Selasa, 26 Januari 2016

PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA




Oleh Agus Supangat

Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan ectorling rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan sebagainya). Perubahan ini ector dampak serius terhadap berbagai ector di Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan lain-lain.

Beberapa studi institusi, baik dari dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas.

Perubahan ectorling rerata harian merupakan ectorli paling umum perubahan iklim. Ke depan, UK Met Office memproyeksikan peningkatan ectorling secara umum di Indonesia berada pada kisaran 20 C – 2,50 C pada tahun 2100 berdasarkan ectorl emisi A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan ector secara seimbang antara ector non-fosil dan fosil (UK Met Office, 2011). Data historis mengonfirmasi ectorl tersebut, misalnya kenaikan ectorling linier berkisar 2,60 C per seratus tahun untuk wilayah Malang (Jawa Timur) berdasarkan analisis data 25 tahun terakhir (KLH, 2012).

Peningkatan ectorling rerata harian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi ector Asia dan Australia. Dengan sirkulasi ector, Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah setiap setengah tahun sekali (musim penghujan dan kemarau). Perubahan ectorling rerata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrem.

UK Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan maupun banjir parah sepanjang 1997 hingga 2009. Analisis data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta Papua. Salah satu fenomena yang mengonfirmasi terjadinya peningkatan ectorling di Indonesia adalah melelehnya es di Puncak Jayawijaya, Papua.

Di samping mengakibatkan kekeringan atau banjir ekstrem, peningkatan ectorling permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya peningkatan ectorling air laut yang berujung pada ekspansi volum air laut dan mencairnya glestser serta es pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi muka air laut mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di pesisir pantai.
Kenaikan rerata tinggi muka laut pada abad ke-20 tercatat sebesar 1,7 mm per tahun secara global, namun kenaikan tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh pada pola arus laut. Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam juga meningkatkan potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai, mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai, dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap aquifer daerah pantai.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (ICCSR, 2010) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2011, gelombang badai (storm surge); pasang surut, serta variabilitas iklim ekstrem seperti La Niña yang termodulasi oleh kenaikan tinggi muka laut juga turut berkontribusi dalam memperparah bahaya penggenangan air laut di pesisir.

Analisis awal terhadap data-data simulasi gelombang menunjukkan bahwa rerata tinggi gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode ector Asia berkisar antara 1 m hingga 6 m. Untuk Laut Jawa, tinggi gelombang maksimum, terutama Januari dan Februari mencapai 3,5 m. Hal ini menambah risiko banjir di daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) karena bertepatan dengan puncak musim penghujan di Indonesia.

Selain risiko banjir di pantai, gelombang ekstrem juga berdampak buruk terhadap distribusi barang antar pulau yang banyak menggunakan transportasi laut. Di sisi lain, analisis yang dilakukan terhadap fenomena El Niño dan La Niña (Sofian, 2010) menunjukkan bahwa kedua fenomena tersebut akan lebih banyak berpeluang terjadi di masa mendatang dengan periode dua hingga tiga tahun sekali yang diduga disebabkan perubahan iklim.

Perubahan iklim di Indonesia berdampak cukup besar terhadap produksi bahan pangan, seperti jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari ector kelautan (ikan maupun hasil laut lainnya) diperkirakan akan mengalami penurunan yang sangat besar dengan adanya perubahan pada pola arus, ectorling, tinggi muka laut, umbalan, dan sebagainya.

Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada ector perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012). Akibat dampak perubahan iklim dan pengasaman laut (ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut, Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara paling rentan berdasarkan kajian yang sama.

Kajian mengenai kekeringan di Indonesia akibat perubahan iklim, terutama pada skala nasional masih kurang. Namun peluang banjir di Indonesia akan meningkat seiring peningkatan tinggi muka laut, intensitas gelombang ekstrem, curah hujan yang sangat tinggi dan kejadian La Niña. Bencana banjir ekstrem terutama terjadi pada daerah pesisir yang merupakan lokasi kota-kota strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini berdampak buruk bagi perekonomian serta mengancam kesehatan masyarakat.

Dari beberapa kajian, beberapa ectorli menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia. Perubahan tersebut diketahui ector dampak terhadap multisektor meskipun kajian maupun data yang tersedia masih terbatas. Di samping itu, proyeksi iklim selalu mengandung ketidakpastian. Tantangan terbesar adalah melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan kedayagunaannya dalam pengambilan keputusan.

Dalam hal proyeksi iklim berdasarkan Global Climate Model (GCM), setidaknya terdapat tiga sumber ketidakpastian yang harus diperhitungkan yaitu ectorl emisi gas rumah kaca, sensitivitas iklim global terhadap emisi gas rumah kaca (pemilihan model GCM), dan respon ector iklim regional terhadap pemanasan global (model ectorling).

Langkah penyempurnaan perlu terus dilakukan untuk mengatasi segala keterbatasan data yang tersedia maupun metodologi yang telah digunakan dalam kajian perubahan iklim di Indonesia, guna memenuhi kebutuhan nasional akan informasi mengenai perubahan iklim yang lebih akurat. Untuk masa mendatang, perlu suatu program yang disusun untuk memperkuat basis ilmiah (scientific basis) perubahan iklim secara lebih terkoordinasi.

Program ini perlu disusun melalui pemberdayaan berbagai lembaga yang relevan secara optimal, khususnya lembaga penelitian dan pengembangan serta perguruan tinggi. Dengan demikian, roadmap dapat digunakan bukan hanya untuk ector panduan bagi aksi adaptasi dan mitigasi tiap ector, tapi juga untuk memperkuat basis ilmiah mengenai perubahan iklim di masa mendatang.

Pada dasarnya, perubahan iklim bukan merupakan penyebab tunggal dari bencana alam yang saat ini semakin sering terjadi. Namun perubahan iklim berkontribusi dalam membuat fenomena atau bencana alam hidro-meteorologi ini menjadi ekstrem atau luar biasa.

Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kajian tentang perubahan iklim yang – meskipun masih terbatas dan belum akurat – dapat menjadi titik awal dari suatu program yang bermanfaat bagi penguatan basis ilmiah perubahan iklim yang terkoordinasi bagi ector-sektor yang ada di Indonesia. Pada akhirnya, kapasitas masing-masing ector dapat meningkat untuk mengatasi berbagai persoalan akibat perubahan iklim di Indonesia.
*Agus Supangat adalah Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan di Sekretariat DNPI
Editor
: Nasru Alam Aziz
(KOMPAS.COM/1April 2013) masuk blogku 27/1/2016 jam 13.30

Sabtu, 09 Januari 2016

MUSIM BANJIR TELAH TIBA.




Kayaknya sudah menjadi sabda alam, setiap musim penghujan, selalu saja diikuti oleh munculnya genangan dimana-mana, banjir. Salah satu penyebabnya adalah karena daya dukung luasan sungai yang semakin tidak layak, yang disebabkan sedimentasi dan sampah. Kenyataan di lapangan mengajarkan, banjir yang terjadi setiap tahunnya itu, sering kali kurang ditanggapi secara kritis oleh masyarakat terdampak.

Sehingga, ketika banjir benar-benar datang, masyarakat pun kalang kabut menyelamatkan apa saja yang bisa diselamatkan. Kemudian muncullah posko pengungsian, tenda darurat didirikan, dapur umum sibuk mendistribusikan konsumsi, posko kesehatan juga beraksi mengobati penyakit kulit, demam dan mencret. Dipihak lain, berbagai komunitas peduli kemanusiaan secara mandiri datang membantu dengan aneka bantuan, dan pejabat pun melakukan kunjungan membawa bingkisan sebagai sarana tebar pesona.

Biasanya puncak bencana hidrometeorologi terjadi pada bulan Desember hingga bulan Februari saat Indonesia memasuki puncak musim hujan yang ditunjukkan dengan banyaknya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi dimana-mana. Beberapa dekade ini, banjir semakin sering dan luasannya merambah daerah-daerah yang biasanya tidak kebanjiran. Kemudian, banjir pun sekarang sering kali diikuti oleh longsor.

Ya, banjir dan longsor merupakan jenis bencana alam yang semakin sering terjadi di wilayah Indonesia. Bencana lain yang tidak bisa dihindari kemunculannya adalah gempa bumi, erupsi gunung berapi, tsunami, kebakaran hutan dan lahan, angin puting beliung dan perubahan iklim yang ekstrim. Semuanya bisa terjadi kapan saja dimana saja, tanpa atau membawa korban apa saja.

Beberapa jembatan rusak, sejumlah komoditas pertanian terpaksa puso karena areal persawahan terendam banjir, lalu lintas terputus karena jalanan longsor, perkampungan, bahkan komplek perumahan pun terendam beberapa hari karena jeleknya pematusan, adalah contoh dampak dari musim hujan, dan itu terus berulang dan berulang.

Langkah cerdas yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah merangkul beragam komunitas peduli bencana yang dibangun masyarakat secara mandiri untuk melakukan gerakan bersama. Diantaranya melakukan mitigasi bencana, yaitu usaha untuk mengurangi, bahkan meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul akibat bencana.

Banyak hal yang dapat dilakukan bersama, seperti dalam mengantisipasi banjir, pemerintah daerah dan masyarakat harus memperhatikan bangunan pengendali banjir (bendungan/dam atau sumur resapan) serta kondisi sungai. Untuk jangka pendek, dapat kita lakukan pengerukan  sungai dari endapan, serta bergotong royong membuat gerakan bersih-bersih sampah di lingkungan sungai, sebagai langkah antisipatif mengenali potensi bencana di sekitar pemukiman untuk meminimalkan dampak bencana.

Harapannya, musim penghujan kali ini, masyarakat terdampak sudah punya kiat sendiri untuk mengantisipasi sekaligus menyelamatkan diri sesuai kearifan lokal, sebelum datangnya bantuan dari pihak luar. Disisi lain, pemerintah pun (dengan melibatkan komunitas peduli bencana) tidak lelah-lelahnya melakukan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat, sekaligus menyiapkan dan melengkapi sarana prasarana dan logistik untuk sewaktu-waktu di dorong ke daerah bencana banjir (dan bencana lainnya). Salam kemanusiaan.[eBas]