Kamis, 28 Oktober 2021

HARAPAN BNPB KEPADA FPRB

“Saya mengharapkan Deklarasi Forum Pengurangan Risiko Bencana se-Provinsi Bali ini, akan terus berlanjut dengan kegiatan-kegiatan nyata dan berkesinambungan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, tentunya akan memberikan dukungan melalui sinergi dengan kegiatan-kegiatan di unit kerja yang sedang dan akan berjalan,” kata Ganip, Kepala BNPB, saat memberikan arahan dalam deklarasi Pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) dan deklarasi Gojek Peduli Bencana se-Bali di ‘Krisna Oleh Oleh’, Desa Wisata Blangsinga, Kec. Blahbatuh, Kab. Gianyar, Bali, Senin (26/10/2021).

Harapan di atas kiranya juga berlaku bagi FPRB di semua Provinsi, Kabupaten/Kota, yang saat ini kebanyakan masih sibuk membangun sinergi antar elemen pentahelix dalam upaya mengurangi risiko bencana bersama-sama.

Konon, ada yang bilang bahwa upaya pengurangan risiko bencana akan lebih efektif dan efisien apabila dilakukan dengan mensinergikan seluruh kapasitas yang dimiliki oleh para pihak. Harapannya, dapat bersama-sama menyusun Rencana Aksi Komunitas (RAK) atau Rencana Aksi Daerah (RAD) terkait PRB, ke dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB).

Disamping menyusun berbagai dokumen yang diperlukan dalam upaya penanggulangan bencana, Forum juga berperan memberi pencerahan kepada masyarakat dengan cara mereka sendiri sesuai budaya setempat yang tidak menabrak kearifan lokal. Sehingga pesan kesiapsiagaan, dan menumbuhkan budaya tangguh menghadapi bencana bisa lebih cepat diterima dan dipahami.

Masyarakat pun harus sadar dan tanggap dengan potensi bencana  yang ada di sekitarnya. Baik bencana alam maupun bencana karena ulah manusia sendiri. Dari mulai bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, dan sebagainya.

Seperti yang sering diteriakkan oleh relawan kebencanaan, bahwa bencana bisa saja terjadi kapan saja dan dimana saja, bahkan tak jarang menelan korban jiwa, materi, hingga merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Semua kerugian ini sebenarnya bisa diperkecil jika saja masyarakat memiliki budaya sadar bencana sejak dini, bahwa masalah bencana adalah urusan bersama dan harus dilakukan bersama tanpa saling melemahkan satu dengan lainnya atas nama egosektoral untuk meminimalisir risiko maupun dampak yang disebabkan bencana.

Harapan BNPB yang begitu besar terhadap kiprah FPRB hendaknya dijawab bersama oleh para pegiatnya dengan kegiatan nyata. Mulai dari upaya peningkatan kapasitas relawan dibidang PRB, diskusi berkala untuk memastikan keterlaksanaan pembangunan daerah berbasis PRB, Memastikan kebijakan yang diambil dapat mengurangi risiko bencana saat ini, tidak menambah risiko bencana baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Kemudian, Memastikan kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan baik, antara BPBD  dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan lembaga usaha. Memastikan anggaran penanggulangan bencana cukup digunakan dalam penanggulangann bencana sesuai dengan risiko bencana di daerahnya.

Serta memastikan pemberdayaan masyarakat  dilakukan di daerah dalam membangun ketangguhan terhadap bencana, dan Target bersama memastikan 7 Objek Ketangguhan : Rumah/Hunian, Sekolah/Madrasah, Puskesmas/RS, Pasar, Rumah Ibadah, Kantor, dan Prarasana Vital.

Hal ini sejalan dengan kerangka Sendai tahun 2015 untuk PRB (SFDRR), yang memiliki tujuan mengurangi risiko dan kerugian akibat bencana, melalui empat prioritas aksi, yaitu Memahami risiko bencana, Memperkuat tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko, Berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan, Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif, dan “Membangun Kembali dengan Lebih Baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Harapan BNPB yang begitu berat itu hanya akan menjadi wacana, manakala BNPB/BPBD tidak mengintervensi FPRB dalam programnya. Namun ada juga beberapa pengurus forum yang kreatif membuat program mandiri dengan melibatkan berbagai pihak (pentahelix), khususnya yang berkaitan penggalangan dana pendukung kegiatan. Seperti keberhasilan pengurus FPRB Provinsi Bali yang mampu ‘mendatanagkan’ kepala BNPB dalam deklarasi Pembentukan FPRB dan Gojek Peduli Bencana se-Bali

Inilah contoh pengurus yang hebat. Yang bukan kelas kaleng-kaleng, dan layak menjadi provokator pengurus forum lainnya yang masih kaleng-kaleng. Provokator yang merangkul dan menguatkan, bukan melemahkan. Salam Tangguh, Salam Sehat, Salam Kaleng-kaleng. [eBas/kamispaing-28102021]

 

  



 


 

 

 

Rabu, 20 Oktober 2021

SISI LAIN DARI FPRB JATIM

Kemarin malam, tepatnya pada hari senin pahing, 18 Oktober 2021, iseng-iseng membuka flashdisk lama. Tidak mengira nemu materi tentang “Gerakan Bersama Pengurangan Risiko Bencana di Jawa Timur”. Materi ini dibahas dalam workshop penguatan kelembagaan FPRB, yang diselenggarakan di Hotel Elmi, tanggal 5 – Desember 2015. Enam tahun yang lalu.

Entah siapa yang nyusun materi itu, kayaknya layak untuk di posting di grup whatsapp. Materi ini menggambarkan sebuah proses Panjang terbentuknya FPRB Jawa Timur. Sebuah kisah yang perlu diketahui oleh “pendatang baru” di rumah besar yang Bernama forum pengurangan risiko bencana, agar tidak sesat pikir.

Dalam komentarnya, Mbah Dharmo,  bilang, Inilah salah satu file berkenaan dengan perjalanan FPRB Jatim, monggo silahkan dibaca-baca lurs, agar menjadikan pembelajaran untuk kita semua. Tahun 2012 adalah tahun dimana kami mulai dihamili, yang pada tanggal 30 september 2013, kami melahirkan anak yang diberi nama FPRB JATIM.

“Perjuangan untuk mem-forum PRB-kan unsur Pentahelix akan terus kami lakukan, walau badai menghadang. Upaya yang berdarah-darah menjadikan sebuah sejarah. Alhamdulillah pada akhirnya bisa jadi pengobat lelah,” Kata Mbah Dharmo, Sekjen FPRB Jawa Timur, pengganti mas Rurid.

Mas Didik Mulyono bilang, salut untuk sedulur semua disini (jatim) yang telah berkenan melalui proses panjang dan berdarah-darah, menyatukan berbagai kepentingan, menyatukan berbagai pikiran, menyatukan sudut pandang dan mencapai kesepakatan bahwa kolaborasi antar aktor menjadi sebuah keniscayaan di Jawa Timur dalam sebuah gerakan Bersama.

Salah satu tantangan ke depan untuk teman-teman FPRB Jatim adalah mengawal FPRB Kab/Kota yang terbentuk dengan proses yang berbeda dari pembentukan FPRB di tingkat Provinsi, khususnya keterlibatan pentahelix dalam pergerakan pengurangan risiko bencana untuk menumbuhkan budaya Tangguh.

Dalam buku panduan pembentukan FPRB tahun 2021, dikatakan bahwa salah satu karakter Forum adalah Partisipasi multi-pemangku kepentingan dengan anggota yang benar-benar berkomitmen dan bertugas untuk membawa pengetahuan yang dibutuhkan, yang seimbang dengan kemudahan pengelolaan. Anggota Platform Lokal harus memiliki mandat untuk mewakili dan dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan keprihatinan mereka, sesuai kapasitas yang dimiliki.

Banyak sudah program yang telah dan sedang dijalankan oleh pengurus forum dibawah kendali mBah Dharmo, termasuk menginisiasi terbentuknya Forum PRB tingkat Kabupaten/Kota se Jawa timur.

Terkait dengan kiprah forum, Mas Didik dalam postingannya, juga mempertanyakan seberapa besar kontribusi Jatim untuk pencapaian target SFDRR 2015 - 2030 yang secara agregat akan dikompilasi oleh BNPB sebagai Laporan Tahunan Indonesia ?.

Sungguh pertanyaan yang selama ini luput dari pembicaraan saat daring maupun luring. Semuanya terbenam dalam aneka kegiatan yang direncanakan. Namun, belum semua anggota sanggup “ngayahi tugas” kemanusiaan dengan berbagai alasan, masih sekedar berkomentar ini itu bagai “tong kosong nyaring bunyinya, koyo gluduk gembluduk tanpo udan sing iso nelesi pelataran”.

Semoga Mas Didik berkenan memberi pencerahan kepada pengurus FPRB Jatim tentang target SFDRR 2015 – 2030 dengan segala ‘ubo rampenya’ yang akan melengkapi laporan untuk kepentingan penyusunan kebijakan program selanjutnya. Tanpa itu, mungkin semua akan ‘gedanpdaan’ mensikapinya.

Berharap postingan materi lama tentang “Gerakan Bersama Pengurangan Risiko Bencana di Jawa Timur” tahun 2015, tidak dianggap gluduk tanpo udan, atau sekedar permainan kata tanpa kerja nyata. Tapi lebih sebagai pengingat bahwa sejarah perjalanan forum itu sangat hebat, maka harus dijaga martabatnya  dengan saling menguatkan tanpa melemahkan, dalam arti sebenarnya.

“Sepakat pakdhe, bahwa nilai-nilai yang dianut oleh kita, salah satunya adalah semangat untuk saling menguatkan, memberi masukan dan menawarkan solusi. Soalnya tantangan antar daerah itu tidak sama dan semakin berat terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana,” Kata pria yang pernah aktif “membidani” kelahiran FPRB Jawa Timur, semasa pegang AIFDR. [eBas/RabuWage-20102021]

 

 

 

 

Sabtu, 02 Oktober 2021

PROGRAM SPAB DAN MASALAHNYA

Dalam acara ngopi PB (ngobrol pintar penanggulangan bencana) kali ini, rabu (19/9) malam, membahas tentang satuan Pendidikan aman bencana (SPAB) yang inklusif, tantangan dan peluang ke depannya, Kegiatan luring yang dikemas santai dan interaktif ini menampilkan para praktisi yang sudah malang melintang di dunia kebencanaan.

Kegiatan yang digelar seminggu sekali itu, ternyata banyak yang berharap agar seluruh sekolah (khususnya yang berada di daerah rawan bencana), menyelenggarakan program SPAB. Hal ini sebagai upaya membangun kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana, melalui dunia pendidikan.

Karena, ada nyawa yang dipertaruhkan di sekolah, jika terjadi bencana. Ya, disana ada peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, juga ada sarana prasarana pendukung proses belajar yang rentan dan perlu diselamatkan.

Sekolah memiliki tanggungjawab terhadap keselamatan warga sekolah dalam menghadapi bencana. Dampak bencana pun mengancam anak-anak dengan terganggunya hak anak dalam mendapatkan pelayanan pendidikan.

Konon, dalam permendikbud Nomor 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan dampak Bencana di Satuan Pendidikan dalam rangka membangun budaya siaga dan aman bencana.

Adapun tujuannya, antara lain, meningkatkan kemampuan sumber daya di Satuan Pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi Risiko Bencana; serta membangun kemandirian Satuan Pendidikan dalam menjalankan Program SPAB yang diagendakan secara rutin..

Ya, Partisipasi aktif dari seluruh warga sekolah dapat didorong melalui program SPAB, seperti halnya pramuka, dan kegiatan ekstra kurikuler lainnya, yang bisa menjadi bekal yang akan mewarnai hidupnya nanti.

Namun, apa mau dikata, SPAB masih indah dijadikan bahan rapat, seminar dan diskusi, tanpa diikuti dengan aksi. Sudah ada regulasi, perundangan dan buku panduan tentang SPAB, bahkan, di dalam buku Pendidikan Tangguh Bencana “mewujudkan satuan pendidikan aman bencana” (2019), Presiden Jokowi memberikan arahan dalam Rakornas Penanggulangan Bencana tanggal 2 Februari 2019 di Surabaya yang salah satunya, adalah “Edukasi kebencanaan harus dimulai tahun ini. Terutama di daerah rawan bencana kepada sekolah melalui guru dan kepada masyarakat melalui para pemuka agama”. Namun nyatanya, masih banyak sekolah yang enggan melaksanakannya dengan alasan belum ada arahan secara tertulis dari pejabat dinas Pendidikan. Takut salah dan disalahkan.

Bahkan, menurut Fathoni, peserta ngopi dari Kota Malang mengatakan bahwa  pihak sekolah (kepala sekolah dan pendidik) menganggap SPAB sebagai tugas tambahan yang membebani. Sedangkan pejabat dinas Pendidikan masih memandang program SPAB belum penting, karena ketidak tahuannya.

Sementara, salah seorang nara sumber acara ini bilang bahwa, pelaksanaan SPAB memang masih belum sesuai dengan harapan. Pada umumnya, Pelaksanaan SPAB yang didampingi kawan-kawan NGO lebih baik. Entah karena mereka memang mumpuni dalam men-SPAB-kan pihak sekolah, atau karena dananya yang menggiurkan pihak sekolah. Wallahu a’lam. Masalahnya, sekolah yang bagaimana yang layak didampingi NGO?.

“Kami punya Yayasan yang salah satu bidang usahanya adalah mendirikan sekolah dengan peserta didik yang lumayan banyak. Bagaimana caranya agar sekolah kami bisa didampingi NGO dalam melaksanakan program SPAB,” Kata Ketua sebuah Yayasan di Kota Cianjur. Sayang oleh nara sumber hanya dijawab bahwa soal mendampingi sekolah itu urusan NGO, nara sumber tidak tahu.

Rujito dari KOSLATA Mataram, bilang bahwa dia pernah memfasilitasi SPAB dengan dukungan dana dari APBD. Sayang program ini tidak ada kelanjutannya dengan berbagai alasan.

Jadi, kalau program SPAB selalu berbasis proyek maka sulit diharapkan ada tindak lanjutnya dari sekolah secara mandiri, yang bisa dianggap sebagai praktek baik untuk kemudian direplikasikan ke sekolah lain.

Mendapat masukan yang agak sumbang itu, Jamjam Muzaki, dari seknas SPAB, mengatakan bahwa kedepan perlu ada penghargaan/sertifikat kepada sekolah yang menyelenggarakan SPAB, seperti sekolah adiwiyata yang selalu dilombakan, karena dapat membanggakan sekolah.

Alangkah eloknya jika pada kesempatan ngopi PB itu, juga disampaikan siapa saja personil yang terlibat di sekber SPAB Provinsi dan Kabupaten/Kota ?. Kemudian, apa tugas dan fungsinya, serta dimana kantornya, dan bagaimana hubungannya dengan Forum PRB ?.

Karena, selama ini keberadaan sekber SPAB sangat misterius dan tidak tersentuh (begitu juga dengan seknas SPAB belum dikenal di tingkat sekolah yang jauh dari Jakarta).

Sungguh, semua pihak pasti sepakat jika dikatakan bahwa membangun kesadaran peserta didik di semua jenjang pendidikan akan pentingnya mengenali potensi bencana di daerahnya dalam rangka kesiapsiagaan untuk mengurangi risiko dan mencegah bencana, merupakan suatu langkah awal dalam membangun ketangguhan menghadapi bencana.

Dengan kata lain, melalui program SPAB yang dilakukan secara berkala diharapkan dapat mengubah kesadaran dan menguatkan karakter pelajar pancasila yang akan menjadi penerus bangsa yang tangguh bencana.

Masalahnya adalah, program SPAB sampai saat ini masih memprihatinkan, entah karena apa. Kalaupun ada masih tahab sosialisasi, belum internalisasi. Artinya, sangat mustahil jika ada sekolah yang baru sekali diberi sosialisasi, sudah dianggap telah menjalankan SPAB, seperti yang sering dikatakan pejabat saat mengikuti rapat. Wallahu a’lam. [eBas/ndleming sabtu malem minggu-02102021]