Selasa, 20 November 2018

TANGGAP BENCANA MENUJU TANGGUH BENCANA


      Sering kali, dalam berbagai kesempatan, badan nasional penanggulangan bencana menekankan bahwa upaya penanggulangan bencana perlu adanya koordinasi dan penanganan yang cepat, tepat, efektif, efisien, terpadu dan akuntabel, dari berbagai pihak, agar korban jiwa dan kerugian harta benda dapat diminimalisir.

Untuk itulah, tidak terlalu salah jika relawan pun yang biasanya suka ‘bermain’ di saat tanggap darurat (karena sangat membanggakan dan memorable sifatnya) mengetahui tentang tahapan dalam proses penanggulangan bencana.

Harapannya, relawan itu tidak hanya bermain di tanggap darurat saja, namun juga bisa berkontribusi dalam fase pra bencana, sukur-sukur juga dalam fase pasca bencana. di bawah ini disajikan beberapa informasi dari berbagai sumber untuk menambah wawasan. Mengingat tidak selamanya relawan itu bergelut di tanggap bencana mengandalkan ototnya. Karena, sebagai manusia, relawan pun akan menjadi tua tanpa daya, otot pun kian renta.  

Penanggulangan bencana merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan pembangunan kembali. Dengan tujuan; Memberikan    perlindungan kepada masyarakat   dari ancaman bencana; Menyelaraskan  peraturan perundang-undangan  yang sudah ada; Menjamin    terselenggaranya  penanggulangan  bencana secara terencana,  terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; Menghargai budaya lokal; Membangun partisipasi dan kemitraan publik  serta swasta; Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: Prabencana, yang meliputi: (a) Dalam situasi tidak terjadi bencana, meliputi : perencanaan penanggulangan bencana, yang terdiri atas : pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; pemahaman tentang kerentanan masyarakat; analisis kemungkinan dampak bencana; pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak  bencana; dan alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.

Kemudian, dalam upaya pengurangan risiko bencana, terdiri atas : pengenalan dan pemantauan risiko bencana; perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; pengembangan budaya sadar bencana; peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

Upaya pencegahan yang terdiri atas : identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana; pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba  berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana; penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan penguatan ketahanan sosial masyarakat.

Kemudian melakukan analisis resiko bencana, serta upaya pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana, yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta meningkatkan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana yang harus dimiliki oleh para pelaku kebencanaan.

(b) Dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana, meliputi; Kegiatan Mitigasi, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Tujuan mitigasi bencana, Mengurangi dampak yang ditimbulkan, khususnya bagi penduduk, Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan, Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman

Beberapa kegiatan mitigasi bencana di antaranya; pengenalan dan pemantauan risiko bencana, perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, pengembangan budaya sadar bencana, penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana, identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana, pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam, pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sementara itu, pengertian Kesiapsiagaan adalah Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007). Misalnya, masyarakat mampu mengenali ancaman dan memprediksi sebelum terjadinya bencana; mampu mencegah bencana, jika mungkin, Jika tidak, mampu mengurangi dampaknya, Jika terjadi bencana, mampu menanggulangi secara efektif, Setelah bencana terjadi, mampu pulih kembali.

Tahap kesiapsiagaan meliputi Penilaian Risiko (risk assessment), Perencanaan Siaga (contingency planning), Mobilisasi Sumberdaya (resource mobilization), Pendidikan dan Pelatihan (training & education), Koordinasi (coordination), Mekanisme Respon (response mechanism), Manajemen Informasi (information system), dan kegiatan Gladi / Simulasi (drilling/simulation).

Sementara kegiatan Peringatan dini itu merupakan serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

Saat Tanggap Darurat, yang harus dikerjakan adalah: Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; untuk mengidentifikasi:  cakupan lokasi bencana; jumlah korban; kerusakan prasarana dan sarana; gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

Termasuk menentukan status keadaan darurat bencana dalam Penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana melalui upaya:  pencarian dan penyelamatan korban serta pertolongan darurat ke tempat yang aman.

Pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi :  kebutuhan air bersih dan sanitasi; pangan; sandang; pelayanan kesehatan; pelayanan psikososial; dan  penampungan dan tempat hunian.

Perlindungan terhadap kelompok rentan yaitu dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan (bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung atau menyusui; penyandang cacat; dan orang lanjut usia) berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial.

Dengan kata lain, tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

Kemudian kegiatan pada tahap pascabencana meliputi: (a) rehabilitasi melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis; pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik

(b) rekonstruksi, dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi, pembangunan kembali prasarana dan sarana, pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat; peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi pelayanan publik dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Semoga dengan mengetahui tahapan penanggulangan bencana ini relawan semakin cerdas lagi tangkas dalam mengabdikan dirinya menolong sesamanya yang tertimpa musibah. Termasuk melakukan sinergi program dengan relawan lain, masyarakat terdampak, pemerintah dan dunia usaha dalam penanggulangan bencanaa dan pengurangan risiko bencana.

Semua ini dalam rangka menuju terwujudnya ketangguhan bagsa menghadapi bencana, yaitu Masyarakat yang mampu  merespon, beradaptasi dan pulih kembali ke kondisi normal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain, Ketangguhan tersebut dapat didefinisikan dalam empat elemen: Pertama, masyarakat memiliki daya antisipasi. Kedua, masyarakat harus punya daya pengurangan risiko dengan cara menghindari maupun menolak. Ketiga, adaptasi masyarakat. Keempat, masyarakat mempunyai daya lenting. Ingat kenali bahayanya, kurangi risikonya. [eBas/warkop pinggir embong keputih/selasa wage,20/11]
.




Kamis, 15 November 2018

MITIGASI BENCANA DAN PENDIDIKAN KEAKSARAAN UNTUK MEMBERDAYAKAN WARGA TERDAMPAK


Setiap kejadian bencana  yang terjadi selama ini sering kali mengakibatkan berbagai permasalahan pada fase pasca bencana. Mulai dari rusaknya infrastruktur, rumah tinggal roboh, dan berbagai fasilitas umum yang rusak. Ya, semua rusak, perlu dana besar untuk perbaikan. Begitu juga masalah sosial ekonomi pun juga menjadi persoalan tersendiri. Lahan pertanian dan perkebunan rusak, mata pencaharian penduduk hilang dan terganggu. Kemiskinan pun menyeruak.

Untuk itu perlu dilakukan upaya yang dapat membantu warga masyarakat korban bencana, khususnya kaum perempuan agar memiliki kesadaran dan kepedulian dalam mengelola lingkungan yang telah luluh lantak dilanda bencana, sehingga bisa segera pulih kembali membenahi kehidupannya dengan kegiatan produktif.

Kemendikbud, melalui program pendidikan nonformal, kiranya bisa melakukan pemberdayaan kaum perempuan melalui program pendidikan keaksaraan usaha mandiri. Yaitu, upaya penguatan keberaksaraan melalui pembelajaran keterampilan usaha yang dapat meningkatkan penghasilan dan produktivitas perorangan maupun secara berkelompok pasca lulus mengikuti program keaksaraan dasar (KD).

Program ini sejatinya di peruntukkan bagi peserta didik yang telah menyelesaikan program KD. Namun dalam kondisi tertentu, model pembelajarannya bisa diadopsi untuk program pemberdayaan perempuan. Dimana, materi keaksaraan usaha mandiri ‘diselipi’ dengan materi mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana, serta program pemulihan pasca bencana untuk mengurangi dampak social yang berkepanjangan.

Pengertian Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Tujuan mitigasi bencana, Mengurangi dampak yang ditimbulkan, khususnya bagi penduduk, Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan, Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman

Beberapa kegiatan mitigasi bencana di antaranya; pengenalan dan pemantauan risiko bencana, perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, pengembangan budaya sadar bencana, penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana, identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana, pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam, pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sementara itu, pengertian Kesiapsiagaan adalah Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007). Misalnya, masyarakat mampu mengenali ancaman dan memprediksi sebelum terjadinya bencana; mampu mencegah bencana, jika mungkin, Jika tidak, mampu mengurangi dampaknya, Jika terjadi bencana, mampu menanggulangi secara efektif, Setelah bencana terjadi, mampu pulih kembali.

Tahap kesiapsiagaan meliputi Penilaian Risiko (risk assessment), Perencanaan Siaga (contingency planning), Mobilisasi Sumberdaya (resource  mobilization), Pendidikan dan Pelatihan (training & education), Koordinasi (coordination), Mekanisme Respon (response mechanism), Manajemen Informasi (information system), dan kegiatan Gladi / Simulasi (drilling/simulation).

Tentunya pengetahuan mitigasi dan kesiapsiagaan ini bisa dikolaborasikan dengan program pendidikan keaksaraan untuk materi pemberdayaan perempuan di daerah terdampak bencana. agar mereka tidak terlalu lama berduka akibat bencana. berdaya disini, artinya cepat sadar dari keterpurukan untuk berbuat sesuatu agar kehidupannya cepat pulih seperti sedia kala. Hal ini seperti dalam konsep daya lenting, yaitu meningkatkan kemampuan merencanakan, menyiapkan, mengadaptasi, memulihkan dari kerusakan dan mengembalikan kembali kondisi wilayah bahkan lebih baik dari keadaan sebelum terjadinya bencana

Konon, BNPB pun mempunyai program upaya pemulihan kembali kondisi sosial ekonomi masyarakat terdampak bencana melalui pendampingan membuka peluang usaha dan membantu pemasarannya. Sungguh program ini sangat lekat sekali dengan pendidikan keaksaraan usaha mandiri.

Andai program ini bisa dikolaborasikan dengan program keaksaraan usaha mandiri, tentunya akan semakin mempercepat upaya memberdayakan masyarakat yang terdampak bencana, baik secara ekonomis, juga memperkuat kemampuan membaca, menulis dan berhitung seperti yang diharapkan dalam pendidikan keaksaraan dasar.

Disisi lain masyarakat mampu mengantisipasi potensi bencana yang ada di daerahnya sehingga bisa mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana. ini penting karena masyarakatlah yang akan menjadi korban pertama, sekaligus melakukan penyelamatan semampunya sebelum pertolongan dari pihak luar berdatangaan. Salam tangguh. [eBas/Kamis wage,15/11]










Minggu, 11 November 2018

RELAWAN ITU HARUS TERJUN KE LOKASI BENCANA


Konon, ada yang bilang, seorang relawan itu harus pernah (bahkan sering) terjun ke lokasi bencana. bersama komponen lain membantu menanggulangi bencana sesuai klasternya. Itulah kebanggaan seorang relawan bisa membantu langsung korban bencana dengan segala suka dukanya yang indah untuk dikenang, juga untuk bahan cerita.

Kebanggaan itulah yang kemudian dijadikan bahan cerita yang tiada habisnya. Apalagi jika cerita-cerita itu dikemas dengan dramatisasi yang berbunga-bunga. Maka pendengarnya akan terkesima dan kagum oleh cerita heroiknya. Untuk kemudian semua percaya bahwa sipencerita tadi layak disebut relawan senior yang berpengalaman. Bahkan kalau perlu dijadikan rujukan oleh para yuniornya, juga para pemerhati masalah kebencanaan yang jarang turun ke lokasi bencana.

Ya, ada yang bilang bahwa relawan murni itu, benar-benar rela dan ikhlas dari hati membantu untuk kemanusiaan. tidak pernah sekalipun berfikir untuk meraup untung di lokasi bencana. Hal ini sejalan dengan definisi relawan yang dikemukakan oleh Devani Sukma, dalam keuanganlsm.com (2013), sebagai seorang yang secara suka rela (uncoerced) menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk menolong orang lain (help others) dan sadar bahwa tidak akan mendapatkan upah atau gaji atas apa yang telah disumbangkan (unremunerated).

Sedangkan menurut Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dikatakan, relawan Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut relawan, adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.

Dalam sebuah postingan di grup WhatsApp, seorang relawan senior berkata, saya tahu persis di dalam grup ini, siapa relawan yang sering turun di lokasi bencana, dan siapa yang Cuma relawan label saja, jarang turun saat ada bencana. bahkan Cuma beberapa kali turun tapi retorikanya selangit.

Menurutnya, relawan yang suka retorika itu lek perlu diajak evakuasi nang Petobo, engkok lak cekintang cekinting. Delepno ae mesisan nang lumpur Petobo setengah badan seng deket dengan mayat yang sudah menggembung dan yang perutnya sudah pecah, ben faham opo sek hakekate relawan, ben gak salah faham.

Menurut faham relawan senior diatas, relawan yang hanya beretorika selangit itu belum layak disebut relawan. Mungkin dianggap relawan anyaran yang baru blajaran. Sehingga tidak patut ikut berbicara tentang dunia relawan sesuai faham ini. (sebuah faham yang sulit dipahami). Mungkin dolane kurang adoh karo relawan.

Untuk membangun kesepahan itulah kiranya perlu ada acara kopi darat untuk membahas apa itu relawan, dengan catatan tanpa arogan. “Sambil ngopi bareng saya malah penasaran, seberapa jauh sih pengetahuan dan fakta lapangan tentang relawan, dan seberapa karat sih bisa menghadirkan kerelawanan pada jiwa kalian,” Ujar relawan senior itu. Jelas sekali tampak kecongkakannya dalam bertutur karena merasa sudah hebat.

Masih menurut relawan yang mempunyai kawan banyak dari berbagai kalangan ini, tidak sedikit komunitas relawan, tiap kali datang ke lokasi bencana tidak ada itu bagi-bagi uang saat bencana. budal yo bondo dewe.

“Sementara, yang suka meminta upah atau dibayar, itu relawan paradigma lama. Sekarang sudah banyak berkurang. Relawan saat ini berangkat tidak mengharapkan uang. Mereka banyak yang berangkat dengan modal sendiri. Bahkan patungan, sampai ada yang menggadaikan mobilnya, dan motornya untuk akomodasi pribadi selama di lokasi,” Ujarnya dengan bangga. Rupanya, relawan yang hebat itu harus berani menggadaikan barangnya untuk terjun ke lokasi bencana. ( ehm … ? )

Dan seringnya, relawan yang ada ini tiap kali selesai berkegiatan di lokasi bencana lalu ngumpul di warkop.  Ngopi bareng rame-rame lintas komunitas. Mereka  bersama membahas, atau boso akademisnya, evaluasi. Sopo-sopo personal relawan yang saat di kejadian bencana gerakannya diluar SOP dan melampaui klasternya.

Untuk meredam emosinya, seorang relawan lain, mencoba berkomentar dengan bijak. “Sabar, mungkin tidak semua anggota di grup WhatsApp ini memiliki pengalaman di lapangan seperti sampiyan dalam menangani situasi darurat. Tentu hal ini akan mempengaruhi pengetahuan, pengalaman, cara berpikir dan cara bertindak seseorang, “ katanya.

Selanjutnya dikatakan, Inilah kesempatan bagi kita semua untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui dunia maya agar semakin banyak orang memahami kompleksitas penanganan situasi darurat. Termasuk dalam hal ini pengelolaan relawan. Memang, ada organisasi yang mengelola relawannya dengan sangat bagus. Tapi ada juga organisasi yang masih perlu meningkatkan kapasitas untuk mengelola relawannya.

Konon, ada tiga fase dalam penanggulangan bencana. yaitu fase pra bencana,fase tanggap darurat, dan fase pasca bencana. dalam setiap fase, relawan bisa bermain disitu. Memang yang paling seksi dan ‘memorable’ adalah ikut berperan pada fase tanggap darurat bencana. apalagi berkesempatan disorot media massa. Terkenallah dia, berbanggalah dia. Layak menyandang relawan sejati. Dan inilah sejatinya relawan menurut faham mereka.

Namun, tidak ada salahnya, relawan, yang karena sesuatu dan lain hal hanya aktif di fase pra bencana saja, yang mungkin menurut faham mereka aib. Biarkan saja, itu bukan dosa. Lakukan saja kegiatan pada fase pra bencana. seperti melakukan edukasi dan sosialisasi pengurangan risiko bencana, mengadakan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat, juga kepada relawan dalam rangka peningkatan kapasitas. Karena, sesungguhnyalah  ada beberapa faktor yang bisa menghambat relawan untuk terjun mengabdikan diri, melakukan aksi kemanusiaan membantu sesama.

Seperti faktor ijin dari keluarga, ijin dari pimpinan lembaga dimana dia bekerja, faktor kesehtan dan usia, serta faktor ketersediaan dana untuk akomodasi pribadi selama mengikuti operasi tanggap darurat bencana, agar tidak merepotkan dapur umum dan saat pulang tidak ‘ngemis’ minta sangu dan tiket, seperti kelakuan oknum relawan yang sulit di deteksi.

Ya, di lapangan memang masih ada relawan yang kayak jailangkung. Datang tidak ada pemberitahuan, pulang tanpa pamit dan meninggalkan persoalan baru di lokasi bencana. inilah yang perlu ditertibkan melalui ‘desk relawan’ yang masih dalam tahab wacana karena sulit direalisasikan.

Konon, jika ada relawan yang mendapat uang dari pemerintah. Itu bukan gaji/dibayar, tapi sekedar tali asih dari pemerintah kepada mereka yang sudah berbuat dengan nyata di lokasi bencana. jadi bukan dibayar atau digaji.

Artinya, memang ada relawan tertentu yang mendapat tali asih dari pemerintah (juga fasilitas lain). Namun tidak semua relawan berkesempatan mendapat tali asih. Sekali lagi hanya relawan tertentu dan melalui proses serta aturan tertentu. Hal ini, kadang memunculkan oknum tertentu yang mau berbuat nyata di lokasi bencana jika ada tali asihnya.

Sungguh, penggalan-penggalan postingan itu jika disatukan bisa menjadi bahan pembelajaran tersendiri seperti yang sedang anda baca (tentu tanpa emosi, tanpa tendensi dan sok pintar sendiri), untuk menambah wawasan tentang dunia relawan dalam penanggulangan bencana yang penuh warna, yang pada akhirnya diharapkan bisa menginspirasi untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu kliwon-11/11/dari berbagai postingan]


Minggu, 04 November 2018

PRASASTI MENYIMPAN PESAN PERADABAN MASA LALU


Konon, prasasti sebagai salah satu peninggalan sejarah masa lalu banyak menyimpan pesan tertentu. Prasasti yang sengaja dibuat pada jaman kerajaan tertentu, merupakan upaya mendokumentasikan suatu peristiwa agar bisa dikenang dan dipelajari oleh ‘generasi’ berikutnya. untuk ditiru dan disempurnakan sesuai jamannya. 

Wikipedia mengatakan bahwa Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Disamping prasasti ada pula yang berbentuk naskah yang ditulis di daun lontar, kayu, dan kulit hewan.
Dalam berbagai kajian sejarah, dikatakan prasasti merupakan sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.
Dengan kata lain, keberadaan prasasti itu sebagai penanda bahwa di suatu daerah pernah terjadinya suatu peristiwa dan tanda sebagai pernah berkuasanya sosok seorang raja atau penguasa.
Disamping prasasti, banyak juga pesan dalam bentuk simbul yang dituliskan di gerabah, perhiasan, arca maupun di dinding candi dalam bentuk gambar. Pesan pesan yang tersembunyi inilah oleh para ‘pemerhati kepurbakalaan’ dijadikan bahan kajian untuk menguak kebesaran sejarah masa lalu.
Beberapa komunitas sedang mencoba mengalih bahasakan peninggalan sejarah itu dengan terlebih dulu mempelajari bahasanya. Mereka mencoba membaca sebuah naskah/prasasti dengan cara mengartikan perkata/perhuruf terlebih dulu, baru dirankai dan ditafsirkan. Tentunya dengan ditambah informasi dari berbagai sumber pendukung lain yang ditemukan. Karena, sesungguhnyalah perkembangan bahasa, khususnya  bentuk huruf jawa kuna itu selalu mengalami perubahan dari abad ke abad, sesuai perkembangan peradaban sebuah bangsa (sistem pemerintahannya).
Andai anggota komunitas itu berhasil ‘membaca’ pesan peninggalan peradaban masa lalu, maka akan banyak informasi yang akan terkuak. Entah itu terkait dengan ilmu bangunan, berbagai kesenian, ritual keagamaan, kuliner, sistem perdagangan, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, penyebab terjadinya perang, terbentuknya sebuah perdikan/kadipaten, lahirnya tokoh, wafatnya raja, peristiwa gunung meletus, gempa, banjir, dan informasi lainnya, yang sangat berguna menambah wawasan.
Sayangnya, banyak peninggalan masa lalu yang kurang terurus sehingga banyak yang berpindah tangan, menjadi barang antik yang diperdagangkan dan menjadi koleksi perorangan, bahkan tidak sedikit yang dibawa ke negeri seberang, dijadikan bahan penelitian. Sementara disini masih dianggap sekedar ‘klangenan’ oleh mereka yang mempunyai kepedulian akan sejarah masa lalu. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu pon, 4/11]