Senin, 24 Juni 2019

DONASI ALAT PEMANEN HUJAN


Selasa (18/6) malam, setelah seharian dihajar oleh kemeriahan Pekan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan, di gedung Ina DRTG, BNPB. Pak Papang melontarkan gagasan tentang perlunya relawan SRPB JATIM bergotong royong mengadakan alat pemanen hujan untuk ditempatkan di Lamongan dan di Ponorogo.

“Masak sih, anggota mitra SRPB yang jumlahnya banyak itu tidak mau menginfaqkan sebagian rejekinya untuk membantu masyarakat lewat pengadaan alat pemanen hujan yang sangat bermanfaat itu,” Katanya memulai obrolan sambil menikmati kopi buatan office boy BNPB.

Masih kata pria asal Jogja ini, relawan SRPB harus mempunyai karya nyata sebagai bentuk sumbangsih yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Dalam hal ini berupa alat pemanen air hujan, seperti yang pernah disampaikan oleh Komunitas Banyu Bening dalam acara Arisan Ilmu, beberapa waktu yang lalu.

“Saya yakin, seandainya seluruh relawan mau bersodakoh tiga ribu, atau empat ribu setiap bulannya, pasti dalam waktu empat bulan sudah terwujud, dan pahalanya akan terus mengalir selama alat itu digunakan masyarakat,” Lanjutnya.

Memang, jika dipikir secara matematik, anggota mitra SRPB JATIM yang mencapai 170 an organisasi relawan itu, jika masing-masing organisasi ada 15 orang yang berkenan mendonasikan uangnya sejumlah 5.000 selama lima bulan, maka akan diperoleh dana yang lumayan untuk mempercepat terwujudnya gagasan itu.

Ya, optimisme Pak Papang sangat tampak meyakinkan malam itu. Saya pun setuju dengan gagasan beliau. Walau ada sebersit pesimis gagasan beliau bisa terwujud. Tapi, apa salahnya jika gagasan itu dicoba, entah bagaimana nanti hasilnya. Bismillah, semoga Tuhan merestui gagasan mulia dari staf nya Pak Lilik Kurniawan, Dir PM, BNPB.

Mengapa ada pesimis yang membayangi gagasan pria penyuka kopi ini?. Pertama, istilah donasi kurang familier diantara relawan mitra SRPB JATIM yang sudah terbiasa berkegiatan dengan konsep Nol rupiah berbasis keikhlasan.
Sehingga, ketika diumumkan untuk berdonasi sejumlah uang, bisa-bisa yang muncul kemudian adalah kasak kusuk yang beraroma curiga untuk kemudian rencana itu berhenti ditengah jalan. Gagasan tinggallah gagasan, seperti judul lagu “Layu Sebelum Berkembang”, entah siapa yang mempopulerkan, yang jelas bukan Rhoma Irama, siraja dangdut itu.

Ke dua, garakan donasi juga bisa dijadikan senjata oleh mereka yang sejak awal tidak suka dengan keberadaan SRPB JATIM. mereka pasti akan bilang, “Lha tenan to, akhirnya ada tarikan, ada urunan yang dibungkus dengan istilah donasilah, sodakohlah. Padahal untuk mendukung kegiatan SRPB,”. Atau dengan bahasa lain yang provokatif dan menyakitkan.

Inilah yang membuat saya galau ketika akan berbicara kepada teman-teman agar bisa segera mewujudkan gagasannya Pak Papang, dengan mengumumkan lewat grup WhatsApp, untuk melihat respon relawan yang menjadi anggotanya. Ya, galau karena kiprah SRPB JATIM masih belum banyak diketahui oleh khalayak ramai, juga dikalangan relawan sendiri (karena enggan mencari tahu dan masih enggan mendekat).

Alhamdulillah, saat acara halal bi halal lintas komunitas di ruang siaga, BPBD Provinsi Jawa Timur, Kotak Infaq 50 ribu Coin Pengadaan Alat Pemanen Air Hujan, telah berhasil mengumpulkan dana yang lumayan. Semoga, gerakan infaq ini terus bergulir, sehingga harapan Pak Papang bahwa, relawan mampu dan mau mendonasikan sebagian rejekinya untuk membantu sesama, benar-benar bisa terwujud. Hal ini sejalan dengan adab dalam islam yang mengatakan bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada di bawah.

Sekali lagi, jika gagasan ini benar-benar berjalan tanpa suara sumbang dari oknum yang tidak suka. Maka, secara tidak langsung membuktikan bahwa rasa gotong royong saling peduli dan berbagi yang sering didengungkan itu benar-benar nyata adanya dan masih dimiliki relawan.

Disini yang diperlukan adalah adanya rasa saling percaya, komitmen yang kuat, serta adanya transparansi dan tanggungjawab moral diantara relawan yang mendukung gagasannya Pak Papang. Tanpa itu pasti semuanya akan terasa ampang. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/senin kliwon-24/6].
          

Kamis, 20 Juni 2019

YANG TERCATAT DARI PIT RISET KEBENCANAAN IABI 2019


“Tantangan Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana diantaranya adalah Kerjasama belum menjadi kebutuhan dan kesadaran bersama, Koordinasi dan komunikasi belum mampu dilakukan dengan baik, dan Kapasitas pemangku belum kuat,” Kata Eko Teguh Paripurno.

Celetukan dosen UPN Jogja yang biasa dipanggil Kang ET, muncul dalam Special Session di arena Pekan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan yang ke 6 (enam), bertempat di ruang serba guna, Ina DRTG, BNPB, Sentul, Bogor, selasa (18/6).

Kegiatan yang mengambil tema “Inovasi Sosial dan Teknologi Kebencanaan Menuju Revolusi 4.0” diramaikan dengan diskusi panel, seminar internasional, pemeran kebencanaan, lomba tematik inovasi kebencanaan dan pendaftaran anggota baru IABI.

Adapun tujuan gelaran ini, seperti yang tersurat dalam buku panduan adalah, Menghimpun para ahli kebencanaan untuk meningkatkan budaya riset dan memberikan kontribusi pemikiran secara komprehensif, holistic dan sistemik, Sarana berbagi pengalaman terbaik dalam mengembangkan iptek melalui pendidikan, riset dasar dan terapan dari berbagai jenis dan karakteristik bencana di Indonesia.

Memperoleh manfaat berupa meningkatkan kemampuan masyarakat untuk lebih memahami arti penting penanggulangan bencana, terutama dalam upaya pengurangan risiko bencana ditingkat lokal, nasional, regional (asia-pasifik) dan global.

Mensinergikan kebutuhan kajian/penelitian di Indonesia sehingga dapat dijadikan acuan bersama dalam mengembangkan pengetahuan kebencanaan di Indonesia sesuai dengan jenis ancaman yang ada, dan menjadi referensi riset yang terintegrasi untuk penanggulangan bencana di Indonesia serta dapat menjadi baseline perencanaan dan pendanaan riset/penelitian di Indonesia.

Seperti yang tersurat dalam buku panduan pelaksanaan PIT Riset Kebencanaan tahun 2019, dikatakan bahwa, BNPB yang diamanatkan untuk mengkoordinasikan upaya penanggulangan bencana, telah menyusun dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) untuk periode 2010-2014.

Berdasarkan hasil review terhadap implementasi kegiatan yang dilakukan Kementerian/Lembaga terkait yang tertuang dalam dokumen tersebut menggambarkan bahwa Indonesia sudah banyak melakukan upaya penelitian dan riset yang terkait dengan kebencanaan, baik yang dilakukan oleh para pakar/peneliti di lembaga penelitian, maupun yang ada di perguruan tinggi. Namun perencanaan, pelaksanaan dan dokumentasi hasil penelitian/riset tersebut masih belum terkoordinasi dengan baik.

Selain itu, para pelaku penelitian/pakar yang merupakan potensi sumberdaya pengetahuan Indonesia juga masih belum terwadahi dalam suatu koordinasi yang baik, sehingga informasi sebaran peneliti dengan keahliannya masih sulit terjangkau oleh peneliti lain dan para pelaku penanggulangan bencana lainnya, termasuk para pengambil kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia.

Menyadari kondisi tersebut, maka sekitar 350 Ahli Kebencanaan yang berasal dari para akademisi, birokrat, lembaga riset, para praktisi PB, dan anggota masyarakat yang peduli bencana telah mendeklarasikan pembentukan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) sebagai organisasi profesi nir-laba pada tanggal 5 Juni 2014 bersamaan dengan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-1 di Surabaya.

Pada kesempatan tersebut telah disusun blue print dan roadmap Riset Kebencanaan Indonesia. IABI dibentuk dengan tujuan untuk (1) mensosialisasikan perkembangan konsep dan pengetahuan tentang kebencanaan (knowledge development) kepada pemangku kepentingan terutama para penentu kebijakan, perguruan tinggi dan lembaga riset, swasta/industri, dan masyarakat/LSM kebencanaan, dan (2) melakukan riset kebencanaan yang strategis dan menjadi prioritas nasional untuk dipublikasikan dan disebarluaskan kepada para pemangku kepentingan termasuk masyarakat akademis.

Dari seluruh kegiatan yang ada, penulis tertarik pada special session tentang pendidikan kebencanaan, yang diantaranya membahas Kebijakan, praktek dan perkembangan SMAB di Indonesia,  Kebijakan dan perkembangan praktek perguruan tinggi tangguh bencana yang diwadahi dalam Forum PT-PRB.

Ada juga tentang Kebijakan, praktek dan perkembangan pendidikan kebencanaan pada pramuka, dan Pendidikan Kebencanaan pada PAUD, serta Pesantren. Kemudian juga dibahas masalah Gerakan pendidikan kebencanaan di Indonesia oleh Konsorsium Pendidikan Kebencanaan.

Semua yang dibahas itu merupakan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas yang diharapkan membawa dampak pada tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap masalah bencana, seperti tumbuhnya kesiapsiagaan menghadapi bencana secara mandiri.

Masing-masing pemateri bercerita tentang kesuksesan melakukan aksi ‘mengedukasi’ masyarakat yang menjadi sasaran programnya. Sayangnya, program itu tidak dilakukan di semua daerah (hanya daerah tertentu sesuai dengan bunyi proposal).

Apalagi, dalam melakukan  aksi-aksi pengurangan risiko bencana secara mandiri, tentulah akan semakin banyak tantangan yang dihadapi. Selain ketersediaan anggaran, juga tantangan seperti yang dikemukakan Kang ET di atas.

Pertanyaannya kemudian, bisakah komunitas-komunitas peduli bencana itu mampu mendobrak tantangan itu?. Dalam skala kecil, mungkin sudah banyak yang telah melakukan dan ada hasilnya. Namun tidak sedikit yang belum melakukan karena selalu menunggu datangnya ‘sipengampu’. Bahkan ada yang berhasil baik saat didampingi, namun berantakan saat program pendampingan usai.

Secara berseloroh, seorang peserta PIT melempar guyonan yang cukup menohok. “Jangan-jangan kita semua telah kena sihir koordinasi, yaitu koor nya ada di nasi. Artinya, jika ada nasinya, baru bisa mewujudkan koordinasi,” Katanya sambil terpingkal-pingkal.

Guyonan itu pun dilanjutkan dengan plesetan kata komunikasi. Yaitu, dikongkon teKo, trus muni, dan langsung di kasi (disuruh datang, kemudian berbicara dan diberi baru bisa beraksi). Yang mendengar pun tertawa sambil menikmati kuliner malam di Kota Bogor. Ada babat, paru, usus, pete, tahu dan tempe. Semua digoreng dan dinikmati bersama nasi panas dan sambal yang pedas. Salam tangguh, salam kemanusiaan. sampai bertemu di arena PIT Riset Kebencanaan yang ke 7 (tuju) di Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa timur. [eBas/kamis legi-20/6].    


Kamis, 13 Juni 2019

SRPB DAN TAGANA ITU BEDA


“Mas Bro, saya  perhatikan, setiap ada bencana di berbagai daerah di Indonesia, tenda SRPB kok tidak pernah kelihatan ya ?,” Kata Mukidi dengan polosnya sambil menikmati rengginang sisa lebaran kemarin.

Masih kata Mukidi, yang sering dilihanya adalah orang-orang memakai kaos bertuliskan tagana yang sibuk melakukan evakuasi, dan tenda besar bertuliskan tagana, biasanya berfungsi sebagai Dapur Umum. Ada juga mobil operasional double cabin bertulisan tagana, yang setia lalu lalang kesana kemari diada henti.

“SRPB itu kan wadah koordinasi antar organisasi relawan. Jadi, saat ada bencana, relawan yang tergabung dalam SRPB, semua turun atas nama dan atas perintah induk organisasi masing-masing. Sementara, SRPB hanya mencatat organisasi mana saja yang turun ke lokasi untuk memudahkan koordinasi,” Kata Mas Bro mencoba menjelaskan kepada Mukidi yang belum tahu  benyak tentang tugas dan fungsi SRPB.

Sambil menikmati keciput dan opak gapit, Mas Bro bilang, bahwa keberadaan tagana itu memiliki payung hukum dalam melakukan kegiatan dibidang penanggulangan bencana, yaitu Permensos RI nomor 28 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Tagana.

Disana jelas disebutkan bahwa Taruna Siaga Bencana, selanjutnya disingkat tagana adalah relawan sosial atau Tenaga Kesejahteraan Sosial berasal dari masyarakat yang memiliki kepedulian dan aktif dalam penanggulangan bencana bidang perlindungan sosial.

Dengan demikian jelaslah bahwa tagana memang wajib hadir di lokasi jika ada bencana, dalam rangka mobilisasi penugasan  langsung dilakukan oleh Kementerian Sosial, dinas sosial/instansi sosial provinsi, dan dinas sosial/instansi kabupaten/kota secara berjenjang. Jelas komandonya. Beda dengan relawan, beda pula dengan SRPB yang tidak punya payung hukum. Bahkan ada yang bilang bahwa tagana itu bukan relawan, tapi pekerja kemanusiaan yang dibayar dan difasilitasi.

Dalam Pasal 6, disebutkan tagana mempunyai tugas melaksanakan penanggulangan bencana, baik pada pra bencana, saat tanggap darurat, maupun pasca bencana, dan tugas-tugas penanganan permasalahan sosial lainnya yang terkait dengan penanggulangan bencana.

Pasal 7 (1) Tugas tagana dalam melaksanakan penanggulangan bencana pada Pra Bencana mempunyai fungsi: a. pendataan dan pemetaan daerah rawan bencana; b. peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana; c. kegiatan pengurangan risiko bencana di lokasi rawan bencana; d. peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadi bencana; e. fasilitasi dalam pembentukan dan pengembangan kampung siaga bencana; f. sistem deteksi dini kepada masyarakat atas kemungkinan terjadi bencana; g. evakuasi bersama pihak terkait terlebih dalam bidang perlindungan sosial atas ancaman bahaya; dan h. upaya pengurangan resiko dan kesiapsiagaan lainnya.

(2) Tugas tagana dalam melaksanakan penanggulangan bencana pada saat terjadi bencana mempunyai fungsi: a. mengkaji dengan cepat dan melaporkan hasil identifikasi serta rekomendasi kepada posko atau dinas / instansi sosial, serta berkoordinasi dengan Tim Reaksi Cepat bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial; b. mengidentifikasi / mendata korban bencana; c. melaksanakan operasi tanggap darurat pada bidang penyelamatan korban dari situasi tidak aman ke tempat yang lebih aman; d. melaksanakan operasi tanggap darurat pada bidang penampungan sementara; e. melaksanakan operasi tanggap darurat pada bidang dapur umum; f. melaksanakan operasi tanggap darurat pada bidang logistik; g. melaksanakan operasi tanggap darurat pada bidang psikososial; h. memobilisasi dan menggerakan masyarakat dalam upaya pengurangan resiko; dan i. mengupayakan tanggap darurat lainnya.

(3) Tugas tagana dalam melaksanakan penanggulangan bencana pada pasca bencana mempunyai fungsi: a. mengidentifikasi/mendata kerugian material pada korban bencana; b. mengidentifikasi/mendata kerusakan rumah atau tempat tinggal korban bencana; c. melaksanakan penanganan psikososial dan rujukan; d. mengupayakan penguatan dan pemulihan sosial korban bencana serta berkoordinasi dengan pihak terkait; dan e. melaksanakan pendampingan dalam advokasi sosial.

Mukidi menyimak penjelasan Mas Bro penuh perhatian. Pelan-pelan Mukidi memahami perbedaan antara tagana dengan SRPB, yang sampai saat ini belum memiliki tenda sendiri. Apalagi mobil operasional double cabin.  

 Dalam permensos juga disebutkan bahwa tagana pun mempunyai hak, diantaranya mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah melalui pemberian Nomor Induk Anggota yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial; dan mendapat fasilitas, sarana dan prasarana dari Pemerintah berkaitan dengan tugas tugasnya; dan mendapatkan pelatihan dan bimbingan penanggulangan bencana secara berkala oleh Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah.

“Mudah-mudahan sampiyan paham, sehingga tidak menyamakan kiprah tagana yang geraknya difasilitasi oleh pemerintah dengan SRPB yang segala geraknya sangat tergantung pada kesehatan dompet pribadi,” Seloroh Mas Bro sambil nyruput kopi karena kesereten nogosari.

Masih menurut Mas Bro, selama dua tahun berjalan sejak kelahirannya, SRPB lebih banyak melakukan konsolidasi dan edukasi kepada relawan dan berbagai pihak dalam rangka membangun sinergi terkait upaya peningkatan kapasitas relawan yang nantinya bisa membantu ‘pemerintah’ dalam penanggulangan bencana maupun upaya penyuluhan pengurangan risiko bencana kepada masyarakat. [eBas/Jum’ad Kliwon, 14/6]
  

  





Senin, 10 Juni 2019

SEPENGGAL CERITA TENTANG SRPB JATIM


Cerita ini diawali dengan keterlibatan penulis dalam kegiatan forum pengurangan risiko bencana jawa timur (F-RPB JATIM).  Untuk itu, disini penulis merasa wajib mengucapkan terimakasih kepada Pak Misdarno, staf BPBD Provinsi Jawa Timur, dan Mas Didik, ‘direktur’ AIFDR Jawa Timur, yang berkenan melibatkan penulis belajar menjadi bagian dari F-PRB JATIM. dimana saat itu yang menjadi sekjen adalah Syaiful (almarhum).

Dari pergaulan  dengan aktivis F-PRB JATIM , diantaranya mbah Dharmo, Cak Rurid, dan mBak Arna, penulis menjadi tahu bahwa sebagai organisasi, F-PRB JATIM belum mempunyai kantor sekretariat untuk berkumpul, bersemuka antar anggota dalam rangka menyusun agenda organisasi.

Betapa memprihatinkannya, organisasi yang menyuarakan konsep PRBBK (pengurangan risiko bencana berbasis komunitas) belum memilki kantor. Sejak itulah setiap berkesempatan mengikuti rapat yang melibatkan BPBD JATIM, selalu saja penulis angkat bicara “memohon” agar diberi salah satu ruang di kantor BPBD JATIM untuk dijadikan Sekretariat F-PRB JATIM.

Ruang tersebut, disamping untuk keperluan rapat dan urusan administrasi forum, juga menjadi tempat berkumpulnya relawan penanggulangan bencana sebagai salah satu elemen yang memperkuat keberadaan F-PRB JATIM, disamping Akademisi, Birokrat, Praktisi, tokoh masyarakat, Organisasi Masyarakat, dan Media. Jauh sebelum istilah pentahelix dipopulerkan.

Singkat cerita, Pak wawan, Kalaksa BPBD Provinsi Jawa Timur, mengundang beberapa organisasi relawan untuk berdiskusi tentang rencana pembentukan sekretariat bersama (sekber) relawan. Saat itu sempat pula penulis tanyakan, mengapa membentuk sekber relawan ?. kenapa tidak Sekber F-PRB JATIM yang didalamnya juga melibatkan relawan ?.

Beliau bilang, F-PRB JATIM beda dengan Sekber Relawan. Forum anggotanya terdiri dari berbagai elemen masyarakat. Sedangkan Sekber Relawan khusus mewadahi organissi relawan sejawa timur untuk memudahkan berkoordinasi, berkomunikasi serta memudahkan pembinaan terkait meningkatkan kapasitas dalam hal penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana.

Begitulah, rapat pembentukan Sekretariat bersama terus bergulir, bertempat di Gedung Siaga, BPBD Provinsi Jawa Timur. Rapat itu didampingi Sugeng Yanu, sebagai Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan, dan didukung sepenuhnya oleh Mercycorp (Lukman, Nandar, dan Afkar).

Secara aklamasi, peserta rapat menunjuk Dian Harmuningsih sebagai Ketua. Priyo Sancoyo, Sekretaris yang gak pernah aktif, dan Edi Basuki, sebagai bendahara yang tidak pernah membawa uang babar blas (karena memang tidak ada uang sama sekali). Ya, adanya hanya menyusun konsep kemudian rapat, konsultasi dan revisi, agar keberadaannya nanti tidak ‘layu sebelum berkembang’.

Rapat demi rapat terus berlangsung untuk mematangkan rencana kongres dengan segala kemampuan yang ada. Beberapa personil pun secara sukarela membantu bersibuk ria menyiapkan rapat relawan. Muncullah Hamid, Rizal, Wawan, Sri, Digdo, dan lainnya. mereka saling bahu membahu menyusun acara tanpa kenal lelah. ’Sing Penting Kongres Sukses’. Begitulah semboyan pasukan berani capek ini.

Sekitar 90 organisasi relawan yang hadir dari 110 undangan yang disebar. Dengan penuh semangat dan biaya mandiri, mereka berdatangan ke Hotel Regent Park, Kota Malang untuk berkongres. Ya, kongres pembentukan Sekber relawan itu berlangsung beberapa hari setelah F-PRB JATIM mengadakan Musyawarah Besar dalam rangka pergantian pengurus, di Hotel Pelangi, Kota Malang (24 – 25 April 2017).

Selama dua hari (28 - 29 April 2017) mereka rapat merumuskan ‘jabang bayi’ Sekber yang kemudian diberi nama sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM). Pengurusnya pun diambil dari wakil-wakil organisasi relawan berbasis keterwakilan daerah di Jawa Timur. Dian Harmuningsih dipilih secara aklamasi sebagai koordinator. Disepakati pula SRPB JATIM hanya memiliki statuta sebagai AD/ART yang menjadi payung hukum dari segala penyusunan program dan keputusan yang akan diambil pengurus.

Seminggu pasca kongres, pengurus SRPB JATIM mulai sibuk menyusun laporan pelaksanaan kongres dan merencanakan kegiatan rutin sebagai upaya membangun persepsi dan chemistry diantara relawan dari berbagai organisasi, yang tentunya sudah memiliki visi misi sendiri. Semuanya coba disatukan untuk bersama-sama bekerja menggerakkan roda organisasi SRPB JATIM  dengan berbagai kegiatan penanggulangan bencana. baik itu saat pra bencana, tanggap darurat bencana, maupun pra bencana, dalam rangka peningkatan kapasitas relawan.

Dulu, rencana pertama yang diharapkan adalah melakukan pendataan seluruh organisasi relawan di Jawa Timur untuk dibukukan (sebagai bank data), Istilahnya Direktori Relawan. Harapannya, dengan adanya data ini akan  memudahkan koordinasi dan komunikasi jika sewaktu -  waktu di perlukan dalam kegiatan penanggulangan bencana maupun pengurangan risiko bencana.

Pertemuan-pertemuan pengurus pun secara berkala diadakan. Dari situ tercetuslah gagasan untuk membuat kegiatan rutin sebagai media saling belajar. Disepakatilah nama, Arisan Ilmu Nol Rupiah. Tujuan gelaran itu adalah sebagai media berkumpul untuk saling berbagi dan bersilaturahmi.

Itu penting, karena jika tidak ada media berkumpul, maka pasca kongres, semua peserta balik kanan ngurusi kesibukan hariannya masing-masing. Lupa menghidupi semangat kongres dengan segala keputusan yang disepakati. Inilah penyakit organisasi yang baru berdiri, jika tidak diantisipasi.

Begitulah, acara Arisan Ilmu yang digelar secara berkala menjadi media interaksi untuk membangun sinergi dan menambah wawasan dengan berbagai topik bahasan. Sebagai upaya menterjemahkan pesan UU nomor 24 tahun 2007, khususnya pasal 26, ayat 1, poin b, Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.  

Walaupun masih dalam proses mencari bentuk, kegiatan ini telah mencuri perhatian dan menginspirasi berbagai pihak untuk menduplikasi ke dalam programnya dengan beragam versi sesuai selera masing-masing. Sekecil apapun, itulah prestasi yang membanggakan dari aktivis SRPB JATIM.

Setahun menjelang kongres yang ke dua, SRPB JATIM telah banyak terlibat dalam berbagai kegiatan kebencanaan. baik yang diselenggarakan BPBD, maupun BNPB dan instansi lain. Bahkan mendapat apresiasi positif dari Pak Suban, Kepala BPBD Provinsi Jawa Timur dan jajarannya, dengan diberi ijin menempati salah satu ruangan di kantor BPBD sebagai sekretariat, lengkap dengan pemasangan ‘name board’ yang sangat  ‘Eye Catching’ sebagai tempat berkumpulnya relawan dalam merencanakan aksi yang terkoordinasi.

Di samping ‘keberhasilan’ yang dicapai, ada saja oknum yang tega menghambat laju perkembangan SRPB JATIM. Ya, itu memang wajar terjadi, sesuai hukum alam. Rasa suka dan tidak suka, yang datang dan yang pergi adalah sebuah sunatullah yang tidak bisa dihindari. Mereka yang tidak suka adanya SRPB JATIM itu pasti punya argumentasi sendiri yang seolah-olah bener dari nalar oknum yang keblinger.

Untuk itulah semua harus dihadapi dengan karya nyata. Bukan dijawab dengan sekedar saling berbantah. Ya, karya nyata yang berdampak pada meluasnya jaring kemitraan, meningkatkan kapasitas relawan serta terjadinya kaderisasi sebagai bentuk munculnya rasa “melu handarbeni” SRPB JATIM dengan segala suka dukanya dalam berproses sebagaimana organisasi yang sudah mapan.

Dari situ kemudian, diharapkan semua dapat berpartisipasi meramaikan kongres ke dua tahun 2020. Termasuk merevisi statuta dan perlu tidaknya SRPB JATIM memiliki akta notaris sebagai syarat legalitas formal sebuah organisasi. Sehingga narasi yang dikembangkan oleh oknum bahwa SRPB JATIM hanya didominasi oleh beberapa orang dan kepentingan tertentu, akan terpatahkan dengan sendirinya.

Di sisi lain, jika SRPB JATIM gagal melakukan kaderisasi, maka disitulah titik klimak kiprahnya untuk kemudian perlahan namun pasti, akan ditinggalkan oleh anggotanya, karena merasa tidak mendapat keuntungan apa-apa selama berkiprah bersama. Untuk itu, teruslah bergerak menunjukkan karya yang bisa ditindak lanjuti pasca kongres nanti. Waspadalah.

Berharap  sepenggal cerita ini dapat menginspirasi untuk mendokumentasikan segala kisah pengalaman dalam bentuk tulisan agar menjadi ‘jejak sejarah’ bahwa kita pernah ada dengan segala suka dukanya. Ingat, pesan Ali bin Abi Thalib, ikatlah ilmu (dan pengalaman,red) dengan menuliskannya. Ya, narasi panjang tentang  cerita hidup para pegiat kemanusiaan (termasuk pelestari lingkungan) akan menjadi kenangan tersendiri bagi mereka yang membaca dengan hati nurani. Wallahu a’lam bishowab. Salam Tangguh, Salam Lestari.[eBas/Jakarta diwaktu pagi usai hujan semalam, minggu-9/6]