Sabtu, 31 Desember 2022

SEKOLAH AMAN BENCANA ITU INDAH DI KONSEP

    Baru-baru ini BNPB merekrut fasilitator SPAB tingkat nasional yang handal dari berbagai daerah di indonesia. Dari sejumlah pendaftar, mereka yang lolos seleksi adalah orang-orang pilihan yang sangat mumpuni dalam menjalankan tugasnya.

    Tentu, ditangan merekalah program SPAB diharapkan bisa seindah konsepnya. Mengingat konsep SPAB itu telah digodog oleh ahlinya, yang sudah malang melintang menekuni masalah kebencanaan di semua fase penanggulangan bencana.

    Ditangan merekalah nantinya konsep SPAB yang tertuang dalam tiga modul bisa dikomunikasikan dengan baik dalam rangka membangun ketangguhan menghadapi bencana melalui sektor pendidikan.

    Ketiga modul itu adalah, Fasilitas Sekolah Aman, Manajemen Bencana di Sekolah, dan Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana. Sungguh, sejak diterbitkan, ke tiga modul ini belum banyak dikenal oleh pihak sekolah. Entah mengapa.

    Contohnya, dalam buku modul dua, tentang Manajemen Bencana di Sekolah. Disana disebutkan tentang sasaran sekolah aman, diantaranya adalah, melindungi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan dari risiko bencana, dan memperkuat ketangguhan warga terhadap bencana melalui pendidikan.

    Disana juga disebutkan bahwa, Sekolah harus menyiapkan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana, serta sumber daya finansial dalam pengelolaan untuk menjamin kesiapsiagaan bencana di sekolah. Mobilisasi sumber daya didasarkan pada kemampuan sekolah dan pemangku kepentingan sekolah. Mobilisasi ini juga terbuka bagi peluang partisipasi dari para pemangku kepentingan lainnya

    Semengara itu Komite sekolah dan orangtua peserta didik sebagai anggota masyarakat berkenaan dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana mempunyai hak sebagai berikut: a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana; b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana; c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana; d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial; e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur terhadap pelaksanaan penanggulangan bencana.

    Selain memiliki hak, komite sekolah maupun orangtua peserta didik juga memiliki kewajiban yang berkenaan dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana, yaitu: a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup; b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.

    Sayangnya, dalam prakteknya, masih jauh panggang dari api. Hampir semua insan pendidikan masih gagap, gugup, galau, kagok, termehek-mehek, dan keponthal ponthal untuk mencoba menerapkan konsep SPAB di sekolahnya. Semua itu konon karena sekolah sedang menungguh arahan dan petunjuk dari atas untuk melaksanakan SPAB.

    Ya, konon pendidik dan tenaga kependidikan selalu siap melaksanakan, namun harus ada arahan dan petunjuk. Tanpa itu mereka takut disalahkan, dan bisa berimbas ke nasib kariernya. Makanya kebanyakan dari mereka tidak berani melangkah, hanya menunggu perintah saja.

    Semoga saja tahun 2023 nanti, keberadaan fasilitator SPAB yang baru lolos seleksi dan telah menjalani diklat di Jakarta dengan uang rakyat ini bisa memecah kebuntuan komunikasi dalam melaksanakan program SPAB yang konsepnya sangat indah untuk membangun budaya tangguh bencana.

     Tentunya, mereka akan dapat memainkan perannya dengan sempurna, manakala fasilitas dan dukungan dananya memadai. Karena mereka tidak mungkin berjalan sendiri. Mereka juga manusia yang memiliki berbagai kebutuhan yang harus diselesaikan.

     Tanpa itu, maka nasib fasilitator yang telah lolos mengikuti seleksi, juga akan sama dengan nasib mereka yang telah berhasil memegang sertifikat kecakapan di bidang tertentu yang dikeluarkan oleh LSP-PB beberapa tahun yang lalu.

     Artinya, jika fasilitator SPAB yang baru terpilih ini tidak dibina  dan dibiarkan mencari proyek sendiri, tentu keberadaannya akan layu sebelum berkembang. Karena mereka mengikuti seleksi menjadi fasilitator SPAB tentunya juga punya motivasi tertentu.

     Tidak mungkinlah jika hanya sekedar untuk kerja-kerja gratisan. Itu jika mereka mau menjawab jujur. Mari kita tunggu aksinya di tahun 2023, yang dikenal dengan tahun politik yang penuh intrik. [eBas/SabtuLegi-31122022].

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 30 Desember 2022

YANG SELALU DISALAHKAN

Sekarang ini, yang namanya bencana banjir dan longsor, semakin akrab di telinga masyarakat. Hal ini karena semakin seringnya ke dua jenis bencana itu datang menyapa warga dengan segala risiko yang ditimbulkannya, termasuk kematian puluhan warga yang tidak terselamatkan.

Biasanya, disela kesibukan relawan melakukan aksinya menolong korban bencana, muncul dugaan bahwa penyebab banjir adalah hujan yang turun terlalu deras sehingga sungai tidak berdaya menampung air sehingga melimpas kemana-mana.

Sementara, kalau terjadi bencana gempa dan longsor, maka yang disalahkan adalah manusianya, karena dianggap semakin tidak bersahabat dengan lingkungan alam. Atas nama pembangunan, manusia melakukan eksploitasi besar-besaran dimana-mana tanpa mengindahkan aturan tata guna lahan.

Ada juga yang menyalahkan manusianya yang berdomisili di daerah rawan bencana. Mereka tahu jika daerah tempat tinggalnya ada potensi bencana, namun mereka tetap nekat dan beranak pinak di situ, membangun peradabannya sendiri yang turun temurun.

Ya, konon, awalnya mereka tinggal di daerah rawan bencana karena keterpaksaan. Tidak mampu membeli rumah di daerah yang “aman” dan tentunya berharga mahal. Mereka juga tidak memiliki pekerjaan yang tetap, sehingga harus memanfaatkan alam untuk mengais rejeki.

Saking asiknya “memperkosa” alam dengan bertubi-tubi tanpa upaya restorasi yang berimbang, maka ancaman banjir dan longsor yang sangat merugikan itu, tinggal menunggu waktu.

Sementara, berbagai pihak telah memberikan informasi dan peringatan dini akan adanya potensi bencana. Namun mereka diam saja, tidak punya daya untuk merelokasi diri ke tempat yang lebih aman. Apalagi mereka juga telah merasa “menyatu” dengan lingkungan alam setempat. Maka BNPB pun menawarkan konsep “Living Harmony with Disaster”.

Ketika banyak bangunan yang rontok karena digoyang gempa, para orang pun kompak menyalahkan bangunannya yang tidak tahan gempa. Menyalahkan mengapa membangun di lokasi yang ada potensi bencananya.

Lho, kok enak banget menyalahkan, tanpa mau memahami sejarah dibangunnya bangunan di lokasi itu. Termasuk adanya “keterpaksaan” membangun dibawah standar minimal karena dananya banyak menguap kemana-mana.

Mengapa tidak menyalahkan lemahnya penegakan regulasi tata guna lahan ?. ya jelas tidak mungkin berana. Karena banyaknya oknum dan kepentingan yang bermain disitu. Tidak tertutup kemungkinan si penegak regulasinya sendiri ikut bermain. Paling tidak ikut “kecipratan” dari permainan oknum di situ.

Sementara para akademisi juga ikut-ikutan saling menyalahkan terkait dengan terjadinya bencana gempa bumi. Contoh nyata adalah gempa Cianjur. Satu pihak bilang gempa disebabkan oleh sesar cimandiri. Sementara yang lain mengatakan bukan sesar cimandiri. Kemudian entah begaimana tetiba ditemukan sesar baru penyebab gempa Cianjur. Namanya sesar cugenang. Apakah ini sebagai bentuk kompromi antar pihak ?.

Yang jelas, sesar Cugenang atau Patahan Cugenang itu menjadi penyebab gempa Cianjur dengan kekuatan 5,6 magnitudo. “Ini merupakan patahan aktif yang baru teridentifikasi,” kata kepala BMKG. Sesar Cugenang tidak termasuk ke dalam daftar 295 sesar aktif pemantik gempa yang selama ini sudah tercatat. Belum terdaftar berarti belum diteliti (diselidiki), namun langsung dicatat karena telah menimbulkan kontroversi antar para ahli. Ehm…

Ketika tulisan ini disusun di hari terakhir bulan Desember 2022, di beberapa daerah, banjir masih tetap melanda dengan segala dampaknya. Itu artinya bencana hidrometeorologi masih belum berakhir. Masih setia menebar derita manusia,

Program destana, spab dan sejenisnya yang dibanggakan berbagai pihak, dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana, kiranya sedang diuji kebermanfaatannya, dan tampaknya msih kedodoran disana sini. Kiranya, siapa lagi yang patut disalahkan ?. [eBas/SabtuLegi-31122022]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 19 Desember 2022

KOPI DARAT RELAWAN SURABAYA

     “Terimakasih banyak untuk semua rekan-rekan yang telah hadir dalam kegiatan tadi. Semoga bermanfaat buat kita semua. Kami mewakili panitia mohon maaf atas segala kekurangan dalam pelaksanaan kegiatan tadi,” Kata Alfin, Ketua KTGD, sekaligus panitia acara Pelatihan PPGD Untuk Masyarakat Awam.

    Untuk dokumentasi kegiatan, masih kata Alfin di grup WhatsApp,  masih saya upload ke google Drive, kalau sudah selesai nanti saya kirim filenya, sekaligus E-piagam nya.

    Sementara, beberapa peserta juga menyampaikan rasa terima kasih sudah di beri kesempatan untuk mengikuti pelatihan ini yang sangat menginspirasi, menambah kawan dan wawasan.

    Dengan kata lain, kegiatan “Kopi Darat Relawan” yang digelar hari minggu pon (17/12/2022), dengan nara sumber dokter Airi Mutiar dari Unair ini, sangat menyenangkan bagi peserta. Bahkan ada yang berharap diagendakan kembali untuk pendalaman.

    Ya begitulah, kegiatan “Kopi Darat Relawan ” bergerak kembali. Setelah digelar di Joyoboyo, beberapa bulan yang lalu, kini kembali ke Basecamp nya Jamaah LC, di daerah Keputih, Surabaya.

    Sebenarnya, “Kopi Darat Relawan” ini digagas untuk mendorong terbentuknya Paguyuban Relawan Penanggulangan Bencana Kota Surabaya, atau nama lain yang disepakati saat rapat bersama yang direncanakan bulan November 2022 di BPBD Kota Surabaya, seperti yang dikatakan sendiri oleh Ridwan, seorang pejabat BPBD Kota Surabaya.

    Namun, oleh karena sesuatu dan lain hal, maka rencana indah itu tinggal rencana yang indah untuk dikenang, tentang sebuah wadah relawan untuk berkoordinasi, berkomunikasi, bersilaturahmi, saling bertukar informasi.

    Tak terasa, acara “kopi Darat Relawan” sudah berlangsung tiga kali dengan membahas tema yang berbeda. Sementara, kemeriahan khas relawan itu tetap sama. Termasuk acara wajib, saling berswafoto dan foto bersama, serta bertukar stiker.

    Sampai saat ini penyelenggaraan ‘Kopi Darat Relawan” masih dengan konsep dari, oleh dan untuk relawan. Semuanya dikerjakan bersama-sama dan didanai secara patungan. Termasuk pengadaan konsumsi ala kadarnya.

    Sayangnya masih ada peserta yang belum paham dengan konsep ini, sehinga muncul pertanyaan lucu, yang membuat sakit migren mendadak. “Peserta diberi makan tidak ya?”. Sungguh ini pertanyaan jujur, tanda si penanya belum pernah ikut kumpul bareng relawan penanggulangan bencana yang mandiri segalanya.

    Diakhir pertemuan, peserta dibagi dua, untuk mempraktekkan teknik pernapasan (pijat jantung) dan pembidaian, dibimbing oleh timnya dokter Airi yang merupakan mahasiswa program pasca sarjana kedokteran dengan spesialisasi anestesi.

    Sebagai tindak lanjut “Kopi Darat Relawan”, Bung Panda, dari Tim Ambulance Sidoarjo, berkenan menjadi nara sumber untuk berbicara tentang seputar peraturan penggunaan ambulance dan escorting. Tinggal menunggu kesepakatan waktu dan tempat pelaksanaannya dimana. [eBas]

 

 

 

  

 

 

Minggu, 18 Desember 2022

LAUNCHING PORTAL SATA JATIM DI TAHUN POLITIK

Kemarin saya dijapri Sekjen F-PRB Jatim, untuk mengikuti Sosialisasi Satu Data Penanggulangan Bencana  dan Bimbingan Teknis Input Data Jawa Timur, kamis (15/12/2022). kegiatan ini terselenggara atas kerjasama antara BPBD Provinsi Jawa Timur dengan Siap Siaga.

Saya sangat senang dengan perintah ini, karena akan tahu bagaimana data yang akan disajikan diolah sedemikian rupa sebelum dijadikan konsumsi khalayak ramai (di publikasi lewat media). saya juga ingin tahu siapa sebenarnya yang berwenang mempublikasikan peristiwa bencana kepada khalayak, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Seperti diawal bencana gempa bumi Cianjur, terjadi perbedaan jumlah korban meninggal dunia antara BNPB dan Gubernur Jabar. Begitu juga dengan penyebab gempa. Ada yang bilang karena sesar Cimandiri, namun ada yang berpendapat lain.

Untuk kemudian muncul pernyataan bahwa gempa Cianjur di sebabkan oleh sesar lain yang baru ditemukan. Namanya sesar Cugenang. Padahal, biasanya cara menemukan sesar itu lewat sebuah penelitian panjang, yang makan waktu, tenaga dan biaya. Lha sesar ini ditemukan setelah terjadi beda pendapat antar para akademisi lain kampus. Hehehe…

Saking senangnya mendapat kesempatan ikut kegiatan di Hotel Neo, Waru, Sidoarjo, saya sudah menyiapkan beberapa pertanyaan sebagai pemantik diskusi (sekaligus biar dianggap peserta yang cerdas dan kritis).

Diantaranya, Sata PB Jatim itu siapa penanggungjawabnya, siapa yang menjadi tukang input data yang dilakukan secara berkala, dan siapa yang berhak mempublis data agar diketahui masyarakat. Pertanyaan lain yang saya anggap menarik adalah, data apa saja yang bisa dimasukkan ke portal ini, dan ketika terjadi bencana, apakah Tim Sata Jatim juga menyampaikan informasi perkembangan penanganan bencana, seperti halnya BNPB maupun posko induk.

Setelah mendengarkan sajian materi dari para nara sumber, ternyata dugaan saya keliru pol-polan. Ya, Portal Sata Jatim itu dibuat untuk “mengkoleksi” data dari semua organisasi perangkat daerah (OPD) yang ada di Jawa Timur.  Mulai dari tingkat provinsi sampai sampai ke bawah.

Semua OPD yang akan memasukkan datanya, disebut produsen data, sedangkan Dinas Kominfo menjadi walidata, dengan tugas, diantaranya melaksanakan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan diseminasi data dan metadata sektoral, Mengelola portal Satu Data, Melakukan pendampingan dan konsultasi statistik kepada produsen data, Memberikan rekomendasi statistik kepada produsen data, Melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan walidata Kabupaten/Kota, dan melakukan koordinasi dengan pembina data.

Sementara itu, syarat untuk bisa publish di opendata.jatimprov.go.id, adalah data dengan status terbuka, Data sudah dilengkai dengan deskripsi data, Data sudah diverifikasi walidata, Walidata memeriksa tabel dan grafik di open data, Walidata siap mempublish data.

Dengan persyaratan seperti di atas, dapat dipastikan akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi produsen data karena berbagai hal. Mungkin, untuk mengatasinya perlu ada diklat tersendiri untuk meningkatkan kapasitas petugas data, dan itu jelas perlu anggaran yang tidak sedikit.

Apalagi, sebelum data layak publish di Sata Jatim, harus dikoordinasikan dulu dengan walidata Kabupaten/Kota, dan pembina data. Jelas ini juga akan memakan waktu, karena tidak mungkin koordinasinya bisa cepat. Harus dibaca dulu, dipahami dulu, kira-kira menguntungkan apa akan mengganggu kepentingan. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah politik, jelas data yang akan tampil bisa-bisa sudah “out of date”.

Ya, saya tidak yakin jika Sata Jatim ini nantinya bisa membuat laporan dalam berbagai bentuk secara dinamis terkait dengan peristiwa tertentu yang perkembangannya cepat berubah. Semisal bencana gempa bumi Cianjur. Karna terlalu bangak koordinasi, konsultasi, sinkronisasi, dan analisis dari Kantor Statistik.

Belum lagi persoalan lain yang akan muncul ditengah proses input data. Misalnya, karena kesibukan OPD melaksanakan programnya untuk menjaga daya serap anggaran, sehingga abai terhadap kewajibannya melakukan input data di portal Sata Jatim.

Persoalan pun akan terus muncul secara bertubi-tubi. Jika demikian, maka keberadaan portal Sata Jatim hanyalah sekedar wadah “koleksi” berbagai data dari semua OPD (yang mau setor datanya) yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan tertentu.

Sedangkan perkembangan dan perubahan data yang dilakukan secara periodik, sangat tergantung dari masing-masing OPD, mau melakukan perbaikan data yang selalu berubah secara dinamis, atau menunggu “ditegur” oleh atasannya atas laporan walidata.

Bagaimana dengan keberadaan komunitas relawan ?. apakah boleh setor data untuk ditampilkan di portal Sata Jatim. Ya, data tentang profil kelembagaannya, keberadaannya, maupun kegiatan yang dilakukan pada fase pra bencana, tanggap bencana, dan pasca bencana.

Ya, kali ini saya salah menilai tentang kegiatan sosialisasi kali ini. Mungkin portal Sata Jatim ini sengaja dikemas untuk menyajikan informasi kepada publik secara periodik.

Sementara untuk masalah kegawatdaruratan ada bidangnya sendiri dan baru diaktivasi jika keadaan benar-benar dalam situasi darurat, seperti bencana hidrometeorologi yang akhir-akhir ini rajin menebar derita.

Semoga program Portal Sata Jatim yang dikomandani oleh Dinas kominfo bisa berjalan sesuai skenario yang telah dirancang jauh hari. Dimana rencananya akan di launching tahun 2023. Namun, bisa saja program ini “ditunda”, mengingat tahun 2023 ini bangsa Indonesia memasuki tahun politik yang penuh dengan intrik. [eBas/SeninWage-19122022]

 

 

 

 

 

 

Minggu, 04 Desember 2022

WARNA WARNI BERKOMUNITAS SESUAI KEARIFAN LOKAL

Minggu lalu saya berkesempatan ikut jagongan dengan beberapa orang aktivis kemanusiaan dari berbagai komunitas. Mereka saling tukar pengalaman tentang bagaimana suka dukanya menikmati perjalanan komunitasnya.

Ada yang keberadaannya sudah mapan, baik dari sisi program kerja, agenda kegiatan rutin, maupun dukungan anggaran yang diperoleh dari patungan (dan sumber lain yang halal dan tidak mengikat). Sehingga dapat memfasilitasi anggotanya pergi ke lokasi bencana. 

Namun ada pula yang keberadaannya tergantung kemana angin bertiup, yang penting bisa ngopi bersama, bertukar cerita apa saja sambil bergembira, sejenak melupakan peliknya kehidupan.

Banyak orang berkata bahwa Sebuah komunitas akan diam di tempat, jika didalamnya tidak ada orang yang menjadi penggerak roda komunitas agar program yang telah dicanangkan berjalan menuju tujuannya, sekalipun geraknya lamban.

Memang banyak orang yang memiliki semangat berkomunitasi, tetapi hanya di awal saja untuk kemudian perlahan-lahan undur diri karena dilanda kejenuhan dan merasa keinginannya tidak tergapai.

Disinilah perlu adanya kreatifitas dari semua orang yang ada di dalam komunitas agar tidak muncul rasa jenuh. Paling tidak masing-masing anggota diberi kesempatan mengusulkan kegiatan kebersamaan untuk meningkatkan kapasitas terkait dengan bidang yang digeluti. Namun tidak menutup kemungkinan bidang lain juga bisa dibahas disini sesuai kesepakatan bersama.

Perlu juga disadari bahwa kemungkinan anggota bersikap pasif itu karena sudah terlalu sibuk di sana dan di situ. Sehingga keterlibatannya di komunitas hanya sebagai anggota pasif yang hanya menunggu kegiatan. Jika kegiatannya menurutnya menguntungkan pasti akan ikut. Namun jika dianggap kurang menyenangkan, dia akan menghindar dengan berbagai alasan.

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa komunitas adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama. Mereka, secara terjadwal saling interaksi dan berkomunikasi agar semua tujuan yang tertuang dalam program bisa berjalan.

Bagaimana menjaga keutuhan komunitas agar tidak layu sebelum berkembang ?. inilah tugas dan tanggungjawab bersama membangun ketangguhan komunitas dengan segala kiprah yang berguna bagi anggota maupun penerima manfaat.

Sehingga diperlukan adanya pengurus yang aktif membangun komunikasi dan memotivasi anggotanya. Masalahnya kemudian, apakah anggotanya mau dimotivasi ?. karena masing-masing anggota punya motivasi sendiri ikut bergabung dalam komunitas.

Namun, perlu disadari bahwa ada beragam keunikan dari masing-masing personil. Ada pengurus yang hanya bisa bekerja di lapangan tanpa pernah memberikan gagasan dan berkomentar atas kegiatan yang akan dijalankan. Ada juga yang suka berteori menyusun konsep dan draft rencana kegiatan, tanpa pernah mau ikut turun ke lapangan dengan alasan kesehatan.

Kondisi keberagaman inilah yang harus dikelola agar komunitas bisa berkembang menebar kebermanfaatan dan anggotanya merasa terayomi, merasa di-orang-kan, saling menguatkan tanpa melemahkan.

Perlu diingat bahwa jiwa kreatif itu sudah dimiliki oleh masing-masing individu. Tinggal Kembali kepada individu masing-masing, mau mengembangkannya atau hanya memilih diam dan menunggu hasil kreatif orang lain sebagai follower.

Ini juga menjadi tugas pengurus memotivasi dan memberi kesempatan kepada anggotanya untuk mengembangkan diri. Dampaknya jelas, keberadaan komunitas akan menjadi “rumah besar” bagi anggotanya untuk berakspresi membesarkan komunitasnya dengan program-program yang bermanfaat bagi semua.

Sementara itu, yang perlu dicatat adalah, menjadi pengurus sebuah komunitas itu bukan tanpa resiko. Keliru mengambil kebijakan akan sangat merugikan keberadaan komunitas, yang ujung-ujungnya akan mendapat caci maki anggota.

Pengurus pun harus bertanggungjawab terhadap kesepakatan yang telah diambil bersama, khususnya yang berkaitan dengan dana kegiatan yang dikumpulkan bersama.

Dengan demikian, jika ada komunitas yang di awal kemunculannya tampak bergairah, untuk kemudian meredup secara perlahan lahan. Hendaknya pengurusnya harus cepat tanggap. Paling tidak segera mengadakan rapat untuk mencari akar masalah penyebab meredupnya semangat berkomunitas.

Jangan dibiarkan berlarut-larut. Kecuali jika kematian komunitas itu memang dikehendaki karena sudah tidak dianggap menguntungkan lagi,  dan sudah ada lahan baru tempat beraktivitas yang lebih menjanjikan. Jika demikian, sebaiknya disegerakan saja dikubur ramai-ramai, untuk menutup kenangan indah yang pernah dijalani bersama. [eBas/SeninKliwon-05122022]