Jumat, 30 Juni 2017

RELAWAN SIAGA MUDIK LEBARAN

<edi basuki>
Konon, bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah. Momentum tahunan yang disediakan Tuhan untuk umat berlomba-lomba menebar kebaikan. Berbagai komunitas Relawan kemanusiaan pun tidak ketinggalan. Mereka, bermodal kreativitas dan rasa kepedulian yang tinggi, mengadakan kegiatan bagi-bagi takjil dengan penuh keikhlasan, semata untuk mendapat ridho-NYA.

Jika dana dan personilnya tersedia, acara berbagi takjil dilanjutkan dengan mendirikan posko lebaran untuk membantu pemudik istirahat. sejenak melepas lelah di posko dengan fasilitas yang disediakan secara gratis. Inilah ladang sodakoh bagi relawan yang punya kesempatan.

Apa yang dilakukan oleh komunitas relawan itu murni inisiatif sendiri, murni kreatifitas sendiri dalam menggalang dana operasional untuk pengadaan logistik buber, takjil dan pelayanan posko mudik. Mereka, dengan sukarela mengorbankan waktunya untuk kerja-kerja kemanusiaan.

Dengan semangat suka cita dan gembira ‘mengamankan’ prosesi mudik agar para pemudik selamat dalam perjalanan, aman dan nyaman sampai tujuan. Disinilah tampak pinternya relawan menggali dan menggalang dana dari masyarakat. Tidak semua relawan memiliki kepintaran seperti ini.

Sebuah pembelajaran yang berproses terus sepanjang bergiat di dunia kerelawanan. Semoga Tuhan berkenan membalas kiprah relawan dengan pahala yang berlimpah. Hal ini sesuai dengan ajaran yang mengatakan bahwa sebaik-baik manusia, adalah yang bisa memberi manfaat bagi sesamanya.

Siapakah yang diuntungkan dengan kelakuan relawan siaga mudik?. Jelas pemerintah, dalam hal ini yang terkait langsung dengan kegiatan pengamanan ritual Ramadan dan mudik lebaran. Sungguh berdosa jika pemerintah mengabaikan kelakuan para relawan. Mereka dengan suka rela membantu tanpa kenal waktu.

Tak eloklah jika peran relawan hanya dipandang sebelah mata. Karena, tanpa bantuan relawan, pastilah pemerintah akan “keponthal-ponthal” melaksanakan tugasnya. Bahkan mungkin banyak kejadian yang tidak tertangani karena terbatasnya personil, dan mungkin sarpras penunjangnya.

Sungguh, dibanyak peristiwa, relawan selalu tampil duluan ketimbang pemerintah. Artinya, ada prosedur yang agak ‘mbulet’ yang harus dilalui sebelum pemerintah turun ke lapangan. Misalnya, menunggu surat tugas, menunggu dana operasional, serta perijinan lainnya.

Posko terpadu pun didirikan di beberapa titik strategis, yang dianggap bisa menimbulkan kerawanan, kemacetan dan bahkan kecelakaan yang memakan korban jiwa. Beberapa personil aparat ditemani relawan memantau keadaan agar pemudik selamat sampai tujuan, untuk memeriahkan lebaran bersama sanak keluarga dan sejawatnya.

Dengan terjalinnya koordinasi antar aparat pemerintah dan relawan dalam posko terpadu mudik lebaran, diharapkan akan terbangun komunikasi yang postif dan sinergi dalam melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Sehingga kedepan, keberadaan relawan benar-benar menjadi mitra strategis dalam kegiatan peduli sesama. Selamat berlebaran ketupat, mohon maaf lahir dan batin. Salam kemanusiaan. [eBas]


Rabu, 21 Juni 2017

RELAWAN MENATA MASA DEPAN

Sungguh, roda kehidupan itu berputar terus, mengikuti jalannya sang waktu. Begitu juga dengan umur manusia. Pelahan tapi pasti, semua akan berubah tanpa bisa diubah. Begitu pun relawan kemanusiaan yang aktivitasnya menolong sesama tanpa pamrih. Harus menyiapkan diri, menata hidup dan penghidupannya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Jika tidak ingin terlindas oleh kerasnya hidup, mau tidak mau relawan harus berbenah, suka tidak suka harus mengurangi aktivitas kemanusiaannya, fokus kepada keluarga, kepada anak-anaknya yang beranjak dewasa, semakin banyak pula keperluan hidup yang harus dipenuhi.

Ingat, jangan sampai relawan yang biasanya mengevakuasi korban bencana, dimasa tuanya yang renta ganti (minta) di evakuasi karena ketidak berdayaan diri. Audzu billah hi mindzalik, sungguh tragis jika terjadi.

Untuk itulah, tidak ada salahnya jika relawan yang sudah dewasa, yang sudah berani membangun rumah tangga, segera menyiapkan ‘ubo rampe’ kehidupan agar nantinya tidak terpuruk karena bergelut dengan aksi-aksi kemanusiaan, sehingga menjadi sasaran evakuasi relawan lain.

Caranya?. Cepat putar haluan, janganlah habiskan waktu dengan menggeluti dunia kesukarelawan, mengabaikan kualitas hidup keluarga. Sungguh kegiatan relawan itu murni mengandalkan otot dan otak tanpa imbalan yang sesuai sebagai jaminan bari tua. Semua penting dilakukan agar terhindar dari bencana keluarga.

Untuk relawan yang secara ekonomi sudah mapan, mungkin tidak masalah berkecimpung terus di dunia kerelawanan sampai tua, sampai ajal menjemput di ujung senja.

Tapi, bagi relawan yang serba pas-pasan. Ya harus segera membagi waktu untuk berbenah diri, menggeluti usaha ekonomi produktif yang bisa mensejahterakan keluarga, pun mendukung aktivitas kemanusiaan. Mungkin, dengan menggeluti sektor nonformal, bermain di ceruk ekonomi mikro.

Kata Sang motivator kehidupan, asal jeli menangkap peluang, dan diikuti tekat yang kuat untuk sukses, pasti akan memetik hasilnya. Inilah mungkin, kata sakti yang bisa dijadikan azimat bagi relawan yang sudah waktunya mundur karena umur.

Tentu, kondisi yang demikian pastilah sudah diantisipasi oleh kawan-kawan relawan. Bahkan mungkin sudah ada yang berhasil, sehingga aktivitas kerelawanannya bisa berlanjut terus, tanpa mengganggu stabilitas ekonomi rumah tangganya.

Memang, jiwa kerelawanan dan rasa peduli pada sesama itu tidak lekang oleh waktu. Diusia senja pun relawan tetaplah relawan. Namun tidaklah harus turun langsung ke medan juang mengevakuasi korban saat tanggap bencana. Cukuplah dengan memberi masukan dan saran kepada relawan muda yang akan melanjutkan kiprahnya sebagai relawan tangguh.

Relawan sepuh yang kaya pengalaman dan ilmu, hendaknya berkenan berbagi kepada yuniornya, transfer ilmu dan pengalaman sebagai bentuk kaderisasi alami.

Sebagai bentuk sedekah ilmu dan pengalaman di penghujung pengabdian. Karena, secara kodrati masa depan itu milik generasi mendatang. Mau tudak mau, seiring berjalannya usia, semua pasti berubah, akan digantikan oleh yang muda.

Ingatlah, kerja-kerja kemanusiaan itu unik, “Berhasil tidak dipuji, Gagal dimaki, Menderita salah sendiri”. Untuk itulah mari berbenah diri melalui introspeksi selagi masih ada waktu untuk memulai upaya menemukan makna kehidupan untuk menata masa depan relawan yang mandiri. Salam lestari, damai dihati, damai dibumi. [eBas].


Senin, 12 Juni 2017

RELAWAN KEMANUSIAAN

<edi basuki>
Ketika ada anak tenggelam di sungai, tanpa dikomando oleh BPBD, relawan langsung turun tangan, saling menginfokan, saling membantu, memberi pertolongan. Termasuk ketika ada pendaki gunung yang tersesat, atau bahkan mengalami kecelakaan yang berujung kematian pun, ada saja relawan yang  membantu evakuasi dengan segala kemampuannya tanpa berharap imbalan.

Para relawan itu yakin bahwa dalam memberi pertolongan mrupakan tindakan yang baik dan akan mendapat balasan kelak dikemudian hari, entah dari mana, berupa apa, dari siapa. Karena mereka percaya, Tuhan tidak tidur.

Ketika ada orang tenggelam di laut, relawan pun langsung ambil bagian tanpa prosedur  yang bertele-tele. Mereka sudah bergerak sebelum pemerintah (BNPB/BPBD) datang. Sungguh tidak dapat dipungkiri, pemerintah sangat terbantu oleh kiprah relawan. Bahkan dibeberapa kasus, pemerintah hanya bergerak pada fase ‘finishing’ saat korban sudah diketemukan.

Termasuk kecelakaan lalu lintas, pohon tumbang menutup jalan raya, bahkan orang hilang dan menemukan dompet/dokumen penting pun, relawan selalu berbagi info lewat sosial media, membantu atas nama kemanusiaan. Saling peduli membantu sesama, tanpa bayaran. Cukup ucapan terima kasih, jiwa kerelawanan pun akan terus bergerak menebar kebaikan tanpa pandang bulu (nonproselitis).

Saat ini, di bulan Ramadan, banyak Komunitas Relawan di Indonesia, ambil peran, melakukan bakti sosial, menunjukkan kepeduliannya dengan berbagi takjil. Setiap sore, di beberapa jalan strategis banyak Komunitas Relawan yang membagikan takjil bagi pengguna jalan, agar bisa mensegerakan berbuka puasa sebelum sampai di rumah.

Semua yang dilakukan relawan didasari keikhlasan dan rasa gembira bisa berbagi dengan sesama sambil selfie dengan berbagai gaya yang kemudian di posting lewat sosial media untuk menunjukkan eksistensinya. Sebuah kelakuan yang perlu dilestarikan sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama.
Siapa sebenarnya sosok relawan itu?. Dalam berbagai literatur, relawan atau altruism adalah tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharap imbalan dalam bentuk apapun (tanpa pamrih).

Ada pula yang mengatakan, seseorang/organisasi yang bekerja dalam gerakan kemanusiaan untuk kepentingan masyarakat (korban) yang bekerja secara sukarela tanpa mengharapkan keuntungan, semata didorong oleh kekuatan moral, rasa kemanusiaan dan semangat  tolong menolong.
Sementara, dalam Perka nomor 17 tahun 2011, dikatakan bahwa Relawan Penanggulangan Bencana adalah seseorang atau sekelompok orang, yg memiliki kemampuan dan kepedulian utk bekerja scr sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.

Pada umumnya, Komunitas Relawan di Indonesia itu belajar secara mandiri dan saling membelajarkan diantara mereka untuk meningkatkan kapasitasnya. Bisa lewat latgab, loka latih, loka karya, jamboree dan sarasehan. Dari situlah mereka saling menyamakan langkah, mempererat tali silaturahim untuk melakukan aksi kemanusiaan bersama-sama saling bahu membahu.

Mereka tidak mengandalkan pemerintah (BNPB/BPBD) dalam hal peningkatan kapasitas. Karena pemerintah sangat terbatas, belum banyak yang menganggarkan untuk kegiatan pembinaan relawan, bahkan tidak ada sama sekali karena minimnya anggaran. Biasanya hanya dititipkan ke beberapa program yang sifatnya tidak berkesinambungan.

Sebagai koordinator, BNPB/BPBD hendaknya benar-benar bisa mengkoordinasikan seluruh potensi relawan untuk kegiatan penanggulangan bencana. Karena, sesungguhnyalah mengkoordinasikan relawan itu lebih mudah daripada mengkoordinasikan antar SKPD yang mempunyai kebijakan sendiri dan tingkat kepedulian/kepekaan yang berbeda dalam memandang bencana sebagai ancaman yang membahayakan.

Untuk itulah, tidak terlalu salah, jika relawan sebagai mitra strategis BNPB/BPDB, ke depan dilibatkan dalam upaya membangun ketangguhan masyarakat. menghadapi bencana. Baik pada saat pra bencana, masa tanggap bencana, dan pasca bencana. Mengingat kiprah relawan dalam hal semangat menolong sudah tidak diragukan lagi. Mereka pun secara mandiri selalu membuat kegiatan untuk menjaga kesamaptaan dan meningkatkan kapasitas sebagai relawan kemanusiaan. Salam tangguh.[eBas]


  

Kamis, 08 Juni 2017

RANCANGAN PERUBAHAN UU 24 TAHUN 2007

[Edi Basuki]> …Kegiatan focus group discussion (FGD) dalam rangka uji sahih Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, berlangsung di ruang Rapat Utama BPBD Provinsi Jawa Timur, kamis (8/6). Berlangsung dinamis, walau dalam suasana puasa Ramadan.

Kegiatan yang digelar oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) ini merupakan masukan dari MPBI untuk merubah Undang-Undang Kebencanaan agar sesuai dengan kebutuhan dan visi isi pemerintah Jokowi. Termasuk menyesuaikan dengan perubahan paradigm kebencanaan itu sendiri.

Menurut Panitia Perancang Undang-Undang, masih ada beberapa problem yang harus segera diperbaiki. Seperti problem konsep kebencanaan, problem radaksional di UU 24 tahun 2007 yang tidak tegas, rancu, dan mendua sehingga bisa menimbulkan makna ganda. Serta problem koordinasi penanggulangan bencana antar BPBD, SKPD, TNI dan POLRI, yang di beberapa daerah masih lemah.

Yang menarik dari rencana perubahan tersebut adalah dimasukkannya pasal tentang kewajiban pemerintah daerah mengalokasikan dana penanggulangan bencana paling sedikit 1 (satu) persen dalam APBN dan APBD, untuk kegiatan pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Di pasal lain disebutkan, Pemerintah pun dapat menganggarkan dana alokasi khusus dari APBN, untuk daerah berdasarkan tingkat risiko bencana.

Sementara Hendro, dari unsur pengarah BPBD Jatim, mengharapkan agar istilah relawan bencana dan ahli bencana dimasukkan dalam pasal tersendiri. Termasuk issue gender dalam rangka menumbuhkan budaya sadar bencana bisa dipertimbangkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang DPD-RI, untuk disisipkan pada pasal tertentu yang relevan.

Saat dibuka acara Tanya jawab, animo peserta FGD, terutama dari unsur BPBD Kabupaten/Kota, sangat bersemangat. Semua serempak agar DPD-RI dalam menyempurnakan UU 24 tahun 2007, hendaknya lebih menambah peran BNPB/BPBD yang signifikan agar fungsi komando, koordinasi dan pelaksana penanggulangan bencana semakin efisien dan efektif.

Saran dan masukan yang diberikan, semua berdasarka pengalaman lapangan yang dilakukan selama ini. Mereka juga merasakan bahwa ada semacam rivalitas antara BNPB, Kemendagri, dan Kemensos dalam penanggulangan bencana. Kesan yang muncul, ada semacam saling berusaha datang lebih dulu ke lokasi bencana dengan membawa bantuan ala kadarnya, yang penting sampai lokasi dan berfoto selfi untuk laporan ke instansi. Inilah, yang menurut Panitia sebagai titik lemah dalam hal koordinasi yang dilakukan oleh BNPB/BPBD, sehingga UU 24 tahun 2007 ini perlu dirubah.

Ada lagi yang menggelitik. Dalam pasal 18, ayat 4, disebutkan Dinas atau badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang bencana. Begitu juga di tingkat kabupaten/kota. pertanyaannya, bagaimana jika si pejabatnya belum tersertifikasi, namun dia sangat mumpuni dalam hal manajerial maupun saat memimpin operasi di lapangan. Atau bagaimana jika si pejabat tersebut orang kepercayaan penguasa otoda?.

Begitu juga dengan susunan organisasi BNPB. Ada Kepala, Sestama, Deputi dan Irtama. Kemudian muncul Pusat dan UPT, lho itu jabatan apa, tupoksinya apa dan eselon berapa. Jawaban yang terlontar usai FGD dan tidak ada jawabannya.

Bang Yeka, dari unsur relawan yang tergabung dalam SRPB JATIM, mempertanyakan dimasukkannya PMI ke dalam susunan organisasi tim koordinasi penanggulangan bencana. Apa dasarnya?. Apa karena faktor Yusuf Kalla, sebagai wakil presiden dan sesepuh PMI, sehingga PMI dimunculkan?. Menurut Yeka, sebaiknya unsur PMI dikeluarkan dari susunan organisasi. Cukup dimasukkan dalam unsur masyarakat terlatih. Ini untuk menghindari politisasi relawan

Karena jika PMI dipaksakan muncul, sementara PRAMUKA, TAGANA, MDMC, LPBI-NU, dan Komunitas Relawan lain dengan berbagai benderanya itu tidak dimunculkan, maka PPUU DPD-RI telah melakukan ketidak adilan. Karena PMI itu juga relawan yang kedudukannya sama dengan PRAMUKA, TAGANA, MDMC, LPBI-NU, dan Komunitas Relawan lainnya dalam melakukan operasi penanggulangan bencana.

Kegiatan yang dibarengi dengan pemberian ‘seminar kit’ dan nasi kotak, juga bisa bikin galau jika perubahan UU kebencanaan ini ditumpangi unsur politis dalam pasal dan ayat yang diusulkan, atas nama penyempurnaan. Jika benar maka keberadaan relawan akan terkontaminasi politik, untuk kemudian terjadi segmentasi relawan sesuai afiliasi politiknya. Ini tidak benar karena kerja-kerja kemanusiaan itu harus nonproselitis, berkeadilan, kesamaan, kemitraan serta transparansi dan akuntabilitas.

Kata Rurid, Sekjen Forum PRB JATIM, dalam postingannya mengatakan bahwa Kepala daerah dijadikan koordinator tim penanggulangan bencana itu rawan dipolitisir, karena itu jabatan politis. Ini mengingat Kepala daerah dan wakilnya itu pembuat kebijakan, sedangkan birokrasi adalah pelaksana kebijakan. Ini akan menjadi rancu apabila pembuat kebijakan sebagai pelaksana kebijakan.

Bahkan bukan hanya nuansa politik saja, tapi bisa juga wacana kepentingan bermain di kebijakan anggaran terkait dengan Dana Siap Pakai (DSP). Karena, konon DSP itu rentan terhadap penyelewengan. Atas nama status darurat, maka proses audit pengadaan barang dan jasa tidak seketat ketika kondisi normal, Kata Yeka yang pernah ikut operasi bencana Sinabung.

Tepat pukul 12.10, acara FGD berakhir karena anggota DPD-RI harus segera menuju bandara Juanda, untuk terbang ke Jakarta. Sungguh kalau modelnya FGD seperti ini yang dibatasi waktu, jelas hasilnya tidak maksimal. Untuk itu  harus ada semacam lokakarya, duduk  bareng, fokus mencermati istilah dan substansi UU yang akan dirubah, untuk mensahihkan rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007. Sehingga akan berdaya guna dan berhasil guna. Pertanyaannya, apa masih ada anggarannya?. [eBas].