Oleh
Agus Supangat
Perubahan
iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan ectorling
rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim
(misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan sebagainya). Perubahan ini ector
dampak serius terhadap berbagai ector di Indonesia, misalnya kesehatan,
pertanian, perekonomian, dan lain-lain.
Beberapa
studi institusi, baik dari dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di
Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960, meskipun analisis ilmiah maupun
data-datanya masih terbatas.
Perubahan
ectorling rerata harian merupakan ectorli paling umum perubahan iklim. Ke
depan, UK Met Office memproyeksikan peningkatan ectorling secara umum di Indonesia
berada pada kisaran 20 C – 2,50 C pada tahun 2100 berdasarkan ectorl emisi
A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan ector secara seimbang antara ector non-fosil dan
fosil (UK Met Office, 2011). Data historis mengonfirmasi ectorl tersebut,
misalnya kenaikan ectorling linier berkisar 2,60 C per seratus tahun untuk
wilayah Malang (Jawa Timur) berdasarkan analisis data 25 tahun terakhir (KLH,
2012).
Peningkatan
ectorling rerata harian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pola
curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi ector Asia dan Australia. Dengan
sirkulasi ector, Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah setiap
setengah tahun sekali (musim penghujan dan kemarau). Perubahan ectorling rerata
harian juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara
ekstrem.
UK
Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan maupun banjir parah sepanjang 1997
hingga 2009. Analisis data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)
dalam ICCSR (Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk
periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan peluang kejadian curah hujan
dengan intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia bagian barat (Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan) serta Papua. Salah satu fenomena yang mengonfirmasi terjadinya
peningkatan ectorling di Indonesia adalah melelehnya es di Puncak Jayawijaya,
Papua.
Di
samping mengakibatkan kekeringan atau banjir ekstrem, peningkatan ectorling
permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya peningkatan ectorling air laut
yang berujung pada ekspansi volum air laut dan mencairnya glestser serta es
pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi muka air laut mengalami kenaikan
yang berisiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di pesisir pantai.
Kenaikan
rerata tinggi muka laut pada abad ke-20 tercatat sebesar 1,7 mm per tahun
secara global, namun kenaikan tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi
Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan tinggi muka
laut yang tidak seragam dapat berpengaruh pada pola arus laut. Selain perubahan
terhadap pola arus, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam juga
meningkatkan potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai, mereduksi
wetland (lahan basah) di sepanjang pantai, dan meningkatkan laju intrusi air
laut terhadap aquifer daerah pantai.
Berdasarkan
kajian yang dilakukan oleh Bappenas (ICCSR, 2010) dan Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI) pada tahun 2011, gelombang badai (storm surge); pasang
surut, serta variabilitas iklim ekstrem seperti La Niña yang termodulasi oleh
kenaikan tinggi muka laut juga turut berkontribusi dalam memperparah bahaya
penggenangan air laut di pesisir.
Analisis
awal terhadap data-data simulasi gelombang menunjukkan bahwa rerata tinggi
gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode ector Asia berkisar
antara 1 m hingga 6 m. Untuk Laut Jawa, tinggi gelombang maksimum, terutama
Januari dan Februari mencapai 3,5 m. Hal ini menambah risiko banjir di daerah
Pantai Utara Jawa (Pantura) karena bertepatan dengan puncak musim penghujan di
Indonesia.
Selain
risiko banjir di pantai, gelombang ekstrem juga berdampak buruk terhadap
distribusi barang antar pulau yang banyak menggunakan transportasi laut. Di
sisi lain, analisis yang dilakukan terhadap fenomena El Niño dan La Niña
(Sofian, 2010) menunjukkan bahwa kedua fenomena tersebut akan lebih banyak
berpeluang terjadi di masa mendatang dengan periode dua hingga tiga tahun
sekali yang diduga disebabkan perubahan iklim.
Perubahan
iklim di Indonesia berdampak cukup besar terhadap produksi bahan pangan,
seperti jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari ector kelautan (ikan maupun
hasil laut lainnya) diperkirakan akan mengalami penurunan yang sangat besar
dengan adanya perubahan pada pola arus, ectorling, tinggi muka laut, umbalan,
dan sebagainya.
Indonesia
bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari ancaman
terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada ector perikanan
(Huelsenbeck, Oceana, 2012). Akibat dampak perubahan iklim dan pengasaman laut
(ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut, Indonesia
berada pada peringkat 23 dari 50 negara paling rentan berdasarkan kajian yang
sama.
Kajian
mengenai kekeringan di Indonesia akibat perubahan iklim, terutama pada skala
nasional masih kurang. Namun peluang banjir di Indonesia akan meningkat seiring
peningkatan tinggi muka laut, intensitas gelombang ekstrem, curah hujan yang
sangat tinggi dan kejadian La Niña. Bencana banjir ekstrem terutama terjadi
pada daerah pesisir yang merupakan lokasi kota-kota strategis seperti DKI
Jakarta. Bencana ini berdampak buruk bagi perekonomian serta mengancam
kesehatan masyarakat.
Dari
beberapa kajian, beberapa ectorli menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah
berlangsung di Indonesia. Perubahan tersebut diketahui ector dampak terhadap
multisektor meskipun kajian maupun data yang tersedia masih terbatas. Di
samping itu, proyeksi iklim selalu mengandung ketidakpastian. Tantangan
terbesar adalah melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian tersebut untuk
meningkatkan kedayagunaannya dalam pengambilan keputusan.
Dalam
hal proyeksi iklim berdasarkan Global Climate Model (GCM), setidaknya terdapat
tiga sumber ketidakpastian yang harus diperhitungkan yaitu ectorl emisi gas
rumah kaca, sensitivitas iklim global terhadap emisi gas rumah kaca (pemilihan
model GCM), dan respon ector iklim regional terhadap pemanasan global (model
ectorling).
Langkah
penyempurnaan perlu terus dilakukan untuk mengatasi segala keterbatasan data
yang tersedia maupun metodologi yang telah digunakan dalam kajian perubahan
iklim di Indonesia, guna memenuhi kebutuhan nasional akan informasi mengenai
perubahan iklim yang lebih akurat. Untuk masa mendatang, perlu suatu program
yang disusun untuk memperkuat basis ilmiah (scientific basis) perubahan
iklim secara lebih terkoordinasi.
Program
ini perlu disusun melalui pemberdayaan berbagai lembaga yang relevan secara
optimal, khususnya lembaga penelitian dan pengembangan serta perguruan tinggi.
Dengan demikian, roadmap dapat digunakan bukan hanya untuk ector panduan
bagi aksi adaptasi dan mitigasi tiap ector, tapi juga untuk memperkuat basis
ilmiah mengenai perubahan iklim di masa mendatang.
Pada
dasarnya, perubahan iklim bukan merupakan penyebab tunggal dari bencana alam
yang saat ini semakin sering terjadi. Namun perubahan iklim berkontribusi dalam
membuat fenomena atau bencana alam hidro-meteorologi ini menjadi ekstrem atau
luar biasa.
Pemerintah
Indonesia telah melakukan beberapa kajian tentang perubahan iklim yang –
meskipun masih terbatas dan belum akurat – dapat menjadi titik awal dari suatu
program yang bermanfaat bagi penguatan basis ilmiah perubahan iklim yang
terkoordinasi bagi ector-sektor yang ada di Indonesia. Pada akhirnya, kapasitas
masing-masing ector dapat meningkat untuk mengatasi berbagai persoalan akibat
perubahan iklim di Indonesia.
*Agus
Supangat adalah Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan
Pengembangan di Sekretariat DNPI
Editor
|
: Nasru Alam Aziz
|
(KOMPAS.COM/1April 2013) masuk blogku 27/1/2016 jam 13.30