Kamis, 28 Mei 2015

Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia dan Kiprah Ke Depan



Ikatan ahli kebencanaan Indonesia (IABI) adalah wadah bagi  para ilmuwan, peneliti, perekayasa, akademisi, dan praktisi yang bergerak di bidang kebencanaan, untuk saling berkoordinasi dan berkomunikasi bertukar pikiran dan informasi dalam rangka melaksanakan peran mereka menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi untuk membangun ketangguhan dalam menghadapi bencana di semua tingkatan.

IABI berkomitmen mengembangkan, memajukan dan memanfaatkan iptek dan inovasi untuk membangun budaya masyarakat yang tangguh bencana.
Output IABI adalah penelitian, kajian, gagasan, inovasi seni budaya serta menggali dan mengembangkan kearifan lokal, produk teknologi, dan iptek tentang kebencanaan yang berguna bagi masyarakat, khususnya yang berdiam di kawasan rawan bencana.

Sementara outcome nya adalah terciptanya kesadaran masyarakat terhadap ancaman bencana, meningkatkan sikap, perilaku tangguh bencana, budaya keamanan, berkurangnya kematian, berkurangnya kerusakan dan kerugian, dan tumbuhnya kemandirian masyarakat di tingkat lokal dalam menghadapi bencana.

Apa yang diuraikan di atas itu terkait erat dengan adanya tiga momentum penting di tataran global yang membahas tentang pengurangan risiko bencana, adaptasi perubahan iklim, dan pembangunan yang berkelanjutan berwawasan lingkungan. Issue tersebut muncul dalam pertemuan WCDRR ke 3 tahun 2015, yaitu sebuah forum yang menyepakati hasil evaluasi capaian pengurangan risiko bencana dan juga strategi yang akan dilakukan ke depannya.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk bertukar pengalaman dan saling berdiskusi mengenai hal-hal yang dapat mendukung implementasi HFA dan menyepakati SFDRR  2015 – 2030, dengan menetapkan tujuan untuk mencapai pengurangan risiko bencana, mengurangi kematian sebagai dampak bencana, mengurangi jumlah orang yang terdampak bencana, menurunkan kerugian ekonomi, mengurangi kerusakan infrastruktur dan pelayanan dasar, meningkatkan Negara untuk mempunyai strategi pengurangan risiko bencana, mendukung bantuan kerjasama internasional, meningkatkan ketersediaan dan akses warga terhadap sistem peringatan dini.

Terkait dengan iptek dan inovasi, SFDRR juga menyatakan untuk: Meningkatkan jejaring institusi iptek dan penelitian untuk memperkuat implementasi kerangka ini; Mempromosikan penelitian ilmiah pola risiko bencana, penyebab dan efeknya; Menyebarluaskan informasi geospasial; Memberikan panduan tentang metodologi dan standar untuk penilaian risiko, pemodelan risiko bencana dan penggunaan data; Mengidentifikasi penelitian dan kesenjangan teknologi serta memberikan rekomendasi untuk daerah prioritas penelitian dalam pengurangan risiko bencana; Mempromosikan dan mendukung ketersediaan dan penerapan iptek untuk membuat keputusan/kebijakan; Menggunakan ulasan pasca bencana sebagai peluang untuk meningkatkan pembelajaran dan kebijakan publik serta senyebarluaskan hasil kajiannya agar diketahui khalayak ramai. Semua itu akan mewarnai diskusi dalam kegiatan ini.

Apa yang akan didiskusikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan 2015 ini akan menjadi fokus perhatian Indonesia dengan melibatkan berbagai pihak, baik melibatkan dalam suatu regulasi bersama, implementasi program bersama, sehingga menghasilkan suatu produk yang secara terus menerus dapat memperbaiki kualitas kehidupan, penghidupan, lingkungan, serta menurunkan risiko bencana di Indonesia. Konsep gerakan nasional ini akan dicanangkan oleh presiden pada puncak peringatan pengurangan risiko bencana di bulan oktober 2015.

Pertemuan yang berlangsung dari tanggal 26 sampai dengan 28 Mei 2015, di kampus UGM, Jogjakarta ini pun diharapkan dapat memberikan gambaran besar implikasi kebijakan apa yang dapat dilakukan, bagaimana road map PRB di daerah, bagaimana upaya pengarusutamaan PRB, baik di tingkat nasional dan daerah, serta upaya strategis implementasi dalam melaksanakan PRB dalam pembangunan yang berkelanjutan (dengan berwawasan lingkungan, tentunya).

Diharapkan pula, anggota IABI ikut mendukung, meningkatkan dan mempromosikan dialog dan kerjasama antar komunitas ilmiah dengan para pihak pembuat kebijakan untuk bahan penganbilan keputusan yang baik dalam manajemen risiko bencana. Selain itu juga dapat menjembatani melalui justifikasi ilmiah dalam pembuatan keputusan, baik melalui penelitian dan kajian-kajian kebencanaan berdasar metodologi, data terpilah, dan statistik yang relevan, memperkuat model risiko bencana, pembuatan skenario, penilaian, pemetaan, monitoring dan sistem peringatan dini yang multi hazard untuk mendukung kebijakan kebencanaan di Indonesia, diantaranya adalah pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. [eBas].
(sumber: Keynote Speech Ka. BNPB dalam PIT ke-2 tahun 2015, dengan tema “Membangun Kemandirian Industrialisasi dan Teknologi Berbasis pada Riset Kebencanaan di Indonesia). 







Minggu, 17 Mei 2015

FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JAWA TIMUR



Perlu diketahui bahwa dibanyak kasus, ketika bencana datang, maka masyarakat setempatlah yang merasakannya pertama kali menjadi korban. Dengan kemampuan seadanya mereka mengungsi, baru beberapa jam kemudian pihak luar datang membantu mengevakuasi dengan membawa peralatan dan logistik kedaruratan, serta membuat laporan untuk penanganan tindak lanjut.

Disisi lain, sesungguhnyalah masyarakat setempat lebih tahu kondisi wilayahnya. Tinggal bagaimana masyarakat ditingkatkan kapasitasnya terhadap upaya penanggulangan bencana. Sehingga, dari situlah akan muncul kesadaran untuk mengenali ancaman bencana, kesadaran bertindak sebelum terjadi bencana, serta saling menguatkan komitmen bersama sebagai masyarakat yang hidup di kawasan bencana. Dengan kata lain, seperti yang sering diharapkan oleh pegiat kebencanaan (termasuk BNPB dan BPBD), agar masyarakat mampu mengelola dan mengurangi risiko, maupun memulihkan diri dari dampak bencana tanpa ketergantungan dari pihak luar.

Pernyataan diatas merupakan simpulan dari hasil bincang-bincang dengan para pegiat kemanusiaan dibidang kebencanaan. Dari situlah (mungkin) mereka bersepakat membentuk sebuah forum yang bergiat dibidang pengurangan risiko bencana (PRB), sebagai upaya membangun komitmen untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi antar pihak; meningkatkan kapasitas berbagai pihak dalam usaha PRB yang sinergi dan terintegrasi dengan penanggulangan bencana; mendukung upaya PRB yang sinergi dan terintegrasi masing-masing pihak; tercapainya kemitraan antar pihak dalam upaya PRB di Jawa Timur; memberikan masukan, saran, rekomendasi, dan pendampingan teknis kepada semua pihak.

Forum ini Berperan aktif dalam usaha membangun sinergitas gerakan PRB di Jawa Timur dengan melibatkan semua pihak sesuai tugas dan fungsinya. Di sisi lain, kehadiran forum ini juga memiliki fungsi sebagai Mitra Kritis, Bantuan Teknis, Rujukan, Penguatan Kapasitas, Koordinasi, Motivator, Fasilitator, dan Advokasi terkait dengan penanggulangan bencana.

Apa yang diusulkan oleh penggagas forum itu sejalan dengan konsep Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Konsep tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah proses pemberdayaan masyarakat melalui penggalian pengalaman dalam mengatasi dan menghadapi bencana yang berfokus pada kegiatan partisipatif (keterlibatan) untuk melakukan kajian, perencanaan, pengorganisasian kelompok swadaya masyarakat, serta pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku kepentingan, dalam menanggulangi bencana sebelum, saat dan setelah terjadi bencana.

Untuk itulah, pada tanggal 12 Mei 2015, di Komplek Pabrik Sampurna, Pandaan, Kabupaten Pasuruan, pengurus forum mengadakan sosialisasi FPRB Jawa Timur, dengan tema ‘Membangun Gerakan PRB Bersama di Jawa Timur’ sebagai upaya memperkuat PRB melalui kegiatan nyata meningkatkan peran serta masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya bencana sesuai konsep ketangguhan bangsa dan daya lenting dalam menghadapi bencana.

Dalam kegiatan yang dihadiri oleh para pekerja kemanusiaan dari berbagai elemen ini, dikatakan bahwa kegiatan PRB merupakan investasi jangka panjang untuk mengurangi kerentanan dan risiko bencana, sehingga perlu adanya upaya kajian dan penelitian terkait dengan masalah kebencanaan di daerah yang terdampak melalui sarasehan para pegiat kemanusiaan seperti ini. Antusiasme peserta sangat bagus, sampai-sampai acara Tanya jawab pun digunakan untuk memperkenalkan lembaga sekaligus promosi kepakarannya dalam hal aktivitas di alam bebas dan sebagai pekerja kemanusiaan sebagai bentuk ‘keakuan’.

Dalam kesempatan itu, Darmawan, Kepala BPBD Provinsi Jawa Timur mengatakan bahwa, Forum pengurangan risiko bencana ini baru hadir, untuk itu mohon dibantu saran yang konstruktif agar semakin besar dan manfaatnya disarasakan oleh masyarakat luas. Yah, mudah-mudahan silaturahim ini bisa berdampak kedapannya dalam bentuk lokalatih maupun sarasehan untuk menyamakan langkah memajukan kegiatan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas yang tidak selalu menggantungkan kepada pihak lain. Syukur-syukur jika kegiatan pengurangan risiko bencana ini bisa diintegrasikan dengan RPJMD sehingga anggarannya bisa muncul dalam APBD.

Untuk itulah diharapkan Forum PRB bisa bermunculan di masing-masing Kabupaten/Kota secara mandiri sesuai potensi lokal dan jenis bencananya. Sehingga diperlukan semacam instruksi dari pemerintah provinsi kepada daerah untuk membentuk Forum PRB.

Namun, masalah yang sering muncul, kata mBah Dharmo, pegiat Jangkar Kelud, adalah, sinergitas antar pelaku PRB belum terjalin dengan baik, dan masih adanya ego kelompok dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.

Masalah lain yang juga muncul adalah Kegiatan LSM dalam kegiatan penanggulangan bencana, sering dilakukan hanya sebagai proyek, dimana saat proyek selesai maka selesai pulalah kegiatan itu, padahal peningkatan  kapasitas masyarakat dalam hal pengurangan risiko bencana perlu dilakukan secara berkesinambungan. Inilah mungkin yang perlu diantisipasi oleh kawan-kawan yang terlibat dalam forum pengurangan risiko bencana jawa timur. *[eBas]


Jumat, 08 Mei 2015

PENDIDIKAN DALAM DARURAT BENCANA




Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Ya, sepanjang tahun, Indonesia yang mendapat predikat etalase bencana dunia, rutin disapa oleh aneka bencana. Diantaranya, banjir, longsor dan gempa bumi selalu datang menebar ancaman kerugian, kesedihan, dan bahkan kematian.

Sungguh, bencana tidak pernah pandang bulu, bila saatnya datang, semuanya diterjang, termasuk fasilitas pendidikan, gedung sekolah ambruk, meja kursi bangku dan papan tulis rusak, buku administrasi berantakan. Begitu juga anak didik, pendidik dan tenaga kependidikan, tunggang langgang menyelamatkan diri, menyelamatkan sanak keluarganya, terpaksa meninggalkan sekolah yang amboradul diterjang bencana. Padahal pendidikan adalah hak dan berlangsung sepanjang hayat, sehingga proses pendidikan tidak boleh berhenti. Namun, siapa yang akan melakukan aktivitas belajar mengajar dalam situasi tanggap darurat?.

Disinilah, diharapkan relawan bisa berkontribusi mengelola pendidikan dalam masa darurat. Ya, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah sesegera mungkin melakukan kaji cepat masalah pendidikan selama 48 – 72 jam pertama, seperti melakukan  identifikasi jumlah gedung sekolah yang rusak, jumlah anak didik,pendidik, dan tenaga kependidikan yang luka, hilang dan tewas, mendata tingkat kerusakan sarpras dan mencari tempat/lokasi yang memungkinkan dijadikan kelas darurat. Tentulah hasil identifikasi itu segera diserahkan ke posko dan dinas pendidikan untuk ditindak lanjuti dalam menyusun kebijakan.

Sambil menunggu realisasi hasil kaji cepat, relawan dengan caranya sendiri, hendaknya berinisiatif mengumpulkan anak-anak di pengungsian untuk diajak bermain menghibur diri mengisi hari di pengungsian. Mengajak anak-anak mengumpulkan buku-buku pelajaran yang masih tersisa dan bisa dimanfaatkan. Tidak ada salahnya relawan melibatkan anak-anak membangun kelas darurat yang di dalamnya diisi dengan aneka bahan bacaan hasil sumbangan berbagai pihak.

Artinya disini, dalam keadaan tanggap darurat, diharapkan ada sebagian relawan yang peduli terhadap nasib pendidikan anak-anak dengan mengusahakan kegiatan-kegiatan bernuansakan pendidikan yang menghibur ala ‘outbound game’.

Kiranya, kelakuan relawan yang demikian itu sejalan dengan apa yang tersirat dalam UU 24 tahun 2007 bahwa masyarakat dapat berperan aktif dalam penanggulangan bencana. Hal ini pun sejalan dengan lambang segitiga biru yang bermakna terjalinnya sinergitas antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana, mengingat masyarakat yang terkena bencanalah yang pertama merasakan akibatnya, tentunya dengan keearifan lokal yang dimiliki, mereka paham menganai kebutuhan dan cara-cara mengatasinya, baru kemudian dibantu oleh pemerintah dan komponen masyarakat lainnya (dalam hal ini relawan).

Termasuk upaya pemenuhan kebutuhan akan pendidikan anak-anak korban bencana yang terpaksa meringkuk sedih di tenda pengungsian, melalui pemberian kegiatan pendidikan keterampilan fungsional yang mudah dikerjakan dan sesuai dengan kebutuhan serta bisa dimanfaatkan membuka usaha ekonomi produktif pasca bencana bagi masyarakat (khususnya pemuda) yang kehilangan mata pencaharian akibat bencana. 

Mungkin, ini yang disebut dengan pembelajaran  psikososial yang dibutuhkan dalam stuasi bencana?. Wallahu a’lam.
Yang jelas, pemerintah hendaknya juga memperhatikan pendidikan dalam situasi darurat bencana, yaitu sebagai upaya menyediakan kesempatan pendidikan yang memenuhi kebutuhan perlindungan fisik, psikososial, perkembangan kognitif dari anak-anak yang terkena dampak bencana yang dapat menopang hidup dan menyelamatkan jiwa.

Ini penting, diantaranya untuk mengatasi dampak psikososial bagi anak karena kurangnya ruang aman dan kesempatan berkumpul dengan teman sebayanya. Serta mencegah terjadinya eksploitasi anak, yang disebabkan kebutuhan kognitif dan perkembangan jiwanya tidak terpenuhi. [eBas]