Rabu, 26 Mei 2021

LOGO ORGANISASI ADALAH KEBANGGAAN PRIBADI

Bolehlah penulis mengartikan bahwa Logo merupakan suatu bentuk gambar tertentu yang menarik, mudah dikenali dan mempunyai makna tertentu, yang dibuat sebagai identitas kominitas tertentu. Biasanya logo ditempel di baju seragam. Bisa juga di jaket, kaos, topi maupun rompi. Bahkan dijadikan bendera yang membanggakan.

Jadi, tidak salah jika saat ada kegiatan pertemuan antar komunitas, berkibarlah aneka bendera komintuas yang tertata rapi, mengusik hasrat untuk ber-selfi-ria megabadikan moment penting yang jarang bisa diikuti kembali.

Begitu pula saat ada acara Halal bi Halal sekaligus rakornis bencana gempa, yang diadakan oleh pengurus Forum PRB Jawa Timur, pada hari minggu (23/05/2021), di Obis Camp, Trawas, Kabupaten Mojokerto. Hampir semua komunitas yang menghadiri undangan, memamerkan logo komunitasnya agar semakin dikenali keberadaannya.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan, ada yang sengaja memanfaatkan pertemuan untuk saling tukar menukar stiker bergambar logo komunitasnya. Ini adalah bagian dari promosi keberadaannya agar dikenal.

Apalagi, dalam kegiatan di Obis Camp ini, panitianya kreatif mendesain panggung dengan memasang berbagai logo komunitas yang sangat menarik untuk diabadikan dalam sebuah foto penuh gaya, sebagai kenangan yang indah.

Disamping itu (mungkin) pemasangan logo komunitas ini dalam rangka menguatkan komunitas anggota forum agar terus bergerak meningkatkan kapasitas SDM maupun keberadaan lembaganya, agar tidak sekedar menjadi organisasi papan nama.

“Keanggotaan Forum sebagai rumah besar dari para pegiat kebencanaan yang tergabung dalam pentahelix sangatlah terbuka. Bersama saling bersinergi, saling menguatkan, tidak saling melemahkan,” Kata mBah Dharmo, Sekjen Forum yang aktif menebar virus PRB yang bermanfaat bagi masyarakat.

Melihat kiprah forum yang mengedepankan kemandirian dalam soal dana kegiatan, membuat BPBD (dan juga BNPB) berkenan terus memfasilitasi, demi suksesnya program yang dirumuskan dalam rapat pengurus yang didampingi dewan penasehatnya.

Pak Papang, yang datang mewakili BNPB mengingatkan kepada seluruh komunitas yang hadir, agar memahami keberadaan forum yang sesuai dengan UU 24 tahun 2007 dan PP 21 tahun 2008, khususnya pasal 8. Termasuk paham akan visi forum yang harus tampak dalam programnya (bukan terus menjadi wacana).

“Bagaimana forum mengkoordinasikan seluruh elemen pentahelix dalam sebauh kegiatan penaanggulangan bencana. Bisakah forum memengaruhi politik lokal agar kebijakan pemda yang pro pengurangan risiko bencana?,” Tanya pria asli Jokja ini.

Pak Papang berdiri di depan backdrop yang dipenuhi logo organisasi, mengatakan bahwa anggota forum juga harus ‘merangkul’ kelompok marginal. Seperti kelompok rentan/disabilitas, keterwakilan jenis kelamin/gender dan sebagainya, agar suara mereka juga terdengar.

Diakhir arahannya, beliau mengingatkan tentang empat mandat Kerangka Sindai. Yaitu, Kurangi jumlah kematian saat terjadi bencana, Kurangi jumlah orang terdampak, Kurangi kerugian ekonomi, dan Kurangi kerusakan akibat bencana.

Dengan demikian, menjadi tugas pengurus forum untuk meningkatkan SDM anggotanya melalui berbagai program yang memberdayakan. diantaranya melalui gerakan literasi bencana untuk menumbuhkan budaya sadar bencana. Tinggal bagaimana memformat bentuk kegiatannya yang lebih operasional.

Sudah menjadi sunatullah, ada pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Semilir angin gunung menyapa peserta yang berkemas meninggalkan arena, dengan membawa selaksa kenangan dan harapan akan program kedepan yang bermartabat dan melibatkan komunitas setempat.

Mereka beriringan pulang. Ada yang bermotor, juga ada yang bermobil. Tidak lupa saling berfotoria dan tukar nomor whatsApp. Semua tetap mengenakan pakaian kebesaran dengan logo kebanggaan. Selamat berpisah, semoga masih ada masa untuk bersua dilain acara. Salam tangguh salam kemanusiaan. [eBas/KamisPon-27052021]

Selasa, 18 Mei 2021

DIDIK MULYONO BERBAGI CERITA TENTANG SAPALIBATISME

Sepulang dari rumah Pakdhe Kopros, aku mencoba japri Mas Didik untuk bertanya tentang kepemimpinan model sapalibatisme. Ya istilah sapalibatisme ini muncul saat jagongan dengan Pakdhe Kopros sambil nyruput kopi rempah yang rasanya agak menyengat hangat.

Alhamdulillah, Mas Didik membalas ‘japrianku’ dengan panjang lebar. Dia bilang, Sapalibatisme itu menurutku Bergerak bersama, kan prinsipnya masing-masing diberi ruang bermain sesuai mandat dan kapasitasnya,

“Sebagai contoh sederhana, ya blok mesin itu, dimana masing-masing spare part bergerak untuk mendinamisir energi yang bisa dihasilkan oleh 1 unit blok mesin,” Katanya memberi contoh.

Sementara, Kata temannya Pakdhe kopros, langkah kepemimpinan sapalibatisme, harus bermula, berangkat, dan berasal dari pihak yang paling mempunyai kuasa dalam urusan kebencanaan.  Merekalah yang seharusnya menyapa dan melibatkan" berbagai pihak (pentahelix) dalam penanggulangan bencana.

Siapa dia ?. Jelas pemerintah. Dalam hal ini BNPB dan BPBD yang diberi kuasa mengamalkan UU nomor 24 tahun 2007. Sementara forum, sesuai dengan visinya diharapkan turut memastikan anggaran penanggulangan bencana cukup digunakan dalam penanggulangan bencana sesuai dengan risiko bencana di daerahnya.

Dalam japrinya, Mas Didik bilang bahwa, Sapalibatisme itu punya prasyarat. Yaitu, masing-masing pihak diberi peran sesuai proses bisnis yang disepakati para pihak, serta kapasitasnya, agar tidak tumpang tindih peran yang mengesankan rebutan peran.

Jika masing-masing pihak sudah mau duduk bersama, selanjutnya mereka bersama menata peran dan posisi masing-masing, sehingga masing-masing puzzle bisa menyajikan gambaran yang utuh.

Menata peran (tata laksana/proses bisnis), itu harus dilakukan secara dialogis partisipatoris, agar masing-masing pihak tidak mengganggu, atau malah melumpuhkan fungsi pihak lain. Disinilah letak kesulitannya.

Dengan kata lain, Forum dapat dimaknai sebagai wadah diskusi untuk mencari titik temu atau kesepakatan dari berbagai ide/gagasan/pandangan berdasarkan turunan dari regulasi, maupun pengetahuan dan pengalaman nyata di daerah.

Dari situ kemudian ada upaya mewujudkannya (dimulai dari membuat rencana, mengorganisir, mengkoordinasikan, mengimplementasikan, mengontrol atau mengevaluasi) dalam rangka menggapai suatu kondisi yang lebih baik sesuai tujuan  bersama.

          Pertanyaannya sekarang adalah, Forum PRB mau ngapain ke depan? Jawabannya akan menentukan pemilihan strategi dan arah ke depan FPRB,” Kata Mas Didik menggelitik.

Aku diam saja karena memang tidak bisa menjawab. Mas Didik pun juga tidak memberikan jawaban solutif. Bahkan dia ngajak membayangkan Forum PRB sebagai sebuah keluarga yang kita ada di dalamnya. Kira-kira apa yang kita harapkan dari keluarga tersebut ke depan?. Bagaimana cara agar bisa memberikan manfaat yang sebesar besarnya untuk lingkungan dan wilayahnya.

Untuk itu, masih menurut Mas Didik, keberadaan forum harus bisa memberi manfaat kepada semua elemen yang terlibat di dalamnya,  termasuk teman-teman komunitas di kawasan rawan bencana, yang menjadi orang pertama sibuk ketika bencana melanda wilayahnya.

Aku menyimak segala gagasan Mas Didik dalam postingannya, sambil berkomentar di grup whatsapp sebelah yang membahas masalah tarik ulur RUU Penanggulangan Bencana.

Mungkin, upaya berbagi peran itu karena masing-masing pihak mempunyai keterbatasan, jadi harus berkolaborasi yang win-win solution dari semua aktor untuk menemukan kesepahaman dalam gerak. Artinya, semua aktor harus memiliki kesamaan dan kesetaraan dalam melihat masalah.

Menurut pria yang pernah tinggal di Surabaya ini, Biasanya, para pihak yang akan dilibatkan selalu mengajukan pertanyaan, benefit apa yang bisa mereka peroleh.  Benefit ini nggak harus melulu tentang financial, tetapi bisa perluasan jejaring, peningkatan pengetahuan, status sosial dari individu komunitas dan sebagainya.

Nah, benefit itulah yang harus dipastikan diterima oleh para pihak. Bisa nggak forum memberikannya?. Strateginya adalah dengan mengajak dan melibatkan untuk membagi sumberdaya, pemberian kewenangan kepada anggota sesuai nilai dan prinsip yang telah disepakati Bersama,” Ujarnya.

Mungkin, yang perlu diperjelas oleh Mas Didik adalah pemberian kewenangan kepada anggota sesuai nilai dan prinsip yang disepakati. Apalagi saat ini juga muncul isue tentang perlunya Konvergensi PRB dan API (Adaptasi Perubahan Iklim).

Tidak ada salahnya jika forum PRB juga mulai mengadakan edukasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar mampu melakukan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan visi forum yang memastikan pemberdayaan masyarakat dilakukan di daerah dalam membangun ketangguhan terhadap bencana. Termasuk dalam hal adaptasi perubahan iklim (mungkin lho ya, red).

Yang jelas, Forum PRB itu sama sekali bukan forum relawan. Forum PRB yang terdiri dari elemen pentahelix itu diantaranya punya peran mendorong agar pengurangan risiko bencana sebagai basis pertimbangan pemda dalam menyusun RPJMD yang kemudian dituangkan dalam RAPBD.

Hal ini (mungkin) terkait dengan salah satu visi forum yang berbunyi, memastikan kebijakan yang diambil dapat mengurangi risiko bencana saat ini, tidak menambah risiko bencana baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, peran bergengsi ini tidak mudah dilaksanakan.

Sungguh, tidak ada ruginya berkomunikasi dengan Mas Didik lewat japri. Dia kaya ilmu, dan wawasannya tentang kebencanaan sangat luas sekali. Dia juga sangat menguasai semua regulasi yang melatari aturan main penanganan bencana. ‘Wis talah’ pokoknya gak rugi nyantrik ke Mas Didik, yang tidak pelit untuk berbagi info.

“Matur nuwun Mas Didik atas segala informasinya, dan jangan bosan-bosan memberi arahan dan berbagi informasi kepadaku yang gak pinter-pinter ini,” Kataku sambil menahan kantuk.

“siap mas,” Jawabnya singkat menutup cerita tentang sapalibatisme, yang dikaitkan dengan peran forum pengurangan risiko bencana. [eBas/SelasaWage-18052021, sumber: 87% japrian dari mas Didik]

 

Jumat, 14 Mei 2021

FORUM PRB, VISI DAN PERANNYA

Sepulang dari nyantrik di Joglo Kadiren, Sedati, Sidoarjo, mampir dulu di rumahnya Pakdhe Kopros, minta segalon air hujan. Kemudian menyempatkan beli nasi goreng untuk jaga-jaga, siapa tahu tengah malam nglilir karena lapar. Alhamdulillah tidak ada penyesuaian harga pasca lebaran. Tetap sebelas ribu.

Hasil nyantrik segera ‘diramesi’ untuk di share di grup WhatsApp khusus pengurus forum, sebagai upaya memantik diskusi membahas bagaimana to sebenarnya peran dan fungsi forum itu ?.

Harapannya jelas, agar forum tidak terlena berkegiatan yang bukan maqomnya. Termasuk bisa benar-benar menampakkan sinergi pentahelix dalam kegiatannya sebagai mitra BPBD, sesuai mandat UU 24 tahun 2007 dan PP 21 tahun 2008.

Salah satu pemantik yang aku coba sodorkan adalah laporan relawan Provinsi Bali yang mengadakan kegiatan lokakarya penyusunan pedoman organisasi forum relawan pengurangan risiko bencana.

Hasilnya, diantaranya adalah tersusunnya SOP Organisasi dan dirubahnya nama dari FPRB menjadi Forum Relawan Penanggulangan Bencana. Alasannya kegiatannya menjadi lebih luas, sejak pra bencana, tanggap bencana dan pasca bencana,

Rupanya isue yang aku sodorkan kurang menarik. Sehingga cukup dijawab, Kita gak perlu niru mereka nanti malah rancu. Sementara Cak Chusairi, dosen Unair bilang, bahwa yang penting organisasi itu sebaiknya jangan luas bidang kegiatannya, tapi luas kegiatannya saja meski mungkin bidangnya nggak terlalu luas.

Sambil ngemil jajan lebaran, aku coba menggiring pernyataannya Cak Chusairi dengan mengangkat isue tentang visi forum yang meliputiFPRB memiliki Visi: 1) Memastikan Pembangunan Daerah Berbasis Pengurangan Risiko Bencana. 2) Memastikan kebijakan yang diambil dapat mengurangi risiko bencana saat ini, tidak menambah risiko bencana baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 3) Memastikan kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan baik, antara BPBD  dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan lembaga usaha. 4) Memastikan anggaran penanggulangan bencana cukup digunakan dalam penanggulangann bencana sesuai dengan risiko bencana di daerahnya. 5) Memastikan pemberdayaan masyarakat  dilakukan di daerah dalam membangun ketangguhan terhadap bencana, dan 6) Memastikan 7 Objek Ketangguhan : Rumah/Hunian, Sekolah/Madrasah, Puskesmas/RS, Pasar, Rumah Ibadah, Kantor, dan Prarasana Vital.

Rupanya, postinganku di atas menarik perhatian mas Didik, yang dulu aktif di AIFDR. Konon, dia jadi ingat jaman memfasilitasi Tim 9 yang diberi mandat untuk fasilitasi pelaksanaan mubes FPRB Jatim 1,

Dimana waktu itu FPRB Jatim dibayangkan sebagai rumah besar yang disokong oleh keberadaan forum-forum tematik (CSO, CBO, perguruan tinggi, jurnalis, dunia usaha dll), nampaknya kawan2 perlu "menyapa" lagi forum tematik perguruan tinggi, forum CSR, forum jurnalis agar semakin gayeng ke depan

“Kangen dengar kabar dari temen-teman sampoerna foundation, petrokimia gresik, gas negara dan lainnya yang turut sibuk saat itu,” Katanya.

Aku juga bilang bahwa aku Kangen abah Wazir pasanganku piket mbiyen. Kira-kira uang denda piket dulu disimpan dimana ya?. Tidak ada yang menjawab. Mungkin semua sudah lupa.

Sebagai tombo kangen sekaligus nostalgia, Mas Didik juga memposting hasil laporan mubes pembentukan forum prb tahun 2013. Salah satu nasehat penting yang disampaikan oleh wakil dari BPBD Provinsi Jawa Timur adalah, Para pihak pelaku penanggulangan bencana yang ada di Jawa Timur memiliki beragam ketrampilan dan kapasitas, dimana tentunya hal tersebut memberikan manfaat yang baik ketika para pelaku/pemangku kepentingan melaksanakan tugas-tugasnya di masyarakat.

Namun belum tentu semua kebutuhan masyarakat dalam penanggulangan bencana dapat dibantu, dilayani, dan dicukupi oleh para pemangku kepentingan secara sendiri-sendiri. Sehingga diperlukan kerjasama yang diwujudkan dalam suatu kekuatan dan kapasitas yang bersinergi dan memadai. Wujud nyata kerjasama para pihak dalam bentuk kelembagaan untuk penanggulangan bencana adalah forum.

Sementara, dari sisi BPBD, membangun kerja sama dan bermitra dengan berbagai pihak dalam kerangka mewujudkan dan mengimplemantasikan sinergitas dalam tanggungjawab pengelolaan penanggulangan bencana menjadi kewajiban dan prioritas.

Dalam postingan selanjutnya, Mas Didik mengingatkan kepada Cak Chusairi, untuk mengajak kembali forum perguruan tinggi Jawa Timur, mendinamisir FPRB Jatim.

“Seperti yang pernah kita diskusikan dulu, paling tidak kawan-kawan FPT bisa mengawal knowledge management dari proses yang telah ada di berbagai tempat di Jatim. Selain itu juga mengenalkan praktek pemanfaatan teknologi informasi agar penyelenggaraan PRB lebih efektif, efisien, terukur,” Katanya.

“Siyaap mas, meski belum tahu mulai dari mana hehe, tapi sudah ada yang ngajak,” Jawab Cak Chusairi gamang. Tampaknya, akan banyak menelui kesulitan ketika Cak Chusairi harus mencoba mengundang mereka, karena tidak punya kapasitas dan fasilitas untuk mengundang.

Mas Didik juga bilang bahwa sebaiknya  FPT PRB sebagai forum tematik diajak bergabung kembali ke rumah besar karena person-person kunci yang ada di FPT itu dulu juga menjadi inisiator FPRB Jatim.

Pertanyaannya kemudian, Siapa yg bisa mengajak ?. mungkin, ya siapa saja yang diberi mandat FPRB Jatim untuk melakukan konsolidasi ke berbagai forum tematik. Seperti forum jurnalis, forum CSR dan Koordinator BUMN Peduli.

“Kabar dulur-dulur CBO (Community Based Organization), kayak Panjer manik oro, Laskar Semeru, Kobar bromo Semeru, Jaringan Raung Ijen, dan lainnya pripun mbah, nopo tasih asring sesrawungan kaliyan jenengan?,” Tanya Mas Didik selanjutnya.

Menanggapi komentar Mas Didik, mBah Dharmo bilang bahwa kawan-kawan masih sring kontak, dan beberapa pengurus sudah mencoba bertemu membangun komunikasi dengan forum CSR di bappeda, mereka sangat welcome.

“Bahkan, saat ketemu di bappeda, mereka bilang pernah memberikan bantuan komputer lengkap dengan printernya kepada FPRB JATIm,” Ujarnya.

Apa yang disampaikan mBah Dharmo, cukup menggelitik untuk ditindak lanjuti. Karena cerita itu tidak pernah dibahas di dalam berbagai obrolan daring dan luring. Sehingga menurutku harus segera ditindak lanjuti kebenarannya. Seperti, a) Dimana barangnya saat ini ?. b) Waktu serah terima barang, siapa yang menyerahkan dan siapa pula yang menerima ?. Dimana tempat prosesi serah terima barang dan kapan itu terjadi serta saksinya siapa ?. Ini penting agar tidak ada dusta diantara kita.

Sayangnya masalah hibah komputer dan printernya itu dianggap kurang asik dibahas saat lebaran. Termasuk ajakan kepada pengurus FPRB yang berdomisili di Surabaya, seperti mas Chusairi, mbak Arna, mbak Anis Unair dll, untuk ngadain jagongan di base camp nya Cak Alfin sambil ngopi ?.

Rupanya, Mbah Dharmo saat ini juga sedang berpikir keras bagaimana caranya bisa mengumpulkan ‘Balung pisah’ agar semangat berforum muncul kembali sesuai khittohnya, yaitu terlibat dalam koordinasi dan kerjasama antar pentahelix dan pemangku kepentingan lainnya, dalam penanggulangan bencana.

Sementara, sebentar lagi akan masuk musim kemarau. Tentu ancaman kebakaran dan kekeringan akan menjadi trending topik dimana-mana. Agar kejadian yang memilukan itu bisa diminimalisir, kira-kira bisakah forum menyiapkan sebuah kegiatan untuk mengantisipasinya ?.

Sambil menunggu jawaban, aku sempatkan menikmati nasi goreng pinggir jalan tadi, sambil minum air hujan dari Pakdhe Kopros agar tetap sehat pasca lebaran ini. Konon, air hujan yang telah diolah sedemikian rupa itu baik untuk kesehatan. Hal ini seperti  jargonnya komunitas banyu bening yang mengatakan, “Ngombe Banyu Udan Ben Ora Edan”. Salam Rengginang dihari ke tiga lebaran. [eBas/SabtuLegi-15/5/21]

Kamis, 06 Mei 2021

FPRB JATIM SEMAKIN BERMANFAAT DAN BERMARTABAT

Tidak terlalu salah jika tahun bershio kerbau ini menjadi tahun kebangkitan forum pengurangan risiko bencana (FPRB) Jawa Timur. Betapa tidak, mbah Dharmo sebagai sekjen terpilih lewat webinar, mampu membangkitkan semangat berforum bagi anggotanya. Sehingga marwah forum sebagai mitra BPBD semakin menampakkan bentuknya.

Koordinasi dan komunikasi antar pengurus yang lebih banyak dilakukan secara daring karena pandemi, juga sangat efektif meramu program yang bermanfaat untuk pembelajaran bagi pengurus, anggota dan masyarakat luas tentang arti pentingnya pengurangan risiko bencana agar tumbuh kesadaran akan bencana, dalam rangka membangun budaya tangguh dan kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana yang ada.

Apalagi keberadaan Gus Yoyok yang “cak cek wat wet” dengan segala gagasan kreatifnya, menjadikan program forum berjalan tanpa bisa ditahan. Semua lancar berjalan sesuai aturan penganggaran. Misalnya kegiatan diklat santri tangguh bencana (SANGGUB), edukasi konservasi serta program penghijauan, dan penanaman mangrove. Semua berjalan sesuai aturan main.

Selanjutnya program inovatif hasil pemikiran Gus Yoyok tentang ngabuburit, yang dikemas dalam acara safari mosipena ke 10 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, juga mendapat sambutan yang luar biasa, jauh dari perkiraan semula karena dibayangi pandemi covid-19. Kegiatan safari ini tetap menerapkan protokol kesehatan.

Sungguh, Tim Mosipena, yang biasa di juluki “Paloma Anti Sambat”, tanpa kenal lelah memberikan edukasi dan sosialisasi pengurangan risiko bencana di setiap daerah yang disinggahi. Masyarakat, pendidik, dan peserta didik serta relawan setempat sangat antusias menyambutnya. Terutama saat mendapat doorprize dan berkesempatan berswafoto dengan Tim Mosipena.

Ini menandakan bahwa keberadaan FPRB Jawa Timur diterima oleh semua kalangan, bisa merangkul semua komunitas relawan dengan tidak membeda-bedakan baju dan bendera. Semua kompak mensukseskan acara.

    Ya, berbagai pihak terlibat. Termasuk pejabat setempat yang berkenan membersamai pejabat BPBD Provinsi Jawa Timur yang hadir di lokasi. Para pejabat itu tidak sekedar hadir, mereka juga bersedia menjadi nara sumber dadakan dan melakukan diskusi bersama relawan sambil ngopi, sehingga tampak akrab bersahabat.

Siapa tahu dari diskusi sambil ngopi, akan muncul inspirasi untuk mengadakan aksi kemanusiaan yang lebih hebat lagi, dikemudian hari. mBah Dharmo dan Gus Yoyok pun bisa terpacu untuk merancang safari mosipena pasca lebaran ke Kabupaten/Kota yang belum sempat disinggahi.

Konon, katanya masih ada sekitar 28 Kabupaten/Kota yang harus disentuh mBah Dharmo dalam rangka menebar viris PRB dan menginisiasi terbentuknya FPRB tingkat Kabupaten/Kota, sesuai target yang diharapkan BNPB untuk mem-FPRB-kan seluruh Jawa Timur.

Sungguh luar biasa pergerakan FPRB Jatim dalam membangun sinergitas pentahelix untuk menebar virus PRB ke berbagai komunitas di daerah yang menjadi sasaran. Apalagi “pasukannya” Gus Yoyok siap mendukung semua program forum. Inilah yang menjadi modal sosial dalam pergerakan forum.

Seperti diketahui, dimasing-masing daerah “pasukannya” Gus Yoyok banyak dan siap digerakkan. Sehingga, tidak salah jika banyak pihak yang percaya dan yakin bahwa keberadaan forum yang disukung SDM yang mumpuni, memang layak didukung dengan fasilitas yang memadai.

Ning Ratna, sebagai bendahara forum, mengatakan bahwa Kota Batu adalah Kota terakhir yang disinggahi Tim Mosipena, untuk kemudian mereka kembali ke “kandangnya”, bersiap-siap riyayan bersama sanak saudaranya menikmati rengginang dan jajanan khas lebaran lainnya.

Acara safari mosipena di bulan romadhon ini, dipungkasi dengan gelaran kirab budaya, seni Reog dan Barongan, partisipasi dari organisasi masyarakat setempat yang cukup ternama. Konon, semua gelaran untuk memeriahkan safari mosipena di Kota Batu, terselenggara berkat semangat “bantingan” dari semua pihak yang terlibat. Sekali lagi, inilah bukti bahwa forum diterima kehadirannya.  

Tak lupa, perempuan berkacamata ini juga berharap, agar lelah Tim Mosipena menjadi lillah. Terus bersemangat menjaga kekompakan dan kesehatan untuk menyiapkan diri melanjutkan agenda mosipena keliling Kabupaten/Kota menebar virus PRB, sehingga forum benar-benar bermanfaat dan bermartabat sesuai misi yang diembannya. Wallahu a’lam bishowab. Salam tangguh, salam literasi, terus menginspirasi. [eBas/JumatPon-07052021]

 

 

 

 

DARI SENTUL BERBAGI PENGALAMAN

“Mohon diperbanyak lagi relawan yang direkrut menjadi fasilitator Destana maupun fasilitator SPAB, agar tidak diborong oleh orang yang itu-itu saja. Sehingga seolah menjadi matapencaharian saja. Bagaimana jika dari lembaga/komunitas relawan melakukan fasilitasi Destana maupun SPAB secara gratis sesuai standar BNPB, apakah hasilnya juga bisa diakui oleh BNPB?.”.

Pertanyaan sekaligus harapan itu muncul dalam kegiatan webinar yang diselenggarakan oleh Pusdiklat PB BNPB, selasa (04/05/2021), dengan topik, Dari Sentul Kita Sharing. Program baru ini digelar BNPB dalam rangka berbagi pengalaman penanganan bencana di berbagai daerah di Indonesia.

Kali ini yang diceritakan adalah penanganan bencana gempa di Malang Selatan beberapa waktu yang lalu. Dimana, saat terjadi gempa, daerah yang terdampak selain Kabupaten Malang adalah Kabupaten Lumajang, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Blitar. Sementara daerah lain hanya merasakan goyangannya saja.

Saat pemateri memaparkan presentasinya, di kolon chat sudah penuh dengan aneka pertanyaan. Termasuk tanya daftar hadir, materi dan sertifikat webinar. Ya, maklum dimasa pandemi ini semua lagi demam webinar untuk mengkoleksi sertifikatnya.

Juga muncul pengakuan dari pejabat BPBD Kabupaten Malang, tentang Konsep SKPBD yang belum berjalan karena kendala SDM, serta dokumen renkon yang diaktivasi menjadi renop itu malah memunculkan kesan ketidak siapan dalam menangani bencana.

Sementara itu, relawan masih banyak yang datang belum daftar dan laporan ke desh relawan. Mereka berfikir, yang penting langsung bekerja di lokasi membantu sesama. Mungkin selama ini relawan belum tahu manfaat data keberadaannya. Sedangkan pengelola desk relawan pun, konon juga masih sibuk melakukan pendataan relawan di lokasi, dan belum memberi info setiap pergerakan relawan di lokasi.

Di sisi lain, banyaknya rombongan tamu pejabat ke lokasi melihat kerusakan dan korban bencana sambil membagikan bingkisan, yang dilanjutkan dengan saling berfoto untuk bukti fisik, ternyata menjadi masalah sendiri bagi BPBD setempat.

Bahkan sering kali terjadi, masing-masing OPD datang sendiri membagikan bantuan, kemudian balik kanan setelah foto bersama tanpa memberitahu BPBD sebagai penguasa Pos Komando. Ini menandakan bahwa ego sektoral itu masih ada diantara OPD. Belum ada sinergitas seperti yang sering diomongkan dalam rapat.

Sungguh, webinar ini sangat bermanfaat untuk kawan-kawan di Pusdiklat Penanggulangan Bencana, sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan dan program yang bersentuhan langsung dengan permasalahan di atas. Termasuk pertanyaan di awal tulisan ini.

Begitu juga dengan pengurus forum, hendaknya bisa segera melaksanakan (mensosialisasikan) ke lembaga terkait, tentang misi forum yang berbunyi, memastikan kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan baik, antara BPBD dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan lembaga usaha. Ini penting untuk membongkar ego sektoral dalam penanganan bencana.

Tidak ada salahnya jika forum segera mensikapi pertanyaan di atas dalam rapat pengurus sebagai upaya mencari solusi. Paling tidak,  bisa dijadikan agenda bimbingan teknis kepada “helix-helix” dari pentahelix yang tergabung dalam forum. Dengan demikian, semua anggota forum akan merasa diperhatikan. Agar tidak muncul dugaan yang bukan bukan.

Jika memungkinkan, kata anggota forum yang lebih banyak diam, sambil nyimak grup, sebenarnya forum bisa membagi tugas kepada anggotanya, di wilayah masing-masing untuk menggarap program yang disepakati. Caranya, kumpulkan semua, bikin konsepnya, standarkan biar satu bahasa, tentukan target, kerjakan, monitoring, dan lakukan evaluasi.

Apa yang dikatakan oleh anggota forum yang malas berkomentar di grup itu, tampaknya sederhana. Tapi ternyata tidaklah mudah. banyak faktor yang menjadai kendala. Waktu dan sangu merupakan kendala laten yang sulit diajak kompromi.

Ketika seseorang diberi kesempatan untuk tampil, namun ternyata terkendala waktu atau sangu, maka kesempatan itu otomatis diambil mereka yang punya waktu (dan tentunya sangu). Jadi, kalau kemudian yang muncul hanya orang-orang itu saja, ya harus dimaklumi, karena memang dialah yang mampu berkompromi dengan waktu dan sangu”.

Semoga acara ‘Dari Sentul Kita Sharing” yang diadakan oleh Pusdiklat PB BNPB akan membawa perubahan dalam penanganan bencana dikemudian hari. Semoga masukan dan komentar yang banyak berseliweran itu menjadi pembelajaran bagi semuanya untuk kemudian ditindak lanjuti dengan upaya nyata. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas/JumatPon-07052021]