Sambil
cangkruk, menikmati kopi ireng udekane Cak Min, penjaga warkop langganan, saya
mendengarkan celoteh mas Dalbo yang galau melihat aneka bencana silih berganti
menyapa berbagai daerah dengan membawa kerugian harta benda, bahkan nyawa.
Menurut
sebuah seminar yang baru saja diikuti mas Dalbo, nara sumbernya bilang, bahwa
aturan perundangan tentang penanggulangan bencana sudah ada, pelatihan dan
simulasi menghadapi bencana juga sudah sering diadakan, penyusunan rencana
penanggulangan bencana dan renkon serta rapat koordinasi pun juga sudah rutin
dilakukan. Termasuk pendidikan mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana,
yang saat ini sedang ngetren dibicarakan (dan dilakukan?).
Namun
nyatanya, setiap kali terjadi bencana, semuanya panik, seakan apa yang pernah dipelajari,
lupa begitu saja. Dampaknya pun (terkait jumlah korban dan kerugian) kurang
lebih masih sama dengan bencana-bencana yang sudah pernah terjadi. Ya, mungkin
bencananya sama, tapi berbeda dampak dan penanganannya di setiap daerah. Termasuk
anggaran yang harus dikeluarkan oleh Negara pun kian membengkak.
“Hal ini
mungkin karena kebijakan daerah yang tidak sama, SDM setempat yang masih perlu
ditingkatkan, atau mungkin juga anggaran daerah terkait dengan penanggulangan
bencana yang belum memadai sehingga belum setahun anggarannya sudah habis karena
banyaknya kejadian dan salah memprediksi potensi bencana,” Kata saya sambil
nyruput kopi, mencoba menetralkan kegalauan mas Dalbo.
“Iya, Cak,
tadi di seminar ada peserta yang bilang bahwa respon penanggulangan bencana itu
juga tergantung pemahaman dan kepedulian penguasa setempat. Apalagi jika
dikaitkan dengan kepentingan politik, maka bencana bisa dimanfaatkan untuk
ajang pencitraan, dan sebagai komoditas mencari simpati, bahkan bisa dieksploitasi
untuk mendatangkan donasi,” Kata mas Dalbo sambil nyakot pisang goreng
kesukaannya.
Ya, apa
yang disampaikan mas Dalbo itu benar-benar terjadi dan dilakukan secara sadar
oleh oknum, seperti yang pernah dilansir oleh Koran Kompas, yang memberitakan
bahwa bencana telah dijadikan sebagai ladang korupsi. Para pelaku tidak hanya
berani menyelewengkan dana dan proyek bantuan, tetapi juga tega memeras korban
bencana.
Gempa
Lombok, NTB, mendorong anggota DRPD memeras kepala dinas pendidikan dan
kontraktor terkait proyek rehabilitasi gedung sekolah yang terdampak gempa.
sedang pegawai kemenag memotong dana pembangunan masjid pasca gempa.
Dalam
gempa-tsunami di Palu dan Donggala, Sulteng, KPK menangkap pengusaha dan
pejabat PUPR. mereka terlibat suap proyek pembangunan sistem penyediaan
air minum untuk korban gempa-tsunami.
Sementara
dalam bencana tsunami selat Sunda, polisi menetapkan beberapa pegawai rumah
sakit yg melakukan pungli dlm proses pengurusan jenazah korban tsunami. Sangat
jelas, korupsi memperburuk dampak bencana dan memperberat derita para korban.
Praktek
tercela itu menjadi biang keladi atas kegagalan upaya meminimalkan kerusakan
dan jumlah korban. termasuk menghambat proses rehabilitasi pasca bencana (willi
toisuta/kompas,28/1).
“Lha
terus simpulan dari seminar itu apa Cak,?” Tanya saya setelah ngobrol ngalor
ngidul tentang upaya penanggulangan bencana yang konon harus dikerjakan secara
keroyokan antara BPBD/BNPB, kementerian dan Oganisasi perangkat daerah (OPD) terkait,
dunia usaha, dan masyarakat.
“Simpulannya?.
Katanya sih perlu membangun komunikasi yang harmonis antar instansi terkait agar
ada pemahaman tentang upaya penanggulangan bencana yang efektif, efisien, terpadu,
tepat, cepat dan terukur. Yang bagaimana itu, saya dan peserta seminar lainnya juga
tidak paham karena sibuk nikmati kudapan yang disediakan, hehehe…” Kata mas
Dalbo sambil mringis, hilang galaunya.
Namun,
semua peserta seminar sepakat bahwa komunikasi dan koordinasi itu harus segera
dibangun dan disepakati bersama, sehingga benar benar bisa mengurangi risiko
bencana dan tidak terulang kembali kesalahan administrasi.
Konon, salah
satu penyebab saling lempar tanggungjawab antar OPD dalam penanggulangan
bencana itu adalah adanya beda tupoksi, dan
beda prioritas pembangunan daerah. Sehingga segala masukan yang terkait dengan
potensi bencana sering kali masih diabaikan. Termasuk info hasil penelitian
para ahli/pakar kebencanaan.
Kalau
sudah begini, apa yang harus dilakukan oleh kawan-kawan yang tergabung dalam
berbagai komunitas peduli masalah kebencanaan dan pelestarian alam?.
Ya, tetap
saja berkiprah melaksanakan program sesuai visi misinya. Melakukan edukasi, mengadakan
sarasehan dan diskusi untuk menambah wawasan dan meningkatkan persaudaraan, serta
berlatih bersama meningkatkan kapasitas. Baik itu menggunakan dana bantuan
pemerintah (proyek dari BPBD/BNPB), ataupun mandiri berbasis urunan.
“Yakinlah bahwa jalan dharma itu bisa dimana
saja, berupa apa saja, dan bersama siapa saja yang penting manfaatnya berdampak
pada sesama,” Kata saya meyakinkan mas Dalbo agar tidak galau karena masalah
komunikasi dan koordinasi yang enak didiskusikan tapi sulit dibuktikan. Wallahu
a’lam bishowab.[eBas/selasa pahing-26/2]