Minggu, 22 September 2019

GERAKAN PEDULI MANGROVE UNTUK KEHIDUPAN


          Sabtu wage (21/9) sore, berbagai komunitas pecinta alam dan pegiat pelestarian alam, berkumpul di Hutan Mangrove Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Satu persatu, dengan tertib mereka melakukan registrasi ulang untuk mendapatkan nomor tenda yang dipersiapkan oleh panitia.

Mereka datang dalam rangka turut memeriahkan kegiatan “Eiger Mangrove Adoption 2019” bekerjasama dengan mapala Palasdhika, STIE Mahardhika, Surabaya, dalam rangka penanaman bibit mangrove sebagai langkah partisipasi dalam pelestarian mangrove di pantai timur Surabaya.

Konon, kegiatan ini merupakan yang pertama di Surabaya, dalam rangka ‘mengingatkan’ kepada komunitas pecinta alam agar tidak bosan untuk belajar cinta lingkungan dan upaya pelestarian daerah pesisir dalam arti sebenarnya. Karena, sesungguhnyalah, upaya pelestarian alam itu tidak bisa lepas dari keterlibatan komunitas. Untuk itulah sudah waktunya pemerintah lebih erat lagi merangkul para relawan lingkungan.

Ini penting, karena pantai yang ditumbuhi oleh mangrove dapat menjaga ekosistem, mencegah abrasi, memecah gelombang serta menahan kecepatan tsunami. Disisi lain, hutan mangrove bisa menjadi tempat perkembang biakan berbagai jenis unggas. Khususnya burung dan hewan pantai lainnya.

Kegiatan yang dihelat di alam terbuka di kawasan hutan mangrove ini juga diisi dengan acara “Sharing Session” tentang darurat mangrove yang dipandu oleh Lulut Sri Yuliani, pakar mangrove yang pernah memperoleh hadiah kalpataru tingkat Kota, tingkat Provinsi dan tingkat Nasional. Seluruh peserta khidmat mendengarkan tausyiah seputar mangrove.

Ditangan alumni Unesa ini, mangrove yang banyak jenisnya itu dibudidayakan menjadi bahan olahan yang bernilai ekonomi. seperti sirup, tepung, kopi, minyak urut, bahan pewarna untuk membatik dan lainnya. Termasuk sedang diteliti untuk bahan obat pencegah stunting.

Dikatakan darurat mangrove, karena saat ini banyak hutan mangrove yang meranggas menuju kematiannya dikarenakan musim kering, dan banyaknya sampah plastik yang menutupi tunas mangrove sehingga mengganggu pertumbuhan mangrove sekaligus kehidupan flora fauna di sekitarnya. Belum lagi ulah manusia mengalih fungsikan pasisir pantai untuk kepentingannya.

“Ingat ya, menanam pohon bakau itu bukan untuk pamer. Tapi harus tulus dan dijaga sampai benar-benar tumbuh subur,” Kata Lulut bersemangat. Disamping itu, dalam menanam mangrove juga harus memperhatikan kondisi pesisir. Apakah termasuk pantai berlumpur, berpasir atau pantai karang.

Dengan mengetahui kondisi pesisir bisa disesuaikan dengan jenis bibit mangrove yang cocok. Sehingga pertumbuhannya bisa maksimal. Sementara Cak Roy, dari komunitas relawan Surabaya, mengatakan bahwa menanam bibit mangrove harus diberi pemberat di bagian akarnya atau batangnya diberi tegakan bambu., agar tidak hanyut oleh gelombang pasang surut.

Diakhir paparan tentang darurat mangrove, muncul keinginan mendirikan ‘Sekolah Mangrove’ kerjasama antara pihak eiger dengan pakar mangrove. Hal ini dikarenakan masih minimnya edukasi tentang tanaman mangrove yang banyak jenisnya sekaligus menyimpan manfaat yang tidak sedikit untuk kehidupan manusia.

Kegiatan yang juga diramaikan dengan aneka kuis dan musik akustik ini, tidak terlepas dari partisipasi pihak eiger yang peduli terhadap upaya peningkatan kapasitas berbagai komunitas pegiat alam.

Sungguh, ucapan terimakasih patutlah disampaikan kepada eiger atas segala fasilitas yang diberikan demi suksesnya acara penanaman bibit mangrove untuk membangun habitat flora dan fauna pantai yang rusak akibat kekeringan. Harapannya, pihak eiger bisa melestarikan kegiatan semacam ini sebagai tempat berkumpulnya aneka komunitas untuk saling bersilaturahmi, dan berkoordinasi, Sudah waktunya meninggalkan ritual penanaman mangrove sekedar acara seremonial untuk kepentingan pencitraan semata. Salut untuk manajemen eiger, semoga barokah.

Rembang malam pun menjelang, satu satu peserta memasuki tenda yang telah disiapkan sebagai tempat melepas penat seharian, tidur sejenak untuk menghimpun tenaga. Karena esok ritual penanaman bibit mangrove dimulai. Ingat, tindak lanjut dari penanaman adalah pemeliharaan, karena disitulah titik awal awal hidup matinya pohon mangrove. Salam Lestari, Salam Literasi, tetap menginspirasi. [eBas/08123161763].







































Minggu, 15 September 2019

SRPB JATIM GELAR WORKSHOP JURNALISTIK


Sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM) sebagai wadah berkumpulnya organisasi relawan di jawa timur, di bulan September 2019 ini mempunyai gawe special, yang bernama Workshop Jurnalistik Kebencanaan.

Dikatakan special karena kegiatan ini hanya dikhususkan untuk relawan yang sungguh-sungguh berminat dalam bidang jurnalistik. Disamping itu, Workshop ini merupakan kegiatan pertama yang digelar SRPB JATIM dengan model berbayar (tidak seperti Arisan Ilmu Nol Rupiah sebagai ikon SRPB JATIM). Masing-masing peserta wajib berdonasi Rp. 135.000,- dengan mendapat fasilitas Kaos mbois, Piagam untuk kelengkapan seritikasi, dan Konsumsi yang memenuhi standar gizi nasional.

Konon, kegiatan special ini lahir dari hasil ngobrol tipis-tipis di kartor sekretariat SRPB JATIM, lantai dua, BPBD Provinsi Jatim, sambil menikmati makanan yang dibawa sendiri oleh anggota sebagai simbol kerukunan dan kebersamaan. Semoga saja kedepan bisa muncul kegiatan special lainnya dalam semangat meningkatkan kapasitas relawan.

Kegiatan yang special ini digelar di ruang Siaga BPBD Provinsi Jawa timur. Ruangannya representatif untuk rapat dengan fasilitas sound system, LCD, dan AC yang cukup dingin melenakan mata, alias ngantuk.

Rizki Danianto, praktisi jurnalistik, berkenan berbagi ilmu untuk membekali relawan saat meliput peristiwa kebencanaan. Baik saat pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Harapannya, relawan bisa menyampaikan berita dengan benar yang didukung data, fakta berdasar 5 W 1 H, dan foto-foto yang ‘beretika’ agar tidak meresahkan berbagai pihak.

Kata Yossi Merapi, praktisi media TV, menyebarkan berita tidak boleh berubah menjadi bencana jurnalistik. Karena, berita yang disampaikan itu bisa berpengaruh terhadap psikologis masyarakat, khususnya yang menjadi korban. Hal ini sejalan dengan isi pasal 5 kode etik jurnalsitik wartawan Indonesia “wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dan ketepatan, serta tidak mencampurkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya” (Budayana, 2012:47)

Untuk angkatan pertama ini, pesertanya dibatasi untuk 15 orang saja yang datang dari berbagai organisasi. Dengan jumlah peserta yang terbatas ini dimaksudkan bisa lebih efektif dalam kegiatan belajar mengajar. Begitu juga rencana untuk kegiatan selanjutnya. Karena, konon kata panitia, animo relawan untuk ikut kegiatan berbayar ini banyak sekali, di luar perkiraan.

Mungkin semua ini karena materinya yang menarik, dan disampaikan langsung oleh ahlinya. Dalam workshop ini materi yang disajikan meliputi, cara mencari berita, cara menulis berita, lima langkah menulis berita, teknik wawancara, bahasa jurnalistik, fotografi, dan jurnalistik kebencanaan. Semuanya disampaikan dengan jelas dan mudah dipahami.

Peserta sangat antusias mengikuti sajian materi. Mereka mencatat penjelasan nara sumber untuk kemudian melakukan praktek wawancara sekaligus menulis berita dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Kiranya perlu diketahui bahwa berita merupakan laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memiliki nilai yang penting dan menarik bagi sebagian khalayak, bersifat baru dan dipublikasikan secara luas melalui media massa. Dengan demikian, Peristiwa atau pendapat tidak akan menjadi berita, bila tidak dipublikasikan media massa secara periodik. (JB. Wahyudi dalam Djuroto,2004:47). 
Dengan demikian tulisan yang akan dibuat nanti haruslah mudah dimengerti oleh pembacanya.

Tentu, seusai mengikuti workshop ini peserta harus terus berlatih dan berlatih terus dengan tekun dan sabar, untuk memperkaya perbendaharaan kata dan mampu membuat narasi serta mengembangkan berita menjadi sebuah tulisan yang enak dibaca (seperti, in deep news, feature, maupun opini yang menggugah nurani pembacanya). Paling tidak, kedepan peserta dapat memanfaatkan keberadaan web.srpb dengan berbagai berita terkait peristiwa kebencanaan di daerahnya. Salam Tangguh, Salam literasi, terus menginspirasi. [eBas/minggu pon-150919]


  

Senin, 02 September 2019

RELAWAN PERLU KOMUNIKASI DAN KOORDINASI


          “Pengalaman kita dulu waktu gempa Padang, relawan sangat dimudahkan. Apalagi saat selesai tugas, relawan mendapat surat pengantar dari Dan Ops Bandara Tabing menuju Halim. Sehingga BNPB mempermudah kita untuk balik kanan ke daerah asal kita. Namun sekarang sepertinya relawan dipersulit,” Komentar seorang relawan dalam postingan di grup WhatsaPP.

Komentar lain menyebutkan bahwa, kami sebagai relawan tidak minta muluk-muluk dari pemerintah. Kami hanya minta dipermudah untuk fasilitasi relawan dalam hal transportasi menuju daerah bencana dan pulangnya. Masalah operasional relawan di lokasi itu masing-masing relawan sudah siap sesuai dengan kapasitas jam terbang kami.

Grundelan bernada menuntut ini sering kali hanya berputar-putar ‘di belakang’ tanpa pernah dimunculkan ke permukaan saat ada pertemuan resmi yang digelar pemerintah dan dihadiri relawan. Sehingga pesan yang berupa harapan dari relawan tidak pernah ditanggapi.

Hal ini karena pemerintah memang tidak pernah mendengar pesan itu secara langsung (dan terbuka). Artinya selama ini belum terbangun komunikasi antara relawan dengan pemerintah. Mungkin termasuk dengan unsur pentahelix lainnya, seperti akademisi, dunia usaha, dan media.

Padahal, dengan berkomunikasi kita dapat berinteraksi, saling bertukar pikiran, ide, atau gagasan dengan manusia lainnya dalam rangka membentuk kesepahaman. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh pakar komunikasi, Atep Aditya Barata dalam pakarkomunikasi.com (2017),  yang mendefinisikan komunikasi sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan, berita, atau informasi yang terjadi diantara dua orang atau lebih. Proses ini dilakukan secara efektif agar pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh penerimanya.

Artinya, masih kata Atep,  Komunikasi melibatkan dua atau lebih manusia, sebab ketika berkomunikasi terjadi proses pengiriman dan penerimaan pesan dari komunikator kepada komunikan. Komunikator dapat menyampaikan pesan kepada komunikan melalui berbagai media, bergantung tujuan serta target yang ditentukan.

Setelah pesan tersampaikan, feedback dari komunikan yang menerima pesan diperlukan. Sebab melalui feedback yang diberikan komunikan, komunikator dapat mengetahui apakan komunikasi berjalan dengan efekti atau tidak.

Sementara,  Agus M. Hardjana, seorang pakar komunikasi lain merumuskan bahwa komunikais adalah kegiatan disampaikannya suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain melalui media tertentu. Setelah pesan tersebut diterima dan dipahami sejauh kemampuannya, penerima pesan kemudian menyampaikan tanggapan  melalui media tertentu kepada penyampai pesan.

Menurut Mendy Aisha, tujuan dari komunikasi adalah terwujudnya perubahan, pembentukan sifat, opini atau pendapat, pandangan, dan perilaku masyarakat sesuai dengan tujuan penyampaian pesan yang dilakukan oleh komunikator.

Sementara itu, relawan pun harus melakukan koordinasi agar tidak muncul kesalahpahaman diantara mereka. Menurut James G March dan Herben A Simon, dalam Utsman Ali (2015), Pengertian Koordinasi adalah suatu proses untuk mencapai kesatuan tindakan di antara kegiatan yang saling bergantungan.

Masih menurut lamannya pakarkomunikasi.com, Jika dilihat dari sudut normatifnya, maka koordianasi diartikan sebagai kewenangan untuk menggerakkan, menyelaraskan, menyerasikan dan menyeimbangkan kegiatan-kegiatan yang spesifik atau berbeda, agar nantinya semua terarah pada pencapaian tujuan tertentu pada waktu yang telah ditetapkan. Dari sudut fungsionalnya, koordinasi dilakukan guna mengurangi dampak negatif spesialisasi dan mengefektifkan pembagian kerja.

Tujuan koordinasi diantaranya untuk menciptakan dan memelihara efektivitas organisasi setinggi mungkin melalui sinkronisasi, penyerasian, kebersamaan dan keseimbangan antara berbagai kegiatan dependen suatu organisasi. Serta untuk mencegah konflik dan menciptakan efisiensi setinggi-tingginya di setiap kegiatan interdependen yang berbeda-beda melalui kesepakatan yang mengikat semua pihak yang bersangkutan.

Dengan memperhatikan beberapa teori yang disampaikan oleh pakarnya, maka ada baiknya jika para pegiat kebencanaan, yang saat ini disebuat pentahelix, mulai meningkatkan komunikasi dan koordinasi diantara mereka dalam sebuah pertemuan yang terjadwal secara berkala. Baik yang didanai oleh anggaran BNPB/BPBD maupun dana ‘bantingan’ diantara mereka sendiri, dalam rangka menggagas program pengurangan risiko bencana maupun penanggulangan bencana (pra bencana, tanggap darurat bencana, dan pasca bencana), yang bisa menjadi bahan masukan BPBD/BNPB untuk penyusunan kebijakan. Sayangnya, budaya ‘bantingan’  kurang diminati.

Dengan seringnya berkomunikasi dan berkoordinasi (sambil ngopi, misalnya), maka “suara sumbang” yang sering muncul bisa dieliminasi dan dicarikan solusi, misalnya yang terkait dengan dukungan transportasi yang sering dikeluhkan dan sangat dibutuhkan relawan yang ingin turut beroperasi membantu penanggulangan bencana di lokasi. [eBas/Selasa legi-3/9]