Jumat kliwon (19/6), siang hari
habis solat jumat, saya mengikuti diskusi webinar dengan tema “Pemuda, Pemimpin
dan Kesukarelawanan dimasa Pandemi”. Kegiatan ini diadakan oleh komunitas
pemuda Surabaya. Lumayan partisipannya banyak dan dinamis, walau kadang koneksi
internetnya putus nyambung.
Mereka secara bergantian
menyoroti masalah sosial yang timbul akibat pandemi yang berkepanjangan. Mulai dari
anak sekolah yang terpaksa menjalani belajar jarak jauh melalui daring (yang
dipertanyakan efektivitasnya, karena media daring merupakan hal baru yang harus
didukung dengan dana untuk beli sarana dan pulsa).
Mereka juga bicara pemberlakuan
PSBB, masa transisi menuju new normal dan banyaknya penyandang ODP, PDP, OTG,
dan pasien positif covid-19, serta masalah pembentukan kampung tangguh oleh warga
secara bergotong royong. Swadaya murni tanpa difasilitasi, hanya didorong dan
dimotivasi.
Dalam webinar, Salah seorang
pegiat kampung tangguh, sempat ngudo roso. Dia bilang bahwa di kampungnya warga
urunan mendirikan posko kampung tangguh, namun sampai sekarang belum pernah
mendapat bantuan dari pemkot.
Pernah ditanyakan ke kelurahan,
mereka hanya menghimbau agar kegiatannya dibiayai sendiri secara bergotong
royong. Dalihnya, semua itu untuk kepentingan warga sendiri (dana diambilkan dari
kas RT/RW). Sungguh bijak sekali jawabannya. Diplomatis tapi menyakitkan.
Padahal, konon ada Surat Edaran
dari pejabat pusat yang isinya dana Desa/kelurahan bisa digunakan untuk upaya
penanganan pandemi covid-19. Misalnya untuk pengadaan disinfektan, hand
sanitizer dan biaya operasional lainnya (termasuk bantuan pendirian kampung tangguh
sebagai posko siaga covid-19 serta akomodasi warga yang jaga).
Konon, juga ada Surat Edaran dari
kemendagri, dimana di dalamnya menyebutkan keterlibatan masyarakat (relawan,
LSM/OMS, dunia usaha) dalam gugus tugas percepatan penanganan covid-19. Sementara
kemendikbud juga mengeluarkan peraturan terkait dengan pembelajaran dimasa pandemi
yang mengedepankan kesehatan dan keselamatan. Di dalamnya juga mengatur tentang
pendirian posko pendidikan, yang melibatkan masyarakat.
Pertanyaannya, masyarakat yang
mana, dan kapan dilibatkan ?. selalu saja dijawab sedang dikoordinasikan. Ya,
kerja-kerja keroyokan begini ini biasanya terkendala pada ego sektoral
masing-masing yang terlibat, karena mereka punya anggaran sendiri yang harus
habis dibelanjakan sesuai aturannya sendiri.
Masih menurut pegiat kampung
tangguh ini, rencananya akan diadakan lomba kampung tangguh. Kira-kira kriteria
pemenangnya apa ya ?. banyaknya ODP, sedikitnya PDP atau adanya yang posistif
covid-19 dan isolasi mandiri ?. jika benar akan dilombakan, dapat dipastikan
yang menang adalah kampung yang warganya mau diajak urunan banyak (karena
mandiri tidak ada subsidi, paling hanya diarahkan harus begitu jangan begini).
Dana yang tidak sedikit itu untuk
‘menghias’ posko kampung tangguh,
sekaligus menjamu tim penilai lomba agar senang hatinya. Biasanya kalau menang,
pasti dulu-duluan menepuk dada sambil bilang ini warga saya, ini berkat arahan
dan binaan saya. Apalagi kalau ada hadiahnya, dipastikan akan banyak yang
kepingin ‘nyubit’ sedikit. Perilaku semacam
ini persis seperti pepatah jawa, “Gelem mangan nangkane, ora gelem jibrat
pulute”.
“Sesungguhnyalah, sebelum
terbentuk kampung tangguh, sudah ada program Desa Tanggunh Bencana, Desa Siaga,
dan Kampung Siaga, dengan segala programnya. Mengapa harus membentuk baru,
kenapa yang sudah ada itu tidak dioptimalkan ?,” Tanya partisipan webinar yang
suaranya putus nyambung karena koneksi internetnya lemot. Sementara saya sendiri
mengalami trouble dibagian audio. Bisa mendengarkan namun suara saya tidak bisa
didengar oleh partisipan lain. Mungkin inilah yang disebut gagap teknologi.
“Dulu, diawal wabah corona, jika
di sebuah kampong ada yang di duga ODP, langsung saat itu juga seluruh aparat
Desa sibuk daan dilakukan penyemprotan pakai mobil pemadam kebakaran sehari
tiga kali berhari-hari. Namun sekarang jika ada warga yang positif covid-19,
tanggapannya biasa saja, tidak seheboh dulu. Barangkali sudah capek,” Kata
partisipan yang lain.
Dia pun juga bilang bahwa
sekarang di kampungnya sudah tidak ada lagi bilik semprot yang pernah dibangun
secara swadaya. Demikian juga posko siaga sudah mulai jarang dijaga, sedangkan
spanduk bertuliskan kampung tangguh covid-19 sudah sobek disana sini. Kalaupun
ada aparat yang datang, paling hanya duduk ngobrol dan ngopi setelah itu pergi.
Padahal buku petunjuk pendirian
posko dan pembentukan relawan siaga covid-19, sudah ada tapi tampaknya belum
dibaca. Sehingga dibanyak tempat, saat ini posko kampung tangguh tidak ubahnya
seperti siskamling.
Sungguh, boleh dikata kegiatan
webinar kali ini sarat dengan keluhan akan penanganan pageblug dari Kota Wuhan
beserta dampak ikutannya. Padahal pemerintah sudah habis-habisan merusaha
memutus rantai sebaran wabah. Salah satunya membuat protokol kesehatan,
himbauan untuk physical and social distancing
dalam menjalankan aktivitas hidup keseharian.
Diakhir webinar, yang bertindak
sebagai Host mengingatkan kembali agar semua partisipan berkenan untuk
mensosialisasikan kepada khalayak ramai agar taat protokol kesehatan, istirahat
di rumah, makan makanan bergizi untuk meningkatkan imun tubuh dimasa pandemi,
agar penerapan PSBB tidak terulang kembali, sehingga kita bisa segera masuk
transisi menuju new normal yang ditandai semakin terkendalinya pandemi (walau
masih berpotensi meledak kembali jika kita semua abai). Salam Tangguh, Salan
Sehat, Ayo Kita Lawan Covid-19. [eBas/ndlemingsabtupahing/dinihari-20062020]