Senin, 27 November 2017

PENINGKATAN KAPASITAS RELAWAN PENANGGULANGAN BENCANA

Pendidikan dan pelatihan untuk relawan penanggulangan bencana, dalam bentuk apapun merupakan upaya meningkatkan kapasitas relawan dengan harapan mampu secara professional melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan menolong sesama yang tertimpa bencana.

Masing-masing komunitas punya cara dan gaya dalam upaya peningkatan kapasitas relawan. Misalnya obrolan santai Arisan Ilmu Nol Rupiah, yang digagas oleh SRPB Jatim sebagai upaya menambah wawasan dan mempererat paseduluran antar relawan. Begitu juga dengan komunitas yang lain dengan nama yang lain pula, tapi substansinya sama, meningkatkan pengetahuan, dan memperluas wawasan.

Bahkan ada komunitas tertentu, dalam melakukan pembelajarannya, melibatkan langsung masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana. Apalagi, saat ini ada dana desa yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang terkait dengan penanggulangan bencana.

Ini merupakan bentuk kongkrit upaya membangun kesiapsiagaan, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

Tanda bahwa masyarakat itu telah memiliki kesiapsiagaan yang baik adalah, (1) Mampu mengenali ancaman dan memprediksi sebelum terjadinya bencana; (2) Mampu mencegah bencana, jika mungkin; (3) Jika tidak, mampu mengurangi dampaknya; (4) Jika terjadi bencana, mampu menanggulangi secara efektif; dan (5) Setelah bencana terjadi, mampu pulih kembali dengan cepat.

Disamping melakukan peningkatan kapasitas relawan secara terus menerus, sudah waktunya relawan juga memahami tentang aspek inklusi dalam aksi-aksi kemanusiaan. Artinya, aksi kemanusiaan yang dilakukan relawan itu harus dapat memberikan manfaat bagi semua orang yang terkena bencana, termasuk penyandang disabilitas.

Bahkan merekalah kelompok berisiko tinggi  yang akan mengalami dampak yang lebih besar karena hambatan lingkungan. Ini terjadi akibat dilupakannya (terlupakan) keberadaan penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana.

Dalam brosur pengurangan risiko bencana inklusif yang dikeluarkan USAID, mengatakan bahwa penyandang disabilitas termasuk kelompok berisiko tinggi terhadap bencana. Hambatan lingkungan yang dihadapi penyandang disabilitas saat  tanggap bencana, dapat berupa fisik, seperti akses bangunan, ketersediaan toilet, serta alat informasi yang kurang aksesibel. Dapat pula secara non fisik, seperti  masih adanya stigma negatif ketidakberdayaan, sehingga tidak dilibatkan, serta sistem komunikasi yang tidak asesibel.

Untuk itulah, masih kata pesan dalam brosur itu, semua pegiat kerja-kerja kemanusiaan sudah waktunya melakukan aksi kemanusiaan inklusif. Seperti, melibatkan kelompok berisiko tinggi dalam semua fase aksi kemanusiaan, dari kajian awal hingga perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Melakukan kegiatan pemilahan data berdasarkan gender, usia dan disabilitas.

Dalam Kerangka Aksi Hyogo 2005 – 2015, juga disebutkan bahwa dalam situasi bencana semua orang menjadi rentan, terutama para lansia, penyandang disabilitas, dan ibu-ibu yang tengah hamil atau baru saja melahirkan. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu melibatkan warga dan komunitas rentan dalam perencanaan pengurangan risiko bencana, agar kebutuhan kaum yang rentan dapat terakomodasi terutama dalam situasi darurat dan pasca-bencana.

Tidak terlalu salah jika selama ini keberadaan penyandang disabilitas kurang diperhitungkan karena stigmatisasi yang salah dan mungkin karena jumlahnya minoritas sehingga dinomor duakan, yang penting jika dalam situasi darurat mereka diselamatkan lebih dulu.

Jangankan relawan, pemerintah, dalam hal ini BPBD pun dalam menyusun recana kerjanya juga masih belum pro penyandang disabilitas. Untuk itu diperlukan adanya ‘political will’ diantara para pemegang kuasa agar berkenan menganggarkan dana untuk pelibatan para penyandang disabilitas dalam kegiatan peningkatan kapasitas agar bisa berperan dalam upaya pengurangan risiko bencana, maupun dalam operasi penanggulangan bencana.

Sungguh, melalui pendidikan dan pelatihan peningkatan kapasitas, para penyandang disabilitas bisa dilibatkan di bagian dapur umum, membantu pendataan di posko, pencatatan distribusi logistik untuk menghindari kesalahan kirim, membantu bidang data dan informasi serta bidang lain sesuai kapasitasnya.

Disinilah diperlukan kesepahaman, bahkan kesiapan mental untuk bekerja sama lintas komunitas dalam upaya penanggulangan bencana. Sementara, BPBD yang mempunyai fungsi Komando dan Koordinator harus lebih peduli kepada aktivitas komunitas yang secara mandiri berupaya meningkatkan kapasitas secara mandiri, dengan melakukan ‘pembinaan’ yang terstruktur, agar terjadi komunikasi yang semakin harmonis.[eBas]


Kamis, 23 November 2017

MANDAT PENYANDANG DISABILITAS DALAM PRB INKLUSIF

Masih banyak daerah yang belum ‘mengajak’ kawan-kawan penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana. Padahal dalam Perka BNPB nomor 14 tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan dan Patisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai kemanusiaan. oleh karena itu, perlu menjamin perlindungan dan pemenuhan hak serta kemudahan akses dan partisipasi penyandang disabilitas dalam aspek penanggulangan bencana.

Seperti diketahui, penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang Mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Ada 5 (lima) mandat inklusi yang harus dilaksanakan dalam pengurangan risiko bencana yang melibatkan para penyandang disabilitas, yaitu Data terpilah, Aksesibilitas, Peningkatan Kapasitas, Prioritas Perlindungan, dan Partisipasi. Hal ini sejalan dengan peraturan daerah provinsi Jawa timur nomor 3 tahun 2013, tentang Perlindungan dan Pelayanan bagi Penyandang disabilitas, jelas disebutkan bahwa dengan memberikan perlindungan kepada para penyandang disabilitas, maka hak konstitusional penyandang disabilitas terjamin dan terlindungi sehingga penyandang disabilitas dapat mandiri dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta terhindar dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

Untuk, perlu ada upaya meyakinkan ‘pejabat daerah’ agar mereka berkenan memadukan mandat inklusi disabilitas dalam pengurangan risiko bencana, dalam rencana pembangunan. Paling tidak masalah ini harus segera disosialisasikan  ke pemerintah, relawan, dunia usaha, dan kelompok penyandang disabiltas, agar ada kesepahaman bersama dalam menjalankan mandat tersebut sebagai upaya peningkatan kapasitas dan pelibatan kelompok berisiko tinggi, sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi penyandang disabilitas yang tangguh dan mandiri.

Sebenarnya sudah banyak penyandang disabilitas yang menjadi aktor dalam penanggulangan bencana, baik saat pra bencana, tanggap bencana, maupun pasca bencana. Mereka juga mengangkat masalah pengarusutamaan gender, namun selama ini suaranya kurang di dengar.

Untuk itulah dengan mandat tersebut, para penyandang disabilitas perlu mendapat perlindungan, pelatihan, dan pendampingan agar mereka bisa berdaya untuk kemudian bisa berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana, sesuai dengan kapasitasnya.

Melalui kegiatan Workshop Pengendalian Strategi Pelayanan BPBD Provinsi, Kabupaten/Kota untuk pelayanan penanggulangan bencana inklusif, di Hotel Santika Preimere Gubeng, Surabaya, selama 3 (tiga) hari, selasa sampai dengan kamis (21 -23 November 2017) yang di ampu oleh Mercycorp, sepakat akan lebih melibatkan para penyandang disabilitas dalam program-program peningkatan kapasitas menuju masyarakat tangguh menghadapi bencana, dengan tagline “Semua Terlibat Semua Selamat”. [eBas]




.





Sabtu, 18 November 2017

GERAKAN LITERASI KEBENCANAAN



Hamdi Alfansuri dalam selasar.com mengatakan bahwa, National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual dan berkaitan dengan keterampilan hidup. (Hamdi,2017).

Dengan demikian, literasi tidak hanya dipahami sebagai sebuah kesadaran berkemampuan membaca, menulis, dan berhitung saja. Literasi hendaknya dipahami sebagai upaya menambah wawasan, pengetahuan, keterampilan dan sikap. Untuk kemudian berani berbuat nyata guna menampakkan keberadaannya.

Di bidang kebencanaan pun, kiranya juga begitu. Indonesia yang kini semakin sering di datangi bencana, diantaranya, banjir, longsor, erupsi gunung berapi, dan gempa, sudah waktunya menyuarakan pentingnya literasi kebencanaan sebagai upaya ‘menyadarkan’ masyarakat akan adanya potensi bencana yang mengancam kehidupannya.

Terkait dengan literasi kebencaaan ini, menurut Ririn Handayani dalam tulisannya di kompasiana, mengatakan bahwa, negara dan masyarakat dengan tingkat literasi yang tinggi umumnya juga memiliki ketangguhan dan kesiagaan yang tinggi terhadap bencana.(Ririn,2015).

Contoh yang dikemukakannya adalah negara Jepang, yang menjadikan literasi sebagai salah satu ujung tombak untuk membangun masyarakat siaga dan tangguh terhadap bencana. Hal ini mengingat bahwa Jepang adalah Negara langganan gempa dan tsunami.

Bagaimana dengan Indonesia?. Kini mulai tumbuh kesadaran akan pentingnya literasi menjadi sebuah gerakan yang berusaha memampukan masyarakat dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pemerintah, melalui BNPB telah mencanangkan gerakan pengurangan risiko bencana dalam bentuk program sekolah laut, sekolah sungai, dan sekolah gunung serta program desa tangguh bencana, sebagai upaya menumbuhkan budaya sadar bencana, sesuai konsep ‘Living Harmony With Risk.’.

Untuk itulah tidak ada salahnya jika para ‘pekerja kemanusiaan’ yang tergabung dalam berbagai komunitas, melakukan kolaborasi, saling berinteraksi dan bersinergi, ikut melakukan gerakan literasi, mengedukasi masyarakat, khususnya yang berdomisili di kawasan rawan bencana.

Salah satunya adalah Komunitas Masyarakat Tangguh Indonesia, yang muncul seiring ditemukannya sesar kendeng di seputaran Surabaya yang berpotensi menimbulkan gempa darat. Kepedulian mereka diwujudkan dengan membuat kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, juga kepada birokrat.

Walau masih baru lahir, suara yang didengungkan dari kampus ITS Surabaya ini sudah mulai didengar khalayak ramai. Bahkan pemerintah Kota Surabaya telah mengetahui. Tinggal bagaimana mendorong mereka untuk lebih memfasilitasi gerakan literasi yang diusung Komunitas Masyarakat Tangguh Indonesia.

Sukur-sukur jika mereka juga berkenan terlibat langsung dalam rangka memperluas jejaring kemitraan untuk meningkatkan kapasitas ‘pekerja kemanusiaan’ yang mumpuni dalam melakukan gerakan literasi kebencanaan. Yang bagaimana itu?. Marilah berjejaring, berkumpul dan berdiskusi, untuk menemukan bentuknya. Wallahu a’lam bisshowab.[eBas]






Rabu, 08 November 2017

RUMAH KOMUNITAS

Berbagai perwakilan Komunitas Pecinta Alam Surabaya, berkumpul di halaman Kebun Binatang (bonbin) Surabaya, selasa (7/11), malam. Malam itu cuaca agak mendung, namun wajah-wajah yang datang tampak ceria dengan berbagai celoteh khas pecinta alam. Ada yang sudah kenal, pun ada yang belum. Bahkan ada yang barugabung malam itu, salah satunya saya. Mereka berkumpul menyambut undangan Cak Ji lewat grup WhatsApp Arisan Ilmu Nol Rupiah.

Di dalam undangan itu, berisi ajakan mendukung kegiatan dengan tema ‘Green Nature Save The Earth’ yang akan dilaksanakan dengan serangkaian kegiatan, seperti bakti sosial membersihkan lingkungan sekitar wilayah Surabaya dan penanaman Pohon Cemara udang bekerja sama dengan kelurahan dan masyarakat yang berada di lokasi aksi.

Kemudian acara pun berlanjut dengan membahas rencana Kirab Banteng Merah Putih 178, yang berbarengan dengan gerak jalan perjuangan mosuro. Malam itu mereka menentukan panitia pelaksana serta agenda rapat-rapat untuk membulatkan rencana agar semuanya aman terkendali dan membawa kemaslahatan bagi sesama.

Dari obrolan malam yang bersifat nonformal itu, ada wacana yang sedang bergulir tentang pembentukan Rumah Komunitas. Harapannya, bisa menjadi wadah berkumpul, ngobrol berdiskusi tukar informasi dan berbagi pengalaman, sekaligus ajang berkarya menuangkan ekspresi untuk membuat aksi komunitas.

Obrolan sembari minum kapi ini pada dasarnya segaris dengan apa yang disampaikan oleh Cak Ji. Yaitu, dengan kebersamaan kita bisa saling bertukar pengalaman hidup yang sangat berguna ketika menghadapi suatu masalah.

Cak Ji, dengan gayanya bagai orator, juga mengatakan bahwa kebersamaan juga bisa untuk berbagi kebahagiaan dan kekonyolan bersama, dalam rangka menjalin tali silaturahmi paseduluran sak lawase.

“Dengan selalu menjaga kebersamaan terhadap orang-orang sekitar, akan kita dapatkan arti hidup yang sebenarnya. Untuk itulah dengan rasa kasih sayang yang kita miliki akan menjadikan semangat untuk terus maju dan berkembang untuk memberi manfaat kepada sesama.” Ujarnya, sambil nyruput kopi, entah punya siapa.

Ya, ide membangun rumah komunitas itu kiranya perlu didukung dan dikongkritkan agar semua komunitas pecinta alam se Surabaya segera terdata untuk kemudian diadakan ‘pembinaan’ agar terjadi kesepahaman dalam gerak langkah melestarikan lingkungan dan menikmati keindahan alam rimba dan eksotisnya punggungan gunung.

Untuk itulah tidak terlalu salah jika agenda membangun rumah komunitas seperti yang diimpikan Cak Ji itu, dijadikan bahan jagongan yang menarik dan segera dieksekusi agar tidak layu sebelum berkembang. Salam Santun, Salam Lestari, dan Salam Rimba.[eBas]



   

   

Senin, 06 November 2017

GERAKAN LITERASI ERATKAN SILATURAHMI

Sungguh menggembirakan sekali. Kini dimana-mana diberbagai daerah sedang marak diadakan gerakan pengurangan risiko bencana yang digaungkan oleh BNPB/BPBD dengan berbagai model pendekatan. Ada Desa Tangguh Bencana, ada Sekolah Sungai, Sekolah Laut, dan Sekolah Gunung. Konon, masing-masing mempunyai karakteristik sendiri.

Upaya pelibatan seluruh komponen bangsa dalam kampanye gerakan ini diterjemahkan dalam tindakan kolektif dalam bentuk kegiatan tradisional yang ada di masyarakat, seperti kerjasama dan gotong-royong. Gerakan ini jika dikondisikan terus akan menjadi sebuah kesadaran kolektif sebagai upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia.

Gerakan ini lekat dengan gerakan literasi, karena di dalamnya mengandung pesan tertulis yang harus dikomunikasikan agar bisa dipahami. Literasi merupakan kemampuan melek aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Tujuannya agar peserta memiliki budaya membaca dan menulis untuk memahami pesan-pesan pengurangan risiko bencana.

Menurut National Institute for Literacy, Literasi sebagai "Kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat." Namun lebih dari itu, Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya

Melalui kecakapan literasi, maka pesan-pesan BNPB/BPBD terkait dengan masalah kebencanaan akan mudah dimengerti sehingga dapat meningkatkan upaya pengurangan risiko bencana dalam rangka menurunkan indeks risiko bencana.

Kecakapan literasi pun bisa disemaikan melalui kegiatan ngobrol bareng, cangkruk’an bersama untuk saling tukar informasi dan berbagi pengalaman tentang apa saja, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan kerelawanan yang bermanfaat kepada sesama, juga kepada upaya pelestarian lingkungan. Baik yang terjadwal maupun yang insidental. Ya, ngobrol bareng sambil ngopi biasanya lebih mengena, karena disitu tidak ada jarak dan perbedaan yang mencolok.

Sungguh, obrolan yang “pating pecothot” tanpa format tertentu itu sangat indah jika ditulis menjadi sebuah buku sederhana yang kaya akan pengalaman yang indah untuk dikenang menjadi sebuah pembelajaran bagi sesama pekerja kemanusiaan.

Kemampuan literasi yang dikaitkan dengan pengurangan risiko bencana, dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, karena dapat memutus mata rantai kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Ya, acara ngobrol bareng secara nonformal itu jika rutin dilakukan bisa menjadi wadah saling belajar sesuai konsep sepanjang hayat

Artinya, melalui gerakan literasi dalam bentuk obrolan ngalur ngidul tak terformat ini, tanpa disadari bisa meningkatkan kesadaran akan pentingnya semangat kebersamaan, kesetiakawanan sosial, gotong-royong yang baik sehingga menjadi nilai budaya di masyarakat dalam pengelolaan risiko bencana menuju Indonesia tangguh menghadapi bencana.[eBas]


Minggu, 05 November 2017

KAOS SERAGAM

Di tengah-tengah maraknya kegiatan gelar relawan program sekolah sungai, sekolah laut, dan mungkin juga sekolah gunung, sebagai upaya membangun gerakan pengurangan risiko bencana, muncul pertanyaan cerdik menggelitik yang diposting di WhatsApp grup Membangun Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Timur (FPRB JATIM), “Kenapa ya, yang bantu bencana mesti pakai seragam?. Umpama ga pakai seragam, apa diusir, meski warga setempat ?”.

Ehm…?. Konon, Seragam bukanlah pakaian kerja biasa namun menjadi komponen penting yang memiliki fungsi, nilai dan makna penting bagi anggota dan organisasinya. Kalau tidak salah, seragam itu adalah identitas dari sebuah komunitas (organisasi) yang digunakan dalam melakukan aktivitasnya.  

Tanpa disadari, Seragam membuat anggota organisasi menjadi berbeda, disamping itu, seragam juga mampu menjadi media promosi untuk membangun citra organisasi yang berdampak pada tumbuhnya rasa bangga bagi pemakainya, 

Ya, dengan seragam, diharapkan lahir loyalitas, dedikasi, gotong royong, kerjasama, rasa senasib seperjuangan, sehingga tercipta kesetaraan dan persamaan yang mampu menghapuskan kesan kesenjangan sosial diantara anggotanya. Dari situlah akan tumbuh rasa melu handarbeni terhadap keberlangsungan hidup organisasi beserta programnya.

Sehingga wajar jika dalam kegiatan yang berbau seremonial, selalu saja semua yang terlibat, diseragami, dipakani, dan kadang juga disangoni. Bahkan di beberapa instansi tertentu, selain kaos, juga ada tas, rompi, topi, baju, jaket, dan alat tulis yang dibagikan untuk menyenangkan semuanya. Itu terjadi karena memang ada anggarannya (sengaja dianggarkan). Beda banget jika semua itu diselenggarakan secara nonformal atas inisiatif bersama berbasis keswadayaan.

Agar tidak menimbulkan salah paham, yang dibahas disini bukan bencana yang diseremonialkan. Karena bencana alam itu kata relawan senior pasti tidak dikehendaki dan tidak diskenariokan kedatangannya. Yang dibicarakan disini adalah penyelenggaraan program penanggulangan bencana yang diagendakan pemerintah (BNPB dan BPBD), dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat terpilih untuk bisa berperan membantu operasi penanggulangan bencana, yang ditandai dengan pembagian kaos seragam gratis.

Sementara itu, yang tidak kalah pentingnya adalah kegiatan pasca seremonial. Adakah tindak lanjutnya, atau, memang direncanakan untuk tidak ditindak lanjuti?. Sungguh, peserta program itu masih perlu didampingi dan dibina pasca penyelenggaraan program. Tidak dilepas begitu saja pasca program. sungguh mereka belum bisa mandiri, tidak berdaya jika langsung dilepas.

Semua harus dilakukan jika program yang digulirkan dengan anggaran yang tidak sedikit itu ingin tampak guna manfaatnya bagi masyarakat. Dalam hal ini membangun budaya masyarakat tangguh menghadapi bencana.

Dengan kata lain, gerakan pengurangan risiko bencana yang berupa sekolah sungai, sekolah laut, sekolah gunung, bahkan mungkin juga destana, diharapkan dapat membangkitkan kesadaran bergotong royong dan memupuk rasa kesetiakawanan sosial sesuai kearifan lokal.

Dibanyak kasus, usai penyelenggaraan program, tidak ditindak lanjuti dengan program pendampingan. Sehingga masyarakat yang menjadi sasaran program kembali berperilaku seperti sebelum mendapat sentuhan program. Yaitu masyarakat yang tidak mampu mengelola dan mengurangi risiko bencana dan gagal meningkatkan kualitas hidupnya.

Untuk itulah program gerakan pengurangan risiko bencana harus terus didampingi dalam rangka pemberdayaan masyarakat melalui proses belajar sosial bersama untuk meningkatkan kapasitas, prakarsa dan partisipasi dalam pembangunan desa.

Sementara kaos seragamnya pun semakin kusam untuk kemudian berubah fungsi menjadi gombal dan hilang entah kemana. Selanjutnya mereka hanya berharap ada pembagian kaos seragam lagi lewat acara seremonial untuk peningkatan kapasitas komunitas, entah itu dalam bentuk penyuluhan, lokalatih, apel siaga, simulasi maupun sekedar kerja bhakti bersama lintas elemen dan instansi. [eBas]