Kebiasaan
jagongan, ngobrol bareng yang dilakukan oleh Komunitas Relawan Indonesia
(K.R.I) sambil ngopi itu, tanpa disadari merupakan proses pembelajaran,
transfer ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tidak ternilai bagi mereka
yang mengerti dan bisa mengambil hikmahnya.
Sebuah
pembelajaran nonformal. Tanpa ada kurikulum, target, dan agenda belajar apa.
Semua berlangsung alami. Cair, seperti jargonnya sebuah iklan minuman terkenal
dari negerinya Paman Sam, Kapan saja, dimana saja, minumlah anu (tanpa menyebut
merek dagang).
Ya, kapan saja,
dimana saja, bicara apa saja, oleh siapa saja dan untuk siapa, tidak pernah
dicatat dalam dokumentasi yang runtut, karena semuanya serba spontan.
Sesungguhnya, jika apa yang diobrolkan itu dicatat, maka akan tampak, bahwa
materinya cukup banyak dan indah untuk tinggalan sejarah dimasa depan.
Memang, obrolan
yang paling menarik adalah cerita seputar kegiatan tanggap bencana. Dimana,
masing-masing personil yang berkesempatan turun ke lokasi, punya cerita sendiri
sesuai versinya. Tentu dengan aneka bumbu pemanis kisah heroism, maka obrolan
itu terasa semakin gayeng. Sekaligus memotivasi lainnya untuk terjun terlibat
dalam aksi darurat sebagai tim penyelamat sesama ummat.
Memang, secara
sederhana, relawan itu adalah seseorang yang secara suka rela menolong
sesamanya yang membutuhkan bantuan. Untuk itulah relawan harus mempunyai
kapasitas tertentu agar dalam upaya memberikan pertolongan bisa berjalan
lancar. Korban dapat tertolong, dan relawannya tidak celaka.
Untuk
meningkatkan kapasitas inilah relawan harus mendapatkan kesempatan mengikuti
pendidikan dan pelatihan (diklat). Baik yang diselenggarakan secara formal,
biasanya diselenggarakan BNPB dan BPBD, maupun lembaga lain yang bergerak
dibidang kebencanaan, maupun diklat/pembelajaran yang dilakukan secara
nonformal seperti transfer informasi lewat acara jagongan, diskusi tidak resmi
sambil nyruput kopi.
Namun, tidak
terlalu salah jika dalam jagongan itu juga bicara tentang kegiatan yang bisa
dilakukan relawan saat tidak ada bencana (pra bencana) seperti yang termaktub
dalam Perka nomor 17 tahun 2011. Dimana dicantumkan saat pra bencana, relawan
bisa melakukan Membantu masyarakat mengenali daerah
setempat dalam menentukan tempat yang aman untuk mengungsi, Peningkatan dan
kampanye kesadaran masyarakat, Membantu pembuatan peta rawan bencana,
Pemberdayaan mayarakat melalui penyuluhan/pelatihan, Membantu membuat perencanaan penanganan bencana, Mengorganisir
relawan yang dapat membantu dalam penanggulangan bencana, Melakukan rencana aksi komunitas, dan Melaporkan secepatnya jika mengetahui tanda-tanda akan
terjadinyan bencana kepada petugas : Kades, Camat. Polisi, BPBD.
Saat jagongan,
relawan tidak haram membahas masalah teknik memotivasi masyarakat korban
bencana agar mau membantu dalam proses penanggulangan bencana, seperti memberi
info tentang alam datangnya bencana, membantu dapur umum, dan lainnya.
Relawan pun juga
bisa belajar teknik distribusi logistik, P3K/PPGD, teknik pendataan, pelayanan
terhadap kelompok rentan, teknik evakuasi, pencatatan keluar masuknya bantuan,
dan tentunya belajar berorganisasi dan mengorganisasikan operasi tanggap
bencana. Paling tidak relawan mengetahui tentang ‘aturan main’ dalam penanggulangan bencana.
Dengan membahas
masalah tersebut di atas, akan muncul relawan yang kaffah. Yaitu mumpuni saat
mengikuti operasi tanggap bencana, sekaligus terampil terlibat di pos komando
yang mengendalikan ‘pergerakan’
operasi penanggulangan bencana, serta mampu melaksanakan kegiatan pra bencana.
Relawan pun,
dengan buah pikirannya yang terkonsep bisa menjadi bahan diskusi yang seru dan
dinamis saat berkumpul di Sekretariat Bersama (SEKBER), untuk kemudian hasil
diskusinya dijadikan rekomendasi bagi BPBD dan pihak terkait lainnya sebagai
bahan penyusunan kebijakan dan program tahunan yang ‘pro relawan’, sekaligus mengawal Komitmen Jogja 2017.
Itulah proses
pembelajaran nonformal dari kegiatan jagongan relawan. Ke depan koordinator
Sekretariat Bersama harus bisa mendisain kegiatan jagongan yang lebih terarah
dengan menentukan bahasan yang terkait dengan issue kebijakan pemerintah
terkait dengan penanggulangan bencana. Termasuk issue perlunya mengubah UU
nomor 24 tahun 2007 serta evaluasi hasil operasi penanggulangan bencana yang
telah dilaksanakan selama ini di berbagai daerah dan jenis bencana.
Dengan kata
lain, relawan pun bisa bersinergi sebagai ‘think
tank’ untuk meningkatkan upaya penanggulangan bencana yang efisien,
efektif, cepat, tepat, dan terukur. Hal ini sejalan dengan tema rakernas
BNPB-BPBD tahun 2017, “Mewujudkan BPBD
yang Tangguh, Teruji, dan Profesional dalam Bingkai Kebersamaan”. Artinya,
BPBD harus benar-benar membangun sinergi dengan dunia usaha dan masyarakat
(dalam hal ini relawan) dalam rangka penanggulangan bencana, sekaligus
melakukan proses pembangunan ketangguhan bangsa menghadapi bencana.[eBas]*