Minggu, 26 Februari 2017

PEMBELAJARAN ALA RELAWAN PENANGGULANGAN BENCANA

Kebiasaan jagongan, ngobrol bareng yang dilakukan oleh Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I) sambil ngopi itu, tanpa disadari merupakan proses pembelajaran, transfer ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tidak ternilai bagi mereka yang mengerti dan bisa mengambil hikmahnya.

Sebuah pembelajaran nonformal. Tanpa ada kurikulum, target, dan agenda belajar apa. Semua berlangsung alami. Cair, seperti jargonnya sebuah iklan minuman terkenal dari negerinya Paman Sam, Kapan saja, dimana saja, minumlah anu (tanpa menyebut merek dagang).

Ya, kapan saja, dimana saja, bicara apa saja, oleh siapa saja dan untuk siapa, tidak pernah dicatat dalam dokumentasi yang runtut, karena semuanya serba spontan. Sesungguhnya, jika apa yang diobrolkan itu dicatat, maka akan tampak, bahwa materinya cukup banyak dan indah untuk tinggalan sejarah dimasa depan.

Memang, obrolan yang paling menarik adalah cerita seputar kegiatan tanggap bencana. Dimana, masing-masing personil yang berkesempatan turun ke lokasi, punya cerita sendiri sesuai versinya. Tentu dengan aneka bumbu pemanis kisah heroism, maka obrolan itu terasa semakin gayeng. Sekaligus memotivasi lainnya untuk terjun terlibat dalam aksi darurat sebagai tim penyelamat sesama ummat.

Memang, secara sederhana, relawan itu adalah seseorang yang secara suka rela menolong sesamanya yang membutuhkan bantuan. Untuk itulah relawan harus mempunyai kapasitas tertentu agar dalam upaya memberikan pertolongan bisa berjalan lancar. Korban dapat tertolong, dan relawannya tidak celaka.

Untuk meningkatkan kapasitas inilah relawan harus mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat). Baik yang diselenggarakan secara formal, biasanya diselenggarakan BNPB dan BPBD, maupun lembaga lain yang bergerak dibidang kebencanaan, maupun diklat/pembelajaran yang dilakukan secara nonformal seperti transfer informasi lewat acara jagongan, diskusi tidak resmi sambil nyruput kopi.

Namun, tidak terlalu salah jika dalam jagongan itu juga bicara tentang kegiatan yang bisa dilakukan relawan saat tidak ada bencana (pra bencana) seperti yang termaktub dalam Perka nomor 17 tahun 2011. Dimana dicantumkan saat pra bencana, relawan bisa melakukan Membantu masyarakat mengenali daerah setempat dalam menentukan tempat yang aman untuk mengungsi, Peningkatan dan kampanye kesadaran masyarakat, Membantu pembuatan peta rawan bencana, Pemberdayaan mayarakat melalui penyuluhan/pelatihan, Membantu membuat perencanaan penanganan bencana, Mengorganisir relawan yang dapat membantu dalam penanggulangan bencana, Melakukan rencana aksi komunitas, dan Melaporkan secepatnya jika mengetahui tanda-tanda akan terjadinyan bencana kepada petugas : Kades, Camat. Polisi,  BPBD.

Saat jagongan, relawan tidak haram membahas masalah teknik memotivasi masyarakat korban bencana agar mau membantu dalam proses penanggulangan bencana, seperti memberi info tentang alam datangnya bencana, membantu dapur umum, dan lainnya.

Relawan pun juga bisa belajar teknik distribusi logistik, P3K/PPGD, teknik pendataan, pelayanan terhadap kelompok rentan, teknik evakuasi, pencatatan keluar masuknya bantuan, dan tentunya belajar berorganisasi dan mengorganisasikan operasi tanggap bencana. Paling tidak relawan mengetahui tentang ‘aturan main’ dalam penanggulangan bencana.

Dengan membahas masalah tersebut di atas, akan muncul relawan yang kaffah. Yaitu mumpuni saat mengikuti operasi tanggap bencana, sekaligus terampil terlibat di pos komando yang mengendalikan ‘pergerakan’ operasi penanggulangan bencana, serta mampu melaksanakan kegiatan pra bencana.

Relawan pun, dengan buah pikirannya yang terkonsep bisa menjadi bahan diskusi yang seru dan dinamis saat berkumpul di Sekretariat Bersama (SEKBER), untuk kemudian hasil diskusinya dijadikan rekomendasi bagi BPBD dan pihak terkait lainnya sebagai bahan penyusunan kebijakan dan program tahunan yang ‘pro relawan’, sekaligus mengawal Komitmen Jogja 2017.

Itulah proses pembelajaran nonformal dari kegiatan jagongan relawan. Ke depan koordinator Sekretariat Bersama harus bisa mendisain kegiatan jagongan yang lebih terarah dengan menentukan bahasan yang terkait dengan issue kebijakan pemerintah terkait dengan penanggulangan bencana. Termasuk issue perlunya mengubah UU nomor 24 tahun 2007 serta evaluasi hasil operasi penanggulangan bencana yang telah dilaksanakan selama ini di berbagai daerah dan jenis bencana.

Dengan kata lain, relawan pun bisa bersinergi sebagai ‘think tank’ untuk meningkatkan upaya penanggulangan bencana yang efisien, efektif, cepat, tepat, dan terukur. Hal ini sejalan dengan tema rakernas BNPB-BPBD tahun 2017, “Mewujudkan BPBD yang Tangguh, Teruji, dan Profesional dalam Bingkai Kebersamaan”. Artinya, BPBD harus benar-benar membangun sinergi dengan dunia usaha dan masyarakat (dalam hal ini relawan) dalam rangka penanggulangan bencana, sekaligus melakukan proses pembangunan ketangguhan bangsa menghadapi bencana.[eBas]*



Kamis, 23 Februari 2017

ORGANISASI RELAWAN PENANGGULANGAN BENCANA

“Kenalkan, nama saya Sokran, dari Organisasi Relawan Sandal Gunung. Jumlah personil Enam Ribu Tiga Ratus  Empat Puluh Lima, dengan berbagai spesialisasi yang menguasai delapan klaster yang ditetapkan oleh BNPB. Berpengalaman diberbagai bencana apa saja dimana pun berada. Sekarang seluruh personil dalam kondisi siap siaga untuk diberangkatkan ke lokasi bencana manapun dan tetap setia berharap mendapat surat perintah berangkat. Sekian,”

Begitulah cara perkenalan khas organisasi relawan yang bergerak dibidang penanggulangan bencana. Mereka saling memperkenalkan diri dalam rangka berkumpul mengikuti rapat koordinasi menggagas kegiatan bersama untuk meningkatkan kapasitas personil, khususnya saat tanggap bencana. Sebuah kegiatan yang sampai saat ini masih menjadi primadona bagi relawan untuk menunjukkan kehebatannya.

Dalam kegiatan yang dihadiri berbagai organisasi, tampaknya, relawan bisa dikelompokkan dalam beberapa kategori. Pertama, relawan yang menjadi binaan instansi pemerintah (mendapat subsidi dari APBD/APBN). Relawan yang bernaung dibawah lembaga keagamaan atau yayasan, bahkan partai. Ada juga yang bersedia bergabung menjadi relawan karena kesamaan minat dan hobi. Pun ada  relawan yang berjalan sendiri sesuai kapasitas dan profesionalismenya. Itu sah-sah saja, tidak menyalahi aturan hukum.

Dari kategori tersebut, ternyata juga beda gerak langkahnya saat tugas kemanusiaan memanggil, yaitu ketika bencana datang tanpa diundang. Ada yang langsung berangkat dengan membawa surat tugas (surat perintah) dari lembaganya (induk organisasinya) maupun berbagi tugas dengan anggota yang ada di daerah terdekat dengan lokasi bencana.

Ada juga yang secara mandiri berangkat sendiri  sesuai kondisi dompet pribadi. Ya, namanya juga relawan, mereka yang mempunyai kepedulian dan secara sukarela membantu sesamanya tanpa pamrih. Relawan jenis ini, tentu berbeda dengan relawan yang keberadaannya dibawah lembaga yang dana operasionalnya selalu tersedia, siap digunakan sewaktu-waktu (on call).

Ada pepatah “Nafsu besar tenaga kurang”, relawan jenis ini akan selalu berhitung dengan dompetnya, manakala akan turun ke lapangan. Juga harus melihat apakah pekerjaan pokoknya bisa ditinggal atau tidak. Jangan sampai tergerak membantu sesamanya, namun mengorbankan mata pencahariannya yang akan berpengaruh langsung terhadap stabilitas rumah tangganya.

Namun ada pula kelompok relawan yang secara mandiri selalu tampil diberbagai lokasi bencana. Karena, secara ekonomi mereka sudah lebih dari mapan, dengan swadaya dan swadana bisa melakukan aksi-aksi kemanusiaan tanpa khawatir kondisi keluarganya. Biasanya mereka hanya perlu koordinasi sebelum beraksi.

Makanya, dalam perkenalan tersebut, istilah “siap diberangkatkan”. Itu artinya, mereka siap beraksi turun ke lokasi membantu tenaga dan pikiran , dengan catatan difasilitasi selama bertugas. Hal itu sangat wajar. Karena, dengan terpenuhi fasilitas maka relawan tidak akan memikirkan kebutuhannya dan keluarga yang ditinggalkan.

Dalam kegiatan kumpul-kumpul sambil ngopi itu, disebutkan pula bahwa di Jawa Timur ada sekitar 136 organisasi relawan (sesuai data yang terkumpul di BPBD Provinsi Jawa Timur. Tentunya masih banyak lagi organisasi relawan yang belum berkesempatan menyerahkan datanya karena sesuatu dan lain hal.

Organisasi relawan itu ada yang berbadan hukum atau sekedar perkumpulan berdasar minat dan pertemanan. Baik yang lembaganya sudah terstruktur dengan agenda rutin yang terjadwal, maupun yang sekedar kumpul-kumpul mengikuti kata hati membangun paseduluran, kemudian baru bergerak ketika ada bencana. Itu pun jika kondisi memungkinkan. Juga ada yang fokus bergerak pada sisi edukasi sesuai kemampuan, dan  itu juga boleh tidak ada yang melarang.

Di sisi lain,ternyata juga ada pegiat lingkungan yang fokus pada upaya pelestarian alam, namun juga bergiat pada bencana alam, bersama relawan lain gotong royong membantu sesamanya yang tertimpa musibah. Itu pun jika kondisi mendukung.

Sebagai organisasi yang ‘independen’ dengan segala kelebihannya, pastilah punya agenda sendiri dalam pergerakannya, kadang sulit dimengerti, apalagi dikendalikan. Untuk itulah, mungkin, melalui upaya mempersering pertemuan koordinasi inilah bisa menjadi media menyamakan langkah dalam operasi penanggulangan bencana.

Disini pun, BPBD diharapkan selalu di depan dalam setiap peristiwa bencana, sesuai dengan fungsi komando, koordinator dan pelaksana. Ini penting, agar di lapangan tidak terjadi ‘pagelaran operasi’. Dimana, masing-masing organisasi bergerak sendiri, buka posko sendiri, buka dapur umum sendiri, dan melakukan kegiatan sendiri tanpa koordinasi dengan posko induk (yang kadang memang tidak ada, atau terlambat berdiri karena masalah SDM BPBD).

Dengan semakin seringnya bertemu, tentu akan terjadi pengimbasan pengetahuan yang berdampak pada luasnya wawasan dibidang penanggulangan bencana. Untuk itulah BPBD perlu memperkuat sinergi dengan berbagai pihak, termasuk berkolaborasi dengan organisasi relawan sebagai bentuk upaya kreatif meningkatkan profesionalitas dalam operasi penanggulangan bencana. Salam tangguh. [eBas]



Kamis, 16 Februari 2017

WORKSHOP ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETANGGUHAN

Kemarin, hari senin dan selasa (13 dan 14 Februari 2017), kawan-kawan dari Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK), mengadakan workshop tentang Kajian Kerentanan dan Risiko Perubahan Iklim. Ternyata, dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, khususnya di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan penggunaan air tanah, sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional, maupun tingkat kesejahteraan masyarakat.

Berbagai kejadian terkait dengan kondisi iklim yang tidak menentu seperti banjir, kekeringan, longsor, gelombang tinggi, dan peningkatan muka air laut semakin sering terjadi dengan intensitas yang semakin meningkat, sehingga menimbulkan korban jiwa serta kerugian ekonomi dan ekologi. Kondisi tersebut perlu disikapi dengan memperkuat aksi nyata di tingkat lokal yang dapat berkontribusi terhadap upaya mitigasi untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca serta upaya adaptasi untuk meningkatkan kapasitas seluruh pihak dalam menghadapi dampak perubahan iklim

Dalam buku “Bumi Makin Panas” yang ditulis Meiviana dkk (2004), perubahan iklim adalah “peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi yang menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti kenaikan suhu air laut, peningkatan penguapan air, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia

Perubahan iklim terjadi akibat proses alam dan kegiatan manusia yang menghasilkan gas rumah kaca yang membentuk seperti selubung di permukaan bumi, sehingga disebut dengan efek rumah kaca. Radiasi sinar matahari yang mencapai bumi dipantulkan kembali ke atmosfer bumi.

Namun, tidak semua gelombang sinar matahari menembus atmosfer bumi, sebab ada gelombang cahaya yang ditangkap oleh gas-gas yang berada di atmosfer, atau gas rumah kaca yang berasal dari berbagai kegiatan manusia, terutama aktivitas yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) dan beberapa bahan kimia lainnya. Yang jelas, perubahan iklim telah memberikan dampak pada masyarakat, lingkungan, dan ekosistem (baik tumbuhan dan hewan).

Ancaman Perubahan Iklim adalah sifat perubahan iklim yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu pada lingkungan hidup, Ancaman dapat dinyatakan dalam besaran, laju, frekwensi dan peluang kejadian. (Permen LHK no. P33/2016).

Istilah “adaptasi” mengacu pada penyesuaian bahwa suatu komunitas atau ekosistem membuat sesuatu guna membatasi dampak negatif, dalam hal ini terkait dengan perubahan iklim. Dengan kata lain, perubahan iklim merupakan proses yang terjadi secara alamiah yang dilakukan oleh manusia dan makhluk hidup lain dalam habitat dan ekosistemnya sebagai sebuah reaksi atas perubahan terjadi.

Menurut definisi UNDP yang dikutip UNEP (2008), adaptasi adalah “a process by which strategies aiming to moderate, cope with, and take advantage of the consequences of climate events are enhanced, developed and implemented.Masih menurut UNDP, ada 4 prinsip dalam proses adaptasi perubahan iklim yaitu; menempatkan adaptasi dalam konteks pembangunan, membangun pengalaman beradaptasi untuk mengantisipasi variabilitas perubahan iklim, memahami bahwa adaptasi berlangsung dalam level yang berbeda, terkhusus di level lokal ,dan memahami bahwa adaptasi adalah proses yang terus berjalan.

Sementara itu, dalam literature lain dikatakan bahwa tindakan adaptasi perubahan iklim dapat berupa: Reaktif, yaitu menanggapi kondisi yang telah berubah. Kedua, Antisipatif, artinya perencanaan untuk perubahan iklim sebelum dampak diamati atau terjadi.

Disini, ada beberapa istilah terkait perubahan iklim. Seperti  Mitigasi, yaitu berbagai tindakan aktif untuk mencegah, memperlambat terjadinya pemanasan global melalui penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan penyerapan gas rumah kaca. Menurut laporan UNEP (2008), ada 4 prinsip dalam mitigasi, yaitu: Eliminasi, dengan cara menghindari penggunaan alat-alat penghasil emisi gas rumah kaca.

Pengurangan, dengan cara mengganti peralatan lama dan/atau mengoptimalkan struktur yang sudah ada. Substitusi: Penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik dan/atau pemanas.Offset: melalui reboisasi dan reforestasi. Cara ini harus dilakukan dengan cakupan yang besar sehingga sering menjadi kendala.

Untuk memperkaya wawasan, tidak ada salahnya jika disini juga dimunculkan beberapa istilah kebencanaan. Misalnya, Bencana adalah, rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (UU No. 24 tahun 2007)

Kerentanan, yaitu sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana.

Kapasitas, merupakan kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan  masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana. Risiko, adalah besarnya kerugian atau kemungkinan terjadi korban manusia, kerusakan dan kerugian ekonomi yg disebabkan oleh bahaya tertentu di  suatu daerah pada suatu waktu tertentu.

Ada juga istilah Bahaya (Hazards), yaitu fenomena alam yang luar biasa yang berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia, kehilangan harta-benda, kehilangan mata pencaharian, kerusakan lingkungan. Sedangkan ancaman Bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.

Kegiatan yang diselenggarakan di Hotel Santika Pandegiling, Surabaya ini, memaparkan semua temuan di lapangan sekaligus memberi tawaran solusi alternatif yang diharapkan bisa dijadikan program oleh masing-masing SKPD. Sehingga upaya adaptasi terhadap perubahan iklim itu benar-benar bisa mewarnai kehidupan khalayak ramai, agar  produksi dan produktifitas masing-masing sektor tidak terpengaruh. Andaipun terpengaruh, ada alternaif pengganti yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan.

Dengan kata lain, kegiatan  workshop yang konon sudah diselenggarakan kali ketiga ini, diharapkan akan muncul dokumen rencana aksi tentang kerentanan dan risiko iklim di daerah tertentu berdasar data ilmiah, yang kemudian menjadi pedoman SKPD terkait, serta membangun kesepakatan antar stakeholders tentang adaptasi perubahan iklim, serta mempunyai dasar yang kuat dalam menyusun strategi adaptasi dan menghidari mal-adaptasi dalam upaya antisipasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Jika semua komponen bisa bersama-sama mensosialisasikan dan melakukan aksi adaptasi perubahan iklim, mungkin upaya membangun ketangguhan bangsa menghadapi risiko perubahan iklim bisa disikapi dengan positif, kreatif penuh inovatif sesuai kemampuan komunitas. Semoga semangat workshop di Hotel Santika Pandegiling, Surabaya benar-benar berujung pada aksi nyata yang manfaatnya terasakan oleh masyarakat. Salam Lestari. [eBas]



Kamis, 02 Februari 2017

RELAWAN HENDAKNYA MENULISKAN PENGALAMANNYA

Sungguh, kawan-kawan relawan kemanusiaan yang telah lama malang melintang di dunia kerelawanan, menolong sesamanya yang tengah menderita terkena bencana, pastilah kaya akan cerita pengalaman. Suka duka memanjakan rasa kepeduliannya, yang harus rela meninggalkan keluarga dalam beberapa waktu, menyumbangkan tenaga, pikiran, dan mungkin dananya, semua dilakukan hanya karena keterpanggilan jiwa untuk menolong sesamanya.

Ya, mereka pasti banyak pengalaman yang indah untuk diceritakan kepada generasi penerus, bahwa ditengah-tengah pergaulan hidup yang semakin hedonis, konsumtif, dan individual ini, ternyata masih ada jiwa-jiwa sosial yang menebar kepedulian menolong mereka yang tertimpa bencana. Bersama bekerja sukarela, bersinergi dengan berbagai elemen dalam upaya penanggulangan bencana yang kini semakin sering terjadi dimana-mana.

Cerita pengalaman inilah yang seharusnya didokumentasikan dalam sebuah tulisan. Apa pun bentuk tulisannya, yang penting ditulis saja, nanti bersama-sama dibenahi (dihaluskan bahasanya) sebelum dicetak secara indie. Karena, biasanya percetakan resmi kurang berminat, mengingat profitnya kurang menjanjikan.

Jenis tulisan yang menarik untuk menceritakan pengalaman, diantaranya feature. Namun bisa juga dituliskan ala cerita pendek maupun novel. Itu tidak haram, malah lebih baik dan lengkap ceritanya. Karena, sesungguhnyalah cerita tentang kebencanaan maupun kesukarelawanan itu bisa diangkat dari berbagai sisi, dan belum banyak didokumentasikan.

Bitha’s files dalam blognya mensitir Daniel R. Williamson yang menulis buku “Feature Writing for Newspaper”  menyebutkan bahwa feature adalah sebuah kisah kreatif, terkadang subjektif yang dibuat untuk menghibur dan menginformasikan pada pembaca tentang suatu peristiwa, situasi atau aspek kehidupan. Masih menurut Williamson, unsur-unsur yang dimiliki feature adalah kreativitas, subyektivitas, informatif, menghibur dan tidak dibatasi waktu. Tulisan feature juga harus bersifat orisinal dan deskriptif. Bisa juga tulisan tersebut mengandung pesan edukasi maupun sebagai control sosial.

Sungguh, seringkali saat ngobrol di warung kopi, para relawan itu lancar bercerita tentang pengalamannya, tentang suka duka mengikuti operasi tanggap bencana. Mengikuti kegiatan diklat, gladi, simulasi, dan gelar relawan, baik yang diadakan oleh BNPB maupun BPBD. Juga saat mengikuti acara sosialisasi pengurangan risiko bencana di berbagai daerah dan ketika asik menggauli Destana. Termasuk saat menggelar diklat secara mandiri bersama sesama relawan.

Obrolan sebagai bahasa lisan itulah hendaknya yang dipindahkan ke dalam bahasa tulis dengan mengikuti kaidah-kaidah seperti yang disebutkan dalam teori di atas, semampunya dulu, karena tidak ada ceritanya, orang langsung bisa menulis dengan baik tanpa melalui proses belajar dan terus berlatih. Mengingat keterampilan menulis itu seperti keterampilan water rescue maupun vertical rescue yang harus dilatih dan terus berlatih.

Artinya, dalam menulis itu ada tahap membuat draft (tulisan kasar), kemudian membaca ulang draft, dilanjutkan dengan melakukan revisi dan editing, dan terakhir finishing (di publish melalui berbagai media agar dibaca orang). Akhirnya, tanpa menunggu sampai bisa menulis, maka, marilah mulai menulis apa saja seperti kalau kita ngobrol apa saja ‘sak njeplak’e cangkem’ sambil ngopi.

Mari menuliskan pengalaman tanpa takut salah, pokoknya menulis dan terus menulis tanpa lelah, tanpa merasa bosan untuk mengulang. Itulah kunci sukses menulis. Paling tidak apa yang ditulis itu akan menjadi kenangan yang terindah tentang sejarah hidup kita saat menggeluti dunia kerelawanan.

Kapan lagi kalau tidak sekarang, siapa lagi kalau bukan kita yang memulai, mumpung masih ada waktu. Jangan biarkan waktu berlalu. Jangan biarkan kesempatan itu pergi tanpa aksi, prestasi dan kreasi yang menginspirasi sesama insani. Mari kita mulai belajar mengikat pengalaman dengan tulisan…[eBas]