Kamis, 22 September 2016

BIMTEK KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI OLEH BPBD NGANJUK

Kegiatan bimbingan teknis kesiapsiagaan dan mitigasi bencana dilakukan oleh BPBD Kabupaten Nganjuk itu sebagai upaya menyiapkan kader potensial yang sewaktu-waktu bisa digerakkan untuk membantu BPBD pada saat tanggap bencana. Namun demikian, sebagai masyarakat yang terlatih, mereka nantinya juga bisa berkontribusi dalam kegiatan pra bencana maupun rehab rekon (pasca bencana).

Untuk itu, dengan kegiatan semacam ini merupakan upaya BPBD meningkatkan kapasitas masyarakat, khususnya yang hidup di daerah rawan bencana, agar tangguh bencana, yaitu terbangun kesiapsiagaannya menghadapi bencana, sehingga korban yang ditimbulkan oleh bencana bisa diminimalkan.

Ini penting, karena senyatanyalah, seringkali respon dan koordinasi antar SKPD (pemerintah) dalam menghadapi situasi tanggap bencana agak lambat, diantaranya karena kendala birokrasi. Dengan kata lain, sampai sekarang yang namanya ego sektoral masih lekat dimasing-masing SKPD dalam menghadapi bencana, sehingga upaya sosialisasi untuk menyamakan langkah, membangun kesepahaman perlu terus dilakukan tanpa lelah.

Sehingga yang terjadi, dibanyak peristiwa bencana, masyarakat sendirilah (khususnya yang telah terlatih), yang pertama kali memberi pertolongan, melakukan evakuasi secepat mungkin sesuai kemampuan, sebelum pihak luar berdatangan membantu dengan berbagai bantuannya.

“Melalui kegiatan bimtek ini, nanti semua peserta akan mendapat piagam yang dapat digunakan untuk mengikuti diklat penanggulangan bencana tingkat lanjut,” Kata Kalaksa BPBD Kabupaten Nganjuk dalam sambutannya saat membuka kegiatan bimtek yang dilaksanakan di lapangan Ngepeh, Berbek, Loceret, Kabupaten Nganjuk, pada hari rabu (21/9) siang.

Konon di lapangan inilah tempat lahirnya tokoh nasional, Dokter Soetomo, sehingga oleh pemerintah, disitu dibangun patung Dokter Soetomo yang sedang duduk dengan penuh wibawa, seakan sedang memperhatikan peserta bimtek yang terdiri dari perwakilan siswa SMA/SMK, baik negeri maupun swasta, sebanyak 300 siswa.

Agus, sebagai ketua panitia, mengatakan bahwa kegiatan ini penting, karena wilayah Kabupaten Nganjuk rentan terhadap bencana banjir, longsor dan kebakaran hutan. Harapannya, setelah kegiatan ini mereka sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan dan siap menghadapi kondisi tanggap darurat karena datangnya bencana yang tidak terduga.

Dengan kata lain, melalui pelatihan tersebut juga diharapkan menghasilkan Relawan yang memahami sekaligus dapat mempraktekkan konsep kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di daerahnya, sekaligus sebagai agent of change di kelompok sebaya dan masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana.berbasis masyarakat.
Tentunya kegiatan semacam ini perlu ditindak lanjuti dengan membentuk komunitas relawan dengan berbagai pembinaan untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalismenya secara berkala untuk memudahkan menggerakkan apabila diperlukan. Salam Kemanusiaan,*[eBas]



Senin, 12 September 2016

WARGA BUMI MARINA EMAS BERKURBAN

Seluruh warga muslim Perumahan Bumi Marina Emas, Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya Timur,  pada Hari Senin tanggal 12 September 2016 melaksanakan penyembelihan hewan qurban  dalam rangka Hari Raya Idul Adha  1437 H/2016 M di halaman masjid Al-Ikhlas, Komplek Perumahan Bumi Marina Emas, hasil gotong royong warga muslim setempat.

Sebelum prosesi penyembelihan hewan kurban, sesuai dengan aturannya, didahului dengan sholat Idul Adha, yang dilaksanakan di tanah lapang milik developer. Sholat yang dipimpin oleh uztad Ainul Haris ini juga diikuti oleh warga sekitar Perumahan Bumi Marina Emas, itu sesuai dengan  apa yang diriwayatkan oleh Barra’ bin Malik radhiyallahu’anhu berkata, Nabi bersabda, Barang siapa menyembelih hewan kurban setelah shalat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai dengan sunnah kaum muslimin. (HR. Bukhari no  5545 dan Muslim no, 1961).

Artinya, menyembelih hewan kurban adalah ibadah yang telah diatur ketentuannya oleh syariat islam. Waktunya, jenis hewan, syarat-syarat hewan yang akan menjadi kurban, tata cara penyembelihan, dan pembagian daging kurban, diatur oleh sunnah Nabi, Seperti halnya saat pembagian daging kurban yang berjalan tertib dan lancar karena ketegasan dan kejelian panitia dalam melaksanakan tugasnya.   

Alhamdulillah, hewan kurban untuk Idul Adha kali ini terkumpul sebanyak  8 ekor sapi dan 21 kambing, yang merupakan qurban dari warga muslim setempat. Itu artinya kesadaran kaum muslim marina untuk melaksanakan perintah agama semakin menggembirakan, apalagi ditunjang dengan membaiknya tingkat pendapatan  yang berimbas pada kesejahteraan.

Di sisi lain, keberadaan takmir masjid pun patut mendapat apresiasi. Karena kegigihannya mengelola masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan, sedikit demi sedikit upaya memakmurkan masjid mulai tampak hasilnya. Masjid yang megah hasil gotong royong warga itu pun semakin ramai, semakin terasakan manfaatnya bagi warga muslim khususnya, dan masyarakat sekitar perumahan. Seperti terselenggaranya kegiatan ngaji untuk anak-anak, pengajian rutin minggu sore bakda mahrib, serta kegiatan insidental lainnya.

Pelaksanaan qurban ini selain memiliki nilai ibadah juga untuk meningkatkan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan di antara warga marina sebagai komunitas baru yang perlu segera meningkatkan rasa kerjasama, gotong royong, kebersamaan serta kepedulian terhadap sesama sebagai warga sebuah kampung.

Tentu harapannya, kedepan pelaksanaan peringatan hari besar keagamaan semakin sempurna dengan melibatkan warga muslim perumahan yang semakin banyak. Tentu semua itu bisa terwujud manakala komunikasi dan koordinasi dilakukan dengan baik dan transparan melalui temu warga yang enak lan kepenak.

Hal ini penting, karena prinsip dasar ibadah ini terletak pada kesadaran warga muslim akan nilai-nilai ketulusan untuk kemaslahatan orang banyak yang berhak akan pembagian daging kurban. Selamat merayakan Idul Adha dengan hidangan khas serba daging kambing dan sapi, semoga tetap sehat dalam keberkahan-NYA. [eBas]



 

Sabtu, 10 September 2016

KADERISASI KOMUNITAS RELAWAN

Kata teman saya, yang sudah lama malang melintang di dunia kerelawan, mengatakan bahwa program kaderisasi itu untuk organisasinya, bukan untuk relawannya. Alasannya, relawan itu adalah panggilan jiwa. Relawan atau sukarelawan Biasa diartikan orang yang tanpa dibayar menyediakan waktunya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tanggung-jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau dengan sedikit latihan khusus, tetapi dapat pula dengan latihan yang sangat intensif dalam bidang tertentu, untuk bekerja sukarela membantu tenaga profesional.

Semua orang, siapa saja mampu dan bisa menjadi relawan, namun tidak semua mau. Masih kata teman saya, yang dianggap senior oleh teman-teman relawan, bahwa jiwa pengabdian kepada nilia-nilai kemanusiaan yang biasa dilakukan oleh relawan itu tidak pernah mati. Walau tidak harus turun langsung ke medan bencana, namun sumbangan pemikirannya, saran dan masukannya tetap akan menginspirasi relawan lainnya yang lebih yunior.

Karena, bagaimanapun juga yang namanya usia, kondisi kesehatan dan kebutuhan hidup rumah tangga serta tanggungjawab sosial sebagai anggota masyarakat juga memerlukan perhatian, dan itu tidak bisa dihindari. Semua pasti akan terjadi pada setiap manusia, juga relawan. Sehingga persiapan diri dan keluarganya harus diperhatikan dengan melakukan mitigasi kehidupan dan penghidupannya, jika masa tuanya nanti tidak ingin dievakuasi karena tidak bisa mandiri secara ekonomi..

Sementara, Kaderisasi merupakan hal penting guna kelanjutan eksistensi organisasi. Dalam berbagai literature, sering dikatakan bahwa kaderisasi merupakan suatu kebutuhan internal yang  dilakukan demi kelangsungan dan kelancaran organisasi. Seperti halnya dengan hukum alam, semua proses pasti akan terus berulang - ulang  dan terus berganti. Ada yang datang pun ada yang pergi. Itulah hidup.

Tanpa kaderisasi, rasanya sangat sulit dibayangkan sebuah organisasi dapat bergerak dan melakukan program keorganisasiannya dengan dinamis. Fungsi kaderisasi adalah mempersiapkan calon penerus yang siap melanjutkan tongkat estafet aktivitas organisasi, sesuai cita-cita berdirinya organisasi. Dimana, masing-masing organisasi tentu berbeda dalam melakukan kaderisasi.

Pada umumnya, masing-masing organisasi melakukan kaderisasi dengan cara merekrut anggota baru untuk kemudian di gembleng dalam subuah tradisi pendidikan dan pelatihan (diklat) khas masing-masing organisasi, termasuk penggunaan seragam dan bendera organisasi yang membanggakan.

Namun ada pula yang melakukan kaderisasi cukup dengan cangkruk’an di warung kopi antara anggota senior dan yunior dalam rangka pewarisan nilai-bilai kerelawanan. Saling sinau berbagi informasi dan pengalaman lewat obrolan ringan sambil nyruput kopi dan bahkan main kartu untuk membangun paseduluran. Biasanya hasil obrolan itu ditindak lanjuti dengan latihan bersama sesuai kesepakatan. Sangat fleksibel tidak pakai ribet.

Inilah model pengimbasan pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan dari senior kepada yunior (sistem gethok tular). Model kaderisasi semacam ini secara organisatoris, sering dianggap lemah dan sulit berkembang. Hanya komitmenlah yang akan membangun dedikasi dan loyalitas antar anggota. Proses ini biasanya memakan waktu lama, sepanjang kehidupan itu sendiri.

Kegiatan pengimbasan ini seperti Proses enkulturasi atau proses “pembudayaan”, yaitu proses seorang individu belajar menyatukan dirinya dengan lingkungan organisasinya. Di sana, dia akan belajar sesuai pola pikir,serta sikapnya terhadap adat istiadat, sistem norma, serta aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi.

Memang, masing-masing organisasi punya cara sendiri untuk mempertahankan eksistensinya, melakukan tugas-tugas kemanusiaan, sesuai kemampuan dan kesempatan. Karena, sesungguhnyalah dilemma yang sering menggelayuti seorang relawan itu adalah bagaimana mengatur keseimbangan antara ngurusi masalah kemanusiaan dan kerumahtanggaan.

Selamat melaksanakan recruitment anggota baru kepada kawan-kawan pengurus organisasi kerelawanan, yang kini semakin banyak tumbuh dengan keunikannya masing-masing sesuai bidang yang digeluti, yaitu mengabdi kepada nilai-nilai kemanusiaan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim yang dilakukan sendiri oleh komunitas masyarakat yang hidup di kawasan rawan bencana. [eBas].











Sabtu, 03 September 2016

PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS

 Dibanyak kasus, bencana alam selalu menimbulkan dampak bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat. Untuk masyarakat terdampak harus merespon dengan tindakan preventif untuk meminimalisir dampat bencana. Karena masyarakat terdampak sendirilah yang akan melakukan penyelamatan sendiri sebelum pihak luar datang.

Salah satunya adalah dengan Sosialisi Pengurangan Resiko Bencana (PRB) kepada masyarakat, yaitu upaya meminimalisir kerentanan dan risiko situasi bencana di seluruh masyarakat, untuk menghindari (pencegahan) atau untuk membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak bahaya yang merugikan dalam konteks pembangunan berkelanjutan yg luas.

Kini, program PRB itu juga menjadi issue penting dalam SDGs (Sustainable Development Goals), yaitu sebuah dokumen yang akan menjadi acuan dalam kerangka pembangunan dan perundingan negara-negara di dunia. Target utamanya mengentaskan kemiskinan.

Namun demikian, konon katanya, Indonesia akan menggunakan tiga indikator terkait dengan dokumen SDGs, yaitu pembangunan manusia atau human development yang meliputi pendidikan dan kesehatan, lingkungan dalam skala kecil atau social economic development dan lingkungan yang besar atau environmental development berupa ketersediaan kualitas lingkungan dan sumber daya alam yang baik.

Issue-isue inilah yang harus disinggung dalam program PRB. Artinya sosialisasi PRB itu tidak melulu bicara tentang bencana saja, tetapi juga upaya membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana, yang senantiasa siap siaga menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan pada saat itu.

Dengan kata lain, apabila bencana itu terjadi, masyarakat sudah tahu dan paham benar apa yang mesti dilakukan untuk menghindari risiko bencana tersebut. Disamping itu, sesuai konsep Living Harmony with Disaster, masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana juga diharapkan mempunyai daya lenting pasca bencana, yaitu pulih kembali seperti sediakala, bahkan bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, program PRB bertujuan agar warga mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana.

Sayangnya, di lapangan, ke tiga pilar utama dalam penanggulangan bencana (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) masih tidak mudah untuk dikoordinasikan. Gerakannya belum optimal, belum bisa bekerja sama dalam penanggulangan bencana, masih sebatas bekerja bersama atau sama sama bekerja sesuai kepentingan masing-masing.

Apalagi, masih banyak produk legislasi yang belum berpihak kepada upaya penanggulangan bencana, apalagi pengurangan risiko bencana. Termasuk penyusunan dokumen renkon yang kemudian berubah menjadi renop pun sering gagap saat akan dijalankan sesuai kesepakan dalam dokumen, siapa mengerjakan apa.

Ini terjadi karena, konon sistemnya belum terbangun dan ditaati bersama, sehingga perlu dibangun dengan melibatkan kekuatan komunitas relawan beserta dunia usaha. Ya, itulah pentingnya program PRB yang mengedepankan kemitraan dan partisipasi berbagai komunitas dalam penanggulangan bencana, misalnya BNPB/BPBD dalam menyusun peta prioritas daerah rawan bencana berbasis komunitas dengan melibatkan berbagai elemen relawan.

 Sehingga PRB itu benar-benar hadir pada saat pra bencana, darurat bencana dan pasca bencana. Jika itu bisa terwujud, maka upaya PRB itu tidak sekedar upaya menyelamatkan banyak nyawa (meminimalisir jumlah korban) semata, namun juga menyelamatkan kehidupan dan penghidupan itu sendiri. Salam Kemanusiaan.*[eBas].