Rabu, 31 Oktober 2018

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR POSKO PEDULI BENCANA

Seiring dengan semakin seringnya bencana ‘menyapa’ berbagai daerah,  yang mengakibatkan kerugian  harta, benda, bahkan nyawa. Gempa Lombok yang diikuti longsor dan Gempa Palu yang diikuti tsunami dan likuifaksi, adalah bencana terbaru yang cukup mengagetkan banyak pihak. Kesadaran dan rasa kepedulian kepada sesama pun tumbuh dan digelar dimana-mana dengan berbagai bentuknya.

Ada relawan (didukung dana dan sarana yang memadai), langsung berangkat ke lokasi, membantu evakuasi, bersama elemen lain menolong mereka yang perlu ditolong, bersama pemerintah meringankan derita sesama.

Bagi relawan yang tidak berkesempatan mengikuti operasi tanggap darurat bencana, bisa melakukan aksi menggalang dana di perempatan jalan maupun mengadakan konser kemanusiaan. termasuk berpartisipasi mendirikan Posko Peduli Bencana. Posko ini berupaya menampung donasi dan aneka bantuan masyarakat yang nantinya akan dikirimkan ke posko induk di lokasi bencana.

Hal ini sesuai dengan Perka nomor 22 tahun 2008, tentang Pendanaan dan pengelolaan Bantuan Bencana. Di dalam Pasal 8 dikatakan bahwa  dalam mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah atau pemerintah daerah dapat: a. memfasilitasi masyarakat yang akan memberikan bantuan dana penanggulangan bencana; b. memfasilitasi masyarakat yang akan melakukan pengumpulan dana penanggulangan bencana; dan c. meningkatkan kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyediaan dana.

Sementara, Pasal 9 mengamanatkan, (1) Setiap pengumpulan dana penanggulangan bencana, wajib mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang. (2) Setiap izin yang diberikan oleh instansi/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salinannya disampaikan kepada BNPB atau BPBD. (3) Tata cara perizinan pengumpulan dana penanggulangan bencana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berkaca dari aturan di atas, hendaknya, dalam mendirikan posko peduli bencana ada aturan main (biasa disebut standar operasional prosedur/sop) yang jelas agar tampak professional. Menghilangkan timbulnya sakwa sangka dan saling menggantungkan karena ketidak jelasan peran.

Dari lamannya sumberpengertian.com, dikatakan bahwa Standar Operasional Prosedur atau disingkat dengan SOP adalah dokumen yang berkaitan dengan prosedur yang dilakukan secara kronologis untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memperoleh hasil kerja yang paling efektif.

Sedangkan tujuan dari SOP adalah untuk: Agar petugas menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas dalam organisasi, Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait, dan Melindungi petugas dari kesalahan administrasi lainnya.

Aturan main yang dituangkan dalam SOP itu, akan menjadi panduan untuk mengelola posko peduli bencana. misalnya menjelaskan siapa penanggungjawabnya, berapa personil yang terlibat/ikut piket, siapa saja mereka, mereka bekerja selama berapa jam perharinya, posko buka sampai berapa bulan, bagaimana konsumsi untuk piket agar tetap sehat dan bersemangat.

Dijelaskan pula, misalnya, barang bantuan dari masyarakat yang baru datang langsung dicatat. Sebelum dimasukkan ke gudang, diperiksa dulu. Apakah barang dalam kondisi baik, rusak, cacat atau kedaluwarsa. Barang yang rusak, cacat dan kedaluwarsa dipisahkan. Bisa juga dimusnahkan dengan terlebih dulu dibuatkan surat keterangan penghapusan.  

Sedang yang baik masuk gudang, diletakkan sesuai jenisnya. Sembako kumpul sembako, obat kumpul obat, matras kumpul matras, pakaian kumpul pakaian, dan makanan kumpul makanan. Ini akan memudahkan untuk pengambilan saat dibutuhkan.

Sementara, bantuan masyarakat yang berupa uang, juga harus jelas penggunaannya. Berapa jumlahnya, dari siapa saja, dibelanjakan barang atau tetap dikirim berupa uang, harus jelas penerimanya. Semuanya harus tercatat untuk memudahkan pelaporannya.

Apakah begitu yang namanya SOP ?. mari duduk bersama sambil ngopi, menyusun SOP untuk beberapa kegiatan yang mengharuskan disusunnya SOP sesuai aturan agar semuanya jelas dan prosedural. Salam Tangguh, tetap menginspirasi. [eBas/Kamis Kliwon 1/11]   










Rabu, 24 Oktober 2018

PERAN DISABILITAS DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA


Perlakuan diskriminatif terhdap penyandang disabilitas masih sering terjadi meskipun UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah ada. Begitu juga kelompok disabilitas sangat berisiko menjadi korban saat ada bencana, karena bisa memunculkan disabilitas baru.

Ini terjadi karena khalayak ramai masih jarang berinteraksi dengan mereka dan tidak tahu tentang bagaimana cara memperlakukannya. Disamping itu, masih banyaknya fasilitas umum yang dibangun belum ‘pro disabilitas’. Termasuk dalam penanggulangan bencana, sering kali kelompok disabilitas masih diperlakukan sebagai korban yang tidak berdaya dan harus ditolong. Padahal banyak dari mereka yang mampu untuk berbuat sesuatu jika mereka diberi kesempatan dan dilibatkan.

Untuk itu perlu ada upaya peningkatan kapasitas dari kelompok disabilitas agar berdaya. Disisi lain, relawan juga perlu dilatih agar lebih peka terhadap disabilitas. Dari sinilah perlunya semua pihak menyadari bahwa sudah ada ‘payung hukum’ yang bisa mengatur BNPB dan BPBD membuat program ‘pembinaan dan fasilitasi’ kepada kelompok disabilitas agar mereka bisa berpartisipasi dalam PRB dan PB bersama relawan.

Dalam undang undangnya dikatakan bahwa Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dalam Pasal 20 dikatakan, Hak Pelindungan dari bencana untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. mendapatkan informasi yang mudah diakses akan adanya bencana; b. mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana; c. mendapatkan prioritas dalam proses penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan bencana; d. mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan evakuasi yang mudah diakses; dan e. mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang mudah diakses di lokasi pengungsian.

Masalah inilah yang mencuat dalam kegiatan Training of Fasilitator PRB Inklusi tahun 2018, di Hotel Santika Gubeng, Surabaya. Tujuannya diantaranya adalah menjadikan kelompok disabilitas sebagai aktor pengurangan risiko bencana yang mumpuni.

Hal ini sesuai konsep Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan keberadaan Penyandang Disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang tangguh dan mandiri.

Seiring dengan hal di atas, Dalam Perka nomor 14 tagun 2014 memuat Prinsip-prinsip dasar  penanganan, perlindungan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana antara lain: Penghormatan atas martabat manusia dan kebebasan individu untuk menentukan pilihan demi kemandirian pribadi.

Kemudian, Nondiskriminasi, Partisipasi aktif dalam masyarakat, Penghormatan atas perbedaan sebagai bagian dari keragaman dan kemanusiaan, Kesamaan kesempatan dan iklusi pada semua bidang, Kemudahan akses, Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, Penghargaan atas kapasitas penyandang disabilitas anak untuk bertumbuh-kembang dan hak-hak mereka atas perlindungan identitas.

Sementara itu, Pasal 109 UU nomor 8 tahun 2016, mengatakan,  (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin penanganan Penyandang Disabilitas pada tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. (2) Penanganan Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Akomodasi yang Layak dan Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas. (3) Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi dalam penanggulangan bencana.

Hal ini sejalan dengan tujuan penanggulangan bencana, yaitu Memberi perlindungan kepada masyarakat, Menyelenggarakan Penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh, Menghargai budaya local, membangun kemitraan dan partisipasi publik dan dunia usaha, Membangus semangat gotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan, Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat.

Kegiatan yang dimotori oleh USAID melalui ASB dalam program Technical Assistance and Training Teams, berupaya meningkatkan kapasitas kelompok disabilitas dalam PB dan PRB, sesuai Lima Mandat Inklusi, yaitu tentang data terpilah, aksesibilitas, partisipasi, peningkatan kapasitas, dan prioritas perlindungan.

Semua ini perlu dilakukan secara intens agar mereka bisa berperan membantu memberikan penyuluhan kepada kelompok disabilitas lainnya sehingga memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana, sesuai konsep semua siap, semua terlibat dan semua selamat.

Kini, semua peserta training sudah kembali ke daerah masing-masing. Bergelut kembali dengan rutinitas kehidupan. Harapannya, melalui sarana grup WhatsApp yang dibuat bisa menjadi media komunikasi. Siapa tahu dari situ tercetus membuat rencana tindak lanjut dari kegiatan ini. Entah itu difasilitasi kembali oleh USAID atau akan dianggarkan lewat APBD, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota. Wallahu a’lam bishowab. Salam Tangguh. [eBas, rabu pahing 24/10]   





Minggu, 21 Oktober 2018

DESK RELAWAN ALA LILIK KURNIAWAN


Saat memaparkan konsep Desk Relawan, lilik Kurniawan, direktur Pemberdayaan Masyarakat, BNPB, mengatakan bahwa jika terjadi bencana di suatu daerah (Kabupaten/Kota), maka dalam waktu 1 X 24 jam , SRPB (beserta tim TRC BPBD Provinsi), sudah harus bergerak mendatangi lokasi untuk berkoordinasi dengan BPBD setempat melakukan kaji cepat dan mendirikan Tenda desk Relawan yang posisinya berdekatan dengan posko Utama (jika situasi memang mengharuskan).

Apa yang dikatakan pria murah senyum itu merupakan hal yang wow…..ruaaaar biasa banget, jika bisa diwujudkan ke alam nyata. Ya, sebagai gagasan cerdas, tentunya pernyataan yang dilontarkan pada acara ‘Sedekah Ilmu’ di Joglo Kadiren (Joka), hari kamis (18/10), itu perlu mendapat acungan jempol. namun, sebelum dicoba laksanakan tahun depan, hendaknya bisa menjawab beberapa pertanyaan dibawah ini, yang jawabannya gampang gampang susah.

Seperti, apakah di BPBD ada dana (bisa dan mau menganggarkan) yang siap cair setiap ada bencana untuk mendukung gerakan tersebut di atas?. Apakah ada relawan (dan Tim TRC BPBD) yang bersedia siap bergerak setiap waktu tanpa menunggu, manakala tugas memanggil?.

Ingat, relawan (dan Tim TRC BPBD) itu bukan tentara yang siap bergerak kapan saja, kemana saja sesuai perintah atasan dalam sebuah sistem komando yang jelas, dan tegas. Tentara memang terlatih untuk bergerak cepat tanpa menunggu surat dari pejabat yang kadang terlambat karena sibuk rapat atau tidak berada di tempat.

Sementara banyak kendala yang mempengaruhi relawan ketika akan turun ke lapangan. Baik itu soal dana, keluarga, dan ijin dari tempatnya bekerja. Sedangkan Tim TRC  BPBD, biasanya baru akan berangkat ketika surat tugas  beserta pendukungnya sudah ditangan. Tanpa itu bisa dianggap melanggar disiplin pegawai.

Belum lagi masalah koordinasi antar OPD yang masih agak lemah karena masih kuatnya ego sektoral. disamping itu juga masih adanya kekurang mengertiannya tentang manajemen bencana dan memaknai situasi tanggap darurat yang tertuang dalam rencana penanggulangan bencana dan recana kontijensi.

dua pertanyaan di atas itulah  yang harus dijawab oleh BNPB sebagi pemilik gagasan, dalam sebuah rapat bersama antara relawan dan BPBD (yang melibatkan bidang PK, KL, dan RR). Dari situ diharapkan lahir kesepahaman dan kesepakatan untuk melangkah bersama mencoba melaksanakan konsep Desk Relawan, seperti yang dipresentasikan dengan apiknya di malam Jumat paing. Sebuah malam dimana dalam budaya jawa dianggap malam yang sakral penuh magis.

Disisi lain, gagasan Tenda Desk Relawan itu juga perlu didukung dengan berdirinya SRPB (atau nama lain yang disepakati sebagai wadah berkumpulnya perwakilan organisasi relawan untuk memudahkan koordinasi dengan BPBD) di tingkat Kabupaten/Kota, yang ‘dibina’ oleh BPBD setempat dalam hal peningkatan kapasitas. Ingat, desk relawan itu bukan menandingi posko, tapi bagian dari posko.

Hal ini untuk mempercepat pergerakan penanganan manakala ada bencana di daerahnya sebelum bantuan dari luar berdatangan. Artinya, jika terjadi bencana di suatu daerah, maka yang bergerak lebih dulu melakukan kaji cepat adalah TRC dan SRPB setempat (memberdayakan potensi lokal). Mengingat mereka sudah dikenal masyarakat dan ‘menguasi’ daerahnya.

Dari hasil kaji cepat itulah kemudian dilaporkan ke SRPB dan pusdalop BPBD Provinsi untuk  dijadikan bahan pengambilan kebijakan. Apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah, termasuk perlu tidaknya mendirikan posko utama dan desk relawan dalam penanggulangan bencana yang terjadi.

Semoga pertanyaan di atas segera mendapat jawaban yang ‘menyejukkan’. Hal ini untuk menjawab temuan lapangan yang dikemukakan oleh Lilik Kurniawan dalam paparannya. Diantaranya, keberadaan relawan di lapangan belum semua terdaftar, relawan hadir secara pribadi atau kelompok sesuai kebisaannya tanpa koordinasi lintas sektor, hubungan relawan dengan posko belum lancar, dan masih ada relawan yang datang ke lokasi bencana tidak membawa APD dan surat tugas dari induk organisasinya atau dari SRPB sebagai wadah dari perwakilan berbagai organisasi relawan/pekerja kemanusiaan. Salam tangguh, semoga menginspirasi.[eBas,minggu wage 21/10]

Rabu, 17 Oktober 2018

HINDARI LIKUIFAKSI DENGAN MENGHIJAUKAN PANTAI SURABAYA ?


Beberapa waktu yang lalu, Amien Widodo dalam tulisannya di Koran mengatakan bahwa, kondisi tanah di Surabaya utara dan sepanjang pantai Kenjeran itu sangat jelek. Rawan terjadi likuifaksi. Menurut Wikipedia, likuifaksi tanah atau pencairan tanah (bahasa Inggris: soil liquefaction) adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan.

Menurut Dwikorita, mantan rector UGM Jogja, fenomena likuifaksi ini biasanya terjadi saat gempa bumi terjadi yaitu pada daerah-daerah atau zona-zona dengan tanah yang mengandung air. Misalnya yang sering terjadi itu di dekat pantai atau di daerah gempa, ada lapisan yang mengandung air misalnya tanah pasir.

Sementara dewan penasehat Ikatan Ahli Geologi Indonesia Rovicky Dwi Putrohari, mengatakan bahwa Likuifaksi terjadi karena ada getaran gempa yang memicu terjadinya fraksi (butiran) kasar yang terkumpul di bawah dan butiran halus serta air akan keluar.
"Likuifaksi ini kalau diibaratkan seperti kita sedang mengetuk-ngetuk toples untuk memasukkan suatu benda supaya ada banyak yang masuk ke dalamnya. Ini menyebabkan cairan atau material halus berada di atas," imbuhnya.

Sungguh, peristiwa likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah yang dipicu oleh gempa itu sangat mengerikan. Betapa tidak. Satu kawasan porak poranda dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Pemerintah pun memutuskan daerah tersebut, yang telah menjadi kunuran massal ke depan akan dijadikan hutan taman kota, disana akan didirikan monument bencana, dan tidak boleh dijadikan tempat hunian (dilarang mendirikan rumah). Ya, daerah yang baru kena likuifaksi akan memerlukan waktu lama untuk mengeras kembali.

Akankah Likuifaksi akan ‘menyapa’ warga yang berdomisili di wilayah Surabaya, yang kata Amien tanahnya jelek?. Jawabnya tidak tahu, karena memang belum ada penelitian. Yang jelas likuifaksi terjadi pada tanah yang memiliki kondisi tidak padat atau merupakan tanah gembur

Salah satu upaya mencegah bahaya Likuifaksi adalah melakukan rekayasa untuk merubah tanah yang gembur menjadi tanah yang padat, yakni ‘menginjeksi’ tanah dengan semen, namun biayanya mahal. Disamping itu, pondasi bangunan harus dalam sampai menembus lapisan tanah keras dan juga memiliki struktur bangunan yang kuat. Lagi lagi semua itu memerlukan biaya yang tidak murah.

Mungkinkah menggalahkan penghijauan di daerah yang tanahnya jelek bisa mengurangi bahaya likuifaksi?. Mungkinkah menghijaukan pinggir pantai dengan program mangrovisasi bisa mengurangi bahaya likuifaksi?.

Yang jelas menggalakkan penghijauan di bibir pantai timur Surabaya (pamurbaya) dengan berbagai tanaman keras dan bermanfaat. Seperti pohon mangga, nangka, mahoni, kedondong, beringin, randu, dan lainnya itu, tentunya akan membuat tanah menjadi subur tidak kerontang, suasana rindang menjadikan pemandangan yang menyegarkan mata sekaligus menjadi habitat satwa liar yang nyaman, sebagai upaya pelestarian alam.

Mungkin itulah yang bisa dilakukan oleh warga yang berdomisili di pantai Surabaya agar terhindar dari bahaya likuifaksi. Tentunya terlepas dari takdir Illahi. Jika nanti memang harus terjadi likuifaksi di daerah pantai timur Surabaya dengan menelan korban ribuan disertai kehancuran yang dahsyat. Maka, akan tercatat dalam sejarah kebencanaan bahwa Surabaya ternyata menyimpan potensi yang benar-benar dahsyat.

Paling tidak kawasan pantai Surabaya yang sudah luluh lantak itu akan menjadi pusat perhatian para peneliti kegempaan, para peneliti kebencanaan. Sekaligus menyadarkan manusia bahwa keseimbangan alam dan pelestarian alam itu wajib dijaga dan dipelihara agar anak cucu kita tidak sengsara. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/kamis legi-18/10]





Jumat, 12 Oktober 2018

MITIGASI GEMPA ITU PERLU SINERGI


Tampaknya, bencana alam berupa gempa bumi sedang rajin menyapa bangsa Indonesia. Gempa yang awal kedatangannya hanya berupa goyangan-goyangan kecil yang mengagetkan, berakhir dengan guncangan besar yang mematikan dan mendatangkan kerugian yang tidak sedikit di berbagai daerah di Indonesia.

Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat porak poranda dihajar gempa. Gedung, rumah dan infrastruktur lainnya hancur, korban nyawa pun berjatuhan. Korban bencana pun menderita di pengungsian. Belum reda penanganan korban bencana gempa Lombok, Kota Palu, Sulawesi Tengah disapa gempa, tsunami, dan likuifaksi. Korban harta benda dan nyawa pun tidak terhingga. Kemudian disusul gempa-gempa kecil di berbagai daerah yang kerusakannya tidak banyak, namun perlu diwaspadai.

Ya, konon, Indonesia terletak diantara tiga lempengan yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik. Secara umum gempa adalah pergerakan kerak bumi yang diakibatkan adanya tekanan dari dalam inti bumi.

Berdasarkan lokasinya, gempa dibagi menjadi dua, yaitu darat dan laut. Gempa di darat terjadi akibat adanya patahan atau lipatan di darat. Gempa ini tidak menyebabkan tsunami, tetapi mampu menghancurkan gedung, bahkan membuat kebakaran pada kota. Sedangkan gempa di laut terjadi akibat adanya patahan atau lipatan di dasar laut yang memiliki potensi tsunami.

Kata Amien Widodo, dosen ITS, Surabaya, gempa  merupakan salah satu fenomena alam yang tidak dapat diprediksi  dan tidak bisa dihindari serta tidak bisa dijinakkan sehingga akibat yang ditimbulkan bisa sangat mengerikan.

Gempa Palu yang menyebabkan sekitar lima ribu mayat tidak diketemukan itu pun sudah disusul dengan gempa Situbondo yang mengakibatkan beberapa daerah Kabupaten/Kota merasakan giyangannya. Akibatnya, beberapa bangunan roboh dan memakan korban jiwa. Karena terlambat menyelamatkan diri.

Melihat semakin seringnya bencana (gempa) mengusik kehidupan masyarakat, termasuk kabar tentang adanya sesar waru dan sesar surabaya yang berpotensi menimbulkan gempa besar di seantero Surabaya. Maka, sudah saatnyalah pemerintah dan para pegiat kemanusiaan tergerak kepeduliannya untuk melakukan penyuluhan tentang kebencanaan kepada masyarakat, khususnya yang berdomisili di daerah rawan bencana dengan melakukan kegiatan mitigasi bencana.

Pengertian mitigasi menurut UU 24/ 2007 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Contoh kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya, adalah dengan membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, pembangunan jembatan, tanggul dan jalan, penanaman hutan bakau (untuk mereduksi dampak tsunami), reboisasi hutan, serta memberikan penyuluhan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang berdomisili di wilayah rawan bencana (gempa) dengan berbagai pelatihan.

Kegiatan mitigasi ini dilakukan dalam rangka membangun Kesiapsiagaan seluruh komponen bangsa (masyarakat dan pemerintah) dalam merespons kejadian saat bencana. Tujuannya adalah untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana pelayanan umum (publik), dan infrastruktur lainnya.

Keberhasilan kegiatan mitigasi ini tidak terlepas dari keterlibatan tokoh masyarakat setempat. Oleh karena itu mereka harus dilibatkan. Sehingga komunitas setempat (sekolah, PKK, dll) mau “mendengarkan” materi yang tersaji dalam kegiatan mitigasi. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Hendro Wardhono, Ketua PSBL UNITOMO, yaitu memulai dari apa yang diketahui dan dialami warga, memulai dengan apa yang telah dimiliki warga, dan memulai kegiatan sesuai dengan kebutuhan warga.

Termasuk perlunya sosialisasi Tas Siaga. Yaitu tas darurat yang mudah dibawa lari saat ada bencana (gempa). Tas Siaga berisi surat surat penting (dokumen), makanan ringan, air minum, alat komunikasi, uang, sarung, ponco dan pakaian secukupnya, paling tidak untuk bertahan hidup selama seminggu sambil menunggu pertolongan datang.

Konon, banyak yang bilang, bukan gempa yang membunuh banyak warga, tetapi bangunan robohlah (termasuk pohon) yang seringkali menimpa warga yang salah memilih tempat berlindung karena ketidak tahuannya. Untuk itulah sudah waktunya para pekerja kemanusiaan memberi tahu warga melalui kegiatan sosialisasi/penyuluhan masalah bencana (gempa). Alangkah baiknya jika terjadi sinergi antara pemerintah dengan para pekerja kemanusiaan untuk bersama-sama melakukannya secara ‘keroyokan’ saling melengkapi. Salam Tangguh, semoga menginspirasi.[eB/sabtu legi 13/10].  


Minggu, 07 Oktober 2018

PENGURANGAN RISIKO BENCANA MELALUI PROGRAM DIKMAS


Dengan semakin seringnya bencana datang menyapa berbagai daerah di Indonesia, maka upaya mitigasi wajib dilakukan, bahkan harus bisa mewarnai kebijakan pembangunan (masuk dalam RPJMD). Sesungguhnyalah sampai saat ini kegiatan sosialisasi pengurangan resiko bencana (PRB) kepada masyarakat yang berdomisili di daerah rawan bencana belum dilakukan secara optimal. Kalaupun ada masih sekedar seremonial menghabiskan anggaran tanpa tindak lanjut.

Untuk itulah kemendikbud, melalui program pendidikan masyarakat (dikmas) mencoba mengupayakan pembuatan model pembelajaran tentang kebencanaan. Model ini bernama Pembelajaran Mitigasi Bencana Pada Pendidikan Multikeaksaraan, yang diselenggarakan oleh pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), sebagai upaya membantu pemerintah (BNPB/BPBD) membangun budaya tangguh menghadapi bencana.

Kegiatan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat yang mengikuti programnya PKBM, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan risiko bencana di wilayahnya, serta menjaga kemampuan membaca dan menulis pasca mengikuti Pendidikan Multikeaksaraan, agar tidak buta aksara kembali.

Pada hari selasa kliwon, tanggal 2 Oktober 2018, pamong belajar BP-PAUD dan DIKMAS JATIM melaksanakan kegiatan sosialisasi pengurangan risiko bencana menggunakan media beberan kebencanaan, di PKBM “LESTARI”, Jln. Raya Cepu 279, Desa Ngulaman Rt 06, Rw 01, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.

Dalam kegiatan ini narasumber memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang pengurangan risiko bencana terkait ancaman bencana banjir. Dimana, sebagian besar daerah Bojonegoro selalu menjadi langganan banjir akibat dari meluapnya sungai bengawan solo dan pendangkalan badan sungai karena sampah.

“Setiap banjir datang, masyarakatlah yang menjadi korban pertama sekaligus yang melakukan evakuasi terhadap harta bendanya dan masyarakatnya secara mandiri, sebelum datangnya bantuan dari pihak luar.” Kata, Basuki, Nara Sumber sekaligus anggota tim pengembang model mitigasi bencana melalui pendidikan multikeaksaraan.

Model literasi kebencanaan ini diharapkan bisa membangun semangat kebersamaan dalam melakukan kesiapsiagaan berbasis komunitas dalam upaya mengenali ancaman, kerentanan, dan kapasitas. Dalam khasanah kebencanaan, fase pra bencana ini meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, peringatan dini, dan kesiapsiagaan.

Pencegahan dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan ketika belum ada potensi bencana. Sedangkan mitigasi itu adalah upaya yang dilakukan ketika sudah ada potensi bencana dalam rangka mengurangi dampak bencana.

Tujuan mitigasi bencana, Mengurangi dampak yang ditimbulkan, khususnya bagi penduduk setempat, Sebagai pedoman untuk perencanaan pembangunan, Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, melalui pelatihan kesiapsiagaan menghadapi bencana, serta menggali dan mempelajari kearifan lokal yang ada.

Dalam kesempatan itu, Sumarno, Ketua PKBM “LESTARI” berharap, hendaknya setelah pemberian materi mitigasi bencana ini selesai, perlu dilanjutkan dengan kegiatan simulasi penanganan bencana. Ini penting, agar masyarakat memiliki pengalaman dalam menangani bencana banjir yang sesuai dengan kegiatan mitigasi. Seperti perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, dan pengembangan budaya sadar bencana.

 Kiranya, apa yang diharapkan Sumarno itu perlu dikomunikasikan dengan pihak BPBD Kabupaten Bojonegoro agar bisa ditindak lanjuti. Baik melalui program sosialisasi PRB maupun simulasi penanggulangan bencana banjir.

Syukur-syukur jika di Desa Ngulaman ini, nantinya bisa di beri program desa tanggap bencana (DESTANA), baik yang didanai oleh APBN maupun APBD, sebagai upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana.

Dimana, ciri dari masyarakat tangguh itu adalah memiliki akses informasi, memiliki daya antisipasi, mampu memproteksi saat bencana datang, mampu beradaptasi terhadap bencana, dan mampu bangkit kembali (kehidupan soseknya) dengan cepat pasca bencana.  Semoga. [eBas]