Kamis, 26 Juli 2018

RELAWAN DALAM RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA


Konon, visi penanggulangan bencana Provinsi  Jawa timur tahun 2009 - 2014 adalah “Jatim yang Siaga, Tangguh, dan Berakhlak dalam Penanggulangan Bencana”. Kemudian dijabarkan ke dalam misinya, diantaranya, memperkuat kapasitas masyarakat dan kelembagaan dalam penanggulangan bencana, dan membangun budaya keselamatan dan ketahanan bencana untuk masyarakat jawa timur, dengan menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan.
Hal di atas, sejalan dengan UU No. 24 Tahun 2007, yang mengamanatkan agar setiap daerah dalam upaya penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana. Kemudian, dalam PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, dikatakan bahwa penyusunan rencana penanggulangan bencana yang dilakukan pada tahap prabencana meliputi : (a) Pencegahan bencana, (b) Pendidikan dan pelatihan, (c) Perencanaan penanggulangan bencana, (d) Pengurangan risiko bencana, (e) Persyaratan standar teknis penganggulangan bencana, dan (f) Persyaratan analisis risiko bencana.
Rencana penanggulangan bencana (RPB) merupakan sebuah dokumen yang disusun oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mengurangi risiko akibat dampak bencana. Sementara,  Penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Dikatakan pula bahwa Keberadaan RPB ini dapat meningkatkan efektivitas penanggulangan bencana di Provinsi Jawa Timur dengan meningkatkan sinergi antar sektor dan antar level pemerintahan, termasuk meningkatkan peran serta masyarakat’ dan lembaga non pemerintah lainnya di dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Jawa Timur.
Untuk itulah diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan di Provinsi Jawa Timur untuk secara optimal mengimplementasikan upaya penanggulangan bencana yang termuat di dalam dokumen RPB ini dalam rangka mencapai visi dan misi penanggulangan bencana Provinsi Jawa Timur.
Seperti diketahui, tujuan dari penanggulangan bencana adalah, Memberikan    perlindungan kepada masyarakat   dari ancaman bencana; Menyelaraskan  peraturan perundang-undangan  yang sudah ada; Menjamin    terselenggaranya  penanggulangan  bencana secara terencana,  terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; Menghargai budaya lokal; Membangun partisipasi dan kemitraan publik  serta swasta; Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sementara untuk jawa timur, tujuan rencana penanggulangan bencana itu adalah upaya mengidentifikasi daerah yang memiliki risiko terkena bencana serta menyusun pilihan tindakan yang sesuai untuk menurunkan risiko bencana. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat jawa timur dalam penyelenggaraan penanggilangan bencana.
Tampaknya, dalam merealisasikan misi dari rencana penanggulangan bencana, komunitas relawan bisa dilibatkan membantu program BPBD. Bisa juga secara mandiri (namun tetap berkoordinasi dengan BPBD), melibatkan diri melakukan edukasi kepada masyarakat yang berdiam di daerah rawan bencana, dalam rangka membangun ketangguhan menghadapi bencana. yaitu masyarakat yang memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk mengurangi risiko bencana dengan mengantisipasi, mengatasi, dan melakukan pemulihan pasca bencana.
Relawan kampus bisa melakukan edukasi tentang bahaya, ancaman dan cara pengurangan risiko bencana melalui KKN tematik. Mereka juga bisa melakukan kajian untuk meningkatkan kapasitas, yaitu kemampuan masyarakat dalam melakukan tindakan pencegahan, mitigasi, dan mempersiapkan penanganan saat darurat dengan menggunakan kapasitas yang dimiliki.
Begitu juga dengan komunitas relawan, seperti SRPB, dengan keswadayaannya bisa mengadakan kajian kebencanaan, diskusi berkala tentang berbagai upaya penanggulangan bencana atau menyelenggarakan latihan bersama untuk meningkatkan kapasitas, maupun bersama masyarakat mengadakan simulasi, lokalatih, dan gladi penyelamatan saat menghadapi bencana.
Tentunya, semua yang dikerjakan oleh relawan itu wajib dilaporkan ke BPBD setempat atau diwartakan kepada khalayak ramai melalui media massa serta media sosial, agar diketahui. Sukur-sukur bisa menginspirasi daerah/komunitas lain, untuk kemudian diadopsi sebagai sebuah pembelajaran pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (keswadayaannya). Salam Kemanusiaan. [eBas/jum'at pon]








Minggu, 22 Juli 2018

RELAWAN DAN REGENERASI


“Kamu yang sudah tua, apa kabarmu. Katanya baru sembuh, katanya sakit Jantung, ginjal, dan encok, Pak Tua istirahatlah, di luar banyak angin……..”

Sungguh, pas banget pesan Elpamas dalam lagunya buatku saat ini. Sebuah grup band era ’80an, yang lahir di desa Pandaan, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Lagunya sarat dengan kritik sosial dan pesan moral. Kini personilnya semua sudah tua, sudah waktunya melakukan regenerasi sesuai kehendak jaman.

Ya, tanpa terasa, usiaku bertambah terus seiring berjalannya sang waktu. Inilah pertanda alam bahwa aku harus mengurangi aktivitas fisik. Harus sadar diri bahwa raga ini sudah tidak muda lagi. Sudah saatnya bersikap legowo untuk digantikan oleh para yunior yang masih lincah, sehat, terampil, dan mumpuni.

Ya, usia yang semakin renta ini, ternyata penyakit mulai mendekat, semakin akrab dengan rematik, encok pegel linu, masuk angin dan migren. Sesungguhnyalah penyakit ini tidak mematikan, namun cukup menjengkelkan. Karena dapat mengganggu aktivitas keseharian, termasuk kerja-kerja dibidang ke-sukarelawan-an, saling berbagi dan saling peduli atas nama kemanusiaan.

Kata seorang relawan senior yang telah banyak pengalaman, relawan itu tidak ada kata ‘pensiun’, selama hayat dikandung badan, maka selama itu pula relawan ditunggu kiprahnya, mengabdi kepada negeri. Namun, nyatanya tidak semua bisa begitu, faktor kesehatan itu tidak sama antar satu individu dengan individu lainnya. Ada yang sudah tua namun masih perkasa. Ada pula yang hasratnya tetap tinggi, namun raganya tidak mau kompromi, penyakit datang silih berganti.

Ya, seperkasa apapun, sekuat apapun, relawan itu adalah manusia, yang pada akhirnya akan mengalami tua untuk kemudian sirna ke alam baka. Jadi tidaklah usah memaksakan diri. Jika sudah waktunya, maka istirahatlah, biar digantikan oleh yang lebih muda dan bergairah.

Masih ada medan pengabdian yang lain yang tidak harus mengandalkan kekuatan okol semata. Sudah saatnya yang tua mengabdikan diri melalui gagasan, saran dan pesan yang ditulis dengan ‘menarik’ agar bisa menginspirasi dan menjadi bahan penyusunan kebijakan, jika memang pesan-pesan dalam tulisan itu sesuai dengan aturan main dan kebutuhan.

Dalam konsep penanggulangan bencana, ada tiga fase yang harus mendapat perhatian. Yaitu fase pra bencana, fase tanggap bencana , dan fase pasca bencana.

Dalam catatannya Dompet Dhuafa, dikatakan bahwa siklus manajemen bencana itu, meliputi, 1). Pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini; Pencegahan (prevension); upaya untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan timbulnya suatu ancaman, Mitigasi (mitigation); yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman, dan Kesiap-siagaan (preparedness); yaitu persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi(atau kemungkinan akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam keadaan darurat dan identifikasi atas sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.

2), Dalam fase Tanggap Darurat (Emergency Response), saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian.

3). Sedangkan untuk fase Pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Dimana, pemulihan (recovery); adalah suatu proses yang dilalui agar kebutuhan pokok terpenuhi. Proses recovery terdiri dari: Rehabilitasi : perbaikan yang dibutuhkan secara langsung yang sifatnya sementara atau berjangka pendek. Kemudian Rekonstruksi, yaitu perbaikan yang sifatnya permanen.
Dari ke tiga fase yang ada, kiranya relawan yang usianya sudah semakin tua, bisa tetap berkiprah di fase pertama dalam bentuk edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat yang berdomisili di daerah rawan bencana, maupun melakukan kegiatan berbagi ilmu dan pengalaman kepada relawan yunior sebagai bentuk ‘sodakoh non materi’, mengamalkan ilmu dan pengalaman kepada orang lain sesama pegiat kemanusiaan.
Ya, begitulah, (mungkin) cara Elpamas mengingatkan mereka yang semakin menua untuk segera sadar melakukan regenerasi dan bersiap diri bahwa alam akan segera memanggilnya menghadap Sang Pencipta. Pak tua, istirahatlah, di luar banyak angin…………….[eB]

     





Kamis, 05 Juli 2018

DESK RELAWAN BANYUWANGI, SEBUAH TRAGEDI


Ada Tanya dari Pak Pejabat, mengapa saat bencana Pacitan dan Sumenep, SRPB tidak turun dengan desk relawannya?. Ya, secara kelembagaan memang tidak turun, namun anggota (organisasi mitra) sudah turun atas nama organisasi masing-masing dan melaporkan perkembangan kejadian bencana setiap saat lewat grup WhatsApp.

Selain itu, perlu diketahui bahwa SRPB sampai detik ini belum mempunyai dana siap pakai untuk menerjunkan anggotanya saat terjadi bencana. Tidak seperti organisasi/lembaga lain yang punya DSP on call setiap saat. Sehingga memudahkan untuk tampil beraksi, berbakti untuk negeri. Berkarya memabntu sesama.

Kemudian, saat bencana Banyuwangi, SRPB bisa berperan itu karena di sana ada mitra SRPB yang bernama Me-dan (Medik dan Aksi Kemanusiaan), yang berdomisili di Banyuwangi dan bersedia menjadi wakil SRPB untuk membuka desk relawan sesuai konsep yang digagas BNPB (Pak Papang, waktu itu). Tentu dengan segala keterbatasannya dalam menterjemahkan desk relawan.

Sayangnya, ketika SRPB mencoba menerapkan konsep desk relawan, oleh Pak Pejabat, langsung dituduh sebagai upaya menciptakan ‘matahari kembar’. Lho, kok bisa ya, ada apa dengan Pak Pejabat, atau Pak Pejabat mendapat masukan apa tentang SRPB dan desk relawan ?. disinilah kiranya perlu ada komunikasi yang harmonis untuk membuang rasa curiga yang tiada guna.

Lha, kira-kira apa yang dimaksud dengan matahari kembar itu?. Ingat lho, SRPB itu tidak punya kuasa, apalagi dana untuk bermanuver di berbagai medan bencana, beda dengan lembaganya Pak Pejabat, juga lembaga lain yang sudah siap segalanya.

Jika yang dimasalahkan Pak Pejabat itu, karena SRPB menggunakan istilah posko. Nyatanya, organisasi lain, seperti Ansor/Banser, HMI/KAHMI dan banyak lagi lainnya, juga menggunakan istilah posko, tapi oleh Pak Pejabat dibiarkan saja. tidak dicap sebagai matahari kembar. lho kenapa bisa begitu?. Dimana keadilan itu?.

Sebagai Pejabat, jelas ini pernyataan yang kurang bijak. Grusa-grusu mengeluarkan pernyataan di medsos yang bisa dibaca oleh siapa saja dimana saja dan dimaknai apa saja sesuai kepentingan yang melatarinya. Jelas pernyataan Pak Pejabat ini bisa blunder ke diri Pak Pejabat. Bisa menurunkan kredibilitasnya sebagai Pejabat yang melayani public di bidang kebencanaan.

Sementara, dari postingan yang muncul, ternyata dalam kegiatan tanggap darurat Banyuwangi itu juga timbul friksi antar relawan dan pejabat, akibat ketidak mengertian dan miskomunikasi. Hal ini bisa diartikan bahwa konsep manajemen posko, manajemen posko tanggap bencana, dan manajemen penanggulangan bencana, belum banyak dipahami oleh berbagai pihak. Sehingga perlu ada agenda duduk bareng membahasnya untuk menghindari kesalah pahaman.

Mungkin, bisa disimpulkan, bahwa konsep desk relawan itu belum waktunya untuk diterapkan saat tanggap darurat. Karena masih sebatas wacana yang perlu proses untuk dibicarakan bersama antar pejabat, antar bidang dan antar komunitas agar terbangun kesepahaman tentang desk relawan.Termasuk, mungkin menertibkan penggunan istilah posko, agar tidak memunculkan istilah matahari kembar. Jika memungkinkan perlu kiranya mendorong BNPB mengeluarkan Perka baru tentang Desk Relawan.

Sungguh, bencana Banyuwangi banyak sekali memberi pelajaran kepada kawan-kawan SRPB, baik yang berkesempatan terjun langsung di lokasi, yang hanya beberapa hari, maupun yang mengikuti perkembangan melalui berbagai grup whatsApp. Harapannya, bisa menjadi bahan evaluasi bagaimana enaknya langkah selanjutnya, agar tidak disalahkan. Wallahu a’lam bishowab. [eBas-30/6]