Jumat, 25 Januari 2019

DIKLAT MITIGASI BENCANA BAGI PAMONG BELAJAR


Maraknya bencana yang terjadi di beberapa daerah dengan dampak korban harta, benda bahkan nyawa yang tidak sedikit, mendorong presiden Jokowi menghimbau agar pendidikan mitigasi  bencana diajarkan di semua jenjang pendidikan (termasuk pendidikan nonformal,red). Ini penting, agar masyarakat luas semakin siap menghadapi bencana yang sulit ditebak kedatangannya, juga dampaknya. Apa yang dikatakan pressiden itu sejalan dengan jargon, Kenali bahayanya, kurangi risikonya.

Terkait dengan himbauan presiden, pamong belajar BP-PAUD dan DIKMAS Jawa Timur mengadakan diklat mitigasi bencana selama tiga hari. Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Sujarno, Kasie program balai yang terletak di jalan gebang putih, Surabaya. Bertempat di ruang Agus Salim, rabu (23/1).

Dalam sambutannya, pria kelahiran Pacitan ini mengatakan bahwa kesiapsiagaan  dan mitigasi bencana merupakan hal baru yang hendaknya dipelajari oleh pamong belajar agar bisa berperan serta membantu pemerintah dalam upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana.

“Mengingat Surabaya dilewati patahan bumi yang berpotensi terjadinya gempa, tidak ada salahnya jika seluruh gedung yang ada di Balai dipasang rambu-rambu jalur evakuasi. Tidak ada salahnya jika kita bersiap diri sebagai upaya antisipasi,” Ujarnya.

Diklat yang diselenggarakan atas inisiatif kelokpok kerja (pokja) Dikmas ini sepenuhnya dilakukan secara mandiri tanpa dukungan anggaran Balai. Materi yang dipelajari meliputi, Konsep penanggulangan bencana berbasis masyarakat, Prinsip dan Karakteristik bencana, Trauma healing, Simulasi evakuasi korban gempa, Bongkar pasang tenda, PPGD, dan Pengenalan water rescue.

“Kami tidak berharap bencana datang, namun jika terjadi bencana kami paham harus bertindak seperti apa dan bagaimana melakukan evakuasi mandiri untuk mengurangi jumlah korban sebelum bantuan dari pihak luar datang,” Kata peserta diklat yang enggan disebut jati dirinya.

Begitu juga dengan masyarakat yang menjadi sasaran program paud dan dikmas. Dimana mayoritas dari mereka banyak yang berdomisili di kawasan rawan bencana. mereka harus disadarkan akan potensi bencana melalui pendidikan mitigasi yang diselipkan dalam pembelajarannya.

Jika tidak disiapkan melalui diklat dan simunasi, maka masyarakat tidak akan terlatih. Dampaknya tentu akan banyak korban yang berjatuhan saat benar-benar terjadi bencana, karena ketidaksiapan masyarakat menghadapi bencana.

Sementara, Masduki, dari pokja dikmas, mengatakan bahwa diklat ini baik sekali, merupakan pengalaman baru sehingga tahu tentang masalah penanggulangan bencana. untuk itu perlu kiranya ditindak lanjuti  dengan melibatkan lembaga mitra Balai. Seperti tutor dan engelola PKBM, LKP, dan PAUD, agar mereka juga memiliki kesadaran akan potensi bencana di daerahnya, dan bisa mengintegrasikan pendidikan mitigasi ke dalam program pembelajarannya. Harapannya, peserta didiknya menjadi paham akan bencana dan pentingnya pelestarian alam.

Santo, salah seorang nara sumber dalam diklat ini, mengatakan bahwa lembaganya siap bersinergi dengan Balai dalam rangka mensukseskan himbauan presiden terkait upaya mengenalkan mitigasi kepada masyarakat dalam rangka pengurangan risiko bencana.

Kegiatan diklat yang berlangsung penuh semangat dan canda ini diakhiri dengan praktek PPGD dan foto bersama sebagai upaya mendokumentasikan kegiatan yang baru pertama diselenggarakan oleh pamong belajar BP-PAUD dan DIKMAS Jawa timur. [eBas]


Kamis, 03 Januari 2019

WAKTUNYA TUTOR MENGENAL MITIGASI


kejadian bencana alam yang kerap muncul akhir-akhir ini, seperti gempa,  banjir, tanah longsor, dan sebagainya itu menandakan Indonesia sebagai negara yang rentan terhadap bencana. Ya, dari tahun ke tahun bencana di atas selalu bermunculan diberbagai daerah dengan membawa kerugian yang tidak sedikit, bahkan tidak jarang nyawa melayang karena ketidaksiapan mengadapi bencana. Dengan kata lain, kita memang kurang peduli terhadap upaya mitigasi dalam rangka mengurangi risiko bencana.

Kini, berbagai media massa tengah meneriakkan akan pentingnya mitigasi. Bahkan presiden pun telah memerintahkan mendikbud untuk memasukkan materi kebencanaan ke dalam kurikulum sekolah. Sementara berbagai komunitas relawan penanggulangan bencana di berbagai daerah telah melakukan sosialisasi kebencanaan serta mengadakan simulasi menghadapi bencana kepada siswa sekolah maupun masyarakat.

Mitigasi adalah kegiatan yang dikerjakan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di  wilayah rawan gempa.

Tujuannya adalah, (1) Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam, (2) Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan. (3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman dan tenang.

Kiranya, pesan-pesan mitigasi bencana itu bisa diselipkan dalam program pendidikan nonformal. Seperti pembelajaran dalam pendidikan kesetaraan, pendidikan multikeaksaraan, PAUD dan program-program lain yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal. Karena, mayoritas sasaran didik dari pendidikan nonformal itu masyarakat yang masih berkubang dalam lingkaran kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Mereka belum menganggap bencana sebagai hal yang mengancam, mereka masih sibuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Untuk itu tutor dalam pembelajarannya, diharapkan bisa meningkatkan kapasitas masyarakat marjinal untuk mengambil tindakan inisiatif dalam mengurangi dampak bencana yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Secara partisipatif, tutor mengajak menyusun langkah mitigasi yang diarahkan pada pengurangan kerentanan fisik, lingkungan, kesehatan dan sosial-ekonomi, untuk menurunkan kerentanan individu, keluarga, dan masyarakat melalui pemberian materi tentang manajemen bencana, kesiapsiagaan dan pengurangan risiko serta tanggap darurat bencana.

Makanya, tutor sebagai tulang punggung pendidikan nonformal harus ‘move on’ lebih dulu untuk kemudian bersama warga belajar melakukan pendataan dan pemetaan di wilayah kerjanya yang rawan bencana. serta pemasangan raambu- rambu peringatan evakuasi jika terjadi bencana. Hasilnya memang belum tampak, yang penting upaya upaya pengurangan risiko bencana  telah dimulai, termasuk mengajak masyarakat melakukan mitigasi di daerahnya. Agar masyarakat memahami karakteristik bencana di wilayahnya agar dapat terhindar atau paling tidak masyarakat bisa mengenali bahaya bencana yang ada di daerahnya dan mengurangi risikonya.

Wacana yang berkembang akhir-akhir ini, setiap sekolah harus memasukkan materi mitigasi bencana ke dalam kegiatan ekstrakurikuler. Alasannya agar siswa benar-benar terbiasa cara mencegah bencana serta cara menyelamatkan diri dalam keadaan darurat bencana yang ada di daerahnya. Artinya, materi mitigasi ini hendaknya bisa membangun kesadaran siswa untuk mencegah terjadinya bencana dengan mengubah perilaku hidup yang pro pelestarian lingkungan, bukan sebatas pengetahuan saja.

 Sesungguhnyalah upaya penyadaran membangun masyarakat tangguh menghadapi bencana memerlukan proses panjang dan berkesinambungan. Untuk itulah diharapkan kemendikbud mengeluarkan aturan tentang kewajiban sekolah memberi materi mitigasi sesuai dengan potensi bencana yang ada di daerah masing-masing. Kemudian dikerjasamakan dengan BPBD dan komunitas relawan setempat untuk bersama melakukan simulasi kebencanaan, serta merawat lingkungan guna mencegah kerusakan alam di wilayahnya. [eBas/jumat 4/1]