Minggu, 28 Februari 2021

BPBD JATIM PUNYA MOSIPENA

Mungkin BPBD Provinsi Jawa Timur adalah satu-satunya kantor yang mempunyai mobil edukasi penanggulangan bencana (MOSIPENA).  Ya, sebuah mobil merek isuzu yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai sarana edukasi tentang literasi bencana, terkait upaya mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana.  

Bisa dikatakan bahwa mosipena merupakan perluasan layanan BPBD dalam memberikan edukasi kebencanaan dengan cara mengunjungi lokasi/daerah sesuai jadwal yang telah ditentukan. 

Dengan sifatnya yang fleksibel dan mudah dipindah kemana-mana, akan mempercepat penyebaran informasi  kebencanaan kepada khalayak ramai dalam suasana santai dan menghibur. Tujuannya adalah agar sebanyak mungkin warga masyarakat memperoleh informasi tentang kebencanaan

Harapan dari mosipena ini, masyarakat memiliki informasi tentang adanya potensi bencana di daerahnya. Mereka juga mampu mengantisipasi, beradaptasi dan memproteksi diri dari bahaya bencana serta memiliki daya lenting pasca terjadinya bencana.

Mobil literasi bencana ini dilengkapi dengan videotron, computer, sound system, buku-buku kebencanaan, dan lainnya yang mendukung edukasi kebencanaan.

Mosipena yang idenya dari Hendro Wardhono, direktur PUSPPITA (Pusat Pelatihan dan penelitian Indonesia Tangguh), Konon dalam operasionalnya, BPBD Jatim akan menggandeng SRPB dan FPRB, sesuai perannya yang ada di dalam perka BNPB nomor 17 tahun 2011, tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana.

Untuk itu perlu ada aturan main (SOP) yang jelas. Jika memungkinkan ada penjelasan teknis kepada relawan yang ditunjuk tentang begaimana menjalankan mobil yang perangkatnya tergolong tidak murah. Artinya, tidak sembarang relawan diijinkan membawa mobil ini. Relawan yang ditunjuk harus memiliki track record yang baik, jujur, berkepribadian menarik dan bertanggung jawab.

Ini penting, agar keberadaan mosipena awet, tidak mudah rusak dan bermanfaat dalam rangka membangun budaya tangguh menghadapi bencana. khususnya bagi masyarakat yang di daerahnya ada potensi bencana.

Sudah beberapa kali mobil ini menjalankan fungsinya, mengedukasi masyarakat. Terakhir tampil pada kegiatan Rutinan SRPB Jawa Timur "Arisan Ilmu Nol Rupiah", bertempat di Pondos Pesantren SPMAA, di desa Turi, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. 

Operatornya dari relawan yang telah menguasai perangkat yang ada di dalamnya. Materinya bisa klasikal, dimana relawan yang menjadi nara sumber menjelaskan tentang pentingnya pengurangan risiko bencana, sosialisasi SPAB dan menumbuhkan kesadaran untuk melakukan kesiapsiagaan menghadapi bencana secara mandiri.

Bisa juga, nara sumber memutarkan film tentang bencana tertentu (disesuaikan dengan potensi bencana yang ada di lokasi) untuk kemudian dijadikan bahan diskusi interaktif, sehingga suasana menjadi hidup.

Mosipena juga bisa berfungsi seperti perpustakaan yang menyilahkan masyarakat membaca di tempat. Sementara petugasnya memutar lagu atau jingle yang berisi pesan-pesan normatif. Seperti ajakan hidup bersih, menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, membebaskan sungai dari sampah, dan pesan lain yang mudah dipahami dan dilakukan oleh masyarakat.

Disinilah relawan yang bertugas menjalankan mosipena harus kreatif menarik perhatian masyarakat dengan berbagai metode. termasuk mampu melakukan dukungan psikososial terhadap korban bencana (penyintas) saat mosipena berkesempatan mengemban tugas dilokasi bencana.  

Jangan lupa awak mosipena juga rajin memeriksa kelengkapan yang harus dibawa, membuat catatan yang dirangkum menjadi sebuah laporan untuk pertanggungjawaban administrasi. Alangkah baiknya jika setiap selesai bertugas, diadakan evaluasi bersama dengan pihak BPBD untuk bahan pelaksanakan tugas berikutnya. Termasuk mengevaluasi perlunya melengkapi bahan promosi. Seperti tambahan buku dan komik kebencanaan, dan bahan edukasi lainnya yang menarik.

Sungguh, keberanian BPBD Provinsi Jawa timur untuk mengadakan mosipena beserta kelengkapannya, patut diacungi jempol. Ini tanda bahwa upaya pengurangan risiko bencana mendapat prioritas Pemda Jatim dalam rangka membangun kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana, untuk meminimalisir jumlah korban akibat bencana. Wallahu a’lam Bishowab. Salam Sehat Salam Literasi. [eBas/SeninLegi-01032021]  

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 25 Februari 2021

PEMBERDAYAAN RELAWAN SEBUAH MIMPI INDAH

Jamaah LC bermimpi mengajak anggota jamaahnya meningkatkan kesadaran bersama untuk menambah  wawasan, bersama meningkatkan kesejahteraan anggota dalam arti luas melalui berbagai kegiatan kreatifyang bermakna luas.

Jamaah LC juga bermimpi  mengembangkan kemitraan dengan berbagai pihak dalam upaya meningkatkan kapasitas untuk kerja-kerja kemanusiaan, yang memberdayakan.

Namanya juga baru keinginan, maka ya harus tidur dulu agar bermimpi. Tapi tidak ada salahnya walau masih sekedar berkeinginan untuk bermimpi. Setidaknya sudah ada keinginan untuk tampil lebih  bermakna untuk sesama.

Kapan keinginan itu bisa terwujud ?. ya tentunya melalui proses ngopi bareng sambil bercerita mimpinya, dan saling melontarkan gagasan untuk dikomentari bersama. Siapa tahu dari banyaknya gagasan yang bermunculan itu ada yang bisa disepakati untuk dijadikan mimpi bersama yang kemudian dicoba untuk direalisasikan dalam alam nyata berupa kegiatan bersama.

Impian yang sedang dibangun Jamaah LC itu bukan sekedar mimpi indah belaka. Namun ada semangat untuk saling memberdayakan diantara jamaah itu sendiri, sebelum memberdayakan pihak lain dengan aksi nyata.

Dalam literatur, beberapa ahli, diantaranya Fahrudin dalam pelajaran.co.id (2018), mengatakan bahwa pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat yang dilakukan dengan upaya, seperti: Enabling, yaitu menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Empowering, yaitu meningkatkan kapasitas dengan memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat. Protecting, yaitu melindungi kepentingan dengan mengembangkan sistem perlindungan bagi masyarakat yang menjadi subjek pemberdayaan.

Ya, mimpinya personil Jamaah LC itu mirip dengan fungsi Karang Taruna dalam membantu meningkatkan sumber daya manusia yang siap mewujudkan kesejahteraan dalam arti luas secara mandiri.

Dalam Permensos RI Nomor 77/HUK/2010.tentang Karang Taruna, disebutkan bahwa ada beberapa tujuan Karang Taruna. Diantaranya, terwujudnya kesadaran akan tanggung jawab sosial setiap generasi muda warga Karang Taruna dalam mencegah, menangkal, menanggulangi dan mengantisipasi berbagai masalah sosial.

Diharapkan mereka juga mampu melakukan pendampingan, dan advokasi sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial. Serta mampu membangun jaringan komunikasi, kerjasama, informasi dan kemitraan dengan berbagai aktor.

Yups, kiranya tidak terlalu salah jika Jamaah LC mengadopsi konsep pembinaan Karang Taruna. Tentu dimodifikasi sedemikian rupa sesuai kemampuan dan sasaran garapnya.

Sementara ini, gagasan yang mencuat saat jagongan adalah rencana-rencana kegiatan dengan beberapa komunitas, mengadakan webinar, dan menyelenggarakan sarasehan relawan se Surabaya Raya. Gagasan tersebut masih perlu dibahas lebih serius lewat jagongan selanjutnya agar lebih kongkrit kebermanfaatannya.

Sekedar diketahui bahwa Jamaah LC itu sejatinya adalah kumpulan relawan dari berbagai organisasi yang memiliki kesamaan hobi, ngopi sambil ngobrol apa saja tanpa tema yang jelas. Semua mengalir begitu saja. dari kebiasaan ngobrol itu kemudian muncul gagasan untuk ini itu, tidak terikat oleh waktu dan aturan tertentu.

Harapannya gagasan yang bermunculan itu, suatu saat bisa direalisasikan. Makanya sekarang ini Jamaah LC selalu mengajak bermimpi tentang gagasan apa saja yang bersentuhan dengan kerja-kerja kemanusiaan. Dengan harapan kedepan keberadaan Jemaah LC ini bisa berkontribusi terhadap upaya peningkatan kapasitas relawan dalam menebar kebermanfaatan bagi sesama, dengan tetap nyruput kopi. Wallahu a’lam. [eBas/JumatPon-26Februari2021]    

 

 

 

Minggu, 21 Februari 2021

POSTINGAN TENTANG KEPEMIMPINAN

Sudah beberapa hari ini saya punya kebiasaan baru. Solat subuh tidak di Masjid Al-Ikhlas, dekat rumah. Tapi di Masjid As- Sha'adah Keputih, atau Masjid As-Syakinah Deles. Lolasinya lumayan jauh dari rumah. Bukan karena apa, tapi lebih sekedar mencari suasana baru, dan yang terpenting lagi, sepulang solat subuh bisa langsung mampir ke Warkop Langganan. Menikmati aroma kopi dipagi hari bersama warga aneka profesi. Ya pemulung, pensiunan, tukang sampah, gojek dan pedagang pasar.

Begitu juga pagi ini, minggu pon (21/02/2021), sepulang dari subuhan di Masjid As-Shaadah, saya mampir ke Warkop Langganan.  Sambil nyruput kopi tidak lupa membaca postingan di media sosial. Macem-macem isinya. Lumayan untuk menambah wawasan di pagi hari.

Tanpa sengaja, sambil menggigit ‘rondo royal’ (tape diberi tepung terus digoreng),  mata ini tertahan di postingannya Azelin. Tegas mengena bagi siapa saja yang membaca. Dia menulis, Pemimpin yang baik, memutuskan sesuatu dengan bijak, memikirkan awak kapalnya, bukan semata mata menuruti ambisinya. 

Masih kata Pembina pramuka saka wana bhakti itu, bahwa Pemimpin lebih mengutamakan quality dari pada quantity, dan mengawal laksana ibu menjaga anak-anaknya. Pemimpin juga memandang kesiapan dengan jangkauan future vision yang jauh ke depan, serta menjadikan semuanya worth it, bukan sekedar gebyar yang hambar. Pemimpin pun harus memikirkan banyak kepala, dan banyak kepentingan, bukan asal bilang 'siap'.

Sungguh, bagi mereka yang mengerti, pasti mengatakan bahwa postingan ini sarat makna akan sebuah pelajaran tentang kepemimpinan dalam organisasi. Banyak literature yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu kekuatan yang memegang peranan dalam keberhasilan organisasi. Untuk itulah seorang pemimpin harus bijak dalam mengendalikan organisasinya.

Apa yang diposting Azelin itu multi tafsir. siapapun bisa memaknai tulisan penggemar musik keroncong itu dengan sudut pandangnya sendiri. Itu sah-sah saja. Karena orang memposting itu pasti punya tujuan. Paling tidak telah bisa mengeluarkan perasaan hatinya agar tidak jadi jerawat di pipi yang menjengkelkan.

Mungkin sebuah ajakan untuk duduk bareng ‘ngudoroso kabeh sing wis dilakoni’. Dari situ kemudian menyusun langkah selanjutnya secara bersama-sama dalam suasana demokratis. Bukan jalan sendiri meninggalkan lainnya, demi ambisi dan kepentingan pribadi. Karena, sesungguhnyalah organisasi itu dibentuk atas kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa organisasi adalah sekelompok orang dalam satu wadah untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan Stoner, seorang ahli manajemen, dalam projasaweb.com, mengatakan bahwa  organisasi adalah hubungan antara beberapa orang dimana di dalamnya ada pengarahan dari pimpinan agar apa yang menjadi tujuan bersama bisa tercapai.

Sementara, dalam lamannya Wikipedia mengatakan bahwa Kepemimpinan dalam organisasi adalah suatu pendekatan manajemen yang mana setiap pemimpin membantu untuk menetapkan tujuan strategis bagi organisasi dan di satu sisi, para pemimpin juga memberikan motivasi secara individu di dalam kelompok agar semua orang di dalam organisasi berhasil dalam melaksanakan tugas dan tujuan yang diharapkan.

Dari cuplikan di atas bisa disimpulkan bahwa menggerakkan organisasi itu perlu seni berkomunikasi dan berkoordinasi dengan seluruh elemen yang terlibat di dalamnya, agar program yang dicanangkan bisa dipahami sehingga semua bisa ikut menjalankan dengan senang hati.

Apalagi organisasi nirlaba yang anggotanya beragam latar belakang dan kepentingan. Tampaknya harus dikelola secara kolektif kolegial. Yaitu, menurut Wikipedia adalah sistem kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan melalui mekanisme yang ditempuh, musyawarah untuk mencapai mufakat.

Sambil menikmati ‘rondo royal’ yang ke tiga, saya mencoba menebak-nebak kiranya gerangan apa yang melatari Azelin memposting tentang kepemimpinan yang sarat makna itu ?. Mungkinkah emaknya Suju ini risau dengan berita tentang banyaknya pemimpin lembaga yang berurusan dengan hukum karena bermain sendiri dan tidak amanah ?.

Sambil nyruput kopi, saya coba memforward postingan itu untuk mendapat komentar dari beberapa kawan (termasuk anggota Jamaah LC). Rerata jawabnya hanya gambar jempol. Entah apa maknanya. Mungkin, suatu saat Jamaah LC bisa mengagendakan agar emaknya Suju diundang webinar membahas tema ‘Kepemimpinan dalam Organisasi’ untuk pembelajaran bersama.

Masalahnya adalah, Cak Alfin, ketua Jamaah LC masih sibuk mendampingi pembentukan Destana di beberapa daerah. Karena semua agenda harus diputuskan bersama sambil nyruput kopi di warkop langganan. Salam Tangguh Salam Sehat. [eBas/SeninWage-22022021]  

 

 

Sabtu, 20 Februari 2021

KETIKA RELAWAN BERBAGI CERITA

“Ingat lho ya bahwa relawan itu bukan pemain utama di dalam penanggulangan bencana. keberadaannya hanyalah pemain pembantu. Sedang pemain utamanya adalah pemerintah daerah setempat,” Kata Pak dhe, mengingatkan teman-temannya yang baru pulang dari lokasi bencana banjir di Kabupaten jombang. Mereka adalah relawan yang menyumbangkan tenaganya untuk membantu warga setempat yang menjadi korban banjir, dengan tetap mentaati protokol kesehatan.

Apa yang dikatakan Pak dhe itu sesuai dengan Undang-undang nomor 24 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana. Pada pasal 5 jelas disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Dengan demikian keberadaan relawan hanyalah membantu atas nama kemanusiaan, serta melaksanakan aturan main yang ditetapkan oleh Posko Induk sebagai pemegang komando dalam penanggulangan bencana. begitulah amanat Undang-undang.

Malam itu Jamaah LC jagongan di warung kopinya Cak Kin. Sambil ngopi, mereka bergantian berbagi cerita tentang suka duka selama beraktiitas di lokasi banjir.

Agar tidak salah paham, Jamaah LC itu adalah kumpulan relawan dari berbagai organisasi yang sering ngopi bareng sambil ngobrol apa saja tanpa tema tertentu semua berjalan alami, yang penting menambah wawasan dan informasi. Sepulang ngopi bikin hati hepi, jauh dari iri dan dengki. Begitulah keberadaan jamaah LC yang jarang bisa hadir semua karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.

Konon, menurut warga setempat, banjir tahun ini sangat besar, yang memaksa semua mengungsi beberapa hari. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi, disamping intensitas hujan yang tinggi, juga adanya tanggul jebol yang memperparah keadaan.

“Saya di dapur umum, membantu mengupas bawang dan brambang, juga kacang panjang. Sementara yang lain menanak nasi dan menyiapkan lauk pauknya. Konsumsi itu akan dibagikan ke penyintas, maupun kepada relawan,” Kata Cak Alfin.

Menurut Ketua Jamaah LC ini, ternyata membungkus nasi itu perlu keterampilan. Jika cara membungkusnya tidak rapi biasanya akan mengurangi selera makan para penyintas. Bahkan jika lagi apes akan di paido banyak orang.

Makanya di dapur umum itu diperlukan tenaga yang cukup banyak untuk membantu pengemasan konsumsi sehingga cepet terdistribusikan. Ini penting agar warga yang sedang kena musibah tidak resah. Jika dibiarkan berlama-lama akan mendatangkan marah.

Begitu juga Cak nDaru, Ning Dinda, dan Pak Budi sibuk melayani keperluan penyintas semampunya. Sementara Cak Probo bercerita tentang adanya oknum warga yang melakukan pencegatan mobil yang membawa bantuan. Hal ini menyebabkan pos pengungsian yang terpencil jarang mendapat bantuan. Sehingga diperlukan kemampuan berkomunikasi agar bebas dari gangguan oknum.

“Banyak baju layak pakai sumbangan dari berbagai pihak yang tidak terbagikan sehingga menumpuk di pos yang didirikan relawan. Sukurlah ada relawan yang mau mengambil semuanya untuk dimanfaatkan,” Kata Cak nDaru, sambil menikmati pisang goreng.

Ya, banjir di Kabupaten Jombang telah mengundang berbagai komunitas relawan dari berbagai daerah. Mereka mendirikan pos peduli sendiri, atau bergabung dengan yang sudah ada.

Mereka juga membawa bantuan untuk dibagikan ke warga yang terkena musibah. Diantaranya berupa terpal, tikar, selimut, sarung, makanan bayi, pembalut, pempers, dan aneka makanan cepat saji.

Di sisi lain, banyak juga relawan yang langsung membawa bantuan ke pos pengungsian tanpa laporan dulu ke staf BPBD yang ada di Posko Induk. Hal ini mejadikan proses distribusi logistik dan bantuan lain ke warga tumpang tindih (agak semrawut). Akibatnya ada yang mendapat banyak, ada pula yang terlambat mendapat.

Ada pula rombongan dari kantor atau perusahaan tertentu yang datang hanya menyerahkan bantuan sambil foto-foto kemudian pergi entah kemana. Begitu juga beberapa pejabat datang, bicara dengan relawan dan warga di tenda pengungsian diserta selfi sana sini untuk kemudian pamitan. Apakah yang dibicarakan itu akan direalisasi atau hanya basa basi, kiranya sulit dipahami.

Semakin malam, jagongannya semakin gayeng. Ceritanya pun beragam sesuai pengalaman masing-masing aktor. Tak terasa mBak Pus sudah habis dua gelas es batu dan segelas es the manis. Sementara Pak Heru baru pesan secangkir kopi untuk yang ke dua. Begitu juga dengan gorengan dan kerupuk turut meramaikan suasana jagongan.

Ketika disinggung peran BPBD setempat dalam mengkoordinir relawan  di lapangan. Tidak ada jawaban pasti. Semua hanya saling pandang. Hal ini dimungkinkan karena SKPDB kurang berjalan, Begitu juga rapat koordinasi yang seharusnya digelar setiap malam di Posko Induk yang diikuti oleh berbagai pihak (perwakilan pentahelix), tampaknya belum berjalan.

Sehingga yang terjadi, semua komunitas mengambil inisiatif sendiri melayani dan membantu masyaratkat di masing-masing pos pengungsian yang didirikan secara swadaya. Bahkan ada yang bilang bahwa masyarakat lebih senang minta bantuan ke relawan dari pada ke Posko Induk yang tempatnya agak jauh dengan penerapan prosedur yang dinilai ribet. Sementara relawan “nyah nyoh” ketika dimintai bantuan.

Malam pun kian larut, mendung juga menggelayut. Sesuai aturan PPKM, warung harus segera tutup. Peserta jagongan pun satu satu undur diri sambil berharap semoga BPBD setempat tidak mengalami nasib seperti BPBD Sulawesi barat yang diduga menggelapkan dana untuk korban bencana.  

Sementara itu ada pinta dari Pak dhe yang menggelayut di pundak Cak Alfin, agar obrolan yang bermakna ini dijadikan bahan diskusi webinar. Dengan aplikasi zoom meeting, bisa diikuti oleh seratus relawan ini temanya “mengkaji ulang praktek SKPDB”. Ini penting agar pelayanan satu pintu dalam penanggulangan bencana itu nyata adanya. Salam Tangguh, Salam Sehat. [eBas/SabtuPahing-20022021]

   

  

 

 

 

  

Kamis, 18 Februari 2021

RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA JAWA TIMUR

Sebagai bentuk kesiapsiagaan dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana di Jawa Timur pasca erupsi Gunung Kelud, AIFDR, yang didukung oleh BPBD Jawa Timur, melakukan serangkaian kegiatan Konsultasi Publik Dokumen Renstra BPBD Jatim, Konsultasi Publik Pengembangan RPB Provinsi Jatim, Pertemuan Konsinyasi Finalisasi Dokumen RPB Provinsi Jatim, dan Finalisasi SOP Kedaruratan Tingkat Provinsi Jatim.

Konon, konsultasi publik itu sebagai bentuk advokasi, mengawal usulan rencana program dan anggaran agar tidak dihapus atau dikurangi, tetapi diupayakan ditambah volumenya, dalam rangka meningkatkan kapasitas penanggulangan bencana.

Kegiatan yang dilakukan di Hotel Santika Premiere, Gubeng, Surabaya bertujuan mewaspadai potensi bencana yang bisa datang sewaktu-waktu, dengan menyiapkan dana, sarpras dan personil dalam keadaan tanggap darurat.

Seperti diketahui, potensi bencana di Jawa Timur itu meliputi : banjir; kekeringan; tsunami; gempabumi; letusan gunung api; longsor; cuaca ekstrim (angin puting beliung); gelombang ekstrim dan abrasi; kebakaran hutan dan lahan; kebakaran gedung dan permukiman; epidemi dan wabah penyakit, yang mungkin datang secara tiba-tiba dan masyarakat merupakan elemen terdampak langsung, sehingga penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan semua elemen masyarakat, serta dunia usaha.

Memang di banyak daerah, kebijakan penanggulangan bencana sering kali belum ditindak lanjuti oleh instansi di bawah. Belum lagi, masih adanya ketidak sinkronan diantara kebijakan itu sendiri. Misalnya, dalam sebuah perka BNPB mengamanatkan bahwa dana siap pakai harus ada di BPBD, namun dalam permendagri yang menjadi atasan langsung BPBD, tidak ada pasal yang mengaturnya, sehingga dananya tidak ada, yang ada adalah belanja tidak terduga, dimana penggunaannya sudah ditentukan.

“Masalah-masalah inilah yang coba diangkat, agar kedepan, dalam melakukan operasi penanggulangan bencana, semuanya bisa berjalan dengan baik, terkait dengan pendanaan, sarana prasarana dan personil yang mendukung kerja-kerja kemanusiaan, utamanya disaat tanggap darurat bencana.” Kata Gus Ipul dari FPRB Jatim, saat rehat kopi.

 Konon, kegiatan ini juga melibatkan beberapa relawan, yang ikut turun tangan pada saat erupsi gunung Kelud kemarin untuk ikut berbagi pengalaman sebagai bahan masukan penyusunan dokumen renstra penanggulangan bencana.

Didik Mulyono, ketua panitia kegiatan ini mengingatkan, proses evakuasi harus dilakukan secara manusiawi dan bermartabat, sehingga mereka yang bertugas di lapangan harus mengerti strategi dan teknis dalam melakukan pertolongan terhadap penyintas.

 Kemudian, masih kata pria berkacamata ini, bahwa pertimbangan menghentikan atau mengakhiri keadaan darurat, selalu berdasar pertimbangan anggaran. Namun, mereka lupa bahwa saat penghentian keadaan darurat, siapa nanti yang akan mengurusi masyarakat yang masih mengungsi karena rumahnya masih rusak ?.

“Ini hendaknya juga menjadi pemikiran kawan-kawan komunitas relawan untuk membantu mengawal penyusunan rencana penanggulangan bencana agar pelaksanaan operasi kemanusiaan menjadi semakin baik, termasuk mendorong agar pemerintah lebih memperhatikan relawan dalam hal pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitasnya,” Kata Basuki, salah seorang peserta dari unsur komunitas.

Kegiatan yang rencananya akan ditindak lanjuti dengan acara sosialisasi kepada unsur pimpinan satuan kerja perangkat daerah, juga bermaksud mengenalkan bahwa upaya mengantisipasi dan kesiapsiagaan terhadap datangnya bencana dengan membentuk Struktur Komando Tanggap Darurat (SKTD) sebagai upaya menjamin agar warga terdampak benar-benar mendapat perhatian dan layanan yang layak sebagai bentuk respon darurat yang manusiawi.

“Bisnis proses SKTD dengan garis komando yang tegas sebagai pedoman kerja, harus ditaati oleh mereka yang ditunjuk dalam sebuah operasi tanggap bencana agar semua bisa terkoordinasikan dengan baik, sehingga kegiatan teknis berjalan tanpa melanggar regulasi yang bisa menjadikan pelakunya sebagai tersangka usai penanganan bencana,” tambah Didik dengan nada berseloroh, mengakhiri kegiatan yang dihelat sejak tanggal 3 sampai 13 juni 2014. [eBas]

REFLEKSI P.R.B GUNUNG KELUD

      Konon, forum pengurangan resiko bencana (F-PRB) Jatim ini dibentuk dengan tujuan menjadi jembatan antara Pemerintah, masyarakat (relawan penanggulangan bencana) dan Dunia usaha, dalam mencegah dan meminimalisir resiko, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.

          Sehingga keberadaan forum ini bisa menjadi pendorong penyusunan kebijakan, dan perencanaan pembangunan berbasis pengurangan resiko bencana.

“Forum ini terdiri dari pemerintah, pengusaha maupun organisasi masyarakat. Kita harus bahu membahu membangun dan bersinergi untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama, yaitu terbangunnya masyarakat tangguh bencana” kata Hendro Wardhono, Ketua Unsur Pengarah BPBD Jawa timur, yang juga seorang dosen di UNITOMO, Surabaya.

Untuk itulah bersamaan dengan berakhirnya efouria erupsi Gunung kelud, F-PRB Jatim, dengan dukungan AIFDR, mengadakan acara Apresiasi dan Refleksi Penanganan Respon Letusan Gunung Kelud. Kegiatan ini diikuti berbagai elemen masyarakat yang terlibat dalam aksi kemanusiaan saat gunung Kelud berulah mengeluarkan ribuan kilo material pasir.

Acara yang digelar pada tanggal 22 23 Mei 2014, bertempat di Hotel Utami, Sidoarjo, bertujuan menarik pembelajaran atas sejumlah isu yang terkait respon darurat sebagai bahan untuk penyusunan SOP Kedaruratan tingkat Provinsi di Jawa Timur. Mengingat di Jawa Timur ada beberapa gunung api yang aktif dan perlu diwapadai.

Beberapa hal yang muncul ke permukaan, sesuai dengan pengalaman relawan yang telah melaksanakan tugas kemanusiaan, diantaranya, yang perlu mendapat perhatian adalah, masalah Posko Induk, hendaknya mencatat relawan yang datang dan mengarahkan ke lokasi bencana sesuai dengan kemampuannya. Hal ini untuk menghidari relawan bergerak sendiri dengan membawa bendera dan kepentingannya sendiri.

Termasuk memanfaatkan keberadaan relawan untuk memantau bantuan yang perlu segera di distribusikan ke pos penampungan pengungsian secara merata. Sehingga logistik yang menumpuk di gudang posko induk tidak dibiarkan rusak, busuk atau diselewengkan oleh oknum.

Memang kendala utama pengelolaan bantuan di posko induk adalah prosedur yang mbulet tidak jelas dan saling lempar tanggung jawab.

Di sisi lain, koordinasi antara relawan, aparat dan pemerintah desa sampai kabupaten yang masih lemah, sehingga sering salah paham, belum jelas siapa melakukan apa dimana dan hasilnya bagaimana. Semua bekerja sesuai nalurinya masing-masing untuk menangani apa yang bisa ditangani, membantu sesamanya yang terkena musibah.

Untuk itulah perlu upaya menyelaraskan antara rekomendasi yang dibuat dengan kondisi, dinamika dan issue-isue penanggulangan bencana saat ini, sehingga bisa mengubah cara penanggulangan bencana yang reaktif menjadi penanggulangan yang preventif melalui pengurangan resiko bencana yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk meminimalisasi dampak bencana.

Poin lain yang juga muncul adalah upaya penanaman ‘sadar bencana dan cinta lingkungan’ yang harus dilakukan sejak anak usia dini. Untuk itulah F-PRB perlu melakukan pendekatan kepada Kantor Dinas Pendidikan agar mereka peduli dan memberikan ruang untuk penyuluhan masalah PRB di setiap sekolah. Tak lupa sosialisasi PRB juga bisa memanfaatkan keberadaan majlis taklim, PKK, kelompok yasinan dan sejenisnya, yang banyak berkembang di desa sebagai salah satu bentuk kearifan lokal.

Untuk itulah forum sepakat bahwa nilai-nilai Kearifan lokal harus selalu didorong untuk dikembangkan dalam program pengurangan resiko bencana, agar tumbuh budaya tangguh bencana dalam rangka membentuk desa tangguh bencana, melalui simulasi dan publikasi.

Di sela jeda acara diskusi, Ada pameran foto kegiatan penanggulan erupsi Gunung Kelud hasil jepretan kamera relawan dengan berbagai gaya dan karakternya. Juga ada penampilan kesenian tradisional sebagai wujud kearifan lokal.

Kabupaten malang, kali ini menampilkan kesenian topeng khas malangan, Kabupaten Blitar menghadirkan tradisi Larung Sesaji Sedekah Bumi, sedang Kabupaten Kediri memamerkan seni tradisional Jaranan (kuda lumping) lengkap dengan barongannya.

Tentunya masih banyak kesenian lain yang bisa ditampilkan sebagai wujud kekayaan dan keragaman budaya, untuk itulah perlu digali terus kearifan lokal dan ditampilkan dalam acara-acara seremonial, sebagai warisan kepada anak cucu, calon pewaris negeri.

Yang jelas, masyarakat lereng gunung Kelud boleh diacungi jempol karena sudah mengerti tentang bagaimana bersahabat dengan alam. Mereka relatif sudah siap dan paham bahaya bencana erupsi Kelud, sehingga cepat ngungsi, baik mandiri maupun yang dikoordinasikan oleh pemerintah setempat bersama relawan.

Artinya disini, melalui informasi tentang pentingnya PRB kepada masyarakat, utamanya warga yang berdiam di kawasan resiko bencana, akan tumbuh kesadaran untuk siap siaga dan mampu mengevakuasi sendiri sebelum bantuan dari luar datang. Inilah yang harus dilestarikan.

Harapan dari aneka cerita pengalaman itu, nantinya bisa mewarnai upaya pendokumentasian segala kontribusi para pihak yang terlibat dalam penanganan respon darurat letusan gunung api Kelud, serta penyusunan bahan pembelajaran dan rekomendasi dari para pihak terkait Aktivasi rencana kontijensi menjadi rencana operasi, Pengelolaan pusat pengendali operasi, komunikasi dan informasi dalam situasi darurat, Masalah logistik kedaruratan, Sosialisasi pendidikan kebencanaan di sekolah, sosialisasi PRB kepada masyarakat, masalah proses evakuasi, Akuntabilitas dalam penanggulangan bencana, partisipasi masyarakat dan lembaga usaha dalam penanggulangan bencana.

Semoga kegiatan ini ada RTL yang baik, benar dan diketahui oleh berbagai pihak. Bukan RTL yang bermakna rencana tidak lanjut karena memang bukan termasuk program berkelanjutan.

Untuk itulah, kedepan, perlu ada pertemuan terjadwal F-PRB yang difasilitasi oleh BPBD maupun lembaga donor yang peduli kepada PRB dalam rangka pendataan relawan untuk meningkatkan kapasitasnya, sehingga mudah untuk koordinasi dan mobilisasi, ketika tugas-tugas kemanusiaan memanggil.[eBas/26mei14]

Selasa, 09 Februari 2021

RELAWAN ITU BERNAMA ALFIN

Memasuki  tahun 2021, bencana hidrometeorologi benar-benar menyapa beberapa daerah dengan meninggalkan duka. Tak lupa, kini banjir pun mendatangi beberapa daerah yang biasanya tidak pernah banjir. Sehingga menimbulkan kekagetan dimana-mana.

Konon penyebabnya adalah sampah yang menyumbat aliran sungai (juga got), cepatnya proses sedimentasi, penyempitan luasan sungai karna digunakan untuk pemukiman dan intensitas hujan yang tinggi sehingga sungai tidak menampung dan airnya melimpah kemana-mana.

Tentu masyarakat yang daerahnya terdampak banjir (dan longsor) sangatlah menderita. Mereka harus mengungsi karena rumahnya kebanjiran (rusak kelongsoran). Kondisi yang serba darurat ini sangat membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Misalnya, terpal. tenda, tikar, logistik, sarung, pempers, dan makanan bayi.

Beberapa komunitas relawan pun dengan cepat merapat ke lokasi untuk melakukan evakuasi. Mereka bergerak cepat membantu masyarakat, tanpa harus menunggu surat tugas seperti pegawai yang wajib taat aturan. Saking semangatnya, kadang tampak seperti berebut dan bersaing. Dulu-duluan di depan member bartuan.

Alfin, aktivis Forum PRB Jawa Timur bidang pengembangan kapasitas, adalah salah satu relawan yang bersemangat dalam menolong sesama yang tertimpa bencana. Dia tidak hanya pandai sebagai nara sumber Destana dan anggota Tim penilai IKD saja. Namun pria pemilik warkop ini juga cekatan di lapangan.

Hujan tetap diterjang, panas pun tetap trengginas. Terus bergerak membantu sesama dengan gembira. Membantu di dapur umum, pendataan pengungsi, dan distribusi logistik, adalah salah satu kesibukannya di lapangan.

Tidak lupa Alfin juga menghimbau kepada relawan yang datang untuk selalu berkoordinasi dengan BPBD di Posko Induk. Termasuk melaporkan perkembangan situasi secara berkala serta keluar masuknya aneka bantuan dari berbagai pihak.

Ini penting agar semua pergerakan relawan di lapangan membantu pengungsi terdata dan terpantau oleh BPBD. Hal ini diantaranya terkait dengan pemerataan distribusi bantuan agar tidak terjadi penjarahan. Artinya, dalam upaya penanganan bencana, BPBD adalah aktor utamanya yang mengkoordinir semua potensi relawan di lapangan dalam satu komando, bukan yang lain.

Apa yang dikatakan Alfin adalah fakta lapangan yang mengatakan bahwa banyaknya komunitas yang melakukan respon secara langsung ke lapangan (maksudnya langsung ke pengungsi), membuat kondisi di lapangan agak trouble. Termasuk banyaknya “Wisatawan Bencana” yang sulit diatasi.

Tidak kalah pentingnya adalah penanganan pengungsi yang haris diperbaiki agar semua terlayani. Kemudian manajemen logistik dan koordinasi dapur umum perlu dimaksimalkan dan terdata dengan baik untuk menghindari ketidak merataan perlakuan.

Fakta lapangan inilah yang perlu dijadikan bahan pembelajaran melalui seminar, sarasehan, lokakarya, lokalatih dan rapat-rapat yang melibatkan elemen pentahelix dalam arti sebenarnya.

Alfin, pria asli pulau garam ini selalu tampil prima membantu sesama di berbagai daerah bencana. Dia tidak hanya sekedar membantu, namun juga mengedukasi masyarakat terdampak akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana. Dia pun tidak pelit ilmu untuk berbagi dengan sesama relawan saat rehat melepas penat.

Begitulah sosok Alfin yang tidak pernah lelah dalam kegiatan kemanusiaan, menebar kemaslahatan untuk sasama, khususnya mereka yang terdampak bencana. Bersama mBah Dharmo dan Gus Yoyok, Alfin terus melangkah membawa semangat pengurangan risiko bencana yang saling menguatkan. Bukan saling melemahkan. Karena, sesungguhnyalah kerja-kerja kemanusiaan itu bukan sebuah kompetisi. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/RabuPahing-10022021]  

 

  

 

 

    

 

  

Jumat, 05 Februari 2021

PERAN RELAWAN DALAM GERAKAN LITERASI BENCANA

Dalam berbagai literature dikatakan bahwa gerakan Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku yang lebih maju dan produktif.

Menurut Alberta dalam sevima.com (2020), Literasi ialah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan ketrampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana (SRPB) Jawa Timur, sebagai wadah berkumpulnya berbagai organisasi relawan, diharapkan juga turut berkontribusi dalam gerakan literasi. Khususnya literasi dibidang kebencanaan kepada masyarakat. seluruh organisasi relawan yang bergabung dalam SRPB Jawa Timur pastilah bisa melakukan sosialisasi, diseminasi, edukasi terkait dengan literasi. Bahkan dimungkinkan bisa memerankan diri sebagai influencer.

Dengan literasi bencana, selain tumbuh kesadaran akan kesiapsiagaan menghadapi bencana, juga mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang berpotensi terjadinya bencana, sehingga dapat mengurangi banyaknya korban harta, benda, bahkan nyawa.

Terkait dengan literasi bencana, Lilik Kurniawan, dalam webinar literasi kebencanaan di Indonesia, minggu (13/12/2020), mengatakan bahwa, perlu bagi kita untuk selalu mempelajari setiap kejadian bencana, bukan hanya ancamannya saja tetapi juga kerentanan dan kesiapsiagaan juga kapasitasnya. Sehingga kita bisa kaya dengan literasi kebencanaan dan membantu mitigasi bencana di Tanah Air.

Menurut Hendra Puji Saputra, literasi bencana diartikan sebagai kemampuan masyarakat membaca tanda-tanda alam, perubahan alam, dan kerusakan alam sehingga terwujud dalam mitigasi bencana. Dalam pengertian yang lain, literasi bencana juga sebenarnya merupakan salah satu prasyarat penting dari proses mitigasi bencana guna mempersiapkan masyarakat yang tangguh bencana.

Bila masyarakat memiliki literasi bencana yang baik, maka tingkat kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana dapat dilakukan secara sadar. Hasilnya, masyarakat dapat melakukan antisipasi lebih dini dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian bencana. (Lombokpost-20-10-2020).

Terkait dengan literasi bencana, tentulah masing-masing organisasi relawan telah memiliki program edukasi kepada masyarakat terkait dengan literasi bencana, dalam hal ini upaya pengurangan risiko bencana. biasanya kegiatan ini dikemas dalam bentuk diklat dan bakti sosial berupa pembagian sembako dan program penghijauan. Biasanya yang menjadi sasaran adalah masyarakat yang berdomisili di daerah rawan bencana.

Tidak ada salahnya jika mereka duduk bersama berbagi informasi dan tukar pengalaman terkait dengan gerakan literasi kebencanaan yang selama ini telah menjadi agenda masing-masing. Alangkah indahnya jika berbagai organisasi mitra SRPB Jawa Timur berkenan membuat program keroyokan melakukan gerakan literasi kebencanaan, dibawah ‘komando’ BPBD setempat.

Apalagi BPBD Provinsi Jawa Timur sekarang telah berhasil merealisasikan gagasannya pusat pelatihan dan penelitian Indonesia tangguh (PUSPPITA) untuk mengadakan mobil edukasi penanggulangan bencana (MOSIPENA), tidak ada salahnya jika gerakan literasi kebencanaan bisa dikerjakan bersama-sama oleh seluruh elemen pentahelix, dengan memanfaatkan keberadaan mosipena.

Mengingat pentingnya Literasi bencana yang berkaitan dengan membangun kesadaran masyarakat tentang ketangguhan individu, dan komunitas, maka perlu diupayakan pendampingan dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat.

Jika kesadaran ini telah terbentuk, maka dimungkinkan masyarakat akan mampu melakukan upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan secara mandiri, tidak menggantungkan bantuan dari pihak luar.

Untuk itulah, gerakan literasi bencana harus menjadi salah satu agenda penting guna meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi bencana. tentu ini memerlukan proses panjang disertai pendampingan dan pembinaan yang terprogram agar masyarakat benar-benar paham.

Dalam teori difusi inovasi, dikatakan bahwa masyarakat dapat berubah melalui proses penerimaan gagasan baru dalam mengerjakan sesuatu melalui kegiatan komunikasi dalam jangka waktu tertentu sehinga akan terjadi perubahan kebiasaan di dalam masyarakat. Dengan gerakan literasi itulah masyarakat paham tentang pengurangan risiko bencana.

Sebagai sebuah gerakan, tentu tidak bisa lepas dari dukungan berbagai pihak. Semua, secara bersama-sama begerak menjalankan program literasi yang merupakan kesepakatan bersama sesuai kapasitasnya. Sehingga dalam gerakan ini tidak ada yang merasa hebat, mendominasi dan ditinggalkan.

Dengan demikian, pandemi covid-19 yang masih mematikan ini tidak harus menjadikan relawan yang tergabung dalam SRPB Jawa Timur berhenti beraktivitas menebar manfaat bagi sesama. Tetap terus bergerak dan produktif, walau pun secara daring memanfaatkan media sosial yang ada.

Ingat, dimasa pandemi ini semua harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan dengan mematuhi protokol kesehatan. Karena, jika seorang relawan terpapar, maka 98% risiko ditanggung sendiri. Salam Tangguh, Salam Sehat. [eBas/JumatPahing-05022021].

   

 

.