Selasa, 27 April 2021

RELAWAN ITU BERNAMA ALFIN SANG PETUALANG

Salah satu program forum pengurangan risiko bencana (FPRB) Jawa Timur yang disepakati dalam rapat pengurus, adalah mengadakan kegiatan Safari Ngabuburit 10 Kota di Jawa Timur. Personil yang terlibat diantaranya, Alfin. Pria kelahiran Sampang ini sangat aktif membersamai pelaksanaan program Forum, dan selalu berusaha mengajak relawan dari organisasi lain untuk bergabung, dalam rangka memperluas jejaring.

“Monggo bagi rekan-rekan yang mau bergabung dalam kegiatan tersebut, baik individu maupun lumbaga/organisasi/komunitas apa saja dan siapa saja.  Bagi rekan-rekan Relawan yang mau belajar tentang mosipena,  Insyaallah kami siap memfasilitasi sebisa kami. Kebetulan di sini ada Tim mosipena dari SRPB, mas Leo dan mas Erik.  Mereka siap membantu.” Kata Alfin, yang juga aktif sebagai ketua di komunitas tanggap gawat darurat dan Jamaah LC.

Safari Ngabuburit ini merupakan program baru dengan memanfaatkan keberadaan mobil edukasi yang mungkin hanya dimiliki oleh BPBD Provinsi  Jawa Timur. Ya, mosipena adalah satu-satunya media edukasi kebencanaan di Indonesia, yang operasionalisasinya melibatkan relawan.

Apa yang dikatakan Alfin, merupakan ajakan kepada semua pengurus untuk berperan serta dalam setiap kegiatan forum, dimanapun berada. Termasuk membersamai Safari Ngabuburit. Hal ini sejalan dengan harapan waktu Rakor dengan BNPB Tahun lalu di Hotel Mercure, yang juga diikuti oleh staf BPBD Kabupaten/Kota.

Dimana waktu itu Pak Lilik, dari BNPB, dengan jelas menyampaikan tentang pentingnya kekompakan dan pelibatan berbagai pihak dalam menjalankan programnya. diantaranya percepatan pembentukan forum di setiap Kabupaten/Kota, guna mewujudkan sinergi pentahelix untuk pengurangan risiko bencana, menuju Masyarakat Tangguh dan Sadar Bencana.

“Kami persilahkan rekan-rekan relawan yang mau ikut Ngabuburit bersama mosipena, bergerak bersama membangun Ketangguhan Masyarakat. Insyaallah FPRB Jatim siap Bekerjasama dan membersamai dalam kegiatan Gerakan PRB, membangun ketangguhan masyarakat,” Kata teman baiknya Ning Anin Faros, seorang fasilitator DESTANA Kabupaten Lumajang.

mBah Dharmo, sebagai sekjen forum, dalam postingannya mengatakan terimakasih kepada pengurus dan anggota forum yang aktif mengenalkan eksistensi forum kepada khalayak ramai, melalui berbagai kegiatan forum yang selama ini digelar diberbagai daerah. Seperti program SDSB, Edukasi Konservasi, Penghijauan, Diklat Kebencanaan bagi santri Pondok Pesantren, dan sejenisnya.

Harapannya, dengan melakukan  kegiatan sosialisasi, edukasi, serta pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana, bisa meningkatkan wawasan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.

“Saudaraku semua, saya hanya Tut Wuri Handayani, atas niat baik semuanya. Lanjutkan dan tetap semangat,” Pesan penyandang gelar master manajemen bencana dari UPN, Jokja. Sebuah ajakan motivatif yang dalam maknanya. Sayangnya, kendala waktu dan sangu, menjadi masalah tersendiri bagi sebagian pengurus untuk berpartisipasi.

Namun, masalah waktu dan sangu bagi Alfin yang masih senang menjomblo ini, bukan halangan, karena belum punya tanggungan. Dia siap membersamai perjalanan mosipena dalam menjalankan misinya Safari Ngabuburit 10 Kota di Jawa timur.

Semoga Alfin dan kawan-kawan sukses menjalankan misi, mengenalkan eksistensi dan peran Forum PRB Jawa Timur sebagai mitra BPBD. Tetap semangat Cak Alfin, jaga kesehatan dengan tetap mentaati protokol kesehatan. Jangan lupa pula nyruput kopi tipis-tipis bersama relawan setempat. Siapa tahu dari situ ada inspirasi untuk merancang aksi kemanusiaan dikemudian hari. Salam tangguh. [eBas/RabuWage-28042021]  

 

 

 

 

 

Rabu, 21 April 2021

GERAKAN LITERASI WADAH BELAJAR BEREKSPRESI

Akhir-akhir ini gaung gerakan literasi kebencanan semakin terdengar dimana-mana. banyak pihak yang  mulai berpaling untuk membantu menggaungkan gerakan literasi kebencanaan dengan segala kemampuan dan keunikannya, guna membangun budaya sadar bencana.

Tujuannya, diantaranya memberi kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenal potensi bencana yang ada di derahnya. Literasi bencana adalah bagian dari mitigasi nonstruktural yang fokus pada pemahaman terhadap bencana melalui edukasi dengan berbagai bentuknya, sesuai kebutuhan dan kearifan lokal setempat.

Salah satu pengertian Literasi kebencanaan menurut Brown et.al (2014:267) adalah kapasitas individu dalam membaca, memahami dan menggunakan informasi tersebut untuk kemudian dibuatkan sebuah kebijakan informasi dengan mengikuti instruksi-instruksi dalam konteks mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan dari bencana

Jamaah LC yang digagas Cak Alfin pun secara tidak langsung juga mengarah kepada upaya meningkatkan wawasan anggotanya melalui aktivitas ngopi bareng. Walaupun tidak ada agenda tertentu dalam berliterasi, namun proses pertukaran wawasan dan informasi terus mengalir disela pertemuan mempererat pertemanan, sambil wedangan.

Harapannya, dari pertemuan itu dapat membangun pemahaman dan kecakapan dalam pengetahuan bencana, yang pada akhirnya mampu menjadi alat melakukan edukasi/sosialisasi pengurangan resiko bencana untuk peningkatan kapasitas masyarakat.

Ya, senyatanyalah salah satu peran relawan penanggulangan bencana adalah melakukan edukasi pengurangan risiko bencana dan pelatihan penanggulangan bencana. Jika memungkinkan, juga melakukan pendampingan pasca pelatihan, untuk menumbuhkan budaya sadar bencana bagi masyarakat penerima manfaat.

Artinya, masyarakat yang di daerahnya memiliki potensi bencana, perlu kiranya ‘disentuh’ dengan literasi kebencanaan agar mereka memiliki ketangguhan menghadapi bencana. Hal ini wajar, mengingat sebagai wilayah cincin api, Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan bencana. Sudahkah relawan melakukannya ?, dan apakah sudah berdampak pada ketangguhan masyarakat menghadapi bencana ?.

Jagongan Jamaah LC memang belum teragendakan secara rutin. Masih kondisional. Artinya, jika mayoritas sepakat jagongan, ya langsung jalan. Entah apa yang akan dibicarakan, yang penting bisa ngobrol bareng sambil nyruput wedang kesukaannya, dalam suasana riang gembira.

Begitu juga dengan komunitas lain pasti punya agenda jagongan dengan segala gaya tertentu sebagai ciri khas sebuah komunitas. Apayang dilakukan itu sejalan dengan upaya gerakan literasi yang dapat meningkatkan kapasitas peserta jagongan.

Misalnya, F-PRB Jatim punya SDSB (sambang dulur sinau bareng), SRPB Jatim punya Arisan Ilmu, PUSPPITA punya Shodakoh Ilmu, dan masih banyak lagi versi jagongan komunitas relawan. Sungguh dengan model jagongan itu pasti banyak informasi yang bermanfaat dalam rangka transfer pengetahuan dan pengimbasan pengalaman. Tinggal mampu tidak mereka menangkapnya.

Guna mendukung gerakan literasi, tentunya jagongan yang rutin digelar itu hendaknya dibuat semakin sarat dengan informasi serta media untuk belajar berekspresi bagi seluruh peserta jagongan. Hal ini dimaknai bahwa literasi bukan sekedar kemampuan baca tulis semata, tapi lebih dari itu dalam rangka mengembangkan potensi untuk berpartisipasi dalam lingkungan masyarakatnya. Sungguh relawan pun perlu berekspresi dengan literasi untuk membekali diri sebelum turun ke lokasi. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/RabuPaing-21042021]

 

 

 

 

 

 

Minggu, 18 April 2021

JAMAAH LC BUKAN JAMAAH BIASA

Konon katanya, Jamaah LC terbentuk begitu saja tanpa seremonial yang ribet, dengan memakan banyak biaya, dan didatangi ratusan undangan.  Sungguh tidak demikian. Bahkan boleh dibilang lahirnya Jamaah LC itu tanpa direncanakan sama sekali. Ya, mak bedunduk saja, semua sepakat sambil tertawa tanpa protes dan bertanya.

Jika tidak salah, semua bermula dari warkopnya cak Alfin yang berpusat di daerah Dukuh Kupang. Disana berkumpul beberapa orang yang bukan saja sekedar ngopi, tapi juga berdiskusi. Kala itu dihadiri oleh mantan peserta pelatihan yang berhubungan dengan penyelamatan kecelakaan lalu lintas yang diadakan oleh Dokter Airi dan kawan-kawan. Beliau adalah dokter anestesi di Rumah Sakit. Karang Menjangan, Surabaya.

Konon, pertemuan itu sebagai upaya mewadahi mantan peserta pelatihan dengan nama KTGD (Komunitas Tanggap Gawat Darurat). Bahkan sudah disiapkan draft struktur kepengurusan serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sebagai aturan main yang harus diketahui oleh anggota KTGD. Sayang, dalam perjalanannya banyak hambatan yang ditemui. Sehingga soliditas itu semakin sulit tercipta.

Kemudian, di paruh awal tahun 2020, covid-19 dari Kota Wuhan tetiba datang menebar kematian. Memaksa semuanya menerapkan social distancing, menjaga jarak, sering cuci tangan dan memakai masker. Hal ini menyebabkan interaksi sosial diantara relawan yang suka ngopi bareng, serba terbatas karena semua menjaga diri agar tidak terpapar covid-19.

Dampak ikutan dari pandemi adalah semakin jarangnya para relawan beraktivitas tatap muka langsung. Termasuk jagongan. Berbagai aturan dibuat untuk membatasi interaksi langsung sebagai upaya memutus rantai sebaran covid-19 yang belum ada obatnya dan menguras keuangan negara.

Walau dibatasi oleh keadaan, namun beberapa relawan tetap sepakat menjadikan warkopnya Cak Alfin, yang bernama Lorong Cafe (LC), sebagai base camp relawan yang memiliki kesamaan dalam segala hal. Khususnya ngopi sambil berbagi cerita apa saja, seputar kebencanaan dan kerelawanan, yang penting bisa bertutur sapa sambil nyruput kopi tipis-tipis. Sementara, Cak Alfin dengan senang hati menerima kehadiran relawan. Tentunya dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Ya, di warkop LC lah, relawan yang ‘bernasib’ sama, bisa berekspresi, ngerumpi apa saja dalam rangka belajar berliterasi secara informal untuk meningkatkan kapasitas. Karena berlangsung secara informal, maka perlu proses panjang untuk saling belajar. Belajar berpendapat, belajar mendengarkan, dan bahkan belajar engkel-engkelan itu juga termasuk bagian dari literasi yang menyenangkan.

Singkat cerita, bak oase di tengah gurun sahara, aktivitas jagongan di warkop LC semakin diminati oleh banyak relawan untuk bertukar pengalaman, berbagi informasi, dan tanpa disadari menjadi ajang adu gagasan, yang kemudian dimatangkan menjadi rencana aksi nyata untuk kebermanfaatan bersama.

Bahkan, Pak Papang yang dijuluki ‘panglima relawan’ pun menyempatkan mampir ngopi di tempat yang sederhana ini. Kemudian para aktivis Forum PRB Jawa Timur juga berkenan untuk jagongan memberi tausyiah dan pencerahan tentang pengurangan risiko bencana kepada relawan biasa tanpa memandang status sosial. Semua berbaur tanpa sekat. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dengan tetap beretika. Sehingga tidak ada yang tersakiti.

Lucunya, kegiatan yang tidak ada agenda tertentu selain ngobrol sambil wedangan itu, ada yang mencurigai. Padahal sesungguhnyalah tidak ada yang layak untuk dicurigai. Sehingga dapat dipastikan bahwa yang curiga akan menderita sendiri karena tidak menemukan apa-apa yang disangkanya. Sungguh !. Kalau tidak percaya, silahkan datang, rasakan sensasinya.

Tanpa disangka, dari proses literasi dalam bentuk jagongan santai itu, telah melahirkan beberapa aksi nyata yang melibatkan banyak komunitas. Upaya menebar manfaat pun akhirnya menjadi nyata adanya. Semoga kiprah yang telah tertoreh ini bisa berkesinambungan dengan kiprah-kiprah selanjutnya, sesuai komitmen bersama.

Seiring berjalannya waktu, kontrakan warkopnya Cak Alfin habis dan tidak diperpanjang lagi. Sehingga tamatlah kiprah warkop LC sebagai tempat jagongan relawan yang berasal dari berbagai komunitas. Cak Alfin kembali pulang ke rumah keluarganya di daerah Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya.

Pria yang masih menjomblo ini, kini sibuk di Forum PRB Jawa Timur, membantu menyelesaikan program Forum. Salah satu diantaranya, adalah tugas menginisiasi terbentuknya F-PRB di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Timur, sesuai mandate yang ada. Konon program ini hasil kerja bareng antara F-PRB Jatim, BPBD Jatim, LPBI NU Bangil dan Paladium. Sehingga rencana meneruskan buka warkop ditangguhkan sementara, entah sampai kapan, tidak ada yang tahu.

Walaupun begitu, relawan penggemar jagongan di warkop LC, sepakat agar rutinitas jagongan itu harus tetap berjalan. Mereka sepakat memberi nama Jamaah LC, sebagai upaya mengabadikan nama warkopnya Cak Alfin yang sudah habis masa edarnya.

Alhamdulillah, atas berkat rahmad Tuhan yang Maha Penyayang, jagongan rutin Jamaah LC tetap berjalan dengan segala apa adanya. Tempatnya bisa di warkopnya Cak Kin, atau menempati rumah kosong yang oleh pemiliknya diijinkan untuk di jadikan Base Camp Jamaah LC.

Bahkan, pasca penyelenggaraan Diskusi Konservasi dan Penanaman Mangrove di Hutan Mangrove Gunung Anyar Surabaya, minggu (11/4/2021), ada info yang mengatakan bahwa banyak pihak yang berkeinginan ikut jagongan sambil ngopi di acara rutinan Jamaah LC, ngolah pikir sekaligus menambah paseduluran.

Ya, monggo mawon, Jamaah LC terbuka untuk siapa saja. Tidak memandang baju dan bendera, yang penting hati bahagia dan bergembira, tanpa paksaan orang ke tiga.

Sungguh, semua sepakat komunitas jagongan ini tetap berwarna, dan menghargai keunikan masing-masing tanpa upaya penyeragaman sebagai komunitas formal lazimnya. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain untuk saling berinteraksi dengan mengedepankan saling menghormati dan menghargai agar semua mengerti arti keberagaman. Ini penting untuk meminimalisir perbedaan yang mengarah perpecahan.

Kebersamaanlah yang diutamakan di komunitas Jamaah LC yang tidak menganut mazhab Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafii. Karena, sesungguhnyalah Komunitas Jamaah LC bukan aliran keagamaan. Hanya sekedar nama yang dipilih para relawan yang memiliki kesenangan ngopi bareng,  dengan mengedepankan rasa saling menghargai, menghormati, mendukung dan membersamai, bukan saling menjatuhkan.

Mari angkat cangkir kopinya dan sruput tipis-tipis sepenuh hati, agar bisa menginspirasi sesama untuk mendukung gerakan literasi kebencanaan. Wallahu a’lam bishowab.[eBas/SeninKliwon-19042021]

 

 

 

  

 

 

 

Kamis, 15 April 2021

FORUM PRB KEMBALI KE KHITAH

"BNPB sudah tidak memperdebatkan lagi terkait keberadaan forum. Semua pegiat kebencanaan  terwadahi dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana, dan ini jelas sesuai dengan mandat Undang Undang Nomor  24 tahun  2007  tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor  21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan bencana, Kata Lilik Kurniawan, Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

“Forum PRB merupakan wadah dari pegiat kebencanaan yang merupakan perwakilan dari lima unsur penthahelix antra lain perwakilan pemerintah yaitu BPBD, dunia usaha, perguruan tinggi, media massa dan masyarakat. Dari unsur masyarakat termasuk Ormas, LSM, dan Relawan Penanggulangan Bencana.” Katanya lagi, dalam acara “nJagong Maton” di rumah Dinas Kepala Staf Korem Jl. Kahuripan No. E 31 Klojen Kota Malang Jawa Timur, rabu (14/4/2021) malam.

Apa yang dilontarkan oleh Pak Deputi yang murah senyum itu, merupakan upaya meneguhkan keberadaan forum dengan segala kiprahnya sesuai mandat yang ada. Sehingga segala urusan kebencanaan yang menjadi programnya BPBD, sudah seharusnya melibatkan forum.

Bahkan, boleh dikata bahwa semua elemen pentahelix yang ingin berkiprah dalam penanggulangan bencana harus melalui forum sebagai pintu utama. Bukan yang lain. Karna mandatnya memang begitu.  Termasuk kewenangan mengkoordinir Desk Relawan itu ada pada Forum PRB, dalam rangka membantu BPBD. Sedangkan yang menggerakkan  relawan ke lapangan itu masing-masing organisasi/komunitas sesuai dengan kemampuannya (khususnya kemampuan financial dan personal).

Dengan “kewenangannya” yang luar biasa itu, tentulah semua pengurus forum dituntut mumpuni dalam segala hal yang berhubungan dengan kebencanaan. Termasuk mampu “memelihara” soliditas antar elemen pentahelix dengan jargon yang humanis, ‘Saling Menguatkan Bukan Melemahkan’. Itulah khittah Forum yang sesungguhnya. 

Hal ini seperti yang sering dikatakan oleh Sekjen FPRB Jawa Timur, bahwa Forum PRB itu bergerak disemua fase kebencanaan. Di dalam Pra Bencana Forum PRB mampu memastikan bahwa semua perencanaan pembangunan disemua level harus berbasis Pengurangan Risiko Bencana artinya mulai seperti  Desa Tangguh Bencana, dan Keluarga tangguh bencana merupakan bagian dari risiko bencana.

Ketika dalam fase tanggap darurat, Forum PRB mampu mengkoordinir relawan dalam desk relawan. Artinya,  forum mengendalikan data dan memetakan relawan yang ada dilapangan, untuk memudahkan koordinasi dan mobilisasi relawan. Apabila di satu lokasi kekurangan relawan, bisa segera menggeser relawan dari lokasi lain. Hal ini untuk menghindari penumpukan relawan pada satu lokasi tertentu saja.

Masalahnya, maukah relawan relawan digeser ?. karena, selama ini relawan datang ke lokasi bencana itu sesuai panggilan nurani dan seringkali bertindak berlebihan karena konsep SKPDB kurang berjalan, karena terkungkung pada aturan dan masih adanya ego sektoral yang saling menelikung. Mungkin, inilah pekerjaan rumah yang harus dimainkan oleh forum sebagai katalisator.

Ketika memasuki fase pasca bencana, Forum PRB mampu membantu mengkoordinir pemulihan secara cepat dengan membangun lebih baik secara aman, sesuai pendekatan ‘buid back better’, yaitu disamping membangun kembali bangunan yang hancur akibat bencana, sekaligus membangun masyarakat yang tangguh agar risiko bencana berkurang secara signifikan.

Acara yang dihadiri oleh berbagai komunitas relawan itu seakan menjadi penanda kembalinya Forum PRB kepada khittahnya yang akhir-akhir ini menjadi ‘perbincangan’ liar tanpa dasar, diantara komunitas relawan.   

Harapannya, dengan acara “nJagong Maton”  ini, semua relawan menjadi paham akan peran dan fungsi forum, untuk kemudian bersama membantu menjalankan misi forum dengan segala programnya. Dengan demikian, kedepan tidak akan muncul lagi istilah Matahari Kembar dalam penanggulangan bencana. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/sumber:mediadestara/16042021]

 

 



 

Rabu, 14 April 2021

DUNIA USAHA DALAM PUSARAN PENTAHELIX

Mukidi berkesempatan mengikuti kegiatan sosialisasi penanggulangan bencana di Kota Mangga, Probolinggo. Pesertanya berkelas, dari dunia usaha. Bukan orang biasa. Terlihat dari bajunya yang rapi, dan wangi baunya. Cara bicaranya pun jelas mereka orang terdidik yang menjadi panutan kawulo cilik.

Ada pula pejabat yang datang untuk memberi motivasi agar dunia usaha sebagai salah satu elemen pentahelix, semakin tampak kiprahnya yang maksimal dalam kegiatan penanggulangan bencana di wilayahnya.

“Peneguhan peran dunia usaha sangat jelas dalam upaya penanggulangan bencana,”.  Kata Hasan Irsyad, dari komisi E, DPRD Provinsi Jawa Timur, dalam acara Sosialisasi Penanggulangan Bencana, di Probolinggo, Jumat (9/4/2021).

Masih kata anggota dewan dari partai golkar ini, bahwa, BPBD juga telah membentuk Destana. Sehingga keterlibatan dunia usaha akan melengkapi unsur pentahelix yg memang harus terlibat dalam upaya pengurangan risiko bencana di Jawa Timur.

Dari pernyataan di atas, menurut Mukidi, sudah selayaknya jika di dalam Forum PRB ada unsur dunia usaha yang terlibat aktif bersinergi dengan unsur pentahelix lainnya dalam upaya penanggulangan bencana. Baik itu pada saat pra bencana, tanggap bencana, maupun pasca bencana.

Sedikitnya, 100 perwakilan kelompok dunia usaha dari berbagai daerah hadir dalam kegiatan yang “dimotori” BPBD Provinsi Jatim, BPBD Kota Probolinggo dan FRPB Jatim. Harapannya jelas, agar peran dunia usaha semakin tampak dalam urusan kebencanaan, sekaligus menjadi pemicu daerah lain untuk menyelenggarakan kegiatan sosialisasi penanggulangan bencana seperti yang digelar oleh pemerintah kota Probolinggo ini.

Dalam kegiatan yang dihadiri oleh pengurus utama Forum PRB Jawa Timur, juga muncul himbauan agar  Kabupaten/Kota yang belum terbentuk FPRB harus segera membentuk. Karena keberadaan FPRB dimandatkan dari UU 24 tahun 2017 dan PP nomor 21 tahun 2008, dan menjadi salah satu indikator capaian IKD.

"Penanggulangan bencana ini juga masuk dlm prioritas Ibu Gubernur Khofifah sebagaimana yg tertuang dalam visi misi beliau; Nawa Bhakti Satya, poin Jatim Harmoni. Prioritasnya,  pengurangan risiko bencana, kesiapsiagaan dan penguatan kapasitas penanggulangan bencana," papar Gatot Subroto, Kepala bidang pencegahan dan kesiapsiagaan BPBD Provinsi Jawa Timur.

Dalam benak Mukidi, jelas dalam kegiatan ini, yang diutamakan adalah terbangunnya kesadaran akan perlunya kesiapsiagaan menghadapi bencana dari semua unsur pentahelix. Dari situlah kemudian diharapkan muncul gerakan bersama membangun ketangguhan bangsa yang berwawasan pengurangan risiko bencana.

Sasarannya adalah masyarakat yang bertepat tinggal di daerah rawan bencana. artinya masyarakat harus dipahamkan akan adanya potensi bencana yang ada di daerahnya. Sehingga mereka mampu secara mandiri beradaptasi terhadaap jenis bencana yang ada di daerahnya, mengantisipasi datangnya bencana dan memproteksi diri dari bencana agar selamat, serta memiliki daya lenting untuk segera cepat pulih dari derita akibat bencana.

Rupanya, peran-peran inilah yang perlu segera dimainkan oleh seluruh elemen pentahelix agar gerakan literasi bencana melalui sosialisasi pengurangan risiko bencana benar-benar terasakan oleh masyarakat yang menjadi sasarannya.

Relawan penanggulangan bencana sebagai bagian dari pentahelix pun harus memainkan perannya pada fase pra bencana, seperti yang termaktub di dalam Perka nomor 17 tahun 2011. Namun demikian, semua gerakan yang dilakukan oleh elemen pentahelix, termasuk dunia usaha (biasanya melalui CSR nya) haruslah dalam koordinasi BPBD. Agar tidak berjalan sndiri, maka BPBD harus rajin “merawat” sinergitas pentahelix yang sedang dibangun oleh pengurus Forum PRB Jawa Timur. “Yang bagaimana itu ?,” Tanya Mukidi sambil nyruput kopi di ruang lobi. [eBas/RabuKliwon-14042021]

Selasa, 06 April 2021

SATUAN PENDIDIKAN AMAN BENCANA

    Saran saya, kemendikbud harus melakukan SPAB sebagai program utama dengan teknis setiap fasilitas pendidikan harus ada instrumen evaluasinya (penilaian). Salah satunya instrumen mengenai SPAB dan manajemen bencana di setiap sekolah. Jika tidak ada maka kepala sekolahnya diberi sangsi. Misalnya diturunkan pangkatnya, atau dipindah ke sekolah lain. Sementara untuk sekolah swasta yang tidak melaksanakan SPAB diberi hukuman administratif,” Kata Sultan Afandi, peserta NGOPI PB (ngobrol pintar penanggulangan bencana) #4.

    Kegiatan yang diadakan secara online ini merupakan agenda rutin dari gerakan literasi bencana. Temanya bermacam-macam, seputar penanggulangan bencana. Pesertanya pun beragam.

    Ngopi PB #4 yang digelar hari rabu (24032021) malam, mengambil tema Pelaksanaan Satuan Pendidikan Aman Bencana di Indonesia. Sangat menarik, karena Indonesia yang rawan bencana itu belum banyak mendapat perhatian dari semua pihak. Khususnya dunia pendidikan, belum memandang serius perlunya mengenalkan masalah bencana kepada siswanya. Padahal sudah ada modul SPAB yang diterbitkan oleh BNPB.

    Termasuk desain bangunan dan fasilitas pendidikan banyak yang belum ramah anak. Banyak yang dibangun di daerah yang memiliki potensi bencana. Muncullah pertanyaan ‘nakal’, kira-kira apa yang bisa ditempuh oleh banyak pihak ?. Hal ini mengingat bencana adalah urusan bersama. Pemerintah sendiri jelas tidak akan mampu mengatasi bencana sendirian.

    Pertanyaan nakal di atas, tampaknya sulit dijawab. Karena banyak instansi yang memiliki program penanggulangan dengan sasaran yang telah ditentukan. Mereka berjalan sendiri sesuai dengan aturan penganggarannya, juga kepentingannya. Sehingga bisa memunculkan rivalitas diantara mereka, dan masyarakat pun bingung dibuatnya. Ujung-ujungnya semua hanya untuk kepentingan daya serap anggaran tanpa kelanjutan yang memandirikan.

    Sementara ini, yang banyak mempraktekkan program SPAB adalah sekolah swasta. Mereka berkreasi sendiri untuk mengenalkan masalah bencana kepada seluruh elemen sekolah (peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan). Bahkan sudah ada yang secara periodik melakukan simulasi jika terjadi bencana di daerahnya (sesuai dengan potensi bencana yang ada).

    Mereka bisa begitu karena “didukung” oleh kawan-kawan LSM yang memiliki aturan sendiri dalam berkegiatan. Sementara pelaksanaan SPAB di sekolah negeri masih bisa dihitung dengan jari. Belum banyak yang berani melakukan karena masih menunggu pentunjuk dan arahan dari pimpinan diatasnya.

    Disinilah perlu adanya kesadaran terhadap risiko bencana yang mungkin terjadi di daerahnya, sehingga tumbuh semangat membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan menghadapi bencana, diantaranya melalui proses internalisasi lewat pembelajaran di sekolah.    

    Semua itu kuncinya adalah, adanya regulasi tentang SPAB yang benar-benar dipahami dan dijalankan oleh semua pihak. Kemudian SPAB diintegrasikan dalam mata pelajaran dan ekstra kurikuler. Jika memungkinkan ada evaluasi penyelenggaraan SPAB seperti program Adi Wiyata, lomba SPAB, jambore SPAB dan sosialisasi SPAB dalam kegiatan masa orientasi siswa.

    Dalam acara NGOPI PB juga muncul pendapat bahwa dana BOS dan dana desa bisa digunakan untuk kegiatan SPAB dan kebencanaan. Seperti penyuluhan dan pelatihan pengurangan risiko bencana, pemasangan rambu evakuasi, pembangunan tempat pengungsian dan sejenisnya.

    Namun semua itu tergantung kepada kebijakan pejabatnya. Guru dan karyawan dibawah hanya bisa menunggu arahan dan perintah atasan. Tidak berani mendahului karena bisa dianggap melanggar aturan.

    Untuk itulaha, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, bagaimana membangun kesepahaman antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di bawahnya dalam upaya mengimplementasikan gerakan SPAB agar ketika terjadi bencana, anak-anak tidak menjadi korban.

    Risma, dari FPRB Provinsi Aceh, mengatakan bahwa masalah SPAB itu adalah keberlanjutan program dan anggarannya. Semua tidak akan berlanjut jika masih kurangnya kesadaran dalam mengimplementasikan. Termasuk kesadaran dari para pengambil kebijakan, pihak sekolah serta elemen pentahelix lainnya dalam hal pengurangan risiko bencana.

    Sesungguhnyalah, setiap orang itu, secara naluri memiliki kemampuan untuk beradaptasi menghadapi bencana dan dapat segera pulih kembali kehidupannya pasca bencana tanpa menunggu bantuan dari luar. Tinggal bagaimana naluri sadar bencana itu “dikelola” menjadi sebuah kesadaran komunal.

    Mari kita dorong pemerintah mengemas SPAB yang memiliki ruh PRB, dan tidak dikerjakan berbasis proyek saja, tapi benar-benar harus mampu mengukur dampak,” Kata peserta dari Kota Tahu, Kediri, Jawa Timur. Sebuah ajakan yang sangat menohok bagi para pegiat pengurangan risiko bencana. Salam Literasi, saling peduli saling menginspirasi. [eBas/RabuPon-07042021]