Rabu, 28 Oktober 2020

BNPB MENGINISIASI TERBENTUKNYA F-PRB DI JAWA TIMUR

Hari senin dan selasa (26-27/10/2020), di Hotel Mercure Grand Mirana, Surabaya, ada rapat dalam rangka Inisiasi Pembentukan dan Pengelolaan FPRB di Jawa Timur. Pesertanya dari BPBD dan F-PRB se jawa timur. Kegiatan yang difasilitasi BNPB ini mengambil tema “Sinergi Pentahelix Dalam Upaya Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana”.

Inisiasi pembentukan forum itu penting. Karena, menurut seorang peserta dari Pamekasan, masih ada persepsi yang salah dari sementara pihak, bahwa pembentukan forum akan mengganggu anggaran BPBD, dan keberadaan forum hanya diisi oleh personal yang sudah dikenal saja, bukan berdasarkan professional.

Persepsi inilah yang perlu diluruskan, agar tidak menimbulkan kesalah pahaman dalam memandang keberadaan forum, yang memiliki cantolan penguat kehadirannya. Seperti yang tersurat dalam pasal 8, ayat 5, PP nomor 21 tahun 2008 dikatan, bahwa rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur dari pemerintah daerah, non pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah yang bersangkutan yang dikoordinasikan oleh BPBD.

Tampaknya cantolan di atas belum banyak dipahami oleh BPBD. Termasuk istilah forum sebagai mitra kritis dan strategis dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, serta bentuk sinergitas pentahelix itu yang sering didengungkan dalam kegiatan seremonial.

Lilik Kurniawan dari BNPB, mengatakan bahwa F-PRB adalah perwujudan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di daerahnya. Keberadaannya bukan saingan BPBD, tapi sebagai mitra yang memiliki visi memastikan pembangunan daerah berbasis pengurangan risiko bencana.

Forum berupaya memastikan kebijakan yang diambil pemerintah (dalam hal ini BPBD) dapat mengurangi risiko bencana saat ini, tidak menambah risiko bencana baru dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Juga memastikan terjadinya sinergi yang baik antara BPBD dan Organisasi Perangkat Daerah,masyarakat dan lembaga usaha.

Yang tidak kalah penting adalah memastikan anggaran penanggulangan bencana cukup digunakan dalam penanggulangan bencana sesuai dengan risiko bencana di daerahnya, serta memastikan upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam rangka membangun ketangguhan terhadap bencana.

Paparan di atas itu sejalan dengan apa yang dikatakan mBah Dharmo tentang forum sebagai mitra strategis. Yaitu forum yang memiliki sumberdaya sesuai yang dibutuhkan BPBD dalam rangka menyusun regulasi, perencanaan, monitoring dalam urusan  pengurangan risiko bencana berbasis simbiosa mutualisma.

Sungguh apa yang disampaikankan oleh Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta ini, tidak mudah untuk dilakukan. Banyak faktor yang mempengaruhi, sehinga Perlu waktu untuk membangun kesepahaman tentang keberadaan forum sebagai mitra strategis BPBD. Apalagi jika dikaitkan dengan anggaran, seperti yang disinggung oleh peserta dari Pulau Madura di atas.

Sementara Papang dalam arahannya mengatakan bahwa forum jangan menakut nakuti BPBD, terkait dengan dana. Papang meyakinkan bahwa, forum bisa mencari dana sendiri untuk mendukung programnya. Termasuk program yang diusulkan Gus Rurid, untuk menyusun indikator terhadap sebuah program sebagai bentuk kontribusi forum terhadap BPBD. Misalnya, Program Destana pertama itu indikatornya apa saja.

Tentu apa yang digagas Gus Rurid juga tidak mudah direalisasikan jika belum ada kesepahaman diantara aktor yang ada. Termasuk rencana tindak lanjut dari kegiatan ini.  Diantaranya, mengadakan pertemuan antar BPBD dan FPRB untuk membahas program yang berhubungan langsung dengan kesiapsiagaan menghadapi musim hujan dan datangnya La Nina dengan segala dampaknya.

Mungkin, inilah tugas berat kabinetnya mBah Dharmo untuk bisa menjalin komunikasi dengan elemen pentahelix, yang di dalamnya ada unsur BPBD dan OPD (Pemerintah), Perguruan Tinggi/Akademisi, Dunia Usaha, Media dan Masyarakat (Ormas/LSM/Relawan), untuk saling menemu kenali potensi yang bisa disinergikan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.

Salah satu langkah yang sedang dirintis adalah mengadakan pertemuan berkala sebagai upaya konsolidasi internal menyamakan chemistry untuk berforum. semoga inisiasi yang sudah dimulai ini bisa segera di eksekusi dalam sebuah aksi. Salam Tangguh. [eBas/KemisPon-29102020] 

Selasa, 27 Oktober 2020

NASEHAT BANG YOS DI SELA INISIASI PEMBENTUKAN F-PRB

Sungguh, penulis merasa beruntung dilibatkan dalam kegiatan Inisiasi pembentukan dan Pengelolaan FPRB di Jawa Timur. Banyak wajah-wajah baru yang penulis ketahui dengan kompetensi yang mumpuni di bidang pengurangan risiko bencana. Temanya pun sangat menarik, “Sinergi Pentahelix Dalam Upaya Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana”.

“Tahun depan F-PRB Jawa Timur harus bisa menyelenggarakan jambore Forum PRB Nasional,” Kata Pangarso Suryotomo,  staf Deputi Pemberdayaan Masyarakat, BNPB, dalam arahannya menjelang penutupan kegiatan yang mengambil tempat di Hotel Mercure Grand Mirama, Surabaya.

Sebuah tantangan yang menarik buat rezimnya mBah Dharmo yang sedang melakukan konsolidasi internal sambil merencanakan program. Mungkinkan bisa ?. Karena, pasti akan banyak menemui hambatan disana sini saat melakukan koordinasi antar pentahelix. Apalagi mBah Dharmo sebagai sekjen pengganti Gus Rurit, belum pernah mengundang seluruh elemen pentahelix dalam sebuah rapat paripurna.

Kegiatan yang digelar BNPB selama dua hari, senin-selasa (26-27/10/2020), dalam rangka Inisiasi Pembentukan dan pengelolaan FPRB di Jawa Timur. Sebenarnya, beberapa daerah sudah ada FPRB, namun selama ini gaungnya memang masih cenderung lemah. Tampaknya banyak faktor yang bermain di dalamnya.

Penulis pun terpana oleh usulan peserta dari Tuban, yang mengatakan perlu adanya regulasi yang jelas untuk memudahkan pergerakan forum. Dan banyak lagi pernyataan yang bernada ‘menuntut’ terlontar dari masing-masing peserta yang rindu tentang indahnya forum yang benar-benar bisa membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. ya, pastinya sangat menarik jika semua informasi itu diabadikan di dalam tulisan.

“Mas Ebas ini tulisannya banyak dan menarik. Di dukung data yang kemudian diberi opini sehingga enak dibaca. Tapi sayang masih sekedar catatan yang ditulis dengan gaya bertutur. Satu tulisan mas Ebas itu, jiga dipilah dengan tehnik tertentu bisa menjadi sepuluh judul,” Kata Bang Yoshua, saat di dalam lift, mengingatkan penulis agar lebih jeli lagi dalam mendokumentasikan sebuah peristiwa.

“Siap Bang, terimakasih masukannya,” Jawab penulis, sambil merenungi segala masukan salah seorang unsur pengarah Forum PRB Jawa Timur. Mungkin, yang dimaksud oleh pria berkacamata itu adalah, tulisan kurang fokus, masih sekedar mengkoleksi pendapat yang disesuaikan dengan data yang ada kemudian dinarasikan ala kadarnya jauh dari kaidah jurnalistik.

Selama ini, penulis mencoba belajar membuat tulisan jenis feature niru kolomnya Gunawan Muhamad, Dahlan Iskan, Mohamad Sobari, Akhmad Thohari dan Pramudya, yang runtut memainkan kata menjadi kalimat dan mengalir penuh makna dan mudah dinikmati oleh siapa saja.

Namun, sampai saat ini penulis belum bisa, tapi setidaknya sudah berani mencoba. Dengan teguran anggota KPI ini menyadarkan penulis untuk lebih giat lagi belajar memperbanyak kosa kata dan jeli memilih diksi yang sesuai agar menghasilkan tulisan yang lebih fokus.

Sungguh, kegiatan yang digelar dengan menghadirkan BPBD dan FPRB, merupakan kejadian langka. Sangat menarik untuk diabadikan dalam tulisan. Baik itu tentang materinya, orangnya, dan souvenirnya yang warnanya serba putih, bukan warna khas kebencanaan. apakah ini ada kaitannya dengan rencana perubahan UU 24 tahun 2007 ?.

Namun sayang, sesuai dengan nasehat Bang Yos, menulisnya harus fokus, menukik pada satu masalah saja. sementara penulis masih kesulitan untuk fokus. Penulis mencoba bertanya ke ‘mBah Gugel’ tentang bagaimana cara menulis yang fokus sesuai era digital milenial. Juga bertanya kepada beberapa wartawan yang penulis kenal.

Mereka hanya tersenyum. Katanya, “Jika ingin bisa menulis, ya harus belajar menulis dan terus menulis apa saja tanpa takut salah. Fokus gak fokus itu abaikan, yang penting tumbuhkan dulu keberanian untuk menulis. Ingat, menulis itu membutuhkan proses panjang dan harus selalu dilatih dan mau terus berlatih,”.

Ya, penulis ingat apa yang pernah dikatakan oleh Pramudya Ananta Toer, seorang pujangga kontroversial, bahwa menulis itu perlu keberanian. Mungkin yang dimaksud adalah berani dikritik, dipaido, bahkan tidak dibaca, dan berani diberi masukan untuk perbaikan. Karena jarang ada orang yang mau memberi masukan. Ingat, orang bisa memberitahu itu karena sudah membaca.

Sungguh beruntung penulis bisa bersua dengan Bang Yoshua yang dengan suka hati memberi masukan terhadap tulisan penulis. Selama ini prinsip penulis adalah menulis apa saja yang menurut penulis menarik tanpa melihat fokus dan tidaknya. Terima kasih Bang Yos, semoga barokah untuk bekal mendesiminasikan informasi kebencanaan.

Semoga dipenghujung bulan November nanti, saat Jagong Bareng F-PRB JATIM di Kota AmonTani, Batu, penulis masih diberi kesempatan bersua lagi dengan Bang Yos untuk mendengarkan tausyiahnya tentang cara menulis yang baik dan benar. Wallahu a’lam bishowab. Salam Kemanusiaan, Salam Literasi untuk inspirasi. [eBas/nDleming Rebo isuk pasaran pahing/28102020]    

Minggu, 25 Oktober 2020

BPBD JATIM MENYERU DARI HOTEL SINGGASANA

           Dari berbagai informasi yang ada, konon, Singgasana Hotel Surabaya hadir sebagai hotel “Real resort yang terbesar di tengah kota Surabaya yang padat. Terletak di Jl. Gunungsari, Surabaya dengan area seluas 7 hektar (1,8 ha untuk bangunan dan 5,2 ha untuk lahan hijau) berdampingan dengan lapangan Golf. Memiliki akses sangat mudah menuju jalan tol yang menghubungkan ke daerah-daerah industri (misalnya Paiton, Pasuruan dan Gresik). 10 menit ke pusat kota dan 20 menit ke Bandara Internasional Juanda.

Suasana alam yang asri dengan hijaunya pepohonan di seluruh area hotel, menjadikan Singgasana Hotel Surabaya sebagai aset yang sangat berharga, karena turut serta berpartisipasi di dalam pengurangan polusi di kota Surabaya.

Ekosistem di area Singgasana Hotel Surabaya terpelihara dengan baik, ini dapat dilihat dari aneka binatang liar di sekitarnya yang menyatu dengan alam dan burung-burung yang beterbangan di antara pepohonan dengan bebasnya menambah nyaman suasana.

Dari Hotel yang dulu bernama Patra Jasa Hilton Surabaya, bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BPBD Provinsi Jawa Timur menyeru kepada relawan anggota SRPB JATIM dan F-PRB JATIM, untuk menghadiri pertemuan yang mengambil tema, “Sinergitas dan Gotong Royong Dalam Penanggulangan Bencana”.

Konon, seruan ini terkait dengan akan datangnya musim hujan yang dibarengi badai La Nina sehingga berpotensi terjadinya bencana hidrometeorologi yang lebih dari biasanya. Seperti banjir, longsor dan cuaca ekstrem. Belum lagi potensi tsunami di pesisir selatan Pulau Jawa, seperti hasil penelitian yang dilansir oleh ITB baru-baru ini.

Dalam kegiatan yang digelar hari sabtu dan minggu (24 – 25/10/2020), dikatakan pula bahwa menanggulangi bencana itu merupakan urusan bersama dan BPBD tidak bisa sendirian menangani bencana. Sehingga perlu keterlibatan relawan dan elemen pentahelix lainnya untuk bersama-sama saling melengkapi dan mengisi kekosongan dalam penanggulangan bencana.

Misalnya melakukan mitigasi di daerah rawan bencana sesuai kearifan lokal yang ada, dalam rangka membantu BPBD. Hal ini mengingat, masih banyak masyarakat yang kurang paham terhadap potensi bencana di daerahnya. Sehingga masyarakat menolak saat daerahnya dipasang rambu-rambu peringatan dini dan petunjuk evakuasi. Untuk itu perlu memberdayakan relawan setempat untuk membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana. 

Gayung pun bersambut. Seruan BPBD lewat kegiatan ini ditangkap oleh relawan yang hadir dengan munculnya berbagai gagasan cerdas. Diantaranya mengadakan program SDSB (Sambang Dulur Sinau Bareng) dalam rangka pengurangan risiko bencana,  pendampingan destana/katana, fasilitasi terbentuknya SRPB dan F-PRB di masing-masing Kabupaten/Kota, peningkatan kapasitas relawan oleh BPBD, pertemuan berkala antara SRPB, F-PRB dan BPBD untuk sinkronisasi program, dan mendorong penggunaan dana desa untuk kebencanaan.

tidak kalah pentingnya adalah melakukan desiminasi informasi kebencanaan dalam setiap fase penanganan bencana, dengan memanfaatkan berbagai media. Ini penting dalam rangka mengedukasi masyarakat dalam rangka membangun budaya tangguh, sekaligus menjadi bahan masukan untuk pusdalop BPBD/BNPB sebagai 'second opinion' melawan berita hoax 

Berbagai gagasan cerdas itu konon akan diselaraskan redaksinya, sebelum diserahkan ke BPBD Provinsi Jawa Timur sebagai rekomendasi untuk dijadikan bahan penyusunan kebijakan tahun 2021. Sungguh sebuah kerja bareng yang berlangsung dengan sersan satu (Serius Santai Satu Tujuan), penuh keakraban dan saling berkenalan. Karena, sesungguhnyalah banyak relawan yang baru pertama bertemu muka dengan sesamanya. Ya, sebuah langkah awal yang begitu menggoda, selanjutnya terserah BPBD sebagai penyusun program beserta anggarannya. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/MingguWage-25102020]

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 22 Oktober 2020

RELAWAN MENGGAGAS AKSI DI WARUNG KOPI

Ternyata anjuran untuk melakkan social distancing dalam rangka upaya memutus sebaran covid-19,  itu melahirkan rindu yang tak terperi. Berawal dari munculnya rasa rindu bersemuka dan ngobrol bareng itulah, beberapa relawan dari berbagai organisasi mitra SRPB Jawa Timur, menggelar cangkruk’an di warkop ‘Lorong Café’, daerah dukuh Kupang, Surabaya barat, sebagai ajang berkomunikasi dan mempererat soliditas yang telah terbangun.

Tidak ada masalah khusus yang dibahas dalam cangkruk’an. Tetap seperti sebelum pandemi. Bertemu ngobrol bareng dan tertawa lepas. Entah apa yang ditertawakan, yang penting gembira sambil nyruput wedang kesukaan masing-masing, dengan tetap mentaati protokol kesehatan. Ya, minimal memakai masker dan membasahi tangan dengan hand sanitizer.

Menurut Budayawan dari FIB Universitas Airlangga, Surabaya, Kukuh Yudha Karnanta, pada dasarnya karakter masyarakat itu memang berkumpul (cangkruk’an), yaitu praktik berkumpul, berbicara, bermain, bergosip, dan lain-lain.di tempat tertentu, biasanya warkop sebagai salah satu ruang publik yang nyaman, murah meriah.

Cangkruk’an sebagai bentuk komunikasi sosial yang efektif untuk membangun konsep diri, untuk kelangsungan hidup, aktualisasi diri, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketergantungan, antara lain lewat komunikasi yang menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. Melalui komunikasi sosial kita bisa menggalang berkerja sama dalam kegiatan kemanusiaan membantu sesama.

Disela-sela cangkruk’an, masing-masing personil tidak dilarang, bahkan wajib mengemukakan pendapat dan gagasannya tentang apa saja. Hal ini agar cangkruk’an bermakna pendidikan yang mencerdaskan sekaligus menambah wawasan dan meningkatkan kapasitas bagi mereka yang berkesempatan ikutan cankruk di warkopnya Cak Alfin.

Salah satunya adalah gagasan untuk mengadakan sosialisasi (penyuluhan) tentang protokol kesehatan sambil bagi-bagi masker dan cek kesehatan kepada masyarakat bekerjasama dengan berbagai pihak. Sebenarnya masing-masing personil sudah melakukan itu semua bersama komunitasnya sendiri atau gabungan beberapa komunitas dalam sebuah gerakan sosial membantu pemerintah dalam penanganan covid-19, sesuai kemampuannya.

Begitulah, cangkruk’an ala ‘Lorong Café’ berjalan apa adanya. semula tidak ada target apa-apa, karena semua memang masih dalam tahap belajar. Termasuk belajar berpendapat, belajar mendengarkan dan belajar menghargai pendapat. Namun setelah menemukan gagasan yang disepakati, bahkan sempat dihadiri oleh Kepala Subdit Peran Masyarakat, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat, BNPB, Pangarso Suryotomo, maka cangkruk’an selanjutnya lebih diisi dengan upaya merealisasikan gagasan tersebut dalam sebuah aksi.

Rencanapun disusun, siapa mengerjakan apa. Materi dan perangkat pendukung juga dipersiapkan. Tetap sambil lesehan dan nyruput wedang kesukaannya sendiri-sendiri. Hanya ada satu tujuan, kegiatan yang terlahir dari hasil cangkruk’an, berjalan tanpa halangan. walaupun disana-sini ada kekurangan yang tidak disengaja.

Itu wajar dalam sebuah perhelatan yang dilakukan oleh para “pemula”. Apalagi kegiatan ini diselenggarakan di lingkungan Pondok Pesantren yang nota bene merupakan hal baru bagi relawan, khususnya terkait dengan sopan santun tutur kata dalam pergaulan, serta suasana pandemi covid-19 yang melarang orang berkumpul dalam waktu lama.

Langkah awal telah dilakukan dengan segala suka dukanya, tentu harus diikuti dengan langkah selanjutnya. Pinjam pepatah dari Kalimantan Selatan, “Waja Sampai Kaputing”, yang artinya kurang lebih, tetap bersemangat dari awal sampai akhir.

Maknanya, acara cangkruk’an di warkopnya Cak Alfin ke depan harus semakin terkonsep dalam rangka peningkatan kapasitas relawan, khususnya dalam memainkan perannya pada fase pra bencana. Yang bagaimana itu?. Mari disruput dulu kopi racikannya Cak Alfin, pemilik warkop “Lorong Café”. Salam tangguh, bersatu bersinergi untuk peduli. [eBas/KamisLegi-22102020]

 

 

 

Selasa, 13 Oktober 2020

MITIGASI BANJIR DAN LONGSOR DI SAAT MUSIM HUJAN

Akhir September berlanjut ke Oktober merupakan musim pancaroba yang mulai menyapa warga. Hujan yang turun sporadis di beberapa wilayah merupakan pertanda musim penghujan akan tiba. Alam telah member tanda agar warganya menyiapkan segala sesuatunya agar bisa mengurangi dampak yang mungkin terjadi saat musim hujan dengan segala ancamannya.

Banjir dan longsor adalah ancaman utama. Khususnya bagi warga yang bertempat tinggal di sekitar sungai dan bebukitan. Pemukiman warga pun tidak luput dari ancaman banjir jika sampah dan endapan lumpur dibiarkan memenuhi got, sehingga airnya meluap kemana-mana.

Tentulah diperlukan persiapan untuk mengantisipasi datangnya potensi bencana. diantaranya adalah melakukan edukasi kepada warga melalui berbagai sarana yang ada. Seperti arisan warga, PKK, kelompok yasinan, karang taruna dan lainnya. Termasuk siswa sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Kegiatan edukasi ini merupakan bagian dari mitigasi bencana, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Dalam kegiatan tersebut, warga diajak untuk mengenali apa dan mengapa terjadi banjir, apa penyebabnya dan upaya apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak banjir, serta apa yang harus dilakukan saat banjir dan pasca banjir.

Begitu juga dengan ancaman bencana longsor. Semua harus dipahamkan kepada warga. Termasuk mengadakan kegiatan penghijauan di sepanjang bantara sungai dan daerah yang rawan longsor, berswadaya membuat jalur dan pemasangan rambu-rambu evakuasi, serta menentukan tempat evakuasi sementara. Semua bisa dilakukan secara bergotong royong.

Membangun plengsengan, pembuatan sumur resapan, cekdam dan pintu air dan pembangunan fisik lainnya, juga merupakan rangkaian dari upaya mitigasi bencana (ini urusannya pemerintah)

Sementara untuk siswa sekolah, Sejak beragam kejadian bencana besar di Indonesia, pendidikan pengurangan risiko bencana dianggap penting untuk dilaksanakan melalui sekolah dengan pendekatan partisipasi siswa. Hal ini sebagai upaya menciptakan generasi yang memiliki budaya tangguh bencana.

Siswa harus diajari bagaimana membantu penyelamatan asset sekolah. Seperti buku perpustakaan, arsip-arsip penting, Komputer dan sejenisnya. Sudah waktunya sekolah memasang rambu-rambu evakuasi dan titik kumpul. Tidak ada salahnya jika sekolah memiliki ruangan yang representatif dan aman untuk menyelamatkan asset sekolah.   

Untuk itulah pihak sekolah hendaknya membuka diri jika ada relawan ingin melakukan sosialisasi satuan pendidikan aman bencana (SPAB), yaitu satuan pendidikan yang menerapkan standar sarana dan prasarana yang aman dan memiliki budaya keselamatan yang mampu melindungi warganya dari bahaya bencana.

Mariana dalam siagabencana.com, mengatakan bahwa Konsep SPAB ini terdiri atas tiga pilar: pilar 1 mengenai fasilitas belajar yang aman, pilar 2 mengenai manajemen penanggulangan bencana di sekolah, pilar 3 mengenai pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.

Masih kata fasilitator pengirangan risiko bencana ini, Ada 10 Indikator kunci minimal dalam SPAB: (1) Meningkatnya pengetahuan warga sekolah mengenai satuan pendidikan aman bencana; (2) Memiliki konstruksi yang memenuhi standar bangunan tahan gempa; (3) Memiliki Sarpras (Alat pemadam api ringan, Pelampung, Tambang, Rambu kebencanaan, P3K, Megaphone); (4) Terkumpulnya informasi mengenai risiko, ancaman, dan kapasitas di sekolah; (5) Memiliki kebijakan sekolah aman bencana (SK kepsek); (6) Memiliki prosedur tetap kedaruratan; (7) Memiliki tim siaga bencana; (8) Memiliki peta & jalur evakuasi; (9) Terpasangnya media kampanye; (10) Melakukan simulasi secara rutin.

Kini, memasuki pertengahan bulan oktober, tentu berbagai pihak yang membidangi kebencanaan sudah mulai menyiapkan diri menghadapi datangnya musim penghujan dengan segala dampaknya. Termasuk antisipasi ancaman tsunami di pantai selatan jawa, seperti hasil penelitian dari ITB.

Ya, semuanya perlu disiapkan dengan melibatkan elemen pentahelix dibawah koordinasi BPBD setempat. Semua ini dalam rangka membangun kesiapsiagaan warga di kawasan rawan bencana. yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan  untuk mengantisipasi  bencana  melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Salam Tangguh. [eBas/SelasaPahing-13102020]

Minggu, 04 Oktober 2020

PERINGATAN BULAN PRB 2020 SECARA DARING

“Kita masih lemah dalam menuliskan pengalaman saat penanganan bencana, khususnya dalam fase tanggap darurat. Padahal semua catatan dari para aktor penanggulangan bencana, baik itu saat pra bencana, tanggap bencana dan pasca bencana itu sangat diperlukan untuk bahan pembelajaran. Dengan demikian, seandainya ada bencana lagi tidak akan terjadi pengulangan kesalahan dalam penanggulangan bencana,” Kata Khalid Syaifullah, Koordinator Forum PRB sumatera barat, dalam webinar peringatan bulan pengurangan risiko bencana (bulan PRB) tahun 2020.

Konon, dalam bulan PRB 2020 ini, tema yang diambil adalah “Daerah Punya Aksi”. Mungkin, yang dimaksud aksi disini adalah, salah satunya berupa gerakan literasi kebencanaan, dalam bentuk membukukan sebuah peristiwa bencana, untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya budaya tangguh bencana.

Ya, dengan membukukan peristiwa kebencanaan, akan membuat masyarakat tidak lupa dan mau belajar pada kejadian bencana masa lalu. Dari situ diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kesadaran bersama untuk berdialog saling tukar informasi dan pengalaman antar komunitas relawan terkait dengan kerja-kerja pengurangan risiko bencana.

Seperti diketahui bahwa upaya penanggulangan bencana itu urusan bersama, baik itu pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media massa. Ketika seluruh elemen pentahelix dapat bersinergi dalam pengurangan risiko bencana, maka harapannya bisa mengurangi dampak bencana yang berkepanjangan. Artinya, masyarakat yang menjadi korban bencana dapat segera melenting dari keterpurukan akibat bencana.

Dalam surat pemberitahuan peringatan bulan PRB 2020, kegiatan ini mengangkat pesan akan pentingnya tata kelola risiko bencana yang baik dalam mengelola dan mengurangi tingkat risiko dan menghindari munculnya risiko bencana baru. Hal ini sejalan dengan kata bijak yang disampaikan Eny Supartini, Direktur Kesiapsiagaan BNPB dalam webinar yang terkait dengan bulan PRB 2020.

Dia bilang, 1). Bila kita tidak melakukan pencegahan dan kesiapsiagaan, dan terjadi bencana. Maka, yang kita hadapi adalah tragedi. 2). Bila kita tidak melakukan pencegahan dan kesiapsiagaan, dan tidak terjadi bencana. Maka, yang kita hadapi adalah keberuntungan.

Kemudian yang ke 3). Bila kita melakukan pencegahan dan kesiapsiagaan, dan terjadi bencana. Maka, yang kita hadapi adalah reduce risiko. 4). Bila kita melakukan pencegahan dan kesiapsiagaan, dan tidak terjadi bencana. Maka, yang kita hadapi adalah melakukan investasi.

Apa yang dikatakan Ibu Direktur ini tampaknya ada kaitannya dengan upaya mengurangi ancamannya, dan kerentanan, serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana di daerahnya. Hal ini sejalan dengan harapan dibentuknya destana. Yaitu mampu bertindak mandiri sesuai kapasitas untuk mencegah, mengurangi, beradaptasi, serta mengantisipasi potensi bencana, dan mampu segera memulihkan diri pasca bencana (daya lenting) serta siap menghadapi bencana yang akan datang.

Tentu, membangun masyarakat berbudaya tangguh dan destana yang berdaya, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Harus ada pendampingan dan pembinaan yang terprogram. Salah satunya melalui kegiatan peringatan bulan PRB.

Atas nama protokol kesehatan untuk mencegah sebaran pandemi covid-19, penyelenggaraan peringatan bulan PRB 2020 dilakukan secara daring. Namun demikian, maknanya tetap sama seperti acara tahun sebelumnya. Yaitu terjadinya koordinasi dan kemitraan antar aktor PRB (pentahelix) dalam membangun ketangguhan dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. baik dalam bentuk pelatihan peningkatan kapasitas, maupun mengadakan kegiatan bersama antar aktor pada saat pra bencana, tanggap darurat, maupun pasca bencana. seperti penyusunan peta risiko bencana, renkon, RPB, jitupasna dan sejenisnya yang di dukung anggaran daerah.

Untuk menyemarakkan peringatan bulan PRB 2020, Forum PRB Provinsi Sumatera barat, menyelenggarakan webinar tentang refleksi 11 tahun gempa dan 10 tahun tsunami mentawai dalam bingkai pengurangan risiko bencana, minggu (4/10/2020), melalui aplikasi zoom. Semua bicara masalah ketangguhan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Pertanyaannya kemudian, apakah keberadaan aktor PRB sudah bisa menjembatani antara kepentingan masyarakat dengan pemerintah yang membidangi penanggulangan bencana.

Sementara, salah Bung Carlo, seorang peserta bilang bahwa ada empat masalah dalam upaya program pemberdayaan masyarakat di daerah rawan bencana, melalui destana. Yaitu, rendahnya partisipasi masyarakat, data base tidak tersedia, keberlanjutan program tidak jelas, dan rendahnya sinergitas antar Kantor/Lembaga terkait.

Ini semua bisa terjadi, masih menurut Bung Carlo, dikarenakan belum semua stake holder menganggap penting PRBBK. Sayang pertanyaan dan pernyataan diatas tidak sempat dibahas karena keterbatasan waktu. Paling tidak, apa yang dikatakan Bung Carlo dapat dijadikan pembelajaran yang berharga, agar ke depan bisa lebih baik lagi. Salam tangguh, salam sehat, tetap selamat menginspirasi umat. [eBas/SeninWage-05102020]  

 

  

 

 

 

 

Sabtu, 03 Oktober 2020

ERNA IKUT ARISAN ILMU SRPB JAWA TIMUR

Kegiatan Arisan Ilmu yang di gelar SRPB Jawa Timur secara online, pada hari Jumat legi (02/10/2020) telah usai. Peserta yang datang dari berbagai daerah pun merasa senang mendapat pencerahan untuk menambah wawasan tentang desa tangguh bencana beserta problematikanya.

Berbagai komentar pun silih berganti di grup whatsapp. Semua komentar menjadi masukan yang berharga untuk menggelar Arisan Ilmu selanjutnya. Dimana pun, kendala utama webinar adalah koneksi internet dan kondisi pulsa.

“Pembicaraan sore ini berat namun bermanfaat. Paparan ilmu dari Keynote Speaker dan kedua Narasumber sangat bermanfaat. Sharing ilmu dari para Panelis juga baik dan bermanfaat. Terima kasih Panitia, Keynote Speaker dan para Narasumber. Selamat dan sukses selalu buat Arisan Ilmu Nol Rupiah SRPB Jawa Timur,” Kata Erna, dari  Unesa (dulu bernama IKIP Negri Surabaya).

Erna, yang juga aktivis Palasdhika ini, memberi apresiasi positif tentang materi yang disajikan oleh nara sumber. Tentu harapannya, Erna tidak hanya sekedar mengapresiasi, tapi juga turut andil memberi solusi untuk mengeksekusi sebuah aksi membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana secara mandiri.

Syamsul Maarif, dalam arahannya mengatakan bahwa Upaya mewujudkan Desa Tangguh Bencana merupakan konsekwensi logis dalam rangka mengurangi risiko bila bencana menerpa di wilayah setempat, dalam hal ini Desa/Kelurahan.

“Peran komunitas menjadi sangat sentral dalam mewujudkan visi tersebut, karena komunitaslah yang paling tahu terhadap situasi dan kondisi yang ada di wilayahnya. Baik kondisi dan potensi geologis, geografis, hidrologis, demografis, serta terutama aspek sosiologisnya,” Kata dosen Sosiologi Universitas Negeri Jember.

Mewujudkan Desa Tangguh Bencana, berarti menuntut adanya upaya untuk mengurangi/menghilangkan ancamannya, mengurangi kerentanan, dan meningkatkan kapasitas yang ada baik yang bersifat fisik maupun non fisik.

Tentunya kerja-kerja seperti ini tidak bisa dilakukan hanya dalam sekali sentuhan saja. Proses pembiasaan ini memerlukan perlakuan dalam waktu panjang. Sementara BPBD tidak akan mampu menangani sendiri. Untuk itulah keberadaan relawan harus dirangkul dan dilibatkan.

Dengan demikian, nantinya Desa/Kelurahan Tangguh Bencana diharapkan mampu bertindak mandiri sesuai kapasitas untuk mencegah, menyerap, beradaptasi, serta mengatasi setiap bencana yang melanda, dan mampu segera memulihkan diri pasca bencana dan siap menghadapi bencana yang akan datang.

Apalagi saat ini marak ajakan untuk melakukan mitigasi tsunami di daerah pesisir selatan pulau jawa. Hal ini dipicu hasil riset ITB mengenai prediksi Tsunami di pesisir selatan Jawa. Diperkirakan tinggi tsunami dapat mencapai 20 meter di pantai selatan Jawa Barat dan 12 meter di selatan Jawa Timur. Untuk itu, tidak ada salahnya jika berbagai komunitas relawan yang domisilinya berdekatan dengan pantai mulai merancang melakukan sosialisasi dan mitigasi agar masyarakat tidak resah.

Sementara gempa dan tsunaminya tidak ada yang tahu kapan datangnya, bahkan mungkin tidak jadi datang atau 20 tahun lagi baru datang. Inilah (mungkin) tugas Erna dan kawan-kawannya dalam melakukan pendampingan.

Tentu yang bisa dilakukan relawan adalah mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana melalui kegiatan destana yang benar-benar berdaya untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana.

Semoga, melalui kegiatan Arisan Ilmu ini, akan muncul Erna-Erna baru yang peduli terhadap keberadaan destana yang benar-benar mandiri dalam kegiatannya seperti yang tersirat dalam arahan Profesor Syamsul Maarif.

Paling tidak, Erna-Erna baru ini bisa menginisiasi terselenggaranya diskusi sebagai media untuk berbagi pengalaman dan informasi, terkait dengan ajakan melakukan mitigasi tsunami untuk menangkal keresahan masyarakat tepi pantai, sekaligus menyiapkannya menghadapi bencana yang datangnya tanpa memberi kabar dulu. Salam Tangguh.[eBas/SabtuPahing-03102020].