluarga. sebuah alasan yang manusiawi,dan patut dihargai

Lho, ada apa kok mendadak tanpa dikonsultasikan dulu ke dewan pengarah, dewan penasihat, dan dewan pembina.

Lha kalau keberadaan para dewan itu tidak “digubris”, mengapa harus dibentuk ?. Sebenarnya, tugas para dewan itu apa to ?. belum jelas, belum ada kesepakatan.  

Kalau mau jujur, mereka yang duduk di barisan dewan itu ya atas penunjukan, bukan kemauan sendiri, serta belum saling mengenal. Bahkan ada yang belum pernah bertemu dalam sebuah rapat sambil ngopi membahas masalah keorganisasian.

Bahkan, sebagai komunitas, senyatanya belum pernah mengadakan rapat paripurna antar pengurus untuk membahas program kerja komunitas.

Agenda pertemuan rutin yang digelar pun jarang dihadiri oleh pengurus dan anggota dewan secara lengkap. Sehingga yang dibahas pun  hanya program insidental, yang mendukung program komunitas lain.

Seperti pertemuan beberapa hari yang lalu, membahas tentang tata cara dan aturan main ikut turun ke lokasi kejadian/bencana, agar tidak menimbulkan salah paham, juga sempat membahas tentang iuran, dan pengadaan seragam organisasi.

Namun begitu, walau tanpa program kerja yang disusun dan disepakati, beberapa anggotanya  rajin melakukan pertolongan di setiap kejadian. khususnya kecelakaan lalu lintas, maupun di perairan. Hal ini dilatari dengan pengalaman di organisasi induknya. Karena sesungguhnyalah komunitas yang dipimpin Bang Sul belum pernah mengadakan pelatihan peningkatan kapasitas anggotanya.

Tidak lupa, setiap turun ke lokasi kejadian, mereka dengan bangga memakai seragam dalam rangka "mengibarkan" bendera komunitas agar khalayak ramai tahu akan keberadaannya.

Lha kalau tiba-tiba Bang Sul, sebagai ketua. mengundurkan diri secara sepihak, bagaimana akan dapat mewujudkan rencana yang tertuang dalam notulensi pertemuan beberapa hari yang lalu itu ?. termasuk bagaimana nasib pencarian bantuan alat perlindungan diri (APD).

Ya, mundurnya Bang Sul pasti dikarenakan adanya “kesalah pahaman”. Sayangnya Bang Sul tidak mau mengkonsultasikan uneg-unegnya ke anggota dewan, yang belum tahu perannya di dalam komunitas.

Ya, karena memang belum pernah membahas tupoksinya dalam sebuah jagongan gayeng sambil ngopi, dengan alasan yang tak bertepi.

Sungguh, apa yang dilakukan Bang Sul, akan berdampak pada perjalanan komunitas ke depannya. Anggota pun pasti akan ikut undur diri dari komunitas yang usianya masih seumur jagung.

Bagai anak ayam kehilangan induk, semua anggota komunitas akan berjalan sendiri sesuai nurani, bukan berjalan sesuai aturan organisasi.

Dengan kosongnya posisi ketua, seharusnya segera diambil langkah cepat untuk menyelamatkan komunitas. Eman seragamnya yang masih baru, jika komunitas tidak diselamatkan.

Namun karena sekarang sudah masuk bulan ramadhan, maka tidak elok jika aktivisnya ngurusi organisasi dengan mengesampingkan datangnya bulan suci yang penuh ampunan dan berkah ini. 

Untuk itulah, jika semua aktivis masih menghendaki bendera komunitas tetap berkibar, maka mau tidak mau, nanti pasca lebaran harus ada tindakan nyata untuk menata kembali komunitas dengan segala cita-cita, harapan dan kebijakan yang diambil untuk mengatur pergerakan anggota komunitas dalam kerja-kerja kemanusiaan.

Tanpa ada acara “duduk bareng  maka “kesalah pahaman” yang dialami Bang Sul akan selalu muncul karena adanya “ketidak sepahaman” dalam melaksanakan aturan main, yang senyatanya belum pernah dibahas.

Artinya, jika komunitas itu ingin sehat dan bermakna dalam berkarya, ya harus ada agenda rapat rutin antar pengurus maupun pengurus dengan anggota dalam rangka upaya peningkatan wawasan dan kapasitas. Termasuk memahami hak dan kewajiban relawan sesuai perka bnpb nomor 17 thn 2011.

Konon, setiap tindakan pasti ada konsekwensinya. Begitu juga jika seseorang menyatakan diri masuk ke sebuah organisasi, ada konsekwensi yang harus diambil. Diantaranya harus mau meluangkan waktunya untuk menghadiri agenda rapat organisasi.

Beda lho ngomong langsung bertatap muka dengan komentar di WhatsApp, yang terkadang menimbulkan mis komunikasi. Sungguh, membangun “chemistry” itu harus dilakukan dengan interaksi langsung. Bukan lewat WhatsApp. Apalagi ini komunitas "nir laba" yang sangat rentan pisahan.

Karena, sesungguhnya sebagai makhluk sosial setiap orang ingin bersosialisasi dengan sesamanya, ngobrol bareng, begejesan sambil ngopi, berbagi informasi dan sebagainya. Tidak tertutup kemungkinan dari interaksi itu muncul transaksi ekonomi yang saling menguntungkan. Termasuk ketemu jodoh dan besanan.

Idealnya sih begitu. Tapi kalau hanya sekedar titip nama untuk sebuah kebanggaan diri, ya itu urusan masing-masing. Wallahu a’lam bis showab. Selamat menunaikan ibadah puasa ramadhan dengan penuh suka cita dan bahagia. Mohon maaf lahir dan batin. [eBas/SelasaPon-12032024 pas awalpuasa ramadhan versipemerintah]

 

 

 

Minggu, 10 Maret 2024

JAMAAH LC MEMASUKI TAHUN KE 4

     Tidak terasa keberadaan Jamaah Lorong eduCation (LC) sebagai wadah relawan dari berbagai komunitas, telah memasuki tahun ke empat. Tentunya, selama berinteraksi di basecampnya, banyak warna warni kejadian yang muncul menemani obrolan, sambil ngopi dan berbagi informasi.

     Berbagai kegiatan kolaboratif yang diinisiasi lewat obrolan  insidental, telah berjalan lancar di luar ekspektasi, bahkan telah menginspirasi komunitas lain untuk membuat aksi dalam skala yang lebih luas lagi. Semua itu karena keberadaan Jamaah LC sudah dikenal.

     Ya, begitulah Jamaah LC yang selama ini tidak memiliki struktur kepengurusan, juga tidak memiliki program. Mengalir begitu saja, yang penting guyub rukun dalam menjalin silaturahmi sambil wedangan (ngopi, nge-Teh, dan lainnya sesuai selera).

     Sehingga, dapat dikatakan bahwa semua program yang dijalankan itu berawal dari gagasan yang muncul saat anggota Jamaah LC ngobrol santai di basecamp. Untuk kemudian jika gagasan itu menarik, langsung ditindak lanjuti dalam sebuah aksi.

     Tercatat ada beberapa kegiatan kolaborasi yang dilakukan. Diantaranya, Diskusi konservasi dan penanaman mangrove, Bersih-bersih Benteng Kedung Cowek, Berbagi Nasi bungkus, Halal bi Halal antar komunitas, Pelatihan untuk peningkatan kapasitas, mengadakan sosialisasi pengurangan risiko bencana di berbagai kalangan, dan sebagainya.

     Saat ada bencana, beberapa relawan anggota Jamaah LC juga ada yang berpartisipasi di lokasi bencana sesuai sesuai arahan induk organisasinya serta kemampuannya. Di lingkungan Jamaah LC tidak ada keharusan anggotanya untuk terjun langsung ke lokasi bencana. Karena relawan itu sifatnya hanya membantu dengan sukarela.

     Tahun 2024 yang juga disebut tahun politik karena berbarengan dengan pemilihan presiden, Jamaah LC memasuki tahun yang ke empat, dengan jumlah anggota yang tercatat dalam grup whatsapp sebanyak 40 orang dari berbagai komunitas relawan.

     Dari jumlah itu, banyak yang pasif karena kesibukan kerja yang membelenggu kehadirannya di basecamp. Hanya beberapa saja yang aktif jagongan di basecamp untuk mencari inspirasi membuat aksi. Sedang lainnya juga tetap bersemangat memberi dukungan moral dari rumah masing-masing.

     Memasuki bulan Maret, beberapa kegiatan sudah dilaksanakan. Di antaranya, Pelatihan medical first renponder (MFR) and Moving Transportasion, serta Pengenalan Pengenalan Radio Komunikasi (HT) bagi pemula. Karena alasan tertentu, peserta dibatasi jumlahnya.

     Sementara kerja-kerja kolaboratif dengan para pihak, juga tetap berjalan sesuai kemampuan dan kesempatan. Bahkan untuk yang ke tiga kalinya sebuah Yayasan Asar Humanity dari Jakarta, menggandeng Jamaah LC untuk membantu membagikan produk mamasuka, berupa mayones, saos tomat, abon rumpit laut, tepung roti, dan sejenisnya, kepada masyarakat yang pantas menerimanya.

     Menjelang bulan ramadhan pun, beberapa aktivis Jamaah LC berkesempatan “rembugan” untuk merencanakan kegiatan di bulan yang penuh ampunan dan barokah, maupun nanti pasca ramadhan. Termasuk rencana Halal bi Halal.

     Beberapa komunitas pun berkesempatan dolan ke basecamp LC dalam rangka memperluas jejaring kemitraan sekaligus menjajagi kemungkinan berkolaborasi dalam aksi yang bermanfaat bagi sesama. Seperti pengurus FORMALITAS (forum bersama lintas komunitas), Pusat Krisis dan Pengembangan Komunitas (PKPK) Unair. Beberapa dosen pun juga pernah mampir, jagongan sebagai sesama pegiat kebencanaan.

     Ya, di tahun yang ke empat ini, jika memungkinkan Jamaah LC perlu mengadakan musyawarah bersama untuk melakukan evaluasi serta bersama menguatkan aksi agar semangat berjamaah itu tetap seperti awal terbentuknya di Warkop Lorong Cafe, yang berada di daerah dukuh kupang, Surabaya barat.

     Satu hal yang perlu disadari adalah, masing-masing anggota sudah banyak yang menurun aktivitasnya untuk “ber-jagongan-ria” di basecamp.  karena tuntutan hidup demi kesejahteraan keluarga dalam arti luas. Ya begitulah takdir kehidupan, semua ada waktunya untuk undur diri dari kegiatan komunitas. Itu sangat manusiawi, tidak seperti dulu lagi.

     Inilah takdir kehidupan yang tidak dapat dihindari. Untuk itulah, tidak ada salahnya jika semua anggota Jamaah yang jumlahnya 40 orang itu perlu bersuara, akan dibawa kemana Jamaah LC ini. Dibiarkan mati perlahan karena pelan-pelan, dan mulai ditinggalkan anggotanya. Atau bagaimana ?, keputusan ada di tangan semua anggota.

     Yang jelas, sampai tahun ke 4 ini, keberadaan Jamaah LC telah berhasil “mewarnai” berbagai pihak, khususnya anggota LC dalam kiprahnya di bidang kebencanaan. Semua kiprahnya terdokumentasikan di berbagai media sosial. Inilah jejak digital yang akan menjadi kenangan dan susah dihilangkan.

     Semoga di acara Halal bi Halal nanti, semua anggota grup whatsapp Lorong eduCation dapat hadir lengkap untuk kemudian menyepakati keberlanjutan Jamaah LC dengan segala dinamikanya, atau ada usulan lain yang lebih inovatif, cerdas dan berdaya guna dari anggota. Waktulah yang akan bicara. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/SeninPahing dini hari-11032024]

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

  

 

 

Sabtu, 09 Maret 2024

CAK MUSLIMIN

     Beberapa hari yang lalu, dalam komentarnya di Facebook, dia bilang,  sesungguhnyalah dirinya ingin bersemuka dengan kawan-kawan sesama pegiat olah raga alam bebas seperti dulu, sebelum pekerjaan menyita waktunya dan membatasi langkahnya.

     “Maunya sih senang berkumpul dengan teman-teman se misi dan sejalan perjuangan. Tapi apa daya kerjaan sering kena shift malam. Jadi ya maaf belum dapat hadir,” Komentarnya.

     Sungguh, apa yang dikatakan Cak Muslimin itu merupakan sebuah fase perjalanan setiap orang. Artinya, akan tiba saatnya untuk mulai meninggalkan aktivitas ‘out door’, berganti mengutamakan urusan domestik, terkait dengan kesejahteraan keluarga dalam arti luas, yang menyita waktu dan menguras tenaga.

     Ya, Cak Muslimin sudah berada di jalan yang benar dengan mengutamakan pekerjaan, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pada waktunya nanti, semua juga akan mengikuti jejak Cak Muslimin. Begitulah hidup, datang dan pergi, semua akan berganti.

     Ya, siapa sih yang tidak kenal dengan Cak Muslimin ?. Sosok yang telah malang melintang di aktivitas kepecinta alaman. Kepeduliannya kepada upaya pelestarian lingkungan alam sudah tidak diragukan lagi. Berbagai organisasi dan komunitas sudah pernah diakrabi dengan suka dukanya.

     Cak Muslimin, pada jamannya, juga sering menginisiasi sebuah aksi kemanusiaan dan lingkungan. Dengan demikian mereka yang aktif di kegiatan alam bebas, pastilah kenal dengan pria berpostur semampai ini. Kini, usia Cak Muslimin sudah tidak muda lagi. Pekerjaan utamanya juga telah menghalangi waktunya untuk beraktivitas di luar.

     Sejalan dengan usia yang semakin menua, alangkah bijaknya jika mulai mengurangi peran di komunitas. Memberi kesempatan kepada yang muda untuk “berkarya dan bergaya”. Cak Muslimin telah memulainya untuk memberi kesempatan kepada yuniornya.

 Karena sesungguhnyalah yang namanya proses regenerasi itu sangat diperlukan, bahkan wajib dipersiapkan oleh setiap komunitas, jika ingin roda komunitas terus berputar dengan segala dinamika dan eksistensinya.

     Beberapa literatur mengatakan bahwa regenerasi dapat didefinisikan sebagai suatu perpindahan tongkat estafet dalam berorganisasi dari generasi yang lebih senior ke generasi yang lebih yunior.

     Dengan kata lain, regenerasi ini untuk mempertahankan sebuah komunitas agar tetap berjalan dan menggapai tujuannya. Jika tidak ada regenerasi maka komunitas itu akan tinggal papan nama yang tidak bermakna. Hanya akan ada dalam cerita tanpa karya nyata.

     Begitulah, Cak Muslimin sudah memulai memberi contoh kepada sebayanya untuk undur diri mengurangi dominasi dalam kegiatan komunitasnya. Sudah mulai mengurangi “cawe-cawe”. Semua diserahkan kepada yang muda. Cak Muslimin semakin “tut wuri handayani”.

     Semoga yang dicontohkan Cak Muslimin tidak disalah pahami oleh sebayanya. Karena sesungguhnyalah regenerasi itu akan datang bila waktunya tiba. Jika tidak disadari maka waktulah yang akan menyudahi keberadaan komunitas untuk kemudian semua tinggal kenangan dan menghilang ditelan perubahan. Naudzubilla min dzalik. [eBas/SabtuKliwon-09032024]

 

 

Senin, 04 Maret 2024

FPRB ITU SETELAH BERDIRI TERUS NGAPAIN (sebuah renungan nakal dari orang yang tidak potensial)

 Konon, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) adalah wadah bagi elemen pentahelix yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi, dunia usaha, media massa, dan masyarakat yang dibentuk untuk mengkaji, memberikan masukan atau rekomendasi sebagai bahan pertimbangan dalam rangka penanggulangan bencana.

 Fungsinya, antara lain, untuk Memotivasi terwujudnya partisipasi semua pemangku kepentingan untuk melakukan pengurangan risiko bencana. Serta ajang Koordinasi semua pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana.

 Mengingat pentingnya keberadaan FPRB, maka ada himbauan dari BNPB/BPBD agar semua daerah segera membentuknya, sesuai amanat dari Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

 Agar keberadaan FPRB tidak disalah pahami, ada baiknya semua pihak mengetahui sepuluh (10) hal tentang FPRB ini. Diantaranya,

1) . FRPB adalah perwujudan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di daerahnya; 2).FPRB terdiri dari perwakilan lembaga usaha, akademisi, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, media massa, donor, organisasi profesi/keahlian, legislative, yudikatif, dan organisasi perangkat daerah, serta relawan penanggulangan bencana;

2) . FPRB adalah mitra BPBD Provinsi maupun BPBD Kab/Kota. FPRB bukan saingan BPBD; 4). FRPB dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007, PP No. 21 Tahun 2008, serta secara spesifik  diatur dalam Perka BNPB  yang dalam proses penyelesaian; 5). FPRB memiliki Visi: Memastikan Pembangunan Daerah Berbasis Pengurangan Risiko Bencana;

 6) . Memastikan kebijakan yang diambil dapat mengurangi risiko bencana saat ini, tidak menambah risiko bencana baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat; 7). Memastikan kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan baik, antara BPBD  dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan lembaga usaha;

 7) . Memastikan anggaran penanggulangan bencana cukup digunakan dalam penanggulangann bencana sesuai dengan risiko bencana di daerahnya; 9). Memastikan pemberdayaan masyarakat  dilakukan di daerah dalam membangun ketangguhan terhadap bencana; 10). Target bersama memastikan 7 Objek Ketangguhan, yaitu Rumah/Hunian, Sekolah/Madrasah, Puskesmas/RS, Pasar, Rumah Ibadah, Kantor, dan Prarasana Vital.

 Harapannya, dengan mengetahui sepuluh hal di atas, semua pihak dapat memahami untuk kemudian berkenan menerimanya dengan membentuk FPRB dengan segala programnya yang mendukung upaya membangun ketangguhan menghadapi bencana, dan adaptasi perubahan iklim.

 Pertanyaannya kemudian, apakah BPBD wajib membentuk FPRB ?. Jika sudah terbentuk terus diapain, mau berbuat apa dan berperan dimana, serta banyak lagi pertanyaan yang bermunculan seputar keberadaan FPRB.

 Sementara, daerah-daerah yang telah membentuk FPRB dan melantik pengurusnya lewat “upacara” yang berbiaya entah dari mana, nyatanya banyak yang berjalan di tempat sambil menunggu “dijawil”. Bahkan ada yang kemunculannya ketika ada acara seremonial saja. Itu pun yang diajak hanya beberapa pengurus saja, sesuai rekues.

 Sedangkan pengurus lain berkegiatan sendiri semampunya, atau diam menyimak nunggu diajak. Bahkan ada yang berkegiatan dengan pihak lain sambil titip pasang logo forum, agar seolah-olah forum telah memiliki program kerja yang dihasilkan dalam rapat.

 Di sisi lain, BPBD pun juga setali tiga uang. Banyak yang masih bimbang dengan keberadaan FPRB yang menjadi mitranya. Akan diajak berkegiatan untuk menjalankan program, namun, nyatanya sudah cukup dikerjakan sendiri oleh karyawan BPBD, sesuai aturan penggunaan anggaran rutin.

 Kalau dipaksakan, ada ketakutan menyalahi aturan, yang dapat berakibat pidana. Disinilah kebijakan pimpinan sangat menentukan dapat tidaknya BPBD “merangkul” FPRB dalam melaksanakan program pengurangan risiko bencana, untuk membangun resiliensi.

 Mungkin, sebelum membentuk FPRB, ada baiknya jika diawali dengan pertemuan dengan berbagai pihak membahas  apa itu forum dengan segala permasalahannya. Termasuk kesiapan SDM semua elemen pentahelix yang akan terlibat dalam forum.

 Artinya pembentukan FPRB itu tidak sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Namun benar-benar berdampak. Baik pada program, kebijakan maupun penerima manfaat. Tidak hanya terbentuk kemudian yang aktif hanya dari unsur tertentu saja, sementara unsur lain baru muncul jika ada “undangan” saja.

 Tentunya upaya membentuk FPRB melalui berbagai pertemuan yang diadakan beberapa kali, dalam rangka berproses, mau tidak mau harus “dimotori” oleh BPBD, yang mempunyai kuasa dan kebijakan. Atau pihak lain yang memiliki “kemampuan”.

 Tanpa itu rasanya keberadaan forum sangat berat untuk dapat berbuat sebagaimana layaknya organisasi. Apalagi berupaya mewujudkan sepuluh hal yang disebut di atas.

 Dengan demikian, tidak terlalu salah jika beberapa BPBD masih enggan menerima kehadiran FPRB di wilayahnya. Banyak faktor yang melatari. termasuk kebijakan setempat. Wallahu a’lam bishowab. Salam Waras. [eBas/SeninKliwon-04032024]

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

Jumat, 01 Maret 2024

BPBD KOTA SURABAYA MENGAJAK RELAWAN IKUT RAPAT KOORDINASI ANTAR PIHAK

   

            Beberapa waktu yang lalu, BPBD Kota Surabaya mengadakan rapat koordinasi, hari rabu (28/02/2024) tentang forum perangkat daerah membahas renja tahun 2025, BPBD Kota Surabaya dan forum konsultasi publik tentang standar pelayanan.

Kegiatan yang berlangsung di Aula BPBD Kota Surabaya, di jalan Jemursari Timur, diikuti oleh berbagai satuan kerja perangkat daerah yang memiliki tugas yang bersentuhan dengan masalah bencana. Serta mengundang beberapa komunitas relawan sebagai perwakilan masyarakat. Salah satunya adalah Jamaah LC  (Lorong eduCation).

Akan tetapi, karena sesuatu dan lain hal, kali ini Jamaah LC berhalangan hadir memenuhi undangan. Namun beberapa anggota Jamaah LC sudah menitipkan beberapa pertanyaan maupun saran untuk disampaikan ke panitia, sebagai bentuk partisipasi aktif Jamaah LC, terhadap program BPBD Kota Surabaya.

Diantara titipan masukan itu adalah, menanyakan apakah BPBD Kota Surabaya sudah memiliki dokumen kebencanaan seperti Kajian Risiko Bencana, Rencana Penanggulangan Bencana, Renkon, dan sejenisnya, Karena dokumen tersebut dapat menjadi rujukan/acuhan dalam penyusunan rencana pembangunan daerah, sehingga upaya pengurangan risiko bencana dapat berjalan.

Sedang usulan lain adalah perlunya relawan Kota surabaya mendapatkan pembinaan, dalam rangka peningkatan kapasitas relawan, sehingga akan memudahkan BPBD melakukan koordinasi dan mobilisasi untuk dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi pengurangan risiko bencana.

Semua yang diusulkan itu tampaknya sejalan dengan visi BPBD Kota Surabaya, yaitu mewujudkan ketangguhan terhadap bencana dan berkelanjutan. Kemudian, dari visi tersebut dituangkan dalam misi. Yaitu memperkuat budaya sadar bencana, Melaksanakan sinergi stakeholder dalam upaya penanggulangan bencana, dan Mengembangkan sistem penanggulangan bencana berbasis sains dan teknologi.

Terkait upaya memperkuat budaya sadar bencana, salah satu cara yang ditempuh adalah melalui program sosialisasi, edukasi pengurangan risiko bencana dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana.

Konon, dalam rapat yang digelar pasca coblosan pemilu, BPBD Kota Surabaya akan melakukan sosialisasi kebencanaan di Sekolah. mulai jenjang PAUD sampai SMA. Namun, dikarenakan kekurangan personil, maka, untuk tahun ini dikonsentrasikan pada jenjang PAUD dan SD.

Sesungguhnyalah, untuk menutup kekurangan personil, BPBD dapat merangkul  komunitas relawan untuk berkolaborasi menggarap program sosialisasi kebencanaan di Sekolah. Tinggal bagaimana mengkomunikasikannya dengan hangat, sesuai kearifan lokal setempat. Ya, semua dapat dibicarakan, untuk mengatasi masalah tanpa masalah.

Artinya, harus di awali dengan acara duduk bareng antara komunitas relawan dengan BPBD, agar saling kenal, sekaligus menyamakan frekwensi untuk membangun kesepahaman tentang peran masing-masing, dalam menjalankan program sosialisasi kebencanaan di Sekolah. Ini penting, agar tidak ada dusta diantara mereka.

Jika acara duduk bareng itu dapat dijadikan media komunikasi dan koordinasi antar pihak, yang dilakukan secara berkala dan partisipatori, tentu akan memudahkan untuk membangun kegiatan bersama, termasuk mewujudkan gagasan terbentuknya F-PRB Kota Surabaya. Wallahu a’lambishowab. [eBas/SabtuPon-02032024]