Kini Kereta Api sudah banyak mengalami kemajuan.
Dalam hal pelayanan, tidak ada lagi penumpang yang berdiri dan tanpa karcis,
juga tidak ada lagi teriakan pedagang asongan yang berbaur dengan copet dan
jambret. Dulu Kereta Api terlambat adalah hal biasa, kini sudah mulai dibenahi.
Ya, banyak perubahan yang terjadi, baik di
lingkungan setasiun maupun di setiap gerbongnya, kebersihan tempat duduk dan
kamar mandi telah mengalami perubahan besar, penumpang juga semakin nyaman
dengan adanya pendingin ruangan yang cukup dingin. Keamanan pun juga
ditingkatkan, terbukti secara teratur tim keamanan berlalu lalang menjaga
keamanan dan kenyamanan penumpang.
Disamping itu kini di masing-masing gerbong
tertempel stiker petunjuk jalan evakuasi jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Begitu juga di stasiun, stiker pemberitahuan jalur evakuasi
tertempel di beberapa dinding yang mudah dibaca oleh penumpang kereta. Sungguh
ini menandakan bahwa kesadaran akan perlinya kesiapsiagaan menghadapi bencana
(dalam hal ini bencana kecelakaan kereta api, longsor, gempa), sudah mulai
tertanam di lubuk hati pejabat per-kereta api-an.
Kelakuan pihak Kereta Api tersebut biasa disebut
sebagai upaya mitigasi non struktural, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik
melalui penyadaran dan peningkatan
kemampuan mengatasi ancaman bencana. Dalam
khasanah relawan penanggulangan bencana, Berbagai
upaya mitigasi non struktural itu antara lain melakukan pelatihan, pendidikan,
penyuluhan, penataan ruang dan relokasi. Ketika masyarakat, dalam hal ini
karyawan Kereta Api dan penumpangnya telah mengetahui resiko bencana melalui
usaha-usaha tersebut, maka dampak korban jiwa, minimal dapat dikurangi.
Artinya, dengan terpasangnya stiker petunjuk jalur evakuasi, semua yang ada di
Stasiun dan Kereta Api akan selalu ingat bahwa bencana bisa datang setiap saat
dan diharapkan mereka siap dan tahu apa yang harus dilakukan.
Kemudian, jika
dilihat dari luasnya lahan Stasiun Kereta Api, yang sementara ini masih sering
dibiarkan ditumbuhi semak belukar. Sejatinyalah bisa dioptimalkan untuk
berkontribusi langsung pada upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Seperti diketahui kejadian terkait dengan kondisi iklim yang
tidak menentu seperti banjir, kekeringan, yang menimbulkan korban jiwa serta
kerugian ekonomi dan ekologi, semakin sering terjadi.
Kondisi tersebut
perlu disikapi dengan memperkuat aksi nyata di tingkat lokal (dalam hal ini
lingkungan stasiun dan masyarakat disekitarnya), terkait dengan konsep adaptasi
perubahan iklim. Misalnya dengan memanfaatkan lahan yang luas itu dengan
ditanami tanaman produktif dalam rangka mensukseskan program ketahanan pangan,
seperti menanam jagung, ubi jalar, ketela pohon dan sejenisnya. Tanaman keras
yang produktif, diantaranya pohon Jati, Mahoni, Sengon, Jabon dan kelapa,
dimana hasilnya bisa untuk menambah modal koperasi karyawan kereta api. Juga
aneka tanaman buah yang berfungsi pula sebagai tanaman pelindung yang membuat
lingkungan stasiun sejuk, rindang dan asri sebagai upaya mengurangi proses
pemanasan global (gas rumah kaca).
Artinya, upaya mengurangi efek gas rumah kaca itu dengan melakukan gerakan
menanam pohon yang lebih banyak. Karena pohon dipercaya dapat menyerap karbon
dioksida lebih cepat dan dalam jumlah banyak, memecahnya melalui fotosintesis,
maupun menyimpan karbon pada kayunya.
Melihat begitu
potensialnya lingkungan stasiun yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung program
penghijauan yang dampaknya bisa menyimpan air tanah, mengendalikan banjir dan
longsor, maka perlu kiranya pihak manajemen kereta api membenahi dengan
mempercantik halaman stasiun dengan aneka bebungaan, memanfaatkan lahan di
sepanjang lintasan rel kereta api dengan tanaman keras yang dikerjasamakan
dengan penduduk setempat, sehingga keduanya mendapatkan manfaat.
Ya, kalau mau
jujur, memang lingkungan stasiun kereta api masih perlu dibenahi, lahan yang
begitu luas pun perlu dioptimalkan pemanfaatannya, sampah pun yang berserak di
seputar lingkungan stasiun kiranya perlu dikelola bekerjasama dengan masyarakat
yang menggantungkan nafkahnya dari stasiun.
Kemudian, ‘bangkai kereta api’ yang sudah rusak
dan tidak terpakai, hendaknya tidak dibiarkan mangkrak, termasuk kayu jati
bekas bantalan rel yang sudah keropos, tapi dimanfaatkan atau dimusnahkan, agar
tidak terkesan kumuh, kotor dan dijadikan rumah setan. Salam.*[eBas]