Sementara, SANGGUB ini lebih difokuskan pada komunitas Pondok Pesantren (ponpes), yang di dalamnya ada pengelola, pendidik dan santri pesantren. Mereka ini juga perlu di beri pemahaman tentang konsep pengurangan risiko bencana (PRB) yang bisa dilakukan di dalam pondok pesantren dan lingkungan sekitarnya secara mandiri.
Tentu ini tugas berat bagi para penggagas istilah
SANGGUB, untuk segera membranding agar keberadaan SANGGUB segera dikenali dan
dirasakan kehadirannya dalam kerja-kerja kemanusiaan dibidang penanggulangan
bencana oleh khalayak ramai.
Paling tidak, upaya membranding
SANGGUB itu harus memperhatikan sesuatu yang menjadi ciri khasnya (sebagai
pembeda dengan lainnya). Misalnya, visi dan misinya, seragamnya, dan logonya. Semua harus
dipersiapkan.
Moment pelatihan yang dipandegani
oleh Gus Yoyok di beberapa daerah ini, diharapkan menjadi titik awal
mensosialisasikan komunitas Santri
Pesantren Tangguh Bencana (SANGGUB) di
lingkungan Pondok Pesantren.
Jika memungkinkan, tidak ada salahnya mBah Dharmo
menggandeng BPBD menggelar sarasehan relawan yang diikuti oleh seluruh
komunitas relawan di Jawa Timur, untuk menyusun agenda bersama sekaligus memperkenalkan
diri akan kehadiran SANGGUB.
Sungguh, konsep
SANGGUB ini merupakan gagasan kreatif dan inovatif ditengah upaya terbentuknya
FPRB di tingkat Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Jawa Timur. Tinggal
bagaimana merangkul media massa (termasuk media sosial) untuk menyebarkan kehadiran
SANGGUB secara besar-besaran.
Masih kata mBah Dharmo, bahwa kerja-kerja kemanusiaan di bidang kebencanaan itu harus saling menguatkan, tidak boleh saling melemahkan. Makanya, yang namanya koordinasi, komunikasi, kerjasama dan sinergi, menjadi penting dilakukan. Karena ini bukan kompetisi, yang semangatnya adalah menang atau kalah.
Dengan demikian, seluruh
elemen pentahelix haruslah saling menyapa, mengajak, dan melibatkan dalam
kerja-kerja kemanusiaan. Serta menghindari jalan sendiri-sendiri, saling
meninggalkan dan menang-menangan sebagai ciri dari sikap ego sektoral.
Terkait dengan kerja-kerja kemanusiaan, pria dari Kasembon ini menganalogikan dengan upaya pembangunan jalan raya saat proses pengerasan. Saat batu-batu disusun, ditata, diratakan dijalan sebelum dilakukan pengerasan, batu-batu itu terlihat kokoh, kuat, tertata rapi. Tapi, sejatinya itu membahayakan bagi pengguna jalan (masyarakat).
Namun ketika alat berat melindas batu-batu tersebut agar rata dan kuat menancap, saat itulah terjadi proses menempatkan posisinya, saling berdesakan, bahkan ada pula yg mencelat, karena tidak bisa menempatkan posisinya. Namun ketika semua batu sudah pada posisinya dan bergandengan erat, batu-batu tersebut sulit untuk dilepaskan, karena saling menguatkan satu dengan lainnya. Pada akhirnya, menjadi tatanan batu, yang rata, kuat dan lebih bermanfaat untuk pengguna jalan (masyarakat).
“Selamat merenungkan peran dan fungsi kita masing-masing. Proses penyesuaian diri dalam organisasi bisa dimulai dengan benthik’an sesama teman, dan saling gesekan untuk mencari bentuk ideal sebuah sinegi yang saling menguatkan, untuk mewujudkan kebersamaan,” Pesannya yang menginspiratif. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/MingguPahing-31012021]