Cerita ini
diawali dengan keterlibatan penulis dalam kegiatan forum pengurangan risiko bencana
jawa timur (F-RPB JATIM). Untuk itu,
disini penulis merasa wajib mengucapkan terimakasih kepada Pak Misdarno, staf
BPBD Provinsi Jawa Timur, dan Mas Didik, ‘direktur’ AIFDR Jawa Timur, yang
berkenan melibatkan penulis belajar menjadi bagian dari F-PRB JATIM. dimana
saat itu yang menjadi sekjen adalah Syaiful (almarhum).
Dari pergaulan dengan aktivis F-PRB JATIM , diantaranya mbah
Dharmo, Cak Rurid, dan mBak Arna, penulis menjadi tahu bahwa sebagai
organisasi, F-PRB JATIM belum mempunyai kantor sekretariat untuk berkumpul,
bersemuka antar anggota dalam rangka menyusun agenda organisasi.
Betapa memprihatinkannya,
organisasi yang menyuarakan konsep PRBBK (pengurangan risiko bencana berbasis
komunitas) belum memilki kantor. Sejak itulah setiap berkesempatan mengikuti
rapat yang melibatkan BPBD JATIM, selalu saja penulis angkat bicara “memohon”
agar diberi salah satu ruang di kantor BPBD JATIM untuk dijadikan Sekretariat
F-PRB JATIM.
Ruang tersebut,
disamping untuk keperluan rapat dan urusan administrasi forum, juga menjadi
tempat berkumpulnya relawan penanggulangan bencana sebagai salah satu elemen
yang memperkuat keberadaan F-PRB JATIM, disamping Akademisi, Birokrat,
Praktisi, tokoh masyarakat, Organisasi Masyarakat, dan Media. Jauh sebelum
istilah pentahelix dipopulerkan.
Singkat cerita,
Pak wawan, Kalaksa BPBD Provinsi Jawa Timur, mengundang beberapa organisasi
relawan untuk berdiskusi tentang rencana pembentukan sekretariat bersama (sekber)
relawan. Saat itu sempat pula penulis tanyakan, mengapa membentuk sekber
relawan ?. kenapa tidak Sekber F-PRB JATIM yang didalamnya juga melibatkan
relawan ?.
Beliau bilang,
F-PRB JATIM beda dengan Sekber Relawan. Forum anggotanya terdiri dari berbagai
elemen masyarakat. Sedangkan Sekber Relawan khusus mewadahi organissi relawan sejawa
timur untuk memudahkan berkoordinasi, berkomunikasi serta memudahkan pembinaan terkait
meningkatkan kapasitas dalam hal penanggulangan bencana dan pengurangan risiko
bencana.
Begitulah,
rapat pembentukan Sekretariat bersama terus bergulir, bertempat di Gedung
Siaga, BPBD Provinsi Jawa Timur. Rapat itu didampingi Sugeng Yanu, sebagai
Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan, dan didukung sepenuhnya oleh Mercycorp
(Lukman, Nandar, dan Afkar).
Secara aklamasi,
peserta rapat menunjuk Dian Harmuningsih sebagai Ketua. Priyo Sancoyo, Sekretaris
yang gak pernah aktif, dan Edi Basuki, sebagai bendahara yang tidak pernah
membawa uang babar blas (karena memang tidak ada uang sama sekali). Ya, adanya
hanya menyusun konsep kemudian rapat, konsultasi dan revisi, agar keberadaannya
nanti tidak ‘layu sebelum berkembang’.
Rapat demi
rapat terus berlangsung untuk mematangkan rencana kongres dengan segala kemampuan
yang ada. Beberapa personil pun secara sukarela membantu bersibuk ria
menyiapkan rapat relawan. Muncullah Hamid, Rizal, Wawan, Sri, Digdo, dan
lainnya. mereka saling bahu membahu menyusun acara tanpa kenal lelah. ’Sing
Penting Kongres Sukses’. Begitulah semboyan pasukan berani capek ini.
Sekitar 90
organisasi relawan yang hadir dari 110 undangan yang disebar. Dengan penuh
semangat dan biaya mandiri, mereka berdatangan ke Hotel Regent Park, Kota
Malang untuk berkongres. Ya, kongres pembentukan Sekber relawan itu berlangsung
beberapa hari setelah F-PRB JATIM mengadakan Musyawarah Besar dalam rangka
pergantian pengurus, di Hotel Pelangi, Kota Malang (24 – 25 April 2017).
Selama dua
hari (28 - 29 April 2017) mereka rapat merumuskan ‘jabang bayi’ Sekber yang kemudian diberi nama sekretariat
bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM). Pengurusnya pun
diambil dari wakil-wakil organisasi relawan berbasis keterwakilan daerah di
Jawa Timur. Dian Harmuningsih dipilih secara aklamasi sebagai koordinator. Disepakati pula SRPB JATIM hanya memiliki statuta sebagai AD/ART
yang menjadi payung hukum dari segala penyusunan program dan keputusan yang
akan diambil pengurus.
Seminggu pasca
kongres, pengurus SRPB JATIM mulai sibuk menyusun laporan pelaksanaan kongres
dan merencanakan kegiatan rutin sebagai upaya membangun persepsi dan chemistry
diantara relawan dari berbagai organisasi, yang tentunya sudah memiliki visi
misi sendiri. Semuanya coba disatukan untuk bersama-sama bekerja menggerakkan
roda organisasi SRPB JATIM dengan
berbagai kegiatan penanggulangan bencana. baik itu saat pra bencana, tanggap
darurat bencana, maupun pra bencana, dalam rangka peningkatan kapasitas relawan.
Dulu,
rencana pertama yang diharapkan adalah melakukan pendataan seluruh organisasi
relawan di Jawa Timur untuk dibukukan (sebagai bank data), Istilahnya Direktori Relawan. Harapannya, dengan adanya data ini akan memudahkan koordinasi dan komunikasi jika sewaktu - waktu di perlukan dalam kegiatan penanggulangan bencana maupun pengurangan risiko bencana.
Pertemuan-pertemuan
pengurus pun secara berkala diadakan. Dari situ tercetuslah gagasan untuk
membuat kegiatan rutin sebagai media saling belajar. Disepakatilah nama, Arisan
Ilmu Nol Rupiah. Tujuan gelaran itu adalah sebagai media berkumpul untuk saling
berbagi dan bersilaturahmi.
Itu penting,
karena jika tidak ada media berkumpul, maka pasca kongres, semua peserta balik
kanan ngurusi kesibukan hariannya masing-masing. Lupa menghidupi semangat kongres
dengan segala keputusan yang disepakati. Inilah penyakit organisasi yang baru
berdiri, jika tidak diantisipasi.
Begitulah,
acara Arisan Ilmu yang digelar secara berkala menjadi media interaksi untuk membangun
sinergi dan menambah wawasan dengan berbagai topik bahasan. Sebagai upaya
menterjemahkan pesan UU nomor 24 tahun 2007, khususnya pasal 26, ayat 1, poin
b, Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Walaupun masih
dalam proses mencari bentuk, kegiatan ini telah mencuri perhatian dan
menginspirasi berbagai pihak untuk menduplikasi ke dalam programnya dengan
beragam versi sesuai selera masing-masing. Sekecil apapun, itulah prestasi yang
membanggakan dari aktivis SRPB JATIM.
Setahun menjelang
kongres yang ke dua, SRPB JATIM telah banyak terlibat dalam berbagai kegiatan
kebencanaan. baik yang diselenggarakan BPBD, maupun BNPB dan instansi lain. Bahkan
mendapat apresiasi positif dari Pak Suban, Kepala BPBD Provinsi Jawa Timur dan jajarannya,
dengan diberi ijin menempati salah satu ruangan di kantor BPBD sebagai sekretariat,
lengkap dengan pemasangan ‘name board’ yang sangat ‘Eye Catching’ sebagai tempat berkumpulnya
relawan dalam merencanakan aksi yang terkoordinasi.
Di samping
‘keberhasilan’ yang dicapai, ada saja oknum yang tega menghambat laju
perkembangan SRPB JATIM. Ya, itu memang wajar terjadi, sesuai hukum alam. Rasa suka
dan tidak suka, yang datang dan yang pergi adalah sebuah sunatullah yang tidak
bisa dihindari. Mereka yang tidak suka adanya SRPB JATIM itu pasti punya
argumentasi sendiri yang seolah-olah bener dari nalar oknum yang keblinger.
Untuk itulah
semua harus dihadapi dengan karya nyata. Bukan dijawab dengan sekedar saling
berbantah. Ya, karya nyata yang berdampak pada meluasnya jaring kemitraan, meningkatkan
kapasitas relawan serta terjadinya kaderisasi sebagai bentuk munculnya rasa “melu
handarbeni” SRPB JATIM dengan segala suka dukanya dalam berproses sebagaimana
organisasi yang sudah mapan.
Dari situ
kemudian, diharapkan semua dapat berpartisipasi meramaikan kongres ke dua tahun 2020. Termasuk merevisi statuta dan perlu tidaknya SRPB JATIM memiliki akta notaris sebagai syarat legalitas formal sebuah organisasi. Sehingga narasi yang dikembangkan oleh oknum bahwa SRPB JATIM hanya didominasi
oleh beberapa orang dan kepentingan tertentu, akan terpatahkan dengan
sendirinya.
Di sisi
lain, jika SRPB JATIM gagal melakukan kaderisasi, maka disitulah titik klimak
kiprahnya untuk kemudian perlahan namun pasti, akan ditinggalkan oleh
anggotanya, karena merasa tidak mendapat keuntungan apa-apa selama berkiprah
bersama. Untuk itu, teruslah bergerak menunjukkan karya yang bisa ditindak
lanjuti pasca kongres nanti. Waspadalah.
Berharap sepenggal cerita ini dapat menginspirasi untuk
mendokumentasikan segala kisah pengalaman dalam bentuk tulisan agar menjadi ‘jejak
sejarah’ bahwa kita pernah ada dengan segala suka dukanya. Ingat, pesan Ali bin
Abi Thalib, ikatlah ilmu (dan pengalaman,red) dengan menuliskannya. Ya, narasi panjang
tentang cerita hidup para pegiat
kemanusiaan (termasuk pelestari lingkungan) akan menjadi kenangan tersendiri
bagi mereka yang membaca dengan hati nurani. Wallahu a’lam bishowab. Salam
Tangguh, Salam Lestari.[eBas/Jakarta diwaktu pagi usai hujan semalam,
minggu-9/6]