Jumat, 25 November 2016

LATGAB VERTICAL RESCUE BAGI KOMUNITAS RELAWAN INDONESIA

Perlu disadari bahwa bencana alam tidak tahu kapan akan datangnya, bencana datang dengan tiba – tiba, dan selalu saja mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit baik materi maupun yang lainnya bahkan sampai korban jiwa.  Untuk itu  apabila datang bencana kita semua bisa cepat bertindak sehingga korban bisa diminimalkan sekecil mungkin. 
Hal itulah yang mendorong relawan penanggulangan bencana perlu melatih diri untuk meningkatkan kapasitas dan kesamaptaan dalam menghadapi tugas-tugas kemanusiaan yang datangnya tidak terduga. dalam rangka meningkatkan keterampilan dan mempererat tali silaturahim, maka Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I) menyelenggarakan latihan gabungan relawan penanggulangan bencana DI Kawasan Ekowisata Pemandian Air Panas Padusan, Pacet, Kabupaten Mojokerto selama 2 hari, Jum’ad dan Sabtu (18 – 19 November 2016).
Bang mBothe, selaku panitia pelaksana latihan gabungan, mengatakan bahwa tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah agar para relawan penanggulangan bencana dapat bergerak dengan cepat, menguasai tugas yang telah diberikan untuk membantu dan menolong disaat bencana datang. Mereka juga diharapkan mengetahui prosedur yang benar dalam menangani bencana termasuk tehnik mengevakuasi korban sehingga korban dapat tertolong secepat mungkin.
Materi yang dibahas pada pelatihan kali ini adalah Basic Live Support, dan Vertical Rescue. Disela-sela itu juga diadakan dialog tentang kerelawanan. Di harapkan pelatihan ini menjadi tambahan  pengetahuan dan melatih kesiapsiagaan para relawan.
Seperti diketahui, Bencana yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah Puting Beliung, Longsor, dan Banjir bandang. Untuk itulah relawan pun hendaknya aktif melakukan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat dengan menerapkan konsep Jauhkan masyarakat dari bencana, Jauhkan bencana dari masyarakat, dan Hidup harmoni dengan risiko.
Kegiatan yang sempat dikunjungi oleh Hendro Wardhono, ketua Unsur Pengarah BPBD Provinsi Jawa Timur dan Profesor Syamsul Maarif selaku Pembina Pusat Penelitian dan Pelatihan untuk Indonesia Tangguh (PUSPPITA), kiranya perlu ada tindak lanjutnya dengan tema bahasan yang lain sebagai paya meningkatkan wawasan dan kapasitas serta rasa paseduluran antar organisasi relawan kemanusiaan bidang penanggulangan bencana. Begitu juga penyelenggaranya digilir secara bergantian sesuai kesepakatan.*[eBas]

  

Kamis, 17 November 2016

PELATIHAN JITU PASNA UNTUK AKADEMISI

Dalam rangka menyediakan sumber daya manusia yang mampu melaksanakan pengkajian kebutuhan pasca bencana, lembaga kajian PUSPPITA  mengadakan pelatihan Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (Jitu Pasna). Bertempat di Premier  Inn Hotel, Sidoarjo, pelatihan akan dilaksanakan selama dua hari,  mulai Selasa dan rabu  (15 – 16 Nopember 2016). Sebanyak 20 peserta yang hadir merupakan dosen dari beberapa perguruan tinggi yang mempunyai kepedulian terhadap kerja-kerja kemanusiaan  dan Komunitas Relawan Indonesia Surabaya.
Hendro Wardhono,  saat membacakan sambutan mengatakan, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi itu merupakan salah satu tahapan penting pasca bencana. Kompleksitas dari akibat yang ditimbulkan pasca bencana tentunya membutuhkan data dan perencanaan yang matang dalam penanggulangannya. Hal tersebut dimaksudkan agar penanganan yang dilakukan pasca bencana dapat terlaksana secara baik, terarah dan terpadu. Dengan kata lain, jitu pasna itu bisa dimaknai sebagai upaya menghitung kerugian, kerusakan dan risiko bencana sejak para, tanggap dan pasca bencana. “Harapannya melalui pelatihan ini, para peserta dapat melakukan analisis dampak dan perkiraan kebutuhan yang selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan rehabilitasi dan rekontruksi. Seperti mengidentifikasi dan menghitung kerusakan dan kerugian baik fisik maupun non fisik yang dialami oleh ekonomi, sosial dan lain sebagainya,” katanya.
Nellis, Direktur Pemulihan dan Kerusakan, Deputi Rehab Rekon, BNPB, menjelaskan, rehabilitasi pasca bencana dapat diartikan memulihkan ketika terjadi bencana. Dalam masa rehabilitasi, perencanaan dilakukan dalam waktu singkat tetapi tidak sampai lewat satu tahun anggaran.  Sedangkan rekonstruksi pasca bencana lebih bersifat pembangunan dan dilakukan dalam waktu yang panjang. Dikatakan pula bahwa penyusunan jitu pasna itu harus melibatkan banyak SKPD, termasuk bappeda dalam menyusun rencana aksi dan renkon, setelah nanti data tergali untuk menghitung kerusakan, kerugian dan kebutuhan yang harus disediakan oleh pemerintah dalam rangka menolong korban bencana.  Disamping itu dokumen jitu pasna oleh BNPB dijadikan acuan untuk pemberian bantuan kepada BPBD yang sedang menanggulangi bencana di wilayah kerjanya. “Rehabilitasi itu, begitu terjadi bencana, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau ada yang mengungsi apa kebutuhannya, kalau ada kerusakan apa kebutuhannya. Sedangkan rekonstruksi pasca bencana lebih bersifat pembangunan dan dilakukan dalam waktu yang panjang tetapi tetap ada batas waktunya. Sepanjang-panjangnya sampai tiga tahun. Kalau dananya terbatas ya diberi tahapan. Dananya bisa dari APBD Daerah, APBD Provinsi dan pusat,” terang Nellis. Perempuan paruh baya  ini menambahkan, untuk mendapatkan dana, dibutuhkan suatu proposal berdasarkan hasil kajian yang telah disusun dan di kirimkan ke BNPB untuk dipelajari. Harapannya, setelah mengikuti pelatihan ini, peserta, sebagai akademisi, dapat memberikan kontribusi kepada kabupaten dalam bentuk rekomendasi jitu pasna untuk menyusun proposal. “Outputnya, peserta disini akan membuat suatu rekomendasi atau punya bekal didalam menyusun proposal. Tidak hanya untuk ini saja, tetapi kedepan kalau ada bencana lagi sudah siap cara menghitung. Sehingga BPBD sebagai leading sektor bencana sudah tinggal melalui SK Bupati, merapatkan, kemudian bergerak dan menghasilkan outputnya dokumen. Dokumen itu bisa untuk usulan ke provinsi maupun ke pusat. Intinya giat jitu pasna itu untuk membantu pemda untuk memprediksi kebutuhan rehab rekon PB (kerusakan dan kerugian akibat bencana) agar mendapatkan bantuan dana/menyusun recana anggaran yang diperlukan.  Syamsul maarif, penggagas lahirnya lembaga PUSPPITA, mengatakan bahwa, Bencana tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam saja, tapi faktor alam pun kini sering berpengaruh terhadap terjadinya bencana. BPBD setempat tidaklah mungkin bisa menangani sendiri. Perlu keterlibatan pusat dan mengajak SKPD lain bekerja sama untuk penanggulangan bencana. “Bencana alam kini semakin sering muncul dimana-mana dengan menimbulkan kerugian dan kerusakan yang banyak, bahkan menimbulkan kematian. Sehingga perlu dikaji secara akademis untuk melahirkan teori baru sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan dalam penanggulangan bencaana” Katanya. [eBas]